February 16, 2017

Karena Begitulah Iman


Karena begitulah iman. Kadang kau tak mengerti manifestasinya. Ketika kau baca firman-Nya, tiba-tiba kau terdiam. Tak kuasa kau melanjutkan bersebab air yang menggenang di pelupuk mata. Mungkin itu terjadi karena kau maknai isinya. Tapi lebih sering lagi kau tak paham kandungannya. Air mata itu jatuh begitu saja. Mengalir membasahi pipi.

Karena begitulah iman. Di lain waktu, kau bahkan tidak membaca. Hanya mendengar lantunan murottal dari para masyaikh Timur Tengah. Tidak jarang pula para penghafal dalam negeri yang kau simak. Dan kau juga menangis. Dadamu bergemuruh. Pundakmu berguncang. Andai Al-Qur’an itu berwujud makhluk, sudah erat pelukmu padanya sebagai ekspresi cinta.

Karena begitulah iman. Luapan manisnya kadang tak masuk pikiran. Bahkan senandung adzan bisa membuatmu sesenggukan. Melalui bait-baitnya kau sadar betapa Agungnya Rabb-mu. Betapa indahnya agamamu. Seruan itu tidak hanya membuatmu selalu sadar akan waktu, tapi juga menjagamu dari ketertenggalaman rutinitas duniawi. Mengistirahatkanmu dengan aktivitas ukhrawi. Sehingga tak kau lewati hari kecuali dengan kebaikan.
sumber : www.flickr.com
Karena begitulah iman. Perwujudannya suka datang tak terduga. Saat kau bersedekap, menghadapkan wajahmu pada-Nya, tiba-tiba saja kau menangis. Kau rasakan betapa manisnya ibadah ini. Belum lagi ketika kau pertemukan keningmu dengan bumi seraya berbisik kepada-Nya. Subhana robbiyal a’la wabihamdih. Kau tergugu. Menangis tersedu. Kau akui betapa rendah dan hinanya dirimu di hadapan-Nya.

Karena begitulah iman. Ada saat dimana kau tak suka dengan hiruk pikuk. Suatu masa dimana kau hindari keramaian. Kau lebih memilih menyendiri, berkhalwat dengan Rabb-mu. Menghabiskan beberapa waktu bersama-Nya. Entah dengan tafakur, munajat, tilawah, dzikir, atau sekedar ingin berduaan dengan-Nya. Dan itu membuatmu tenang.

Karena begitulah iman. Dengan rasanya yang manis itu, kau menjadi pecandu. Begitu takut dirimu akan kehilangannya. Begitu khawatir dirimu ditinggalkannya. Maka lekas-lekas kau pinta, supaya ianya tetap terhimpun dalam dada. Ratapmu dalam doa, Rabbana laa tuzig qulubana… Dan kau ulang larik doa itu berkala.

Karena begitulah iman. Takkan bisa dipahami oleh mereka yang kufur. Mustahil dimengerti oleh mereka yang ingkar. Karena ianya memang tidak untuk dilogika. Ini perkara rasa. Ikatan batin yang terajut antara dirimu dengan Rabb semesta.

Walau tak terjangkau oleh indera, tapi begitu dahsyat mengguncang hati. Karena begitulah iman.

#Asrama Mahasiswa KSU

February 13, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #9 : Kepulangan)


Ekspedisi Sinai merupakan hari-hari terakhir saya di Mesir. Setelah dari Sinai, saya tidak sempat kemana-mana lagi karena waktu yang sudah sangat mepet dengan kepulangan ke Riyadh. Sebetulnya selesai snorkeling di Dahab pada hari kedelapan, kami masih ada satu tujuan lagi, yaitu ke Sharm Al-Shaikh. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan, akhirnya kami langsung pulang ke Kairo. Lagipula Sharm Al-Shaikh memiliki objek wisata yang sama dengan Dahab, yaitu pantai. Jadi tidak terlalu membuat kami penasaran.

Kami tiba di Asrama Mahasiswa Selangor, kawasan Hay Asyir, pukul 21.00. Ketika tiba di sana sebenarnya Zaki mau menjemput saya, tapi berhubung saat itu ada dua teman Malaysia yang tujuan pulangnya searah dengan saya, serta karena tidak mau merepotkan Zaki, akhirnya saya ikut dua kawan Malaysia itu. Sebelum pulang, kami sempatkan mampir di warung Thailand untuk makan malam. Waktu itu saya pesan nasi goreng. Sudah lama sekali saya tidak makan menu ini.

Satu hal dari Kairo yang sangat membuat saya iri adalah, di sana ada banyak sekali restoran Asia Tenggara. Bahkan banyak juga restoran Indonesia. Sehingga jika suatu waktu kita rindu dengan cita rasa Indonesia, kita dapat dengan mudah mengobati rindu itu. Apalagi harga menunya juga murah, setidaknya jika dibandingkan dengan harga di Riyadh. Sudah banyak, murah pula! Aaakkk….!!!

Lepas makan, kami langsung pesan Uber. Sengaja kami pesan taksi Uber karena kami tidak mau repot turun naik bis. Apalagi saya juga tidak terlalu hafal jalur bis, sedangkan dua kawan Malaysia saya berhenti di tempat yang berbeda. Daripada nanti kesasar, padahal besok mau pulang ke Riyadh, lebih baik cari yang praktis saja.

Malam itu jalanan masih sangat ramai, padahal sudah cukup larut. Kami terjebak macet di beberapa titik. Saya baru tiba di kontrakan Zaki pukul 24.00.  Setelah berbasa-basi sedikit dengan Zaki dan temannya, saya langsung tidur.

Pesawat saya take-off pukul 11.00 siang. Pagi hari itu, setelah packing dan pamitan ke teman-temannya Zaki, saya langsung berangkat menuju bandara, diantar oleh Zaki. Zaki katanya mau mengkonfirmasi ke pihak imigrasi dan maskapai tentang paspornya yang tercuci. Paspornya tidak sengaja tercuci beberapa hari yang lalu, padahal beberapa hari lagi dia akan mudik ke Indonesia. Dia khawatir tidak bisa lolos bagian imigrasi karena fotonya di paspor rusak (tidak jelas). Duh, kasihan sekali mendengarnya.

Saat itu kami berangkat dari kontrakan menuju bandara pukul 09.00. Saya kira dengan menyisihkan waktu dua jam sebelum take-off sudah cukup pas, tapi ternyata saya hampir saja telat. Kami (lagi-lagi) terjebak macet di beberapa titik. Untung supirnya bisa mencari jalan-jalan alternatif sehingga saya dapat tiba tepat waktu.

Saya sebenarnya ingin singgah sebentar di depan terminal 3 untuk melihat dan mengambil gambar hanging stones, yaitu dua buah batu yang jika dilihat dari gambar sangat ajaib. Dua batu itu diikat dengan tali dengan posisi satu batu berada di atas, dan batu lain berada di bawah, sehingga seolah-olah batu-batu itu melayang. Tapi karena waktu yang sangat mepet, saya hanya bisa melihatnya dari dalam taksi.

Hanging stones in Cairo Int'l Airport (sumber : Google)
Ketika baru mau menyetorkan bagasi, panggilan boarding dari announcer bandara untuk para penumpang tujuan Riyadh telah dikumandangkan. Sebenarnya saat itu saya cukup khawatir ketinggalan, tapi karena ternyata ada banyak penumpang di belakang saya yang punya tujuan sama, saya menjadi lebih tenang. Setelah semua urusan check-in dan imigrasi beres, saya langsung masuk ke pesawat. Saat itu sudah pukul 10.50. Artinya, 10 menit lagi pesawat mestinya take-off. Tapi karena ada banyak penumpang yang telat, pesawat akhirnya baru bisa take-off jam 11.15.

Alhamdulillah kami semua tiba dengan selamat di King Khalid International Airport, Riyadh. Dari bandara, saat itu saya memesan taksi Careem, yaitu sebuah aplikasi taksi mirip Uber buatan Qatar. Kami, para mahasiswa sering menggunakan taksi ini karena mereka bisa masuk menjemput dan mengantar kami sampai ke dalam asrama. Saya tiba di asrama kampus kurang lebih pukul empat sore. Alhamdulillah semua urusan saya dengan Mesir, mulai dari pra hingga pasca rihlah, diberi kelancaran, tidak ada masalah yang berarti.

#Asrama Mahasiswa KSU




February 11, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #8 : Lubang Biru di Laut Merah)


Telah saya ceritakan bahwa pada hari ketujuh saya melakukan pendakian ke puncak Sinai. Ekspedisi hari itu sebenarnya belum berakhir meski kami telah sampai di bawah. Setelah turun, kami langsung berangkat lagi ke arah timur menuju Dahab yang jaraknya sekitar 136 km dari Saint Catherine. Dahab adalah wilayah pesisir Teluk Aqabah yang berada di Laut Merah. Jika kita menyebrangi teluk ini, maka kita akan sampai di Arab Saudi.

Perjalanan menuju Dahab dari Saint Catherine cukup lama. Sejak berangkat pukul sebelas siang, kami baru tiba di hotel Dahab sekitar dua jam setelahnya. Setelah check in dan mengurus pembagian kamar, sore hari itu sebenarnya ada agenda wisata naik motor ATV di sekitaran pantai. Akan tetapi karena saya tidak terlalu minat, juga karena cukup lelah, maka saya putuskan untuk menghabiskan sore dengan beristirahat di kamar.

Ketika waktu beranjak malam, teman-teman sekamar mengajak saya berkeliling di sekitaran pantai. Karena sudah cukup puas istirahat, maka saya sambut ajakan dua kawan Malaysia itu. Lagi pula cuaca saat itu cukup bersahabat, sangat enak untuk dipakai jalan-jalan. Di sekitar pantai ada banyak sekali toko dan restoran. Kebanyakan toko tersebut menjual souvenir, pakaian dan perlengkapan renang. Saya sendiri membeli peta. Lah? Entah mengapa jika berkunjung ke suatu kota, saya selalu tertarik dengan petanya.

Setelah puas berkeliling, kami kembali ke hotel. Di hotel ternyata teman-teman panitia sudah menyiapkan barbeque. Masya Allah, nikmat mana lagi yang kamu dustakan? Saat itu, satu nampan besar barbeque dan nasi dijatah untuk enam orang. Meski kami makan di satu nampan secara bersamaan, tapi kami tetap senang. Bahkan justru disitulah nikmatnya karena kami bisa merasakan kebersamaan. Satu hal yang sangat saya kagumi dari teman-teman Malaysia adalah, mereka selalu berdoa bersama sebelum makan. Selama tiga hari dua malam safar bersama mereka, tidak pernah sekalipun saya lihat ada orang yang makan tanpa doa bersama. Selalu saja ada satu orang yang memimpin doa sebelum makan. Kebiasaan seperti ini sangat jarang saya temui di Indonesia.

Selesai makan, panitia memberi kebebasan kepada peserta untuk beraktivitas. Karena saya dan teman-teman sekamar sudah keliling pantai, maka kami langsung kembali ke kamar untuk istirahat. Besok pagi kami akan snorkeling di Blue Hole Red Sea.

Wisata snorkeling ini sebenarnya bersifat pilihan, peserta boleh mengikuti atau tidak mengikutinya. Sama seperti wisata naik ATV kemarin sore. Kalau mau ikut snorkeling, peserta dikenakan biaya tambahan 60 EGP. Saya sendiri sebenarnya agak enggan mengikuti kegiatan ini karena saya memiliki masalah yang sangat serius dengan dunia perairan: saya tidak bisa berenang! Perlu diketahui, renang adalah salah satu dari dua olahraga yang tidak saya sukai. Olahraga lainnya adalah basket. Tapi dua kawan Malaysia saya membujuk dan mempersuasi saya dengan mengatakan bahwa snorkeling tidak membutuhkan keahlian renang. Karena bujuk rayu mereka, serta kenyataan bahwa saya belum pernah merasakan snorkeling sebelumnya, maka akhirnya rontok juga pertahanan saya untuk tidak ikut.
Sejak pagi sekali kami sudah berangkat menuju Blue Hole. Jarak dari hotel ke Blue Hole ternyata lumayan jauh. Memakan waktu sekitar 20 menit naik mobil. Sepanjang perjalanan itu kami menyusuri tepi Laut Merah yang tenang tanpa ombak. Penyusuran itu membuat saya teringat dengan kisah Nabi Musa saat beliau membelah lautan dengan tongkatnya. Tapi entah di bagian Laut Merah yang mana beliau memukulkan tongkatnya.

Tepi Laut Merah (sumber : dokumentasi pribadi)
Sampai di lokasi, kami disambut oleh seorang instruktur. Beliau menjelaskan kepada kami tentang wilayah Blue Hole yang akan kami jadikan tempat snorkeling. Jadi Blue Hole itu adalah satu titik di tepi pantai yang memiliki kedalaman berbeda dengan sekelilingnya. Mirip seperti palung tapi tidak sedalam palung. Di titik itu, warna air laut menjadi biru pekat. Berbeda dengan warna di sekelilingnya. Di titik itu pula banyak terumbu karang dan aneka ikan laut yang indah.

Blue Hole tampak dari atas (sumber : Google)
Saat itu beruntung tidak ada wisatawan lain selain kami yang snorkeling. Jadi kami lebih leluasa menjelajah wilayah Blue Hole. Yah, wajar sih, karena saat itu masih sangat pagi dan bertepatan dengan musim dingin. Mungkin bagi sebagian orang snorkeling di pagi hari musim dingin terdengar konyol. Jangankan snorkeling, wisata ke pantai di musim dingin saja rasanya sudah tidak lazim. Tapi mau bagaimana lagi, memang itulah waktu yang kami punya. Kami tidak bisa menunggu sampai siang karena karena siang nanti kami harus pulang.

Karakteristik Blue Hole (sumber : Google)
Setelah salin pakaian dan sedikit pemanasan, kami langsung masuk ke wilayah Blue Hole. Meski suhu tidak terlalu dingin, tapi air laut saat itu cukup dingin. Walau begitu, saya kira rasa dingin itu terbayar lunas dengan apa yang kami lihat di dalam Blue Hole. Pesona terumbu karang dan ikan laut yang sangat indah! Belum pernah saya melihat pemandangan yang seperti ini sebelumnya. Ya iyalah, orang gue belum pernah snorkeling!

Bagi mereka yang pandai berenang, kegiatan snorkeling itu menjadi sangat mengasyikan. Saya melihat banyak diantara kawan-kawan Malaysia yang berenang ke daerah yang lebih dalam untuk melihat keindahan biota laut. Saya juga sebenarnya sempat dibersamai oleh seorang kawan untuk melihat biota laut di tempat yang paling dalam, tapi hanya sebentar. Walau cuma sebentar, tapi cukup puas karena bisa menyaksikan rupa-rupa biota laut yang belum pernah saya lihat dengan mata kepala saya langsung.

Selain mendapatkan kepuasan melihat biota laut, melalui kegiatan snorkeling ini pula saya mendapati kenyataan yang sangat pahit. Bahkan lebih pahit dari jamu cap kupu-kupu yang sering ibu saya berikan kalau saya meriang ketika masih kecil. Di Blue Hole itu saya mengetahui bahwa saya mengidap penyakit tidak bisa berenang level kronis. Bagaimana tidak, walau saat itu saya sudah memakai perlengkapan snorkeling lengkap, yaitu jaket pelampung dan alat bernafas, tapi saya hampir tenggelam.

Jadi saat itu ketika saya sedang asyik berenang, ternyata secara tidak sadar saya sudah sampai di bagian yang paling dalam. Sehingga ketika kaki saya mau menapak ke bawah untuk beristirahat, ternyata sudah tidak ada batu karang lagi yang bisa dijadikan pijakan. Alhasil saya panik dan banyak air laut yang tertelan. Hampir saja saya tidak bisa bernafas dan tenggelam. Untung saya masih bisa berenang sedikit ke tempat yang ada pijakannya.

Setelah kejadian itu, buru-buru saya menepi untuk menyudahi kegiatan snorkeling. Sungguh saya tidak mau bernasib sama seperti Fir’aun yang ditenggelamkan di Laut Merah.

#Asrama Mahasiswa KSU

February 9, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #7 : Hiking to Sinai)


Banyak yang bilang belum sah ke Mesir jika belum mengunjungi piramida. Yah, sah-sah saja orang berpendapat seperti itu, apalagi dunia juga memang mengenal Mesir karena piramidanya. Tapi kalau ditanya selera pribadi, menurut saya bukan piramida yang harusnya jadi patokan, tapi Sinai. Rugi rasanya kalau ke Mesir tanpa mengunjungi Sinai.

Sebagai traveler yang lebih menyukai rupa alam (nature) daripada rupa bangunan, Sinai begitu memanjakan saya dengan panorama yang memukau. Deretan gunung batu kecoklatan yang beratapkan langit biru yang bersih benderang tanpa awan membuat lisan saya tak hentinya mengucap Masya Allah sebagai bentuk pengagungan kepada-Nya. Belum lagi pesona sunrise yang saya temui di puncaknya, semakin membuat hati ini bergetar. Selain itu (dan ini yang paling penting), sebagai muslim, Sinai juga memiliki kredit tersendiri bagi saya karena menyimpan sejuta kisah yang ada dalam Al-Qur’an. Dan kisah yang paling melegenda tentu saja kisah Musa ketika bertemu Allah dan berdialog dengan-Nya untuk kemudian menerima risalah kenabian. Jadi, kunjungan ke Sinai tak ubahnya napak tilas kehidupan para anbiya yang hidup ribuan tahun sebelumnya.

Meski menyimpan banyak keindahan, tapi Sinai bukanlah tujuan favorit para pelancong asing. Hal itu tidak saya pungkiri mengingat jarak Sinai dari ibukota Mesir, Kairo, cukup jauh. Lebih dari 400 km. Ditambah lagi Sinai merupakan area terbatas (restricted area) sehingga tidak sembarangan orang bisa keluar masuk. Untuk menuju ke sana, ada banyak sekali check point yang harus dilewati dan di setiap check point itu ada penjagaan ketat dari tentara Mesir. Bahkan kami pun harus menyetorkan identitas kami sebelum berangkat.

Mengalami ketatnya penjagaan itu, saya jadi teringat dengan ketatnya check point yang harus dilalui untuk menuju Mekkah dan Madinah. Kira-kira sama ketatnya atau mungkin lebih ketat. Kalau Mekkah dan Madinah memiliki penjagaan yang ketat karena merupakan tanah haram yang tidak boleh dimasuki oleh non muslim, maka Sinai ketat karena menjadi wilayah “sensitif” yang diperebutkan. Dulu wilayah itu pernah diperebutkan oleh Mesir, Israel, dan Perancis.

Hal lain yang membuat Sinai kurang difavoritkan adalah karena tidak adanya transportasi umum menuju kesana. Beda dengan kota-kota lain yang dapat ditempuh dengan transportasi umum seperti bis, kereta atau pesawat. Untuk menuju Sinai, kita harus ikut bersama rombongan. So, it’s almost impossible for solo traveller to reach it. Maksud saya, kalau kamu memang benar-benar ingin backpacker-an sendiri ke sana agaknya sulit, tapi kalau kamu ikut cara saya yang menumpang bersama rombongan lain, Insya Allah masih bisa. Asal rombongannya mau aja nerima kamu, hehe.

Kami benar-benar mulai melakukan pendakian ke puncak Sinai jam 02.00 dini hari. Yah, sebenarnya kami sudah mulai berkumpul di lobby hotel sejak jam 00.30, tapi karena ada banyak yang harus dipersiapkan, maka pendakian baru bisa dimulai satu jam setengahnya. Apalagi saat itu adalah puncak musim dingin, kami juga tidak mau gegabah agar tidak kena hipotermia.

Suhu di basecamp saat itu turun sampai nol derajat. Entah suhu di puncak minus berapa. Yang pasti saya harus melapisi pakaian saya sampai lima agar tidak kedinginan, mulai dari thermal coat, kaos, sweater sampai jaket sebagai lapisan terluar. Saya juga melilitkan kain sarung saya di leher agar terasa hangat. Dan syal saya lilitkan di telinga dan wajah agar tidak mati rasa. Tidak lupa dua lapis sarung tangan dan satu lapis sarung kaki wol tebal rasa keju (ngomongin lapis, jadi inget kue, haha).

Dengan pakaian tempur yang seperti itu, alhamdulillah saya tidak merasakan kedinginan yang berarti, kecuali bagian telapak tangan dan kaki. Kedua bagian itu saya rasakan mati rasa di tengah pendakian. Bahkan untuk mengikat tali sepatu saja susahnya minta ampun karena jemari sulit digerakkan akibat kedinginan.

Pintu masuk jalur pendakian dijaga ketat oleh tentara. Sebelum mendaki, lagi-lagi kami diperiksa oleh mereka. Pemeriksaan ini cukup ketat, macam pemeriksaan di bandara saja. Tas dan seluruh badan kami semuanya diperiksa. Setelah semuanya aman, barulah kami diperbolehkan naik menuju puncak. Pendakian menuju puncak Sinai tidak boleh dilakukan sendiri, harus ada warga lokal yang mendampingi sebagai guide. Entah biaya sewa guide-nya berapa.

Gunung Sinai memiliki ketinggian 2285 m. Jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di Jawa, gunung ini masih kalah tinggi. Track pendakian Sinai relatif mudah karena jalannya lumayan lebar, tapi semakin ke atas, jalan itu semakin sempit. Kalau bagian bawah bisa dilalui banyak orang, bagian atas hanya bisa dilalui orang per orang.

Ada sepuluh pos yang harus kami lalui untuk sampai ke puncak. Tiap-tiap posnya ada warung yang berjualan makanan dan minuman. Bahkan Pop Mie juga ada di sini, haha. Luar biasa betul ekspansi Indomie. Satu hal yang menarik adalah, di sepanjang jalur pendakian, mulai dari pintu masuk hingga pos delapan kalau tidak salah, ada penyewaan unta. Unta itu disewakan bagi para turis yang tidak kuat mendaki atau tidak mau capek-capek mendaki. Saya tidak tanya harga sewanya berapa karena sama sekali tidak tertarik untuk menyewa (dimana petualangannya, hah?), tapi kata teman saya harganya sekitar 150 EGP. Saya membatin, “Luar biasa sekali unta ini. Hewan yang sangat tangguh.”

Unta yang siap mengantarkan wisatawan hingga ke puncak (sumber : dokumentasi pribadi)
Kami tiba di puncak Sinai pukul 05.00 subuh. Artinya, hanya butuh tiga jam untuk mendaki dari bawah sampai puncak. Di puncak Sinai ada masjid dan gereja yang masih dapat dipakai. Oya, Sinai memang menjadi salah satu tujuan wisasta umat dari agama-agama samawi (Islam, Nasrani, dan Yahudi) karena kisah Musa yang ada di kitab suci mereka. Awalnya saya ingin masuk ke masjid karena saya benar-benar kedinginan di luar, tapi rupanya masjid sudah penuh oleh pendaki lain. Jadi tidak ada tempat untuk kami istirahat. Untungnya selang beberapa waktu, fajar terbit (ciyee fajar), sehingga kami dapat merasakan kehangatannya (ehem).

Pesona sunrise di puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)

Sunrise di puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)

Setelah sholat Subuh, saya mulai menikmati indahnya panorama sunrise di puncak Sinai. Ada banyak sekali wisatawan yang ingin mengabadikan momen tersebut, sehingga sulit bagi saya untuk dapat spot terbaik. Yah, walau tidak dapat tempat yang bagus untuk merekam dengan kamera, tapi mata ini masih bisa merekam peristiwa indah itu. Puas menikmati sunrise, kami lalu turun dari puncak.

Panorama gunung batu dari puncak SInai (sumber : dokumentasi pribadi)



Kalau malam saya hanya bisa memandang ke arah cahaya senter yang saya bawa, maka ketika turun itu saya bisa bebas mengedarkan pandangan kemanapun karena cahaya matahari sangat terik. Meski terik, tapi tetap dingin. Dan ketika perjalanan turun itulah saya semakin mengagumi keindahan Sinai. Sebuah pemandangan yang tidak akan bisa saya temui di Indonesia. Walau Indonesia juga tidak kalah indahnya, tapi Sinai memiliki tipe keindahannya sendiri. Saya jadi merasa sangat beruntung bisa kesini. Alhamdulillah.


Pemandangan dari puncak Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)
Gunung-gunung batu di sekitar Sinai (sumber : dokumentasi pribadi)
Perjalanan turun dari puncak hanya memakan waktu kurang dari dua jam. Kalau saya tidak banyak berhenti untuk mengambil gambar, mungkin waktu yang diperlukan lebih singkat lagi. Di perjalanan turun saya melihat ada batu bertuliskan Elijah’s Basin. Saya tidak tau apa maksudnya. Teman saya bilang itu adalah bekas perkampungan Nabi Ilyas. Tapi ketika saya coba browsing di Google, itu adalah kapelnya Nabi Ilyas. Wallahua’lam.

Elijah's Basin di Sinai (sumber : Google)


Begitu semua anggota kelompok terkumpul di bawah (karena sebelumnya kami semua terpisah), kami langsung kembali ke hotel. Tidak ada waktu sedikit pun untuk istirahat di hotel, bahkan untuk sekedar mandi, karena kami harus langsung check out dan berangkat lagi menuju Dahab.

#Asrama Mahasiswa KSU

February 8, 2017

Solo Travelling to Egypt (Day #6 : History of Prophets)


Kalau hari keempat sangat berkesan karena kekonyolannya, maka hari keenam sampai kedelapan bagi saya berkesan karena kualitas content-nya. Bisa dibilang ekspedisi saya ke Sinai merupakan petualangan yang paling berkelas selama saya di Mesir. Selama tiga hari dua malam itu saya disuguhkan pengalaman yang menakjubkan. Sebuah pengalaman yang bisa dibilang komplit karena memuaskan saya dari segi badaniyah maupun ruhiyah. 

Pada hari keenam sampai kedelapan itu saya ikut rombongan teman-teman Malaysia ke Sinai dan Dahab. Sebenarnya keikutsertaan saya itu semata untung-untungan karena saya mendaftar di detik-detik terakhir keberangkatan. Bahkan sebenarnya Sinai tidak masuk dalam list itinerary saya. Yah, walaupun saya tau Sinai sangat recommended untuk dikunjungi, tapi saya juga paham bahwa untuk kesana tidak mudah. Makanya ketika menyusun itinerary, saya prioritaskan Alexandria yang cenderung lebih gampang diakses.

Akan tetapi rencana berubah malam sebelum keberangkatan ke Alexandria. Saat itu Zaki memberi tahu saya bahwa ada rombongan kawan-kawan Selangor yang berangkat ke Sinai. Demi mendengar kabar tersebut, telinga saya langsung berdiri walau anggota tubuh lain sudah tidak bisa diajak kompromi akibat sakit dan lelah berkuda (masih aja diomongin itu kuda). Zaki akhirnya langsung mengontak panitianya dan menanyakan apakah saya bisa ikut atau tidak. Segala puji bagi Allah, ada seat yang masih available dan saya boleh ikut. Sinai I’m coming!!!

Biaya perjalanan ke Sinai 420 EGP per orang (setara Rp 294 ribu, kurs 1 EGP = Rp 700). Menurut saya biaya segitu termasuk murah karena sudah include transportasi, makan, hotel, snack, serta retribusi tempat wisata. Apalagi dalam perjalanan itu juga ada guide dari panitia yang menjelaskan tempat-tempat yang kami kunjungi. Yah, meski dengan bahasa Melayu, tapi masih lebih baik lah daripada bahasa ‘amiyah Mesir :p

Kami dijadwalkan berangkat ke Sinai dari asrama mahasiswa Selangor di Hay Asyir pukul tiga dini hari. Kalau dilihat waktunya, jam segitu masih pagi buta.  Kalau tidak dilihat pun masih tetap pagi buta. Ya namanya juga jam tiga dini hari. Mereka beralasan dengan berangkat sepagi itu kita akan dapat mengunjungi lebih banyak situs. Baiklah Malaysia, kini Indonesia menurut saja apa katamu.

Mengingat jarak kontrakan kami di Bab Al-Futuh cukup jauh dari Hay Asyir, serta menimbang keamanan dan keselamatan, maka kami menginap di sekretariat Keluarga Mahasiswa alumni Madrasah Aliyahnya Zaki di Hay Asyir. Oya, Zaki sendiri tidak ikut ke Sinai karena dia mau pulang ke Indonesia minggu depan. Jadi ada beberapa hal yang harus dipersiapkan. Alhasil, saya berangkat ke Sinai sendirian.

Mengingat tingkat kriminalitas di Hay Asyir saat itu sedang tinggi, maka Zaki dan temannya di sekre dengan baik hati mendampingi saya ke asrama Selangor dini hari itu. Saya melihat mereka saat itu membekali diri dengan “senjata” yang lumayan ekstrem. Mendapati hal demikian, saya jadi paham bahwa kriminalitas di sini tidak bisa dianggap remeh. Teman saya yang biasanya ramah, waktu itu membawa pisau dan temannya yang lain membawa tongkat besi (seperti linggis). Adapun saya hanya membawa pensil 2B, selayaknya orang akan menghadapi ujian.

Daerah Hay Asyir memang cenderung gelap. Kegelapan itu sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk berbuat kriminal. Yang bikin serem, pelaku kriminal itu tidak segan-segan melukai korbannya. Yang dilukai tentu saja bukan hati, melainkan fisik. Kamu harus catat itu. Bahkan Zaki bilang jam 22.00 tadi ada mahasiswa Indonesia yang dirampok di tengah jalan. Untung perampoknya bisa ditangkap dan mahasiswanya selamat.

Alhamdulillah perjalanan kami ke asrama Selangor juga diberi keselamatan. Ketika kami tiba, para peserta rihlah sudah mulai memasuki bis. Setelah lapor ke panitia dan membayar administrasinya dengan uang yang bukan Ringgit, juga bukan Rupiah, saya pun masuk ke dalam bis dan dua teman saya kembali ke sekretariat. Tinggallah saya diantara kawanan Malaysia. Indonesia dirubung Malaysia saudara-saudara. Tidakkah kalian takut kalau saya nanti diklaim sebagai warga negara mereka?

Saat itu saya duduk sendiri di kursi. Ya iyalah, masa pangku-pangkuan. Maksud saya, meski ada dua kursi, tapi cuma saya yang menempati. Duduk sendirian ini ada positif dan negatifnya. Positifnya space untuk kita jadi lebih luas. Negatifnya space untuk orang lain jadi lebih sempit, wkwk. Saya mengira mungkin mereka segan duduk di sebelah saya karena mungkin saat itu cuma saya yang mereka tidak kenal. Makhluk antah berantah dari Riyadh yang menyelinap dalam ikatan keluarga mahasiswa Selangor. Hidup Selangor!!!

Hari pertama ekspedisi Sinai dihabiskan untuk mengunjungi Terusan Suez, camp pertahanan Israel, mata air Nabi Musa, Maqom Nabi Sholih dan Nabi Harun, Golden Calf dan Wadi Arba’in. Berikut penjabarannya.

         Terusan Suez
Terusan Suez sebenarnya salah satu destinasi yang ada dalam itinerary saya. Saya ingin sekali datang ke tempat ini karena nama terusan ini sering sekali muncul di buku pelajaran sekolah. Saya bahkan masih ingat nama arsiteknya, yaitu Ferdinand de Lesseps, karena dulu dia pernah keluar di ujian SD. Di Google Maps saya lihat jarak Terusan Suez dari Kairo tidak terlalu jauh. Bisa ditempuh dalam dua jam dengan mengendarai mobil. Tapi saat itu rasanya lebih dari tiga jam kami baru sampai di sana. Ternyata jauh juga.

Well, sebenarnya kami tidak secara saklek singgah di sana. Kami hanya melewati terowongannya saja (biasa disebut terowongan Ahmad Hamdi). Terowongan ini dibangun tepat di bawah Terusan Suez dan merupakan penghubung antara Benua Afrika (Mesir) dan Asia (Semenanjung Sinai). Jadi ketika melintasi terowongan itu, kita sama saja sedang berada di bawah Suez dan sedang menyeberang ke Benua Asia. (Catatan : Semenanjung Sinai dulunya masuk dalam wilayah Israel, sebelum akhirnya direbut oleh Mesir). Ketika saya tanya salah seorang panitia, mengapa kita tidak mampir ke Terusan Suez, dia bilang tempat itu tertutup untuk umum karena merupakan pelabuhan yang sangat penting. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Betul betul betul.

Terusan Suez (sumber : Google)
         Camp Pertahanan Israel
Kami tiba di camp ini pukul tujuh pagi. Jam segitu sebenarnya sangat nikmat untuk ngopi, apalagi udara saat itu juga sangat dingin, tapi mengapa saat itu saya tidak ngopi ya? Oh iya, kan saya lagi plesir. By the way camp ini dulunya dipakai tentara Israel untuk mempertahankan Semenanjung Sinai dari serbuan musuh. Katanya sih aman, tapi saya yakin tempat itu tidak aman dari serbuan nyamuk.

Entah di tahun berapa (silahkan buka Google) Mesir berhasil merebut camp tersebut. Sekarang camp ini jadi destinasi wisata. Meski jadi tempat rekreasi, tempat ini bukanlah tempat yang lazim karena banyak tentara yang berjaga. Pemandu kami di camp tersebut juga seorang tentara. Sebenarnya ada banyak hal yang diterangkan beliau, tapi karena bahasa yang dipakai adalah ‘amiyah, mungkin hanya 10% saja yang saya pahami. Beruntung ada guide dari Selangor yang membantu kami menerjemahkannya. Hidup Selangor!

Camp pertahanan Israel (sumber : dokumentasi pribadi)
       Mata Air Nabi Musa
Selesai menelusuri camp Israel, bis kami bergerak menuju ‘Uyun Musa (Mata Air Nabi Musa). Asal kamu tau, bis itu tidak bergerak sendiri, melainkan ada supir yang mengendarai, yaitu orang Mesir asli. Tidak perlu saya beri tau namanya siapa, karena saya juga tidak tau. Jarak dari camp Israel menuju ‘Uyun Musa tidak terlalu jauh. Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit kami sudah sampai di sana. Lokasi Uyun Musa berbatasan langsung dengan Terusan Suez.

Ingatkah kamu tentang kisah ‘Uyun Musa? Bagus kalau ingat. Ini saya tuliskan ayatnya di bawah.

وإذ استسقى موسى لقومه فقلنا اضرب بعصاك الحجر فانفجرت منه اثنتا عشرة عينا قد علم كل أناس مشربهم كلوا واشربوا من رزق الله ولا تعثوا في الأرض مفسدين

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing) Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (Q.S Al-Baqarah : 60)

Ya, jadi situs ini diyakini sebagai tempat dimana Nabi Musa memukulkan tongkatnya untuk memberi minum kaumnya. Ada dua belas titik mata air, tapi saat itu yang dapat kami temui hanya beberapa saja. Sebenarnya ada dua pendapat yang berlainan tentang lokasi ‘Uyun Musa. Pendapat pertama mengatakan lokasinya di sini. Sedangkan pendapat kedua bilang ‘Uyun Musa ada di Wadi Arba'in. Entah yang mana yang benar.

'Uyun Musa (mata air Nabi Musa) (sumber : dokumentasi pribadi)
       Maqam Nabi Shalih
Beranjak dari ‘Uyun Musa, kami menuju ke Maqam Nabi Shalih. Maqam ini, dan situs-situs yang kami kunjungi setelahnya berada di kota Saint Catherine, masih di Semenanjung Sinai juga. Jadi, Sinai itu merupakan nama provinsi yang terbagi menjadi dua, yaitu Provinsi Sinai Utara dan Provinsi Sinai Selatan. Situs-situs yang kami kunjungi semuanya berada di Sinai Selatan.

Maqam Nabi Shalih (bangunan di belakang warna putih) (sumber : dokumentasi pribadi)
By the way masih ingatkah kamu dengan kisah Nabi Shalih? Beliau adalah salah satu dari empat nabi yang berasal dari bangsa Arab. Ketiga nabi lainnya adalah Nabi Syu’aib, Nabi Hud, dan Nabi Muhammad. Nabi Shalih terkenal dengan kisah untanya. Unta yang keluar dari batu itu merupakan muukjizat Nabi Shalih yang didustakan oleh kaumnya sehingga mereka diazab oleh Allah. Kota Nabi Shalih diyakini berada di Mada’in Shalih yang letaknya berada di utara Madinah, Arab Saudi.

Makam yang katanya adalah Nabi Shalih, allahua'lam (sumber : dokumentasi pribadi)
Banyak orang meyakini bahwa Maqam Nabi Shalih ini adalah tempat dimakamkannya Nabi Shalih, tapi saya sendiri meragukan. Karena maqam (مقام) dalam Bahasa Arab artinya tempat berdiri, bukan makam. Sama seperti Maqam Ibrahim yang ada di Ka’bah. Para ulama sepakat bahwa itu bukanlah tempat dimakamkannya Nabi Ibrahim, melainkan tempat berdirinya beliau ketika membangun Ka’bah. Akan tetapi Maqam Nabi Shalih yang kami kunjungi itu bentuknya memang pemakaman. Ada banyak sekali makam di sana. Di antara makam-makam itu, ada satu makam yang terjaga dan dibangun bangunan di atasnya. Di tempat itulah diyakini Nabi Shalih dimakamkan. Menurut kisah, Nabi Shalih dan orang-orang yang beriman memang hijrah ke tempat lain sebelum kaumnya ditimpa azab. Mungkinkah beliau hijrah sampai ke Sinai lalu wafat di situ? Wallahua’lam.

Pemakaman di sekitar Maqam Nabi Shalih (sumber : dokumentasi pribadi)
       Maqam Nabi Harun dan Golden Calf
Lokasi maqam Nabi Harun tidak terlalu jauh dari Maqam Nabi Shalih. Mungkin sekitar sepuluh menit bis kami sudah sampai di lokasi ini. Sebagaimana saya ragu tentang pemakaman Nabi Shalih, saya juga menyangsikan bahwa situs yang kami kunjungi setelahnya adalah tempat dikebumikannya Nabi Harun. Karena lagi-lagi kata yang tertulis di papan penunjuk adalah maqam (مقام). Kalau yang dimaksud maqam di sini adalah tempat tinggal, mungkin itu lebih masuk akal. Karena daerah ini memang wilayah dakwahnya Nabi Musa, yang menjadi partner dakwah Nabi Harun.
 
Maqam Nabi Harun (bangunan di belakang warna putih) (sumber : dokumentasi pribadi)
Akan tetapi, lagi-lagi saya melihat banyak makam di daerah ini. Sehingga seolah-olah daerah itu memang khusus pemakaman. Seperti halnya Nabi Shalih yang diperbagus makamnya, di situs ini juga ada makam yang diyakini sebagai makam Nabi Harun, yang diperbagus bentuknya.
 
Pemakaman di Maqam Nabi Harun (sumber : dokumentasi pribadi)
Masih di lokasi yang sama, di sana terdapat Golden Calf, yaitu patung anak sapi yang dibuat oleh Samiri untuk disembah oleh Bani Israil. Anehnya, situs yang disebut Golden Calf ini wujudnya tidak seperti yang saya bayangkan. Patung tersebut terbuat dari salah satu bagian gunung yang dipahat menyerupai sapi. Tidak seperti patung yang lazim kita lihat zaman sekarang. Wallahua’lam apakah itu memang patung yang dibuat Samiri atau bukan. Tapi kalau melihat posisinya yang berada di ketinggian rasanya jadi masuk akal kalau patung ini adalah sesembahan karena dengan posisi itu, patung tersebut jadi sangat strategis untuk disembah.

Golden Calf, patung sapi yang diyakini buatan Samiri (sumber : dokumentasi pribadi)
       Wadi Arba’in
Wadi dalam Bahasa Arab berarti lembah. Situs ini diyakini sebagai tempat disesatkannya Bani Israil selama 40 tahun karena keengganannya menuruti perintah Allah untuk masuk ke Bumi Palestina. Selama kurun waktu tersebut, mereka berputar-putar di lembah ini tanpa tahu jalan keluar. Di sini pula terdapat ‘Uyun Musa versi kedua seperti yang saya singgung di atas. Kalau dilihat dari bentuknya, ‘Uyun Musa versi kedua inilah yang paling masuk akal karena bentuknya yang terbuat dari batu yang bercelah-celah. Sangat mirip dengan deskripsi Al-Qur’an.

12 mata air Nabi Musa (sumber : dokumentasi pribadi)
Untuk sampai ke lokasi ‘Uyun Musa dibutuhkan waktu kurang lebih 45 menit berjalan kaki menyusuri lembah dari tempat parkir bis. Cukup jauh memang. Tapi saya rasa sangat senilai dengan pemandangan yang kami dapati selama di perjalanan. Dalam perjalanan menyusuri lembah itu, sepanjang mata memandang hanya terlihat gunung batu kecoklatan dipadu dengan langit biru yang bersih benderang tanpa awan. Sangat indah!

Jalan menuju Wadi 'Arbain (sumber : dokumentasi pribadi)
Adapun Wadi Arba'in letaknya lebih jauh lagi dari ‘Uyun Musa. Kata guide, kami masih harus berjalan 30 menit lagi untuk sampai ke sana. Mengingat saat itu senja sudah tiba, maka kami langsung balik kanan menuju bis. Kasian banget Si Senja ditinggal balik. Toh guide bilang Wadi Arba'in sama saja seperti lembah-lembah yang kami lalui dalam perjalanan.

Jalan menuju Wadi 'Arbain (sumber : dokumentasi pribadi)
Setelah menjamak takhir sholat zuhur dan ashar di masjid terdekat, kami langsung menuju hotel untuk check in. Tiba di hotel bertepatan dengan adzan maghrib. Kami masih memiliki waktu sekitar enam jam untuk istirahat sebelum agenda utama dilaksanakan, yaitu mendaki Sinai. Yes!

#Asrama Mahasiswa KSU