July 23, 2017

Diaspora Milik Siapa?



Awal bulan ini (01/07/2017) saya menghadiri acara Konvensi Diaspora Indonesia di Jakarta. Ini adalah kongres diaspora Indonesia keempat sejak diadakannya kongres serupa pertama kali di Los Angeles pada 2012 lalu. Kongres yang mempertemukan seluruh diaspora Indonesia dari seluruh dunia ini adalah kongres diaspora terbesar karena (diklaim) dihadiri oleh 9.000 peserta dari dalam dan luar negeri dari 55 negara, 134 kota di dunia, dan 71 kota di Indonesia. Pelaksanaan kongres ini semakin spesial karena dihadiri oleh Barack Obama sebagai keynote speaker.

Saya hadir dalam forum tersebut awalnya hanya karena ingin mengisi waktu, itupun saya masih belum pasti jadi berangkat atau tidak. Tetapi begitu mendengar akan ada Obama, saya langsung menekadkan hati untuk datang. Biar bagaimanapun Obama adalah salah satu tokoh inspiratif dunia karena mampu mengakhiri dominasi kulit putih sebagai presiden di Amerika. Saya penasaran apa yang akan dia sampaikan dan kampanyekan selepas pensiun dari jabatannya itu.

Berita buruknya, sesi bersama Obama dibuat eksklusif karena hanya bisa dihadiri oleh 2.000 peserta yang mendapat tag khusus. Sembilan ribu peserta itu diminta berkompetisi melalui Twitter dan panitia akan memilih peserta yang beruntung. Saya yang tidak punya akun Twitter sempat sewot ke panitia dan mengirimkan mereka email protes, tapi karena tidak kunjung dijawab, akhirnya saya “bajak” akun Twitter adik saya, Fahrul, agar bisa ikut berkompetisi. Puji syukur, saya dapat tag khusus itu.

Kesan pertama begitu saya datang di kongres tersebut adalah, saya merasa seperti bukan sedang berada di Indonesia. Kebanyakan peserta yang hadir disitu, terutama di sesi Obama, berbicara dalam Bahasa Inggris. Seolah-olah mereka lupa kodrat mereka sebagai bangsa Indonesia dan sedang berada di tanah air. Entah mengapa mereka lebih nyaman berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia, apakah karena minder dengan bahasa sendiri atau karena sudah lupa saking lamanya tinggal di luar negeri?

Kesan lain yang lebih menyedihkan sekaligus menyakitkan adalah, sedikit sekali dari pembawa acara yang mengawali suatu sesi dengan menyampaikan salam “assalammu’alaikum…” Kebanyakan mereka hanya mengucapkan selamat pagi atau good morning. Entah mengapa salamnya orang Islam jarang digunakan, apakah karena terkesan norak, sehingga tidak cocok di acara “modern” seperti itu. Atau karena memang mayoritas peserta non muslim?

Bagi saya, fenomena ini sungguh memilukan. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sudah selayaknya umat non muslim memiliki rasa segan dan sungkan kepada umat muslim. Saya masih ingat dulu ketika sekolah, jika ada guru dari kalangan non muslim mau memberi pidato, biasanya dia akan menggunakan salamnya orang Islam sebagai bentuk conformity. Conformity, dalam bahasa sederhananya adalah  keinginan untuk diterima dan diakui oleh kalangan mayoritas. Tapi yang terjadi dalam kongres kemarin, saya tidak melihat adanya conformity tersebut. Seolah-olah (atau mungkin memang kenyataan?) yang menjadi mayoritas di acara tersebut adalah orang-orang non muslim. Atau muslim tetap menjadi mayoritas tapi atas nama toleransi, salam mereka diganti dengan salam yang lebih nasionalis?

Ah, menyedihkan sekali, mengapa di negeri ini pihak mayoritas selalu dipaksa untuk toleran kepada minoritas? Seakan-akan toleran itu hanya pekerjaan mayoritas kepada minoritas tanpa diperbolehkan berharap timbal balik. Atas nama toleransi, muslim selalu dipaksa mengalah kepada non muslim. Atas nama toleransi, muslim selalu diminta menghormati non muslim. Kalau terus-terusan seperti itu, bukankah itu lebih cocok disebut privilege (pengistimewaan) daripada toleransi?

#Mekkah Al-Mukarromah