May 16, 2017

Thesis : The Most Destructive of Student Mentality



Kita sering berharap agar kita bisa meraih kesuksesan bersama teman-teman yang membersamai kita sejak awal. Anak-anak SMA kelas XII misalnya, indikator kesuksesan yang paling utama bagi mereka adalah lulus ujian nasional. Setiap siswa tentu berharap agar dirinya dan semua temannya, terutama yang satu sekolah, bisa lulus tanpa terkecuali. Ada perasaan kebersamaan yang kuat diantara mereka karena mereka memulai perjuangan itu bersama-sama.  Mereka memahami susah dan senangnya menghadapi perjuangan itu. 

Pun begitu dengan anak kuliah, indikator kesuksesan mereka juga sama, yaitu lulus dan diwisuda. Begitu besar harapan kita agar semua teman seperjuangan kita bisa lulus dan diwisuda. Bersama-sama merasakan suka cita memakai toga setelah perjuangan panjang nan melelahkan di bangku kuliah. Akan tetapi, betapapun mulianya harapan itu, takdir sering berkata lain. Sering kita melihat teman kita (atau bahkan diri kita sendiri) punya masalah serius dengan skripsinya. Masalah yang pada akhirnya berdampak pada psikologisnya. Perasaan tertekan, stres, kemudian depresi karena skripsi yang tak kunjung selesai tidak jarang menjangkiti mahasiswa tingkat akhir. Bagi mereka yang memiliki daya lenting super, mungkin bisa bangkit setelah terpuruk untuk kemudian menyelesaikan skripsinya. Tapi sayangnya tidak semua orang dikaruniai sifat itu.

Ah, skripsi memang selalu menjadi momok paling menakutkan bagi mahasiswa. Kenapa menakutkan? Karena daya rusak skripsi bagi mental mahasiswa sangat tidak berpola. Dia meneror siapa saja, baik yang cerdas maupun kurang cerdas. Yang relijius maupun pendosa. Yang ber-IPK dewa maupun dua koma. Semua bisa terseret ke dalam stres yang berkelanjutan akibat skripsi yang tak kunjung kelar. Saya punya segudang contoh kasus dari permasalahan ini. Jadi jangan dikira orang yang cerdas bisa dengan mudah menyelesaikan skripsinya. Juga jangan beranggapan orang yang relijius akan lancar-lancar saja skripsinya. Belum tentu! Karena sekali lagi, semua variabel itu tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kesuksesan menulis skripsi.

Menulis skripsi memang bukan sekedar urusan kecerdasan kognitif semata, tapi merupakan gabungan dari kecerdasan emosi dan spiritual. Ketika menulis skripsi mental kita akan digedor sekuat-kuatnya melalui berbagai permasalahan, entah ketidaksepahaman ide dengan dosen pembimbing, kesulitan dalam mencari rujukan, rasa malas yang dituruti, atau hal-hal administratif yang kelihatannya sepele. Penumpukan masalah itu bisa menggiring kondisi psikologis seseorang ke level terendah.

Saya pribadi, sangat tidak tega melihat kawan yang tertekan luar biasa karena skripsi atau tesis yang belum kelar. Tahun lalu, ketika saya sowan ke kampus saya (MMB UGM), seorang pengelola prodi bercerita kepada saya bahwa ada mahasiswa yang stres karena tesisnya belum juga selesai. “Badannya itu sampai habis lho mas, kurus banget sekarang” cerita karyawan itu kepada saya. Kisah dan deskripsi dari karyawan itu membuat saya sangat sedih karena saya kenal betul mahasiswa yang dimaksud. Saya tau dia mahasiswa yang pintar dan mudah bergaul. Saya juga sering melihat keseharian beliau yang selalu ceria dan antusias. Sampai kemudian keceriaan itu terampas oleh tesis.

Akan tetapi kabar itu tidak lebih mengagetkan dari kabar yang saya terima kemarin di salah satu grup BBM. Melalui grup itu, dosen kami, yang juga merupakan sekretaris prodi, mengabarkan bahwa mahasiswa angkatan 2013 yang tidak lulus bulan Juli tahun ini akan di-drop out. Hal yang membuat saya kaget bukan informasi drop out-nya, karena memang sejak awal kita sudah diwanti-wanti bahwa kuliah S2 cuma diberi jatah maksimal 4 tahun, saya kaget karena jumlah teman seangkatan saya yang belum lulus ternyata mencapai 10 orang. Itu artinya sepertiga dari jumlah keseluruhan kami. Angka yang fantastis menurut saya.

Apa sebab utama keterlambatan mereka? Allahu a’lam. Masing-masing orang pasti memiliki kisahnya sendiri. Saya hanya sedih jika mereka benar-benar di-drop out. Saya sedih karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mereka, orang-orang yang membersamai saya sejak memulai  kuliah S2. Dan saya sangat sedih karena ternyata saya sangat sibuk dengan urusan saya sendiri, sampai tidak tau bahwa ada 10 orang dari teman saya yang terancam DO. 

#Asrama Mahasiswa King Saud University – Riyadh

May 6, 2017

اللغة العربية: لماذا أتعلمها؟

 
لا شك أن اللغة العربية مهمة جدا لكل الإنسان، خاصة بالنسبة للمسلمين. العربية هي لغة القرآن الكريم والقرآن هو الهدى الذي يظهر الناس إلى الطريق الصحيح إلى الجنة. إذا كنا لا نفهمه جيدا فكيف يمكننا استخدامه بمثابة هدى؟ والله اختيار العربية لأنه سيكون من السهل لنا لتعلم كما ذكر الله في سورة الزخرف آية 3, قال تعالى: "إنا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون[1]". قال السعدي في تفسيره أن الله أقسم في هذه الآية وجعل بأفصح اللغات وأوضحها وأبينها, وهذا من بيانه[2]. لهذا السبب، أتعلم اللغة العربية في معهد اللغة في جامعة الملك سعود. حتى أفهم هذه المؤجزة جيدا.

ثم ثانيا، أريد أن أتعلم العربية لأنني مهتم في علم النفس في المنظور الإسلامي. في الواقع أنا قد تخرجت من قسم علم النفس في إندونيسيا. وفي وجهة نظري، هناك كثير من الارتباك في هذا العلم، وخاصة بالنسبة للمسلمين. لسوء الحظ، هذا العلم ينتشر ويصبح دليل الحياة بالنسبة لهم. في الوقت الحاضر ممعظم  المسلمين أكثر فخور لتعلم هذه الحياة من علم النفس وليس من القرآن، وأنها تستمع إلى عالم نفسي أكثر من العلماء في علم الشرع. في الواقع هذا ما يرام طالما علم النفس تعليم الأدلة الحقيقية إلى الجنة، ولكن إذا كان يعلم الناس أن تصبح بعيدة عن دينهم، فإنه ينبغي تصحيح. لذلك أريد دراسة علم النفس في المنظور الإسلامي من أجل العثور على حقيقة علم النفس.

وآخرها، هناك فائدة كثيرة لتعلم اللغة العربية من منظور العلاقات الدولية. اللغة العربية هي اللغة الخامسة الأكثر استخداما من حيث عدد الناطقين بها[3]. أنا شخصيا أحب العيش في بلد مختلف. على سبيل المثال لقد عشت في هولندا قبل بضع سنوات. التقيت بكثير من الناس من الدول العربية هناك، وخاصة أولئك الذين أصبحوا لاجئين. ووجدت أيضا العديد منهم منتشرة في دول أوروبا. أشعر أن أخوتهم قوية جدا لبعضهم البعض. لسوء الحظ، فإنهم يتحدثون عادة باللغة العربية. لذلك لم أكن أعرفهم جيدا. أتمنى عندما أتعلم العربية وأمارستها، أستطيع أن أهضم في مجتمعهم و أشعر بجمال الأخوة. 

#إسكان الطلاب بجامعة الملك سعود بالرياض

[1] القرآن الكريم سورة الزخرف آية 3
[2] السعدي, عبد الرحمن. (٢٠١٥). تفسير السعدي. (ط٢). الكويت: مؤسسة الرسالة ناشرون.
[3] ويكيبيديا. قائمة اللغات حسب عدد متحدثيها الأصليين. ٢٠١٧. تم الاسترجاع ٠٦\٠٥\٢٠١٧ م. من http://bit.ly/1JasbQ6