Galau berjamaah. Bagi (kebanyakan)
para mahasiswa S1, tahun keemapat adalah tahun galau berjamaah. Keadem-ayeman
berkuliah selama tiga tahun seolah terenggut di tahun ini. Siapa perenggutnya?
Siapa lagi kalau bukan SKRIPSI. *dueng dueng dueng*
Oke, sebelum lanjut lebih jauh,
ada baiknya kita definisikan dulu apa itu galau berjamaah. Saya mendefinisikan
galau berjamaah sebagai fenomena susah hati yang dilakukan secara kolektif
*ngarang abis*. Apa indikatornya? Banyak. Bagi saya, lempar melempar komen yang
isinya keluhan tentang skripsi di jejaring sosial, sudah bisa dibilang galau
berjamaah. Bagi saya, sahut menyahut permasalahan yang dihadapi ketika menyusun
skripsi, sudah bisa dibilang galau berjamaah. Dan bagi saya, saling berbagi
keluhan tentang “kualitas” dosen pembimbing juga sudah bisa dibilang galau
berjamaah (tenang bro-sist, no offense here, hehe).
Khusus yang terakhir, saya mau
bahas secara spesial di sini. *Celingak-celinguk. Mudah2an gak ada dosen yang
baca*
Yap, gak jarang (belum berani bilang
“sering”) saya denger (secara sengaja atau tidak) temen2 yang ngeluh tentang
dosen pembimbingnya. Ada yang bilang sulit ditemui, sulit dapet acc, gak
sepaham, dll, Yah, intinya ada kesenjangan antara ekspektasi dengan kenyataan,
yang kemudian membuat si mahasiswa semakin tertekan.
Tapi tau gak sih kalau ternyata
dosen juga “bisa” ngerasain hal yang sama dengan mahasiswa? Sama2 tertekan. Kalau
mahasiswa tertekan untuk segera nyelesein skripsi, dosen tertekan ketika
mendapat mahasiswa bimbingan yang standarnya di bawah SNI. *halah*
Oke, kita masuk fase serius. Pas
awal2 ngambil skripsi (belum dapet DPS), saya pernah mendapat beberapa wasiat
dari seorang dosen. Salah satu wasiatnya (kurang lebih) begini “Jangan jadikan
DPS sebagai alasan dari lambatnya progress dalam mengerjakan skripsi. Mahasiswa
tuh sering ngeluh dosennya sulit ditemui. Padahal pas ketemu gak ada progress
yang berarti. Udah dijelasin begini-begitu, tapi gak mudeng2 juga. Bertemu
dengan mahasiswa yang seperti itu, udah jadi satu tekanan sendiri buat dosen”. *kyaaa*
Meski bukan ngomongin saya, tapi tetep
aja terasa makjleb di hati. Tapi kalau dipikir2, emang ada benernya juga apa
yang beliau katakan. Kita mungkin pernah (masih belum berani bilang “sering”)
menjadikan dosen sebagai kambing hitam atas lambatnya progress kita, tapi kita
sendiri kurang adil menimbang kualitas diri. Merasa diri terzhalimi, terus
cerita penderitaan ke temen2, padahal sebenernya kita yang menzhalimi dosen.(oops,
santé bro-sist, saya masih di pihak kalian kok). Nah, kalau kenyataannya
seperti ini, kayaknya kita mesti pikir2 lagi nih kalau mau menggalaukan dosen
(pembimbing), hehe.
Yah, semoga proses penyelesaian
studi ini bisa membuat kita semakin dewaasa dan mendewasakan. Btw tulisan ini
gak bermaksud menyinggung siapapun lho. Tidak pula bermaksud mengambingputihkan
para dosen *masih ketar-ketir, takut ada
dosen yang baca*. Saya menyampaikan hal ini karena menurut saya ada sesuatu
yang bermanfaat dari wasiat dosen itu. Kalau ada yang merasa tersinggung, ya
gak usah dibaca (udah telat ya? Haha). Oke, karena udah terlanjur dibaca, saya
deh yang minta maaf.
Doei…
0 comments:
Post a Comment