Wow… sudah tanggal 31 Oktober. Bulan
sudah sampai di penghujungnya. Artinya, ini hari terakhir bagi saya membuat
tulisan baru, haha. Yah, beginilah saya, kalau tidak ditarget satu bulan
minimal satu tulisan, mungkin blog ini seperti pemakaman, sepi. Sudah ditarget
pun kadang kecolongan sampai kebablasan tidak bikin tulisan sama sekali, atau tetap
bikin tapi ditunda-tunda sampai injury time. Padahal sebagai civitas
psikologi, semestinya saya mengerti betul prokrastinasi dan cara menghadapinya.
Tetapi sebagai pembenaran, kalau dokter saja boleh flu, semestinya psikolog
juga boleh prokrastinasi dong, hehe.
Lumayan satu paragraf :p
By the way kembali ke
tema, tentang status dan kebersamaan yang hilang. Ide tulisan ini sebenarnya
berawal dari pertanyaan beberapa teman tentang diri saya yang semenjak menikah
jarang (atau bahkan tidak pernah) update status lagi di Black Berry Messenger
(FYI, saya tidak punya medsos mainstream macam Facebook, Twitter, IG,
dll).
Kalau dipikir-pikir dugaan mereka
ada benarnya. Bahkan meski tidak dipikir-pikir pun dugaan mereka tetap ada
benarnya, karena nyatanya saya memang jarang sekali update status.
Seingat saya malah saya tidak pernah lagi update status di BBM setelah
menikah. Sedangkan di WhatsApp kalau tidak salah pernah update 2 – 3 kali.
Kelangkaan saya dalam updating
status bukan karena malas atau tidak ada hal menarik lagi yang saya alami. Sebaliknya,
kejadian menarik berupa momen lucu, sedih, senang, berkesan atau apapun masih
berseliweran mengisi hari-hari saya. Bedanya, saya tidak tertarik lagi membaginya
ke khalayak umum. Saya lebih suka membagi hal tersebut kepada pasangan saya,
yang dengan itu kami bisa saling menimpali, memberikan feedback, dan
memaknainya bersama-sama. Saya kira dengan begitu saya dapat menyiasati
penyakit utama kaum Adam berupa talk less (irit bicara).
Perlu diketahui, laki-laki
memiliki penyakit bawaan yang sangat tidak disukai kaum wanita, yaitu irit
bicara. Hematnya laki-laki dalam berbicara sering diartikan perempuan sebagai
bentuk ketidakacuhan, cuek, tidak perhatian atau bahkan pengucilan. Sebenarnya
permasalahannya tidak sesederhana itu. Pembicaraan laki-laki yang terkesan “seadanya”
sejatinya karena stok kata yang mereka miliki dalam sehari memang sedikit, hanya
berkisar 6 – 7 ribu kata saja. Berbeda jauh dengan perempuan yang memiliki stok
18 – 20 ribu kata. Sehingga jika stok yang sedikit itu digunakan untuk “foya-foya”
sesuatu yang mubazir, maka jangan heran kalau ada pihak yang akan merasa
dicueki atau tidak diperhatikan.
Kembali ke masalah update status,
saya kira permasalahan keluarga zaman sekarang, berupa renggangnya simpul
kekeluargaan, juga bermula dari sana. Jika masing-masing anggota keluarga punya
smartphone dan sibuk berbagi hal-hal yang mereka alami di media sosial,
maka tidak ada hal yang menarik lagi yang akan dibicarakan di antara anggota
keluarga karena masing-masing telah mendapatkan atensi yang mereka ingin dan
perlukan dari teman-teman dunia mayanya.
Hal ini berbeda sekali dengan era
90an dulu. Meskipun jumlah penduduk tidak sepadat sekarang, tapi ikatan tali persaudaraan
begitu rapat terajut. Di warung, para pelanggan saling bercengkrama. Di kendaraan
umum, para penumpang saling berbicara. Di pasar, pembeli dan penjual saling
bertegur sapa. Sekarang, semua itu dilakukan di media sosial dengan update
status. Ini menjadi ironi, berdasarkan data, penduduk dunia senantiasa
bertambah setiap tahunnya. Tetapi berdasarkan fakta, kehidupan terasa begitu
sepi karena sebagian besar penduduk bumi telah hijrah ke dunia maya.
#Pondok Cabe – Pamulang
0 comments:
Post a Comment