June 30, 2017

(Lagi-lagi) Bandung


Kalau Jogja adalah Rajanya kota di hati saya, maka boleh lah Bandung saya angkat sebagai Ratunya. Kota ini tak henti-hentinya membuat saya terkejut atas progres positifnya. Selain tata kota yang indah, ruang terbuka hijau yang masih luas, dan terakhir saya dibuat geleng-geleng kepala melihat aktivitas dakwah yang maju pesat.

Ramadhan kemarin, sepertiga terakhirnya sengaja saya habiskan di Kota Kembang itu. Saya sedang sangat butuh keterasingan dan ketenangan. Dua hal yang sangat sulit saya dapat kalau saya memaksakan tetap berada di Tangsel. Nah, mengambil momen i’tikaf Ramadhan, saya kunjungi Bandung untuk ber-tahanuts (wkwk, gayane).

Saya berangkat dari Jakarta bareng Mas Firman, teman saya orang Bandung yang qodarullah saat itu baru selesai mengisi seminar di Depok. Untungnya punya teman orang Bandung adalah, selain dapat tebengan gratis (hehe), saya jadi punya info up to date tentang hal-hal yang sedang hits di sana. Dan hits pertama yang saya dengar dari Mas Firman adalah tentang fenomena Masjid Al-Lathif, markasnya gerakan Pemuda Hijrah, yang dikomandoi ustadz muda, Ustadz Hanan Attaki.  

Hmm…tapi tujuan utama saya ke Bandung sebenarnya bukan ke sana. Selain nama masjidnya masih asing di telinga, saya juga punya agenda sendiri. Saya ingin mengunjungi masjid-masjid yang memang sudah memberi kesan bagi saya dan masjid pertama yang saya kunjungi (sekaligus saya jadikan basecamp, hehe) adalah Masjid Salman ITB.

Masjid Salman, karena merupakan masjid kampus, memiliki ruh yang berbeda dengan masjid-masjid lain. Pertama kali saya datang ke sini, saya terkesan dengan ciri khas ketenangannya. Entah bagaimana saya harus mendeskripsikannya, tapi yang pasti saya suka dengan ruh masjidnya (hah?). Masalahnya (bagi saya), ketika saya datang kemarin, ternyata jamaah i’tikaf di Salman sangat banyak, padahal itu baru malam ke-21 dan aktivitas kuliah juga sudah diliburkan. Artinya, pikir saya mahasiswa yang i’tikaf di situ pastilah mahasiswa lokal, bukan dari luar kota. Kalau baru malam ke-21 saja sudah sebanyak ini, gimana malam setelahnya nih?
Suasana I'tikaf di Masjid Salman (sumber : dok. pribadi)

Tahun-tahun lalu (kecuali tahun 2016 karena saya tidak i’tikaf di sana), jamaah i’tikaf di Salman setau saya tidak sebanyak ini. Menurut saya ini lonjakan yang besar. Hal ini membuat saya berpikir ulang untuk menghabiskan banyak waktu di Salman. Kalau terlalu ramai begini, rasanya misi saya untuk mengasingkan dan menenangkan diri akan sulit tercapai, hehe. Oleh karena itu, sambil safari masjid, saya juga menyeleksi tempat i’tikaf lain sebagai alternatif Salman. Dari pencarian itu, saya memutuskan untuk i’tikaf di dua tempat selain Salman, yaitu Masjid Daarut Tauhid (DT) dan Masjid PUSDAI.

Tidak sesuai dugaan saya, ternyata Masjid DT tidak ramai-ramai amat. Ramai sih, tapi melihat popularitas DT yang sangat masyhur, jumlah jamaah saat itu rasanya masih belum ada apa-apanya. Jadi cukup kondusif lah bagi saya untuk i’tikaf. Mungkin A Factor (Aa Gym Factor, wkwk) menjadi salah satu penyebab kurang ramainya jamaah, karena saat itu Aa Gym sedang umroh. 

Satu hal yang membuat saya heran sekaligus tercengang adalah biaya i’tikaf yang menurun drastis dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu ketika saya tanya salah satu pegawai DT melalui WhatsApp, beliau bilang biaya i’tikaf sebesar 1 juta selama 10 hari. Hal itu membuat motivasi saya anjlok untuk pergi ke DT, wkwk. Tahun ini biayanya menurun drastis, hanya 100 ribu untuk 10 hari dengan fasilitas yang hampir sama (termasuk dapat ifthar dan makan sahur). Tapi mengingat rencana awal saya tidak i’tikaf di sini, maka saya tidak mendaftar secara resmi. Hanya sekedar ikut i’tikaf saja. Untuk ifthar dan sahur saya cari sendiri di luar. 

Tambahan info lain dari DT, masjid ini sedang memulai pembangunan lantai tiga (Masya Allah). Insya Allah daya tampung jamaah juga akan lebih banyak. Ke depan, kalau biayanya masih segitu, mungkin bisa jadi opsi utama untuk i’tikaf nih, hehe. Info lainnya, sepengamatan saya kemarin kelihatannya makin banyak akhwat menggunakan cadar (#eh). Lucunya (gak lucu juga sih), banyak diantara mereka yang memakai cadar dengan setelan akhwat lokal Indonesia. Maksudnya, cadar mereka dikombinasikan dengan rok, baju, serta hijab ala akhwat Indonesia, bukan setelan gamis seperti akhwat Saudi (dengan abaya hitamnya). Malah ngomongin cadar gini sih…

Okay, selanjutnya adalah Masjid PUSDAI. Awalnya juga saya gak niat i’tikaf di sini, tapi begitu melihat kondisinya yang kondusif, akhirnya saya memutuskan i’tikaf di sini juga. Tekad saya semakin bulat untuk menghabiskan beberapa malam di sini begitu mendengar bacaan imam tarawihnya yang sangat mengena di hati saya. Tapi sayangnya beliau menjadi imam di satu malam itu saja (hadeh). 

Satu catatan dari Masjid PUSDAI adalah, di sana tidak ada tempat penitipan tas. Jadi tas harus dijaga sendiri. Bagi saya yang i’tikaf seorang diri, rasanya was-was kalau meninggalkan tas saya begitu saya ada keperluan, misalnya ke WC, karena masjid itu berada di tempat terbuka. Maksudnya bukan seperti Masjid Salman yang ada di dalam area kampus yang cenderung tertutup. Sudah tertutup, plus ada fasilitas penitipan tas dan laundry segala pula, makanya saya jadikan Salman basecamp.

Dan masjid terakhir yang ingin saya bahas adalah Masjid Al-Lathif, yang juga menjadi fenomena terkini di Bandung. Masjid ini sebenarnya masjid kecil di tengah komplek. Ukurannya jauh lebih kecil dari Masjid Nurul Ashri Deresan – Jogja, tapi saya kira ruhnya hampir serupa. Ke depan bisa jadi masjid ini akan mengalami perluasan seperti Masjid Nurul Ashri.

Saya datang ke masjid ini di waktu sholat Isya dan tarawih bersama Mas Firman, dan itupun atas rekomendasi beliau. Sebelumnya kami makan malam di sekitar situ. Bahkan sejujurnya tujuan kami ke daerah itu awalnya adalah untuk makan malam. Nah pas makan itu Mas Firman bilang, “Ini kita sudah dekat sama Masjdi Al-Lathif nih, kamu mau sholat tarawih di sini? Kebetulan katanya sekarang imamnya Muzammil.” Karena penasaran, akhirnya saya iyakan ajakan beliau.

Begitu sampai di sana, saya langsung kaget melihat penuhnya parkiran. Kami sangat sulit mendapatkan tempat untuk parkir motor. Saking penuhnya, kami sampai harus keliling komplek untuk mendapatkan slot parkir. Itupun akhirnya kami parkir di dalam garasi orang, setelah si pemilik rumah membukanya untuk dijadikan lahan parkir dadakan. Tidak lama setelah kami dapatkan slot parkir, saya lihat jalan utama menuju masjid sudah diportal. Terlambat sedikit saja kami sudah tidak bisa masuk.

Setelah sulit mendapatkan slot parkir, kami lalu kesulitan mendapatkan shaf untuk shalat karena jamaah yang membludak. Untungnya panitia menggelar terpal di jalanan untuk mengakomodir jamaah yang tidak kebagian di dalam masjid. Akhirnya kami pun sholat di jalanan. Kesan spontan saya saat itu, “Ini sholat tarawih apa sholat Idul Fitri?” Haha. Saya tidak tau membludaknya jamaah apakah disebabkan M Factor (Muzammil Factor) atau memang biasanya seperti itu jumlah jamaahnya. Yang pasti saya memutuskan untuk tidak i’tikaf di situ karena overcrowd

Masjid Al-Lathif, sebagaimana sudah saya jelaskan di atas, adalah markas gerakan Pemuda Hijrah. Maka tidak heran kalau segmentasi utamanya juga adalah anak muda. Saya perhatikan sebagian besar jamaahnya (mungkin mencapai 90%) memang anak muda. Tentu saya sangat senang dengan fenomena ini dan saya berharap fenomena ini menular ke kota-kota lain, termasuk Tangsel. Aamiin…

#Home Sweet Home, Tangsel

June 12, 2017

Tentang Buka Bersama


“Suami sebenarnya sudah mengizinkan saya untuk buka bersama, tapi saya gak tega meninggalkan dia di rumah berbuka seorang diri” (seorang ibu paruh baya)

Kalimat pembuka di atas adalah kutipan percakapan saya dengan seorang ibu paruh baya. Sebuah percakapan singkat yang akhirnya membuat saya lama termenung, betapa orangtua kita dulu begitu memahami arti sebuah kesetiaan. Tidak hanya dipahami, tapi juga diinternalisasi dalam diri mereka sehingga tiap gerak lakunya merupakan ekspresi cinta pada pasangannya.

Dalam percakapan itu, Si Ibu mengaku diajak buka bersama oleh kerabatnya. Sebenarnya yang diajak bukan cuma ibunya, tapi juga seisi keluarganya. Namun Si Ayah berkeberatan untuk menghadirinya, entah karena udzur apa. Karena Si Ayah urung hadir, maka Si Ibu juga berkeberatan untuk hadir. Tidak tega katanya meninggalkan suaminya berbuka sendiri. So sweet. Meski demikian, beliau tetap mengutus anak-anaknya untuk memenuhi undangan tersebut.

Bagi saya, pilihan Si Ibu untuk mendahulukan Si Ayah adalah ekspresi kesetiaan. Bagi saya, pengorbanan Si Ibu untuk tidak menghadiri buka bersama kerabat agar bisa menemani Si Ayah berbuka adalah bentuk tanggung jawab. Bagi saya, ketulusan Si Ibu melayani Si Ayah adalah performa cinta yang sangat mulia. Ibu itu paham betul bagaimana ber-khidmat kepada suami, yang menjadi amanah utamanya di dunia ini, yang dengan khidmat itu beliau berharap ridho dari suaminya sebagai tiket terusan menuju surga.

Hari ini kita hidup di tengah gempuran feminisme yang sangat sadis. Kaum perempuan begitu ingin disejajarkan dengan laki-laki. Meski menolak paham feminisme, toh nyatanya banyak perempuan yang sangat ingin bisa mandiri sehingga menihilkan ketergantungan kepada suaminya. Sekilas, pemikiran ini terlihat normal-normal saja, bahkan dianggap baik oleh beberapa kalangan. Tapi bermula dari pemikiran ini pula, akhirnya banyak kaum istri yang durhaka kepada suaminya. Karena merasa memiliki kekuatan dan sumber daya, sikap ta’dhim mereka kepada suami perlahan memudar. Apalagi kalau ternyata penghasilan si istri lebih besar daripada suami. Bisa sangat berbahaya kalau keduanya tidak memiliki pondasi iman yang kokoh.

Kembali ke masalah buka bersama, dulu ada seorang aktivis dakwah yang sempat cerita kepada saya. Katanya beliau diprotes oleh ibunya karena hampir setiap hari memiliki jadwal buka puasa di luar dan sangat jarang berbuka di rumah bersama keluarga. Hmm…kelihatannya sepele, cuma masalah buka bersama, tapi saya rasa menjadi tidak se-sepele itu ketika ada hak-hak keluarga yang ditelantarkan. Iya, niat beliau memang mulia untuk menuntaskan proyek-proyek akhirat bertema dakwah, tapi bukankah seharusnya keluarga terdekat lah yang menjadi ladang dakwah utama kita? Penelantaran kita terhadap hak-hak keluarga, meski itu hanya sekedar berbuka puasa bersama, dapat mendatangkan kesan negatif dari keluarga kepada dakwah itu sendiri. “Gara-gara kegiatan yang katanya dakwah, anak saya jadi gak mau buka bersama di rumah.” Pikiran semacam itu bukan tidak mungkin mencuat di tengah anggota keluarga kita. 

Lalu apa hubungannya cerita pertama, feminisme, dan buka bersama? 

Hmm…saya mengamati nilai-nilai feminisme hakikatnya sudah sangat kentara, bahkan bermunculan di kalangan aktivis dakwah. Banyak aktivis dakwah (perempuan) yang sangat aktif berkegiatan di luar sehingga hak-hak keluarganya terpinggirkan. Padahal kalau mau dibikin skala prioritas, siapa sih yang menjadi prioritas tanggung jawab kaum perempuan? Bukankah anak-anak dan suaminya? (atau orangtuanya kalau dia belum menikah). Dan sebenarnya siapa yang paling berkewajiban keluar/safar untuk berdakwah? Bukankah justru pihak laki-laki?

Mungkin banyak aktivis dakwah yang berkilah, “Saya sudah menyiapkan semuanya (hidangan berbuka) untuk keluarga kok. Jadi saya tidak melalaikan tanggung jawab saya.” Kalau sekedar menyiapkan hidangan berbuka, saya kira tidak perlu disiapkan juga mereka (suami/anak-anak/orangtua) pasti akan tetap berbuka. Mereka bisa ke warung atau warteg untuk membeli ifthar. Tapi esensinya kan bukan di situ. Pelayanan istri kepada suaminya tidak akan pernah bisa disamakan dengan pelayanan mbak-mbak penjaga warteg. Bakti anak kepada orangtuanya tidak akan serupa rasanya dengan bakti bibi/pembantu di rumah. Ada keterputusan emosi di sana.

Saya di sini bukan sedang menggugat peran perempuan dalam dakwah. Sama sekali bukan. Hanya saja terkadang saya lihat ada ketimpangan antara pemenuhan kewajiban primer dengan sekunder.  Apa-apa yang bersifat sekunder kadang justru lebih diprioriotaskan, mengalahkan kewajiban primer. Hal ini yang sangat disayangkan.

Kita, biar bagaimanapun pahamnya terhadap syariat, kadang penerapannya justru kalah telak dengan orangtua-orangtua kita yang kita anggap “awam” dalam hal agama. Seperti kisah ibu yang saya sampaikan di awal, mungkin kalau ditanya pemahaman agama, beliau masih sangat kurang. Akan tetapi dalam hal praktik, bagaimana khidmat serta ta’dhim beliau kepada suami, lalu memenangkan hati kerabatnya dengan mengutus anak-anaknya, menurut saya sikap beliau sudah sangat excellent. Allahua’lam.

“Allahumma ihdinashshiratal mustaqim”

#Home Sweet Home, Tangsel

June 11, 2017

Akhir Cerita Sebuah Kelas Bahasa


Selasa 16 Mei 2017 menjadi hari terakhir saya berada di Ma’had Lughoh. Tidak terasa sudah dua tahun saya investasikan waktu saya di sana. Terasa begitu singkat jika mengenangnya saat ini, tapi tampak sangat lambat ketika menjalaninya dulu.

Kuliah di Ma’had Lughoh bisa dibilang susah-susah gampang (susahnya dua kali lho). Susah karena saya menjalani aktivitas yang repetitif seperti layaknya anak sekolah. Pergi pagi, pulang siang plus dibekeli PR hampir setiap hari. Susah karena saya tidak punya background Bahasa Arab sama sekali, bahkan sekedar angka pun dulu saya tidak tau. Lalu gampang karena para assatidzah di Ma’had yang begitu pengertian (semoga Allah menjaga mereka).

Dari empat semester yang saya lalui di Ma’had, bisa dibilang semester empat lah yang paling menyulitkan saya. Di semester itu saya ditempatkan bersama orang-orang yang sebenarnya sudah expert dalam Bahasa Arab. Total jumlah mahasiswa di kelas saya ada 6 orang, 2 dari China, 1 dari Jepang, 1 dari Afganistan, dan 1 lagi dari Somalia. 

Dua orang China itu adalah lulusan S1 Bahasa Arab di negaranya. Mereka datang ke Saudi hanya untuk memperbaiki kompetensi bahasa mereka. Satu orang Jepang adalah lulusan Ma’had Lughoh di Jepang dan pernah satu tahun belajar di Mesir. Dia menjadi mahasiswa terpandai di kelas dengan kosakata yang sudah sangat kaya. Mereka (orang China dan Jepang) itu baru bergabung di Ma’had pada semester ketiga. Lalu satu orang dari Afganistan juga pernah belajar Bahasa Arab di negaranya. Selain itu, bahasa nasional dia, Persia, merupakan bahasa yang masih serumpun dengan Bahasa Arab, bahkan hurufnya pun serupa. Lalu terakhir, satu orang Somalia, meski mengaku baru belajar Bahasa Arab di Saudi, tapi dia adalah lulusan madrasah diniyah. Tentu sudah tidak asing dengan istilah-istilah dalam Bahasa Arab.

Konsekuensi negatif dari penempatan yang tidak strategis itu adalah, saya menjadi mahasiswa yang tampak paling lemah di kelas. Celakanya, beberapa matakuliah seperti ta’bir syafawi (speaking), istima’ (listening) dan qiro’ah muwassa’ah (extensive reading) menggunakan sistem penilaian berdasarkan performa di kelas. Otomatis norma pembandingnya adalah teman-teman sekelas saya yang expert-expert itu. Dibandingkan dengan mereka tentu membuat saya kerdil. Bahkan saya sempat mengalami degradasi percaya diri akibat ketimpangan skill diantara kami.

Meski ada konsekuensi negatif dalam hal nilai (IPK), tapi saya tak menampik konsekuensi positif yang juga menjamur dari sistem penempatan itu. Ditempatkan bersama mereka yang sudah pandai membuat saya memiliki kemajuan yang pesat dalam bahasa. Istilah-istilah dan kosakata yang mereka gunakan umumnya sudah lebih maju dari mahasiswa kelas sebelah yang juga semester empat. Bahkan beberapa dosen kami juga sempat mengutarakan hal itu, bahwa kelas kami memiliki skill yang lebih advance daripada kelas sebelah (ehem).

Farewell Party
Dan penutup perjalanan kami selama di Ma’had adalah sebuah farewell party pada Selasa malam, 23 Mei 2017. Malam itu adalah malam terakhir duo China di Saudi. Esoknya mereka akan terbang ke China untuk final exit. Sedangkan teman-teman yang lain masih menunggu pemberkasan untuk masuk ke tingkat universitas. 

Well, meski agak ganjil, tapi saya akui saya sedih dengan perpisahan ini (apakah perpisahan selalu menyedihkan?). Kami baru saja akrab satu sama lain, menemukan chemistry untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Tapi kami harus segera berpisah dan menjalani hidup kami masing-masing. Duo China akan kembali bekerja sebagai PNS di negaranya. Si Jepang akan masuk ke kuliah (S1, meski dia sudah punya gelar S1) untuk mengejar cita-citanya sebagai sastrawan Bahasa Arab. Si Afganistan akan terbang ke Amerika untuk berkumpul bersama keluarganya. Dan Si Somalia juga akan masuk ke kuliah untuk merasakan pendidikan tinggi yang merupakan barang langka di negaranya. Lalau bagaimana dengan saya? Hmm…pertanyaan sulit. Tidak bisa saya jawab sekarang.

Kembali ke farewell party, “pesta” itu dibagi menjadi dua shift. Shift pertama kami makan malam di sebuah mall di Riyadh. Sejujurnya ini adalah pertama kali saya masuk mall di Arab Saudi, haha. Saat itu hampir semua tagihan dibayar oleh Si Jepang. Luar biasa memang orang ini. Yang menarik, saat itu Si Jepang memakai kimono (pakaian khas Jepang) lengkap dengan sandal bakyak-nya, dan akibat pakaiannya itu, dia sempat beberapa kali berurusan dengan security mall. Maklum, Saudi termasuk negara yang “kolot” sehingga cara berpakaian pun sangat diperhatikan. Beruntung, meski sempat dilarang, Si Jepang pada akhirnya diperbolehkan masuk mall. 

Kalau Si Jepang memakai kimono yang sangat menarik (terbukti beberapa orang minta foto sama dia), maka Si Somalia memakai kemeja dan dasi, lengkap dengan jasnya agar tidak kalah menarik. Alih-alih membuat orang tertarik, menurut saya justru terlihat sangat norak, haha. FYI, Si Somalia ini adalah sasaran bully di kelas. Dia seringkali membuat orang tertawa dengan tingkahnya. Kalau sudah berdebat dengan Si Afganistan, tidak ada yang bisa memisahkan kecuali jam pulang. Meski Si Somalia seringkali di-bully, tapi dia tidak pernah marah. Itu yang sangat saya suka darinya.

Shift pertama selesai sekitar jam sepuluh malam. Kami langsung kembali ke kampus untuk melanjutkan farewell party shift kedua karena pada shift pertama tadi Si Afganistan urung bergabung. Shift kedua berlokasi di kafe kampus. Kami ngobrol lama sekali di sana. Hampir jam dua dinihari kami baru bubar. Sejujurnya saya tidak pernah bergadang selama di Saudi dan sangat rentan ngantuk, tapi pada malam itu selalu ada bahan cerita untuk kami obrolkan sehingga tak terasa waktu sudah sangat larut. 

Di kesempatan itu pula kami bertukar cindera mata sebagai kenang-kenangan sebelum berpisah. Mengingat saya tidak menyiapkan apa-apa dari Indonesia, maka gantungan kunci dari Mesir saya jadikan cindera mata untuk mereka. Saya sendiri dapat beberapa cindera mata dari Duo China dan Jepang. 

Setelah benar-benar kehabisan bahan obrolan, ditambah energi yang sudah melemah, kami pulang ke mabna (asrama) masing-masing dengan kepala berat. Berat karena perpisahan, juga berat karena ngantuk.

#Home Sweet Home, Tangsel
#Perdana ngetik pake iPad dan eksternal keyboard-nya, enak juga

June 6, 2017

Ramadhan di Mekkah



Ramadhan di Mekkah mungkin menjadi puncak safari Ramadhan saya selama ini.  
Benar-benar pengalaman yang tak ternilai. Kesempatan saya merasakan bulan Ramadhan di tanah suci Mekkah adalah pengalaman monumental. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Alhamdulillah saya melewati puasa hari pertama sampai hari kelima di sana. Merasakan khusyuknya puasa, semaraknya ifthar (berbuka), serta khidmatnya sholat tarawih bersama jutaan jamaah di Masjid Al-Haram. Meski hanya lima hari, tapi benar-benar syahdu.

Saya memang  sengaja merencanakan kegiatan itu sebelum pulang ke tanah air. Kalau melihat jadwal libur, sebenarnya libur kuliah sudah dimulai sejak sebelum Ramadhan*, tapi saya pikir kapan lagi mendapat kesemptan merasakan I’tikaf di Haram? Tahun depan saya belum tentu masih ada di Saudi. Selain itu, kemarin saya juga sempat ada masalah visa dan baru kelar menjelang Ramadhan. Jadi sayang sekali rasanya melewatkan Ramadhan di Haram yang sudah ada di pelupuk mata.

Saya berangkat ke Haram bersama teman-teman pada malam pertama Ramadhan (tarawih pertama). Jadi otomatis saya tidak dapat tarawih pertama di Haram. Sebisa-bisanya saya usahakan tarawih di bis. Kami baru tiba di Mekkah sekitar pukul 6 pagi dan langsung melaksanakan umrah. Tahukah kamu bahwa pahala umrah Ramadhan setara dengan haji? :)

Teman-teman saya umumnya hanya membawa perlengkapan sedikit karena mereka hanya menetap dua hari di Haram (mereka mau pulang ke Indonesia dua hari setelahnya). Jadi tas mereka bisa dititipkan di penitipan barang. Adapun barang bawaan saya lumayan banyak karena rencananya akan menetap selama seminggu. Agak berat rasanya kalau dititipkan di loker karena lumayan mahal. Untungnya saya punya kenalan TKI yang kontrakannya dekat dengan Haram. Jadi saya bisa menitipkan tas saya di kontrakan dia.

Puasa di Haram, meski secara zahir terlihat berat, tapi nyatanya sangat dapat dinikmati. Bagaimana tidak berat lha wong kita puasa di bawah suhu 47 derajat Celcius dengan durasi puasa mencapai 15 jam? Tapi karena suasana di Haram sangat kondusif, hal itu jadi tidak terlalu terasa. Semua mengalir begitu saja. Tau-tau ashar, tau-tau buka puasa, tau-tau tarawih, tau-tau selesai tarawih, tau-tau sahur, dan seterusnya.

Geliat semarak Ramadhan di Haram biasanya dimulai ba’da ashar. Saat itu orang-orang sudah mulai mempersiapkan takjil. Satu jam menjelang berbuka, halaman Masjidil Haram sudah full dengan jamaah yang berburu ifthar. Di saat-saat seperti ini, fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) para jamaah sangat jelas terlihat. Mereka umumnya memiliki makanan untuk dibagi ke jamaah lain. Jadi rasanya mustahil jika ada orang yang tidak kebagian ifthar. Sangat-sangat mustahil.

Oya, sebenarnya kita bisa memilih mau berbuka di dalam Masjid atau di halamannya. Menu berbuka di halaman masjid biasanya lebih banyak dan bervariasi, sedangkan di dalam masjid biasanya terbatas karena ada askar (penjaga) yang melarang orang membawa terlalu banyak barang, jadi jumlah muhsinin tidak sebanyak di area luar. Menu umum yang biasa dijumpai di Haram (baik di dalam maupun luar masjid) biasanya adalah kurma, zam-zam, kopi, teh, laban (yoghurt), roti, jus, dan buah.

Setelah berbuka dan sholat Maghrib, jamaah bersiap untuk melaksanakan sholat Isya dan tarawih. Kegiatan yang biasanya dilakukan sambal menunggu datangnya waktu Isya adalah tilawah, meski ada juga yang memilih kegiatan lain seperti berbelanja atau cari makan berat. Jadwal sholat Isya di Haram dimundurkan sampai setengah jam. Kalau dilihat di jadwal sholat, semestinya Isya sudah masuk pukul 20.30, tapi adzan baru berkumandang pukul 21.00. Saya juga tidak paham apa alasannya.

Selesai Isya, jamaah langsung melaksanakan tarawih. Satu hal yang perlu diperhatikan jika kamu ingin tarawih di Haram adalah, pastikan kamu tidak sholat di tempat tawaf. Karena askar akan mengusir kamu secara paksa jika kamu ngeyel. Saya dan teman-teman pada malam kedua Ramadhan sebenarnya sudah mendapatkan posisi yang sangat yahud bin ideal, di depan Ka’bah. Tapi sayangnya posisi itu hanya bertahan sampai selesai sholat Isya karena setelah Isya kami disuruh ke bagian belakang (di luar lokasi tawaf) untuk sholat tarawih.

Menariknya, dalam hal ini (pembubaran jamaah) askar tidak memberikan toleransi sama sekali. Biasanya, jika membubarkan jamaah yang sholat tidak pada tempatnya, askar akan menunggu sampai jamaah selesai sholatnya, tapi pada pelaksanaan tarawih ini mereka memaksa dan mendorong jamaah untuk pindah ke lokasi lain selain lokasi tawaf tanpa menunggu selesainya sholat. Jadi jamaah dipaksa membatalkan sholatnya. Lucunya, saat itu saya sudah terlanjur sholat di lokasi tawaf bersama jamaah lain. Ketika tarawih sudah masuk satu rakaat, datang askar untuk membubarkan kami. Seorang askar sudah memegang saya dan bersiap mendorong, tapi kemudian ada seorang syaikh (penjaga Haram juga) yang memakai misylah (gamis beserta jubah hitamnya) mengomando askar itu, “Sudah, tidak apa-apa, mereka sudah dapat satu rakaat. Dibubarkannya nanti saja setelah selesai salam”. Akhirnya selamat lah kami dari relokasi paksa si askar, wkwk.

Jumlah rakaat sholat tarawih di Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) adalah sebanyak 23 rakaat. Selain di dua tempat itu, hampir semua masjid di Saudi melaksanakan tarawih 11 rakaat. Di Masjidil Haram, biasanya sholat tarawih dilaksanakan selama dua jam, dimulai sekitar pukul 21.15 dan berakhir pukul 23.15. Tidak perlu ditanya bagaimana kualitas bacaan imam-imamnya. Duh, subhanallah banget deh. Bacaan yang biasanya cuma kita dengar lewat murattal mp3, saat itu hadir langsung memanjakan telinga kita. Sehingga dua jam pelaksanaan tarawih rasanya mengalir begitu saja.

Satu hal penting yang saya catat dari para imam di Haram adalah tentang “profesionalitas” mereka. Begini, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan shalat jamaah, apalagi qiyamul lail, selalu mengundang syahdu. Tidak jarang para imam menangis ketika membaca surat-surat Al-Qur’an, terlebih imam Masjidil Haram. Nah, yang saya kagumi dari para imam Haram adalah, meskipun tidak jarang mereka menangis, tapi mereka mampu mengontrol tangis dan emosi mereka sehingga tidak berlarut-larut. Sekedarnya saja. Dan hebatnya lagi, mereka mampu menjaga bacaan mereka tetap baik sesuai dengan tajwidnya meski membaca sambal menangis. Hal berbeda sering saya dapati di Indonesia. Imam di masjid-masjid Indonesia sering kali tidak mampu mengontrol emosi dan tangis mereka sehingga larut dalam tangisnya. Saya tidak mengatakan hal itu sebagai suatu keburukan, tapi menurut saya itu sangat berbahaya. Bahaya jika ternyata kita justru lebih menikmati tangis kita daripada mengingat pesan dari ayat tersebut. Allahua’lam.

Selesai tarawih, sebagian besar orang keluar untuk mencari makan atau kembali ke hotel. Oya, qiiyamul lail di Haram baru dilaksanakan mulai malam ke 16 (kata teman saya). Jadi pada malam kesatu sampai ke lima belas, tidak ada kegiatan lagi selepas tarawih. Kegiatan berjamaah baru dimulai lagi ketika masuk waktu subuh.

Well, i’tikaf di Haram adalah sesuatu yang sangat spesial. Kalau ada kesempatan, jangan sampai disia-siakan. Beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk I’tikaf di Haram diantaranya adalah:

  • Sebisa mungkin kerjakan sholat di dalam area masjid, bukan di halaman depan karena sangat tidak kondusif, banyak orang lalu lalang
  • Jangan sholat tarawih di area tawaf kalau tidak mau diusir paksa oleh askar
  • Jangan membawa barang berlebih ke area dalam masjid (bisa dilarang masuk)
  • Kalau mau ikut buka bersama atau cari ifthar, usahakan datang paling telat satu jam sebelum berbuka agar dapat tempat yang kondusif
  • Kalau mau menginap, usahakan bawa sajadah/sarung/ihram untuk dijadikan selimut karena di dalam cukup dingin

 * note : seharusnya libur kuliah dimulai di pertengahan Ramadhan, tapi kemudian Raja Salman memajukan jadwal ujian di seluruh lembaga pendidikan sampai sebelum Ramadhan.

#Home Sweet Home, Indonesia