Dulu kami sempat
kelimpungan mencari rekan pengajar. Sekarang kami kelimpungan mencari orang
yang diajar.
Sudah beberapa bulan ini TPA
tempat saya mengajar mengalami kemunduran dalam hal kuantitas peserta didik.
Jumlah santri yang belajar semakin hari semakin berkurang. Saat ini jumlah
santri yang hadir tiap pertemuannya rata-rata hanya sekitar 6-7 orang. Padahal
dulu dimasa “jaya”nya, jumlah mereka bisa mencapai 20an orang per pertemuan.
Menghadapi kenyataan itu,
ustadz-ustadzah melakukan koordinasi untuk membedah sebab-musababnya, yang
kemudian dicari pula solusi penanganannya. Rapat demi rapat beberapa kali
digelar. Ide demi ide sudah diaplikasikan. Upaya demi upaya telah dilakukan.
Dari mulai outbound hingga mendatangkan pendongeng. Semua sudah dicoba. Akan
tetapi, sampai saat ini belum ada perubahan yang bisa dikatakan signifikan.
Hmm..kenapa bisa begitu? Dimana
sebenarnya letak permasalahannya?
Kalau yang ditanya adalah
pendapat pribadi, menurut saya sih tidak ada yang salah. Ya, tidak ada yang
salah. Karena bagi saya pribadi, besar kecilnya jumlah peserta didik bukan
perkara utama. Adapun yang utama adalah kemauan, keikhlasan, dan keseriusan pengajar
dalam mengajar. Mau jumlah santrinya 5, 10, 20, 30, it’s no problem. Selama
mereka mau belajar, ya kita ajarkan.
Saya berprinsip, daripada sibuk
memikirkan santri yang belum ada, lebih baik menyibukkan diri mendidik santri
yang sudah ada dengan didikan terbaik. Walaupun cuma lima orang, tidak masalah.
Asalkan lima orang itu kita didik dengan sebaik-baiknya. Siapa tau kelima orang
itu menjadi hafidz-hafidzhoh yang punya pesantren dengan jumlah santri ribuan
orang? Insyaallah ada pahala jariyah buat kita juga, hehe…
Permasalahan yang hakiki menurut
saya adalah, siapkah para pengajar jika memang Allah berkehendak mengamanahkan “follower”
dalam jumlah yang banyak? Bukan cuma siap secara tenaga dan waktu, tapi sudah
siap juga kah pondasi “hati” kita? Karena biar bagaimanapun, pertambahan jumlah
pengikut akan menghadirkan beberapa konsekuensi. Dan konsekuensi terberat
menurut saya akan menimpa hati kita. Mampukah hati kita lepas dari bayang ujub
yang samar dan sulit terdeteksi dengan banyaknya jumlah santri? Sanggupkah kita
melawan sergapan riya yang juga mungkin menghampiri? Kalau tidak hati-hati,
mungkin pahala mengajar kita habis digerogoti penyakit hati ini.
Oke..oke.. tapi bagaimana
dengan mereka yang belum TPA atau yang sudah pernah TPA, tapi tidak pernah
datang lagi? Bukankah sudah merupakan tugas kita sebagai muslim untuk mengingatkan
mereka agar mengaji?
Ya, betul sekali, memang tugas
seorang muslim untuk mengingatkan, tapi mengapa kita tidak berhusnudzan saja
kepada mereka bahwa mereka saat ini sudah memiliki tempat belajar yang lebih
baik, bersama ustadz-ustadzah yang juga lebih kompeten?
Makjleb? (maksudnya menohok
karena ada kata “ustadz-ustadzah yang lebih kompeten”?) Sama sekali tidak.
Malah bersyukur karena mereka bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Syukurnya
berlipat ganda kalau ternyata ustadz-ustadzah itu adalah orangtua mereka
sendiri. Hal itu menandakan keseriusan orangtua dalam mendidik anaknya dalam
beragama.
Kalau kita yang masih dho’if
ini mengajar, mungkin nanti justru menghadirkan masalah baru ke depannya. Ya,
mungkin karena itu juga Allah “hanya” mengamanahkan kita dengan segelintir
santri. Biar nanti hisabnya (perhitungan) di akhirat juga ringan. Kalau semakin
banyak, kan semakin berat juga hisabnya, hehe.
Well, pendapat-pendapat
ini mungkin agak nyeleneh, tapi ini murni pendapat saya, bukan forum. Lagi pula
keputusan forum adalah (tetap) mengupayakan penambahan jumlah santri. Saya sebagai jamaah, tentu mengikuti pendapat
forum karena memang seperti itulah sunnahnya. Kan kata Rasulullah saw lebih
baik pendapat yang salah dari hasil musyawarah daripada pendapat yang benar
tapi keputusan sendiri.
*Az Zahra adalah nama TPA tempat
saya mengajar
#pojok kamar wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment