Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami
sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami.
Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh
tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena
wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada
hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.
Duka ditinggal orangtua sebenarnya sudah
mengganggu pikiran saya ketika saya baru pulang dari Belanda. Saat itu, ketika
baru sampai di rumah, saya sangat terkejut melihat kondisi fisik ibu saya yang
sudah sangat jauh berbeda. Beliau begitu kurus dan pucat. Kemoterapi yang ia
jalani untuk mengobati penyakit kanker payudaranya membuat kondisi fisiknya
seperti itu.
Saya sangat terkejut karena memang selama ini
keluarga besar saya menyembunyikan permasalahan ini sehingga dalam kurun waktu
beberapa bulan (ketika saya di Belanda) saya tidak mengetahui dengan pasti
keadaan ibu saya.
Well, saya bukannya ingin membicarakan
permasalahan itu di sini. Dalam tulisan kali ini saya ingin menceritakan
hari-hari terakhir saya bersama ibu saya.
Kamis, 05
Ramadhan 1433 H (26 Juli 2012 M)
Tiga hari sebelum wafatnya ibu saya, yaitu
hari Rabu tanggal 25 Juli 2012, saya masih berada di Jogja. Saya merencanakan
pulang pada hari Selasa minggu depan atau pada tanggal 31 Juli 2012. Tiket
kereta pun sudah saya beli.
Kamis, 26 Juli 2012 kira-kira pukul 05.00
WIB, saya ditelepon oleh bapak saya. Saya sudah menduga, pasti ada yang tidak
beres karena tidak biasanya bapak menelepon subuh-subuh begini. Benar saja, di
seberang sana bapak mengabarkan bahwa ibu dalam kondisi kritis. Saya diminta
pulang hari itu juga. Tanpa pikir panjang, saya langsung ke stasiun untuk
mencari tiket kereta api. Untunglah tiket kereta api untuk keberangkatan pagi
itu masih ada.
Setelah membeli tiket, saya pulang lagi ke
kos untuk packing barang seperlunya. Saat mempersiapkan barang bawaan itu,
masuk lagi telepon dari rumah, kali ini yang berbicara adalah paman saya.
Beliau bertanya apakah saya bisa pulang hari itu atau tidak. Saya bilang
insyaallah bisa dan sudah membeli tiket kereta.
Ketika sudah duduk di kereta, lagi-lagi
handphone saya berbunyi karena ada panggilan masuk dari nomor yang saya tidak
tahu. Setelah saya angkat, ternyata itu sepupu saya (cewek) yang berusaha
menenangkan agar saya tidak perlu panik. Suara itu kemudian berganti menjadi
suara tangis tetangga saya yang mengambil alih telepon dan meminta saya agar
cepat pulang ke rumah.
(Kawan, sebagai masukan untuk kalian (in case
kalian mengalami hal yang serupa), jika kalian berada dalam posisi orang yang
menjadi bagian dalam keluarga besar saya, sebaiknya kalian tidak perlu memberondong
saya dengan telepon berkali-kali karena hal itu tidak akan memperbaiki keadaan,
justru memperburuknya. Saya sadar telepon itu adalah reaksi kepanikan
orang-orang di sana atas kondisi yang sedang terjadi, tapi hal itu sama sekali
tidak membantu, justru akan menularkan kepanikan kepada orang lain, tidak hanya
orang yang ditelepon, tapi orang-orang yang hadir di sana dan ikut mendengarkan
juga bisa ikut panik. Oleh karena itu, suatu saat kalian menghadapi hal yang
serupa, pastikan cukup satu orang yang mengabarkan. Pilihlah orang yang paling
berwenang. Jika ia sudah mengabarkan, maka tugasmu adalah berdoa, tidak perlu
lagi merepotkan diri untuk menelepon dan mengabarkan)
Di perjalanan saya berusaha menenangkan diri.
Saya berusaha memikirkan yang terbaik, meski pikiran tentang kemungkinan terburuk
nyatanya datang juga, malah lebih mendominasi pikiran saya. Tidak saya pungkiri
saat itu mendung menyelimuti hati saya. Mata mulai merembes ketika saya mulai
memikirkan hal yang tidak-tidak.
Kereta tiba di Pasar Senen sekitar pukul
16.00 WIB. Saya langsung menuju halte busway. Yang ada di pikiran saya saat itu
adalah sampai di rumah secepat-cepatnya. Sialnya, jam kepulangan saya saat itu
bertepatan dengan jam pulang kantor sehingga lalu lintas sangat padat. Akhirnya
saya terjebak macet selama beberapa jam. Jam 20.00 WIB saya baru tiba di rumah.
Di rumah, orang-orang sudah ramai berkumpul.
Melihat kumpulan orang seperti itu, sontak membuat lutut saya lemas. Pikiran
buruk mulai menyergap. Tapi saya berusaha tetap tenang. Saya salami orang-orang
yang berada di luar rumah. Saya istirahat sejenak di depan rumah dan menjawab
beberapa pertanyaan dari beberapa tetangga.
Setelah menenangkan diri, saya masuk ke kamar
ibu saya seraya mengucapkan salam. Di kamar, ada banyak sekali orang yang
berkerumun. Kebanyakan (atau mungkin hampir semua) adalah wanita yang terdiri
dari saudara ibu dan para tetangga.
Saya menghampiri ibu dan duduk di sebelah
pembaringannya. Kawan, betapa pilunya hati ini melihat kondisi beliau yang
sudah sangat lemah. Ibu saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan
berbicara pun sulit, meski terdengar sedikit beberapa kata keluar dari
mulutnya, tapi suaranya tidak jelas. Lamat-lamat saya mendengar beliau
mengatakan bahwa ia kangen dengan saya.
Ah, anak macam apa saya sampai tega membuat
ibu memendam kangen seperti ini. Beberapa hari yang lalu bapak memang
mengabarkan bahwa ibu kangen dengan saya, tapi saya bilang belum bisa pulang
dalam waktu dekat karena masih “mengejar” skripsi.
Alasan itu sebenarnya bukan yang utama, tapi saya
terpaksa menggunakan alasan itu karena tidak mau membuat bapak memiliki pikiran
“double” (memikirkan ibu dan saya). Alasan yang utama sebenarnya adalah saya
sudah kehabisan uang sejak satu bulan yang lalu. Saya tidak mau bilang ke bapak
bahwa saya sudah kehabisan uang karena saya tahu bahwa kondisi di rumah pun
sedang sulit. Saya juga tidak mengabarkan bapak karena saya tercatat akan
menerima beasiswa sehingga saya menjadi tetap tenang berada di Jogja walau
harus “berhutang”. Toh, saya akan
menerima beasiswa. Pikir saya waktu itu (Catat! Betapa cacatnya ketauhidan saya
saat itu yang menggantungkan ketenangan pada beasiswa, bukan pada Allah
Ta’ala).
Akan tetapi, lebih dari seminggu dari waktu
yang dijanjikan, beasiswa itu tidak turun juga. Akhirnya saya berhutang lagi kepada
teman-teman sambil berharap beasiswa akan segera turun. Saya tidak mau pulang
ke rumah dengan membawa hutang karena bagi saya hal itu sangat membebani. Selain
itu, saya juga khawatir jika saatnya beasiswa itu turun dan saya tidak berada
di Jogja, padahal saya harus mengurus administrasinya di kampus. Beasiswa itu
sangat penting mengingat kondisi ekonomi keluarga saya saat itu tidak terlalu
menguntungkan.
Na’asnya, sampai kabar bahwa kondisi ibu
kritis itu datang, beasiswa belum juga turun. Mau tidak mau saya berhutang lagi
kepada teman saya untuk membeli tiket kereta api. Untung saat itu ada teman
yang bersedia meminjamkan uang sehingga saya bisa pulang saat itu juga.
Beruntung Allah masih memberikan umur panjang
pada saya dan ibu saya sehingga kami masih bisa dipertemukan di rumah, meskipun
pertemuan itu berlangsung singkat karena dua hari setelahnya kami dipisahkan.
Bersambung.
#pojok kamar, wisma Pakdhe
0 comments:
Post a Comment