November 20, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Rindu yang Menggetarkan


Sudah begitu lama saya tidak menulis di blog. Saya akui bahwa saya belum pandai membagi waktu antara menulis ilmiah dengan menulis biasa. Sudah beberapa bulan ini saya disibukkan dengan tugas menulis ilmiah berupa skripsi yang akhirnya membuat kegiatan menulis di blog menjadi terhambat. Padahal, ada banyak sekali kejadian yang seharusnya saya rekam melalui panel keyboard. Mudah-mudahan semua kejadian itu bisa saya tuliskan satu persatu di kemudian hari.

Well, dalam tulisan ini saya ingin membagi kisah saya pasca ditinggal ibu. FYI, ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB atau bertepatan pada hari Sabtu, 28 Juli 2012 masehi. Di kesempatan mendatang, insyaallah saya akan menuliskan hari-hari menjelang kepergian ibu saya dengan lebih detil sehingga bisa selalu menjadi bahan renungan bagi saya.

Sebulan pasca kepergian ibu, saya masih tinggal di Tangerang bersama Bapak dan adek-adek saya, serta keluarga besar ibu dan bapak yang umumnya tinggal di tempat yang tidak berjauhan. Selama tinggal di Tangerang itu, proses “recovery” saya terbilang cukup singkat. Kesedihan dan perasaan kehilangan sosok beliau sudah cukup terobati setelah seminggu berlalu. Minggu berikutnya, saya sudah bisa .beraktivitas seperti biasa, kecuali aktivitas mengerjakan skripsi karena kepulangan saya ke Tangerang pada saat itu bukan untuk mengerjakan skripsi sehingga tidak mempersiapkan “persenjataannya”.

Saya menengarai cepatnya proses recovery itu disebabkan oleh posisi saya saat itu dekat dengan keluarga besar sehingga saya mendapatkan asupan support yang melimpah setiap hari. Belum lagi kehadiran teman-teman rumah yang sangat menghibur, yang kemudian mensubstitusi kesedihan yang saya alami.

Akan tetapi, kondisi itu berubah sangat drastis ketika saya kembali ke Jogja untuk mengerjakan skripsi saya. Saya seperti dibangunkan dari tidur panjang.

Ketika saya sudah berada di Jogja, perasaan kehilangan dan rindu kepada ibu saya mulai menggejala dengan sangat hebat. Saya rindu. Benar-benar rindu. Sayangnya, rindu ini tidak ada obatnya selain berdoa untuk kebaikan beliau.

Momen-momen yang membuat perasaan rindu ini begitu menggetarkan jiwa diantaranya adalah ketika bangun tidur, sakit, hujan, dan menghadapi masalah.

Kawan, tahukah kamu betapa perihnya hati ini ketika tiap bangun tidur saya tersadar bahwa saya sudah tidak punya ibu lagi. Perih karena saya belum bisa membahagiakan beliau. Perih karena saya belum berbakti kepada beliau. Perih mengingat begitu banyaknya dosa saya kepada beliau. Perih karena beliau tidak bisa mendampingi saya kalau nanti wisuda dan menikah. Perih karena saya tidak bisa merayakan gaji pertama saya dengan beliau kalau saya telah bekerja  nanti. Perih karena saya tidak bisa minta didoakan lagi oleh beliau sebab selama ini beliaulah sosok yang sering saya minta doanya.

Begitu juga ketika sakit. Orang pertama yang khawatir ketika saya sakit adalah beliau. Beliau yang meminta saya untuk segera minum obat walaupun saya sering tidak mematuhinya. Beliau yang selalu siap mengerok punggung saya, mengusap, dan memijatnya dengan hangat dan penuh kelembutan. Bahkan ketika saya sakit cacar (tepat dua bulan sebelum berangkat merantau ke Jogja), dimana saya sendiri merasa jijik dengan kondisi saya, ibu dengan sabar merawat dan membedaki punggung saya. Maka dari itu, ketika sakit saya selalu teringat beliau. Ingat dengan kelembutan dan kesabarannya. Ketika itu pula perasaan rindu menjalar dengan cepatnya.

Rindu itu juga merembes di hati ketika rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Dulu, ketika hujan lebat yang disertai angin dan petir, ibu biasanya mengumpulkan kami di ruang tamu untuk berdoa dan beristighfar. Bagi saya, hal itu sangat menenteramkan karena hujan seperti itu sering membuat kami (anak-anak) ketakutan. Oleh karena itu, setiap hujan turun saya selalu teringat beliau.

Terakhir, rindu itu begitu tak tertahankan ketika saya mendapat ujian. Bagaimana mungkin saya tidak rindu karena beliaulah orang yang selama ini saya jadikan tempat “ngumpet”, mengadu, dan mengeluh. Saya ingat, dulu ketika pertama kali masuk SMP, saya merasa sangat down. Saya merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungannya yang serba baru.

Suatu ketika saat baru pulang sekolah, saya menangis.  Ibu heran dan bertanya mengapa menangis. Saya bilang bahwa saya ingin pindah sekolah saja karena saya tidak nyaman sekolah di situ. Pertama, tempatnya jauh. Kedua, saya tidak punya teman sama sekali.

Memang, saat itu saya sekolah di SMP yang agak jauh dari rumah. Setiap hari saya harus naik angkot, padahal sebelumnya tidak pernah. Teman-teman SD saya juga hanya sekitar lima orang yang sekolah di situ, itupun rumahnya jauh dari rumah saya. Jadi, tidak bisa berangkat bareng. Selain itu, mereka semuanya masuk di kelas pagi. Hanya saya yang masuk siang. Teman-teman SD saya yang lain kebanyakan sekolah di sekolah lain, tapi berbarengan. Dihadapkan pada dua kondisi ini membuat saya sangat down pada saat itu. Maklum, ini pengalaman pertama saya.

Oleh karena itu, saya merengek pada ibu saya agar saya pindah sekolah di sekolah yang sama dengan teman-teman kebanyakan. Akan tetapi, ibu dengan bijak mendekat dan merangkul saya yang sedang menangis, lalu mengatakan bahwa inilah kesempatan saya untuk berubah. Ibu bilang bahwa wajar kalau saya tidak punya teman, karena ini hari pertama sekolah. Lama kelamaan saya pasti punya teman. Akhirnya saya luluh juga. Saya tetap melanjutkan sekolah di SMP itu. Pengalaman melewati ujian itulah yang kemudian menjadi turning point saya. Saya sangat bersyukur ibu mendukung saya pada saat itu, sehingga saya tidak jadi pindah sekolah

Kini, sudah lebih hampir empat bulan ibu meninggalkan saya. Semakin berlalunya waktu, perasaan rindu itu bukan kian pudar, tapi justru kian menjalar. Begitu mudahnya air mata ini meleleh ketika dihadapkan pada tiga kondisi di atas.

Siapapun yang mengerti kondisi saya, tentu tidak akan mengira bahwa air mata itu meleleh karena saya meratapi kepergian beliau (hal ini sangat dilarang oleh Rasulullah saw), tapi karena aliran cinta saya kepadanya yang semakin deras dan tak terbendung. Aliran yang saya sendiri tidak mengerti harus dimuarakan ke mana selain doa.

Suatu waktu, saya pernah bertanya kepada seorang ustadz perihal rasa rindu dan cinta ini, apakah dapat dibenarkan atau tidak karena pada awalnya saya pun khawatir perasaan ini termasuk muslihat setan untuk memperdaya saya. Alhamdulillah ustadz itu menjawab bahwa rindu seperti itu adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa. Beliau kemudian menasihati saya untuk senantiasa mendoakan ibu dan menyambung silaturahim dengan kerabatnya.

Ya, itulah bentuk bakti kepada ibu yang kini harus saya lakukan.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment