Sudah begitu lama saya tidak menulis di blog.
Saya akui bahwa saya belum pandai membagi waktu antara menulis ilmiah dengan
menulis biasa. Sudah beberapa bulan ini saya disibukkan dengan tugas menulis
ilmiah berupa skripsi yang akhirnya membuat kegiatan menulis di blog menjadi
terhambat. Padahal, ada banyak sekali kejadian yang seharusnya saya rekam
melalui panel keyboard. Mudah-mudahan semua kejadian itu bisa saya tuliskan
satu persatu di kemudian hari.
Well, dalam tulisan ini saya ingin membagi
kisah saya pasca ditinggal ibu. FYI, ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8
Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB atau bertepatan pada hari Sabtu, 28 Juli 2012
masehi. Di kesempatan mendatang, insyaallah saya akan menuliskan hari-hari
menjelang kepergian ibu saya dengan lebih detil sehingga bisa selalu menjadi
bahan renungan bagi saya.
Sebulan pasca kepergian ibu, saya masih
tinggal di Tangerang bersama Bapak dan adek-adek saya, serta keluarga besar ibu
dan bapak yang umumnya tinggal di tempat yang tidak berjauhan. Selama tinggal
di Tangerang itu, proses “recovery” saya terbilang cukup singkat. Kesedihan dan
perasaan kehilangan sosok beliau sudah cukup terobati setelah seminggu berlalu.
Minggu berikutnya, saya sudah bisa .beraktivitas seperti biasa, kecuali
aktivitas mengerjakan skripsi karena kepulangan saya ke Tangerang pada saat itu
bukan untuk mengerjakan skripsi sehingga tidak mempersiapkan “persenjataannya”.
Saya menengarai cepatnya proses recovery itu disebabkan
oleh posisi saya saat itu dekat dengan keluarga besar sehingga saya mendapatkan
asupan support yang melimpah setiap hari. Belum lagi kehadiran teman-teman
rumah yang sangat menghibur, yang kemudian mensubstitusi kesedihan yang saya
alami.
Akan tetapi, kondisi itu berubah sangat
drastis ketika saya kembali ke Jogja untuk mengerjakan skripsi saya. Saya
seperti dibangunkan dari tidur panjang.
Ketika saya sudah berada di Jogja, perasaan kehilangan
dan rindu kepada ibu saya mulai menggejala dengan sangat hebat. Saya rindu.
Benar-benar rindu. Sayangnya, rindu ini tidak ada obatnya selain berdoa untuk
kebaikan beliau.
Momen-momen yang membuat perasaan rindu ini
begitu menggetarkan jiwa diantaranya adalah ketika bangun tidur, sakit, hujan,
dan menghadapi masalah.
Kawan, tahukah kamu betapa perihnya hati ini
ketika tiap bangun tidur saya tersadar bahwa saya sudah tidak punya ibu lagi.
Perih karena saya belum bisa membahagiakan beliau. Perih karena saya belum
berbakti kepada beliau. Perih mengingat begitu banyaknya dosa saya kepada
beliau. Perih karena beliau tidak bisa mendampingi saya kalau nanti wisuda dan
menikah. Perih karena saya tidak bisa merayakan gaji pertama saya dengan beliau
kalau saya telah bekerja nanti. Perih
karena saya tidak bisa minta didoakan lagi oleh beliau sebab selama ini
beliaulah sosok yang sering saya minta doanya.
Begitu juga ketika sakit. Orang pertama yang
khawatir ketika saya sakit adalah beliau. Beliau yang meminta saya untuk segera
minum obat walaupun saya sering tidak mematuhinya. Beliau yang selalu siap
mengerok punggung saya, mengusap, dan memijatnya dengan hangat dan penuh
kelembutan. Bahkan ketika saya sakit cacar (tepat dua bulan sebelum berangkat
merantau ke Jogja), dimana saya sendiri merasa jijik dengan kondisi saya, ibu
dengan sabar merawat dan membedaki punggung saya. Maka dari itu, ketika sakit
saya selalu teringat beliau. Ingat dengan kelembutan dan kesabarannya. Ketika
itu pula perasaan rindu menjalar dengan cepatnya.
Rindu itu juga merembes di hati ketika rintik
hujan mulai turun membasahi bumi. Dulu, ketika hujan lebat yang disertai angin
dan petir, ibu biasanya mengumpulkan kami di ruang tamu untuk berdoa dan
beristighfar. Bagi saya, hal itu sangat menenteramkan karena hujan seperti itu
sering membuat kami (anak-anak) ketakutan. Oleh karena itu, setiap hujan turun saya
selalu teringat beliau.
Terakhir, rindu itu begitu tak tertahankan
ketika saya mendapat ujian. Bagaimana mungkin saya tidak rindu karena beliaulah
orang yang selama ini saya jadikan tempat “ngumpet”, mengadu, dan mengeluh.
Saya ingat, dulu ketika pertama kali masuk SMP, saya merasa sangat down. Saya
merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungannya yang serba baru.
Suatu ketika saat baru pulang sekolah, saya
menangis. Ibu heran dan bertanya mengapa
menangis. Saya bilang bahwa saya ingin pindah sekolah saja karena saya tidak
nyaman sekolah di situ. Pertama, tempatnya jauh. Kedua, saya tidak punya teman
sama sekali.
Memang, saat itu saya sekolah di SMP yang
agak jauh dari rumah. Setiap hari saya harus naik angkot, padahal sebelumnya
tidak pernah. Teman-teman SD saya juga hanya sekitar lima orang yang sekolah di
situ, itupun rumahnya jauh dari rumah saya. Jadi, tidak bisa berangkat bareng.
Selain itu, mereka semuanya masuk di kelas pagi. Hanya saya yang masuk siang. Teman-teman
SD saya yang lain kebanyakan sekolah di sekolah lain, tapi berbarengan. Dihadapkan
pada dua kondisi ini membuat saya sangat down pada saat itu. Maklum, ini
pengalaman pertama saya.
Oleh karena itu, saya merengek pada ibu saya
agar saya pindah sekolah di sekolah yang sama dengan teman-teman kebanyakan.
Akan tetapi, ibu dengan bijak mendekat dan merangkul saya yang sedang menangis,
lalu mengatakan bahwa inilah kesempatan saya untuk berubah. Ibu bilang bahwa
wajar kalau saya tidak punya teman, karena ini hari pertama sekolah. Lama
kelamaan saya pasti punya teman. Akhirnya saya luluh juga. Saya tetap
melanjutkan sekolah di SMP itu. Pengalaman melewati ujian itulah yang kemudian
menjadi turning point saya. Saya sangat bersyukur ibu mendukung saya pada saat
itu, sehingga saya tidak jadi pindah sekolah
Kini, sudah lebih hampir empat bulan ibu
meninggalkan saya. Semakin berlalunya waktu, perasaan rindu itu bukan kian
pudar, tapi justru kian menjalar. Begitu mudahnya air mata ini meleleh ketika
dihadapkan pada tiga kondisi di atas.
Siapapun yang mengerti kondisi saya, tentu
tidak akan mengira bahwa air mata itu meleleh karena saya meratapi kepergian
beliau (hal ini sangat dilarang oleh Rasulullah saw), tapi karena aliran cinta
saya kepadanya yang semakin deras dan tak terbendung. Aliran yang saya sendiri
tidak mengerti harus dimuarakan ke mana selain doa.
Suatu waktu, saya pernah bertanya kepada
seorang ustadz perihal rasa rindu dan cinta ini, apakah dapat dibenarkan atau
tidak karena pada awalnya saya pun khawatir perasaan ini termasuk muslihat
setan untuk memperdaya saya. Alhamdulillah ustadz itu menjawab bahwa rindu
seperti itu adalah hal yang wajar dan tidak apa-apa. Beliau kemudian menasihati
saya untuk senantiasa mendoakan ibu dan menyambung silaturahim dengan
kerabatnya.
Ya, itulah bentuk bakti kepada ibu yang kini
harus saya lakukan.
#pojok kamar, wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment