October 31, 2017

Status dan Kebersamaan yang Hilang



Wow… sudah tanggal 31 Oktober. Bulan sudah sampai di penghujungnya. Artinya, ini hari terakhir bagi saya membuat tulisan baru, haha. Yah, beginilah saya, kalau tidak ditarget satu bulan minimal satu tulisan, mungkin blog ini seperti pemakaman, sepi. Sudah ditarget pun kadang kecolongan sampai kebablasan tidak bikin tulisan sama sekali, atau tetap bikin tapi ditunda-tunda sampai injury time. Padahal sebagai civitas psikologi, semestinya saya mengerti betul prokrastinasi dan cara menghadapinya. Tetapi sebagai pembenaran, kalau dokter saja boleh flu, semestinya psikolog juga boleh prokrastinasi dong, hehe.

Lumayan satu paragraf :p

By the way kembali ke tema, tentang status dan kebersamaan yang hilang. Ide tulisan ini sebenarnya berawal dari pertanyaan beberapa teman tentang diri saya yang semenjak menikah jarang (atau bahkan tidak pernah) update status lagi di Black Berry Messenger (FYI, saya tidak punya medsos mainstream macam Facebook, Twitter, IG, dll).

Kalau dipikir-pikir dugaan mereka ada benarnya. Bahkan meski tidak dipikir-pikir pun dugaan mereka tetap ada benarnya, karena nyatanya saya memang jarang sekali update status. Seingat saya malah saya tidak pernah lagi update status di BBM setelah menikah. Sedangkan di WhatsApp kalau tidak salah pernah update 2 – 3 kali.

Kelangkaan saya dalam updating status bukan karena malas atau tidak ada hal menarik lagi yang saya alami. Sebaliknya, kejadian menarik berupa momen lucu, sedih, senang, berkesan atau apapun masih berseliweran mengisi hari-hari saya. Bedanya, saya tidak tertarik lagi membaginya ke khalayak umum. Saya lebih suka membagi hal tersebut kepada pasangan saya, yang dengan itu kami bisa saling menimpali, memberikan feedback, dan memaknainya bersama-sama. Saya kira dengan begitu saya dapat menyiasati penyakit utama kaum Adam berupa talk less (irit bicara).

Perlu diketahui, laki-laki memiliki penyakit bawaan yang sangat tidak disukai kaum wanita, yaitu irit bicara. Hematnya laki-laki dalam berbicara sering diartikan perempuan sebagai bentuk ketidakacuhan, cuek, tidak perhatian atau bahkan pengucilan. Sebenarnya permasalahannya tidak sesederhana itu. Pembicaraan laki-laki yang terkesan “seadanya” sejatinya karena stok kata yang mereka miliki dalam sehari memang sedikit, hanya berkisar 6 – 7 ribu kata saja. Berbeda jauh dengan perempuan yang memiliki stok 18 – 20 ribu kata. Sehingga jika stok yang sedikit itu digunakan untuk “foya-foya” sesuatu yang mubazir, maka jangan heran kalau ada pihak yang akan merasa dicueki atau tidak diperhatikan.

Kembali ke masalah update status, saya kira permasalahan keluarga zaman sekarang, berupa renggangnya simpul kekeluargaan, juga bermula dari sana. Jika masing-masing anggota keluarga punya smartphone dan sibuk berbagi hal-hal yang mereka alami di media sosial, maka tidak ada hal yang menarik lagi yang akan dibicarakan di antara anggota keluarga karena masing-masing telah mendapatkan atensi yang mereka ingin dan perlukan dari teman-teman dunia mayanya.

Hal ini berbeda sekali dengan era 90an dulu. Meskipun jumlah penduduk tidak sepadat sekarang, tapi ikatan tali persaudaraan begitu rapat terajut. Di warung, para pelanggan saling bercengkrama. Di kendaraan umum, para penumpang saling berbicara. Di pasar, pembeli dan penjual saling bertegur sapa. Sekarang, semua itu dilakukan di media sosial dengan update status. Ini menjadi ironi, berdasarkan data, penduduk dunia senantiasa bertambah setiap tahunnya. Tetapi berdasarkan fakta, kehidupan terasa begitu sepi karena sebagian besar penduduk bumi telah hijrah ke dunia maya.

#Pondok Cabe – Pamulang