Awal bulan ini (01/07/2017) saya
menghadiri acara Konvensi Diaspora Indonesia di Jakarta. Ini adalah kongres
diaspora Indonesia keempat sejak diadakannya kongres serupa pertama kali di Los
Angeles pada 2012 lalu. Kongres yang mempertemukan seluruh diaspora Indonesia
dari seluruh dunia ini adalah kongres diaspora terbesar karena (diklaim)
dihadiri oleh 9.000 peserta dari dalam dan luar negeri dari 55 negara, 134 kota
di dunia, dan 71 kota di Indonesia. Pelaksanaan kongres ini semakin spesial karena
dihadiri oleh Barack Obama sebagai keynote speaker.
Saya hadir dalam forum tersebut
awalnya hanya karena ingin mengisi waktu, itupun saya masih belum pasti jadi
berangkat atau tidak. Tetapi begitu mendengar akan ada Obama, saya langsung
menekadkan hati untuk datang. Biar bagaimanapun Obama adalah salah satu tokoh
inspiratif dunia karena mampu mengakhiri dominasi kulit putih sebagai presiden
di Amerika. Saya penasaran apa yang akan dia sampaikan dan kampanyekan selepas pensiun
dari jabatannya itu.
Berita buruknya, sesi bersama
Obama dibuat eksklusif karena hanya bisa dihadiri oleh 2.000 peserta yang
mendapat tag khusus. Sembilan ribu peserta itu diminta berkompetisi melalui
Twitter dan panitia akan memilih peserta yang beruntung. Saya yang tidak punya
akun Twitter sempat sewot ke panitia dan mengirimkan mereka email protes, tapi
karena tidak kunjung dijawab, akhirnya saya “bajak” akun Twitter adik saya,
Fahrul, agar bisa ikut berkompetisi. Puji syukur, saya dapat tag khusus itu.
Kesan pertama begitu saya datang
di kongres tersebut adalah, saya merasa seperti bukan sedang berada di
Indonesia. Kebanyakan peserta yang hadir disitu, terutama di sesi Obama,
berbicara dalam Bahasa Inggris. Seolah-olah mereka lupa kodrat mereka sebagai
bangsa Indonesia dan sedang berada di tanah air. Entah mengapa mereka lebih
nyaman berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia, apakah karena minder dengan
bahasa sendiri atau karena sudah lupa saking lamanya tinggal di luar negeri?
Kesan lain yang lebih menyedihkan
sekaligus menyakitkan adalah, sedikit sekali dari pembawa acara yang mengawali
suatu sesi dengan menyampaikan salam “assalammu’alaikum…” Kebanyakan mereka hanya
mengucapkan selamat pagi atau good morning. Entah mengapa salamnya orang
Islam jarang digunakan, apakah karena terkesan norak, sehingga tidak cocok di
acara “modern” seperti itu. Atau karena memang mayoritas peserta non muslim?
Bagi saya, fenomena ini sungguh
memilukan. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sudah
selayaknya umat non muslim memiliki rasa segan dan sungkan kepada umat muslim. Saya
masih ingat dulu ketika sekolah, jika ada guru dari kalangan non muslim mau
memberi pidato, biasanya dia akan menggunakan salamnya orang Islam sebagai
bentuk conformity. Conformity, dalam bahasa sederhananya adalah keinginan untuk diterima dan diakui oleh
kalangan mayoritas. Tapi yang terjadi dalam kongres kemarin, saya tidak melihat
adanya conformity tersebut. Seolah-olah (atau mungkin memang kenyataan?)
yang menjadi mayoritas di acara tersebut adalah orang-orang non muslim. Atau muslim
tetap menjadi mayoritas tapi atas nama toleransi, salam mereka diganti dengan
salam yang lebih nasionalis?
Ah, menyedihkan sekali, mengapa
di negeri ini pihak mayoritas selalu dipaksa untuk toleran kepada minoritas? Seakan-akan
toleran itu hanya pekerjaan mayoritas kepada minoritas tanpa diperbolehkan
berharap timbal balik. Atas nama toleransi, muslim selalu dipaksa mengalah
kepada non muslim. Atas nama toleransi, muslim selalu diminta menghormati non
muslim. Kalau terus-terusan seperti itu, bukankah itu lebih cocok disebut privilege
(pengistimewaan) daripada toleransi?
#Mekkah Al-Mukarromah