November 21, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #1


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Duka ditinggal orangtua sebenarnya sudah mengganggu pikiran saya ketika saya baru pulang dari Belanda. Saat itu, ketika baru sampai di rumah, saya sangat terkejut melihat kondisi fisik ibu saya yang sudah sangat jauh berbeda. Beliau begitu kurus dan pucat. Kemoterapi yang ia jalani untuk mengobati penyakit kanker payudaranya membuat kondisi fisiknya seperti itu.

Saya sangat terkejut karena memang selama ini keluarga besar saya menyembunyikan permasalahan ini sehingga dalam kurun waktu beberapa bulan (ketika saya di Belanda) saya tidak mengetahui dengan pasti keadaan ibu saya.

Well, saya bukannya ingin membicarakan permasalahan itu di sini. Dalam tulisan kali ini saya ingin menceritakan hari-hari terakhir saya bersama ibu saya.

Kamis, 05 Ramadhan 1433 H (26 Juli 2012 M)
Tiga hari sebelum wafatnya ibu saya, yaitu hari Rabu tanggal 25 Juli 2012, saya masih berada di Jogja. Saya merencanakan pulang pada hari Selasa minggu depan atau pada tanggal 31 Juli 2012. Tiket kereta pun sudah saya beli.

Kamis, 26 Juli 2012 kira-kira pukul 05.00 WIB, saya ditelepon oleh bapak saya. Saya sudah menduga, pasti ada yang tidak beres karena tidak biasanya bapak menelepon subuh-subuh begini. Benar saja, di seberang sana bapak mengabarkan bahwa ibu dalam kondisi kritis. Saya diminta pulang hari itu juga. Tanpa pikir panjang, saya langsung ke stasiun untuk mencari tiket kereta api. Untunglah tiket kereta api untuk keberangkatan pagi itu masih ada.

Setelah membeli tiket, saya pulang lagi ke kos untuk packing barang seperlunya. Saat mempersiapkan barang bawaan itu, masuk lagi telepon dari rumah, kali ini yang berbicara adalah paman saya. Beliau bertanya apakah saya bisa pulang hari itu atau tidak. Saya bilang insyaallah bisa dan sudah membeli tiket kereta.

Ketika sudah duduk di kereta, lagi-lagi handphone saya berbunyi karena ada panggilan masuk dari nomor yang saya tidak tahu. Setelah saya angkat, ternyata itu sepupu saya (cewek) yang berusaha menenangkan agar saya tidak perlu panik. Suara itu kemudian berganti menjadi suara tangis tetangga saya yang mengambil alih telepon dan meminta saya agar cepat pulang ke rumah.

(Kawan, sebagai masukan untuk kalian (in case kalian mengalami hal yang serupa), jika kalian berada dalam posisi orang yang menjadi bagian dalam keluarga besar saya, sebaiknya kalian tidak perlu memberondong saya dengan telepon berkali-kali karena hal itu tidak akan memperbaiki keadaan, justru memperburuknya. Saya sadar telepon itu adalah reaksi kepanikan orang-orang di sana atas kondisi yang sedang terjadi, tapi hal itu sama sekali tidak membantu, justru akan menularkan kepanikan kepada orang lain, tidak hanya orang yang ditelepon, tapi orang-orang yang hadir di sana dan ikut mendengarkan juga bisa ikut panik. Oleh karena itu, suatu saat kalian menghadapi hal yang serupa, pastikan cukup satu orang yang mengabarkan. Pilihlah orang yang paling berwenang. Jika ia sudah mengabarkan, maka tugasmu adalah berdoa, tidak perlu lagi merepotkan diri untuk menelepon dan mengabarkan)

Di perjalanan saya berusaha menenangkan diri. Saya berusaha memikirkan yang terbaik, meski pikiran tentang kemungkinan terburuk nyatanya datang juga, malah lebih mendominasi pikiran saya. Tidak saya pungkiri saat itu mendung menyelimuti hati saya. Mata mulai merembes ketika saya mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.

Kereta tiba di Pasar Senen sekitar pukul 16.00 WIB. Saya langsung menuju halte busway. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah sampai di rumah secepat-cepatnya. Sialnya, jam kepulangan saya saat itu bertepatan dengan jam pulang kantor sehingga lalu lintas sangat padat. Akhirnya saya terjebak macet selama beberapa jam. Jam 20.00 WIB saya baru tiba di rumah.

Di rumah, orang-orang sudah ramai berkumpul. Melihat kumpulan orang seperti itu, sontak membuat lutut saya lemas. Pikiran buruk mulai menyergap. Tapi saya berusaha tetap tenang. Saya salami orang-orang yang berada di luar rumah. Saya istirahat sejenak di depan rumah dan menjawab beberapa pertanyaan dari beberapa tetangga.

Setelah menenangkan diri, saya masuk ke kamar ibu saya seraya mengucapkan salam. Di kamar, ada banyak sekali orang yang berkerumun. Kebanyakan (atau mungkin hampir semua) adalah wanita yang terdiri dari saudara ibu dan para tetangga.

Saya menghampiri ibu dan duduk di sebelah pembaringannya. Kawan, betapa pilunya hati ini melihat kondisi beliau yang sudah sangat lemah. Ibu saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan berbicara pun sulit, meski terdengar sedikit beberapa kata keluar dari mulutnya, tapi suaranya tidak jelas. Lamat-lamat saya mendengar beliau mengatakan bahwa ia kangen dengan saya.

Ah, anak macam apa saya sampai tega membuat ibu memendam kangen seperti ini. Beberapa hari yang lalu bapak memang mengabarkan bahwa ibu kangen dengan saya, tapi saya bilang belum bisa pulang dalam waktu dekat karena masih “mengejar” skripsi.

Alasan itu sebenarnya bukan yang utama, tapi saya terpaksa menggunakan alasan itu karena tidak mau membuat bapak memiliki pikiran “double” (memikirkan ibu dan saya). Alasan yang utama sebenarnya adalah saya sudah kehabisan uang sejak satu bulan yang lalu. Saya tidak mau bilang ke bapak bahwa saya sudah kehabisan uang karena saya tahu bahwa kondisi di rumah pun sedang sulit. Saya juga tidak mengabarkan bapak karena saya tercatat akan menerima beasiswa sehingga saya menjadi tetap tenang berada di Jogja walau harus “berhutang”. Toh, saya akan menerima beasiswa. Pikir saya waktu itu (Catat! Betapa cacatnya ketauhidan saya saat itu yang menggantungkan ketenangan pada beasiswa, bukan pada Allah Ta’ala).

Akan tetapi, lebih dari seminggu dari waktu yang dijanjikan, beasiswa itu tidak turun juga. Akhirnya saya berhutang lagi kepada teman-teman sambil berharap beasiswa akan segera turun. Saya tidak mau pulang ke rumah dengan membawa hutang karena bagi saya hal itu sangat membebani. Selain itu, saya juga khawatir jika saatnya beasiswa itu turun dan saya tidak berada di Jogja, padahal saya harus mengurus administrasinya di kampus. Beasiswa itu sangat penting mengingat kondisi ekonomi keluarga saya saat itu tidak terlalu menguntungkan.

Na’asnya, sampai kabar bahwa kondisi ibu kritis itu datang, beasiswa belum juga turun. Mau tidak mau saya berhutang lagi kepada teman saya untuk membeli tiket kereta api. Untung saat itu ada teman yang bersedia meminjamkan uang sehingga saya bisa pulang saat itu juga.
Beruntung Allah masih memberikan umur panjang pada saya dan ibu saya sehingga kami masih bisa dipertemukan di rumah, meskipun pertemuan itu berlangsung singkat karena dua hari setelahnya kami dipisahkan. Bersambung.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

0 comments:

Post a Comment