December 25, 2017

Responmu Karaktermu

Melihat karakter, kecenderungan, afiliasi, atau ketertarikan seseorang yang baru kita kenal sebenarnya tidak terlalu sulit. Secara umum hal itu bisa kita ketahui melalui respon-respon awal dia dari topik pembicaraan kita, seperti yang belakangan ini saya perhatikan.

Beberapa minggu ini saya sering bertemu dengan orang-orang baru. Maklum, saya sedang berada di Padang, kota yang belum pernah sekalipun saya kunjungi sebelumnya. Tidak ada orang yang saya kenal di sini selain istri saya. Karena itu, mau tidak mau saya harus berkenalan dengan orang lain demi melestarikan teori “manusia sebagai makhluk sosial”, bukan sebagai makhluk online.
Nah, dari perkenalan dengan orang-orang baru itu saya coba mengintip karakter lawan bicara saya. Ingat, cuma diintip lho ya, artinya hanya melihat sedikit saja, bukan memelototi. Manusia itu seperti palung, terlalu dalam kalau mau diselami hanya dengan satu tarikan nafas. *ini lagi ngomongin apa?*

Well, analisis sederhana saya berangkat dari pernyataan tentang latar belakang. Kepada banyak orang yang saya temui, saya katakan bahwa saya mahasiswa yang belajar di Arab Saudi. Saya rasa ini menarik mengingat setiap orang tentu memiliki gambaran sendiri tentang Arab Saudi dan gambaran itulah yang saya jadikan tolak ukur penilaian saya.
sumber : unlockingthegrowth.com

Secara umum, respon orang ketika mendengar pernyataan bahwa saya kuliah di Arab Saudi terbagi menjadi beberapa tipe. Pertama, ada yang merespon dengan ukuran finansial. Mereka berpendapat bahwa kuliah di Arab Saudi pasti mendapat uang yang banyak mengingat Arab Saudi adalah negara Petro Dolar. Mereka yang merespon dengan perkataan seperti ini pastilah orang yang banyak memikirkan untung rugi (dalam hal materi). Hidupnya penuh dengan perhitungan.

Kedua, ada pula yang merespon dengan ukuran spiritual. Menurut mereka, saya sangat beruntung bisa kuliah di Arab Saudi karena dengan begitu saya bisa umroh dan haji gratis. Respon seperti ini sebenarnya sangat lazim bagi orang Indonesia karena bangsa kita termasuk bangsa yang relijius. Akan tetapi, jika respon itu dilontarkan oleh anak muda, saya kira akan ada kredit tersendiri untuknya. Menurut saya, hal itu menunjukkan adanya hubungan transenden yang baik antara dia dengan Tuhannya.

Ukuran educational adalah respon lain yang disampaikan oleh beberapa kenalan baru saya. Mereka berpendapat bahwa dengan kuliah di Arab Saudi, saya punya kesempatan luas untuk menuntut ilmu kepada para syaikh. Dari atensi yang tinggi atas ilmu itu, sepertinya saya tidak perlu menjelaskan lagi bagaimana karakter dia secara umum.

Terakhir, ada yang merespon pernyataan saya dengan ukuran logical. Bagi mereka, rasanya terlalu aneh kalau saya memilih belajar psikologi di Arab Saudi karena sepak terjang negara itu tidak pernah terdengar di dunia ke-psikologi-an. Menurut saya, tipe orang dengan respon seperti itu adalah orang yang disiplin, taat aturan serta cenderung idealis. Akan tetapi, terkadang menjadi terlalu kaku dan sulit berimprovisasi.

Nah, begitulah analisis sederhana saya atas karakter umum orang-orang yang saya temui berdasarkan respon mereka atas pernyataan saya. Jangan terlalu dipercayai karena saya menulisnya hanya sekedar suka-suka. Benar atau salahnya saya tidak tau karena terlalu membuang-buang waktu untuk mengukur validitas dan reliabilitasnya. Atau kalau anda penasaran, coba cross check dengan jawaban anda, bagaimana jawaban anda atas pernyataan saya di atas, lalu bandingkan analisis saya dengan karakter asli anda. Pusing ya? Iya, saya juga.

#Lubuk Minturun – Padang

November 29, 2017

Kemana sih yang Jauh?

Bumi ini terasa semakin kecil saja. Tentu tidak secara harfiah mengecil dalam segi ukuran, tapi perasaan saya saja. Sekarang kita mau pergi kemana pun rasanya mudah. Tiket pesawat mudah didapat di situs online, harganya pun sekarang jauh lebih terjangkau. Berbeda sekali dengan kondisi sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Dulu kalau mau kemana-mana rasanya ribet. Banyak mikirnya. Banyak prepare-nya. Banyak capeknya.

Saya ingat dulu ketika awal-awal kuliah di Jogja (sekitar tahun 2008). Kalau mau ke Jogja atau mau pulang kampung ke Tangsel, seminggu sebelumnya saya harus pergi dulu ke terminal untuk mencari tiket bis. Yah bisa saja saya beli tiket di hari H keberangkatan, tapi kan tidak ada jaminan bahwa tiketnya masih tersedia. Kalaupun tersedia, belum tentu armadanya bagus dan sesuai. Begitu pula kalau saya mau naik kereta api, saya harus memastikan dulu ketersediaan tiket di stasiun. Karena hal ini pula, pada awal-awal kuliah saya jarang naik kereta karena jarak rumah ke stasiun terdekat, Pasar Senen, sangat jauh dan saya malas menjelajahi kemacetan ibukota hanya untuk mendapatkan tiket. 

Akan tetapi semua keribetan itu musnah ketika situs jual beli online menjamur. Sekarang kita bisa pesan tiket kapanpun, dimanapun dan dengan tujuan kemanapun. Tanpa harus repot-repot pergi dan antri di terminal atau stasiun. Dari kamar sendiri saja kita sudah bisa urus semuanya. Mau tiket bis, kereta, pesawat, hotel atau rental mobil, semua dapat di-handle melalui situs tersebut. 

Butuh Keberanian
Akan tetapi berbagai kemudahan itu tidak serta merta membuat orang berani bepergian keluar kota, terlebih keluar negeri. Meskipun mereka memiliki modal dan sumber daya, tapi nyatanya banyak pula yang hidupnya dihabiskan hanya di satu kota atau satu negara saja tanpa pernah mengunjungi belahan bumi yang lain. Dalam hal ini mental lah yang berbicara.

Tidak banyak orang yang memiliki mental petualang. Hambatan berupa kecemasan menghadapi zona tidak nyaman sering menjadi penghalangnya. Mereka mungkin memiliki keinginan untuk keluar kota/negeri, entah untuk liburan atau bekerja, tapi mereka takut untuk memulainya. Padahal jika sekali saja hambatan itu didobrak, niscaya mereka tidak akan khawatir lagi kemanapun mereka pergi.

Kalau mau dikupas lebih dalam lagi, sebenarnya apa yang menjadi ketakutan itu biasanya muncul di awal saja dan itu sangat wajar. Sebagaimana kita dulu pernah takut ketika mulai belajar bersepeda, tapi lama kelamaan kita enjoy kebut-kebutan dengan kawan-kawan. Mengapa pada awalnya kita takut? Karena kita tidak punya pengalaman. Kita tidak tau bagaimana bersepeda, bagaimana jatuh, ngebut, standing, (bersepeda sambil) lepas tangan, dan sebagainya. Tapi karena kita berani mendobrak ketakutan itu, maka akhirnya sekarang kita bisa menikmati kegiatan bersepeda.

Pun demikian dengan bepergian ke luar kota/negeri. Pada awalnya pasti ada perasaan cemas atau takut. Hal itu sangat manusiawi dan itu pertanda bahwa kita adalah manusia sehat dan normal. Jiwa dan raga kita merespon apa yang seharusnya direspon. Tapi bagaimana kita menghadapi rasa cemas dan takut itu akan menentukan bagaimana kita kedepannya. Kalau kita lari dari ketakutan itu, maka selamanya kita akan terkungkung. Tetapi kalau kita berani melawan dan mendobraknya, Insya Allah kedepannya tidak ada halangan lagi bagi kita untuk bepergian jauh.

Akan tetapi perlu diingat pula, jangan sampai kepergian kita keluar kota/negeri hanya bermodalkan nekat semata, terlebih kalau kita sudah banyak tanggungan (istri dan anak). Semuanya tetap butuh pertimbangan dan hitung-hitungan. Jangan sampai keberangkatan itu justru membawa mudharat yang lebih besar bagi kita dan keluarga. 

#Ulak Karang – Padang 

October 31, 2017

Status dan Kebersamaan yang Hilang



Wow… sudah tanggal 31 Oktober. Bulan sudah sampai di penghujungnya. Artinya, ini hari terakhir bagi saya membuat tulisan baru, haha. Yah, beginilah saya, kalau tidak ditarget satu bulan minimal satu tulisan, mungkin blog ini seperti pemakaman, sepi. Sudah ditarget pun kadang kecolongan sampai kebablasan tidak bikin tulisan sama sekali, atau tetap bikin tapi ditunda-tunda sampai injury time. Padahal sebagai civitas psikologi, semestinya saya mengerti betul prokrastinasi dan cara menghadapinya. Tetapi sebagai pembenaran, kalau dokter saja boleh flu, semestinya psikolog juga boleh prokrastinasi dong, hehe.

Lumayan satu paragraf :p

By the way kembali ke tema, tentang status dan kebersamaan yang hilang. Ide tulisan ini sebenarnya berawal dari pertanyaan beberapa teman tentang diri saya yang semenjak menikah jarang (atau bahkan tidak pernah) update status lagi di Black Berry Messenger (FYI, saya tidak punya medsos mainstream macam Facebook, Twitter, IG, dll).

Kalau dipikir-pikir dugaan mereka ada benarnya. Bahkan meski tidak dipikir-pikir pun dugaan mereka tetap ada benarnya, karena nyatanya saya memang jarang sekali update status. Seingat saya malah saya tidak pernah lagi update status di BBM setelah menikah. Sedangkan di WhatsApp kalau tidak salah pernah update 2 – 3 kali.

Kelangkaan saya dalam updating status bukan karena malas atau tidak ada hal menarik lagi yang saya alami. Sebaliknya, kejadian menarik berupa momen lucu, sedih, senang, berkesan atau apapun masih berseliweran mengisi hari-hari saya. Bedanya, saya tidak tertarik lagi membaginya ke khalayak umum. Saya lebih suka membagi hal tersebut kepada pasangan saya, yang dengan itu kami bisa saling menimpali, memberikan feedback, dan memaknainya bersama-sama. Saya kira dengan begitu saya dapat menyiasati penyakit utama kaum Adam berupa talk less (irit bicara).

Perlu diketahui, laki-laki memiliki penyakit bawaan yang sangat tidak disukai kaum wanita, yaitu irit bicara. Hematnya laki-laki dalam berbicara sering diartikan perempuan sebagai bentuk ketidakacuhan, cuek, tidak perhatian atau bahkan pengucilan. Sebenarnya permasalahannya tidak sesederhana itu. Pembicaraan laki-laki yang terkesan “seadanya” sejatinya karena stok kata yang mereka miliki dalam sehari memang sedikit, hanya berkisar 6 – 7 ribu kata saja. Berbeda jauh dengan perempuan yang memiliki stok 18 – 20 ribu kata. Sehingga jika stok yang sedikit itu digunakan untuk “foya-foya” sesuatu yang mubazir, maka jangan heran kalau ada pihak yang akan merasa dicueki atau tidak diperhatikan.

Kembali ke masalah update status, saya kira permasalahan keluarga zaman sekarang, berupa renggangnya simpul kekeluargaan, juga bermula dari sana. Jika masing-masing anggota keluarga punya smartphone dan sibuk berbagi hal-hal yang mereka alami di media sosial, maka tidak ada hal yang menarik lagi yang akan dibicarakan di antara anggota keluarga karena masing-masing telah mendapatkan atensi yang mereka ingin dan perlukan dari teman-teman dunia mayanya.

Hal ini berbeda sekali dengan era 90an dulu. Meskipun jumlah penduduk tidak sepadat sekarang, tapi ikatan tali persaudaraan begitu rapat terajut. Di warung, para pelanggan saling bercengkrama. Di kendaraan umum, para penumpang saling berbicara. Di pasar, pembeli dan penjual saling bertegur sapa. Sekarang, semua itu dilakukan di media sosial dengan update status. Ini menjadi ironi, berdasarkan data, penduduk dunia senantiasa bertambah setiap tahunnya. Tetapi berdasarkan fakta, kehidupan terasa begitu sepi karena sebagian besar penduduk bumi telah hijrah ke dunia maya.

#Pondok Cabe – Pamulang

September 28, 2017

Ketika Si Jepang Berhijrah



Saya tidak bisa menyembunyikan kegembiraan saya atas berita yang baru saja saya dengar dari teman saya, seorang mahasiswa Jepang. Reo namanya. Dia adalah teman saya di ma’had lughoh King Saud University. Saya sudah mengenalnya setahun terakhir. 

Pertama kali berkenalan sejujurnya saya tidak memiliki ekspektasi yang lebih padanya. Biasanya mahasiswa yang datang dari negara maju tidak punya keinginan serius untuk belajar Bahasa Arab. Hanya sekedar tau saja. Tapi begitu berbicara dengan Reo, saya begitu takjub karena penguasaan kosakatanya sangat banyak dan pronounce nya sangat bagus. Beda dengan orang asing kebanyakan. “Orang langka nih” gumam saya dalam hati.

Hari berganti hari, saya semakin dibuat takjub oleh kepiawaiannya menguasai Bahasa Arab. Dengan kosakata yang sangat kaya dan pemahaman grammar yang sangat baik, tak pelak dia menjadi bintang kelas. Dosen pun banyak yang memuji skill bahasanya.

Satu hal yang bikin saya merinding, dia mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan bertajwid. Bahkan tidak hanya membaca, tapi juga menghafal! Pada level tiga, kami memang diwajibkan menghafal akhir juz 30 (sekitar surat Al-Buruj sampai surat An-Naba) dan Si Jepang ini mampu menghafal semuanya. Hal itu mungkin menjadi biasa kalau dia seorang muslim. Akan tetapi menariknya dia bukan seorang muslim!

Ya, Reo beberapa kali cerita kepada saya bahwa dia tidak memiliki agama yang jelas. Walaupun mayoritas orang Jepang beragama Budha, tapi dia tidak menyebut dirinya sebagai pemeluk agama tersebut. “Agama di Jepang hanya sebagai formalitas saja. Orang-orang sudah jarang pergi ke kuil” begitu kira-kira dulu dia pernah menyampaikan.

Kami sering berdiskusi masalah keyakinan, tapi saya sendiri tidak pernah memaksakan dia menjadi muslim. Saya hanya pernah sekali waktu mengajak dia sholat, itupun dalam keadaan bercanda. Waktu itu dia bilang, “Saya dulu pernah sholat sekali di Jepang.” Jawaban tersebut membuat saya kaget sekaligus senang karena bisa jadi dia sudah memiliki ketertarikan dengan agama ini.

Setelah program ma’had selesai dan kami kembali ke negara masing-masing untuk liburan, tidak ada kabar apa-apa lagi dari dia. Sampai akhirnya tadi sore, setelah kami sama-sama sudah kembali ke Riyadh, dia mengajak saya makan malam di restoran kampus.

Setelah bertukar kabar dan bincang tentang liburan, tiba-tiba saja dia berkata, “Eh antum tau gak, saya sudah menjadi muslim lho.” Bagai erupsi Merapi di hari yang bagus, saya kaget bukan main. Kaget nguing-nguing kalau isitlah kampungnya (entah kampung yang mana). Demi Allah saya sangat gembira mendengar kabar itu. Jauh lebih menggembirakan daripada kabar turunnya gaji (wkwk). Hal yang sangat saya impikan akhirnya terjadi juga. Reo menjadi muslim.

Mendengar kabar itu, saya tentu sangat antusias untuk mewawancarainya. Maka jadilah saya saat itu memberondong dia dengan pertanyaan kepo akut, mulai dari kapan dia bersyahadat, kenapa ingin menjadi muslim, bagaimana respon orangtua, dan sebagainya. Untungnya dia tidak mempermasalahkan ke-kepo-an saya dan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Reo bilang dia bersyahadat ketika kembali ke negaranya, tepatnya setelah Ramadhan. Dia mengaku sebenarnya sudah ingin masuk Islam sejak masih di Saudi, tapi dia ragu dan menunggu sampai kembali ke negaranya. Di negaranya, Jepang, ternyata keinginan untuk menjadi muslim masih kuat. Akhirnya dia pergi ke salah satu ma’had di Tokyo dan berdiskusi dengan muslimin asli Jepang di sana. Dan setelah itu, akhirnya yakinlah dia berislam. Masya Alllah. Tabarokallah.

Tentang orangtuanya, Reo mengatakan bahwa orangtuanya tidak mempermasalahkan dirinya menjadi muslim. Orangtuanya memberi kebebasan bagi dia untuk memeluk agama apapun sesuai keinginannya. Alhamdulillah…

Satu hal yang menarik, Reo bilang bahwa dia baru saja umroh sekitar 4 hari yang lalu. Masya Allah, baru masuk Islam aja sudah umroh ya. Banyak kaum muslimin yang bahkan gak sempat umroh sampai bertemu ajalnya. Sekarang dia sakit karena kecapean habis umroh, wkwk.

Ya Allah, saya benar-benar senang mendengar kabar Islamnya Si Jepang ini karena menurut saya dia sangat potensial. Selain cerdas dan humanis, dia juga merupakan produk asli Jepang. Seperti yang sering kita dengar, orang Jepang memiliki beberapa akhlak yang sangat baik. Tapi sayangnya kebanyakan mereka kafir. Nah, dengan Islamnya Reo, saya berharap dia bisa menjadi da’i dan ustadz bagi warga negaranya sehingga melalui wasilah dia, akan banyak orang Jepang yang berhijrah memeluk Islam. Aamiin Ya Allah.

#Asrama Mahasiswa KSU, Riyadh

August 28, 2017

Menyedekahkan Kelapangan



Pelaksanaan ibadah haji semakin dekat. Hajatan tahunan ini membuat kota Mekkah tiba-tiba saja bertambah populasinya sekitar 2,5 juta orang dalam waktu singkat. Dengan kondisi seperti itu, bukan hanya Masjidil Haram saja, yang menjadi pusat ibadah umat Islam, yang padat. Tetapi masjid sekitar pemondokan para jamaah haji juga dibanjiri penduduk musiman ini. Terlihat di sebagian besar masjid, jamaah yang menunaikan ibadah sholat lima waktu pasti meluber sampai ke halaman. 

Kondisi seperti ini membuat setiap orang harus legowo berhimpit-himpitan. Sekat-sekat kenegaraan, apalagi kedaerahan, harus benar-benar dilepaskan demi memberikan kesempatan yang sama bagi jamaah lain, baik dari negara sendiri maupun negara luar, untuk beribadah.

Ah, saya teringat momen Jumatan sekitar tiga pekan yang lalu. Saat itu saya masih punya kesempatan sholat Jumat di Masjidil Haram sebelum tugas sebagai Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) benar-benar menyibukkan saya. Saat itu saya datang cukup awal sebenarnya, sekitar jam sepuluh, tapi kondisi Haram sudah sangat penuh oleh jamaah. Tempat-tempat strategis yang biasanya saya datangi, sudah penuh terisi jamaah. Mau tidak mau, saya harus mencari tempat lain. Setelah berkeliling, akhirnya ketemulah saya dengan tempat yang cukup kondusif.

Seiring waktu, ketika waktu adzan semakin dekat, ujug-ujug datanglah seorang bapak yang sudah cukup tua. Dari penampilan dan ID-nya, terlihat bahwa beliau berasal dari Turki. Tanpa permisi dan basa-basi, tiba-tiba beliau duduk persis di depan saya, yaitu di tempat sujud saya (bukan shof depan). Sejujurnya respon awal saya ketika melihat hal itu adalah jengkel. Masa dia yang baru datang dengan seenaknya membajak tempat saya yang sudah datang sejak beberapa jam yang lalu? Tapi kemudian saya memaklumi, mengingat kondisi fisiknya yang sudah lemah, pasti sulit bagi beliau untuk berkeliling mencari tempat lagi.

Di saat itu pula saya teringat dengan potongan ayat 11 dari surat Al-Mujadilah yang berbunyi:
يا أيها الذين آمنوا إذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.”

Ah ya, Allah berjanji memberikan kelapangan bagi orang yang melapangkan. Dan apa yang harus kita risaukan kalau yang berjanji adalah Allah, Dzat yang tidak pernah menyelisihi janji? Kita (maksudnya saya) sering terjebak pada nafsu diri untuk mendapatkan kenyamanan dalam beribadah. Kalau menuruti nafsu, sebenarnya saya risih berhimpit-himpitan seperti itu. Saya ingin punya satu tempat khusus dimana saya bisa duduk bersila sehingga bisa beribadah dengan nyaman. Tapi bisa jadi itu adalah tipu daya setan agar kita tidak melaksanakan perintah untuk berlapang-lapang.

Berlapang-lapang itu mungkin terasa menyempitkan di awal, tapi anehnya setiap kali memulai sholat jamaah dengan posisi badan yang saling berhimpit, selalu saja menjadi lebih longgar ketika berdiri pada rokaat kedua. Ini sering kali saya rasakan. Yah, bisa jadi itulah bentuk sederhana pelunasan janji Allah kepada kita untuk memberikan kelapangan. Dan kelapangan di Surga semoga menjadi sebaik-baik balasan Allah bagi kita karena memberikan kelapangan untuk saudara kita.

#Mekkah Al-Mukarromah

July 23, 2017

Diaspora Milik Siapa?



Awal bulan ini (01/07/2017) saya menghadiri acara Konvensi Diaspora Indonesia di Jakarta. Ini adalah kongres diaspora Indonesia keempat sejak diadakannya kongres serupa pertama kali di Los Angeles pada 2012 lalu. Kongres yang mempertemukan seluruh diaspora Indonesia dari seluruh dunia ini adalah kongres diaspora terbesar karena (diklaim) dihadiri oleh 9.000 peserta dari dalam dan luar negeri dari 55 negara, 134 kota di dunia, dan 71 kota di Indonesia. Pelaksanaan kongres ini semakin spesial karena dihadiri oleh Barack Obama sebagai keynote speaker.

Saya hadir dalam forum tersebut awalnya hanya karena ingin mengisi waktu, itupun saya masih belum pasti jadi berangkat atau tidak. Tetapi begitu mendengar akan ada Obama, saya langsung menekadkan hati untuk datang. Biar bagaimanapun Obama adalah salah satu tokoh inspiratif dunia karena mampu mengakhiri dominasi kulit putih sebagai presiden di Amerika. Saya penasaran apa yang akan dia sampaikan dan kampanyekan selepas pensiun dari jabatannya itu.

Berita buruknya, sesi bersama Obama dibuat eksklusif karena hanya bisa dihadiri oleh 2.000 peserta yang mendapat tag khusus. Sembilan ribu peserta itu diminta berkompetisi melalui Twitter dan panitia akan memilih peserta yang beruntung. Saya yang tidak punya akun Twitter sempat sewot ke panitia dan mengirimkan mereka email protes, tapi karena tidak kunjung dijawab, akhirnya saya “bajak” akun Twitter adik saya, Fahrul, agar bisa ikut berkompetisi. Puji syukur, saya dapat tag khusus itu.

Kesan pertama begitu saya datang di kongres tersebut adalah, saya merasa seperti bukan sedang berada di Indonesia. Kebanyakan peserta yang hadir disitu, terutama di sesi Obama, berbicara dalam Bahasa Inggris. Seolah-olah mereka lupa kodrat mereka sebagai bangsa Indonesia dan sedang berada di tanah air. Entah mengapa mereka lebih nyaman berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia, apakah karena minder dengan bahasa sendiri atau karena sudah lupa saking lamanya tinggal di luar negeri?

Kesan lain yang lebih menyedihkan sekaligus menyakitkan adalah, sedikit sekali dari pembawa acara yang mengawali suatu sesi dengan menyampaikan salam “assalammu’alaikum…” Kebanyakan mereka hanya mengucapkan selamat pagi atau good morning. Entah mengapa salamnya orang Islam jarang digunakan, apakah karena terkesan norak, sehingga tidak cocok di acara “modern” seperti itu. Atau karena memang mayoritas peserta non muslim?

Bagi saya, fenomena ini sungguh memilukan. Sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya adalah muslim, sudah selayaknya umat non muslim memiliki rasa segan dan sungkan kepada umat muslim. Saya masih ingat dulu ketika sekolah, jika ada guru dari kalangan non muslim mau memberi pidato, biasanya dia akan menggunakan salamnya orang Islam sebagai bentuk conformity. Conformity, dalam bahasa sederhananya adalah  keinginan untuk diterima dan diakui oleh kalangan mayoritas. Tapi yang terjadi dalam kongres kemarin, saya tidak melihat adanya conformity tersebut. Seolah-olah (atau mungkin memang kenyataan?) yang menjadi mayoritas di acara tersebut adalah orang-orang non muslim. Atau muslim tetap menjadi mayoritas tapi atas nama toleransi, salam mereka diganti dengan salam yang lebih nasionalis?

Ah, menyedihkan sekali, mengapa di negeri ini pihak mayoritas selalu dipaksa untuk toleran kepada minoritas? Seakan-akan toleran itu hanya pekerjaan mayoritas kepada minoritas tanpa diperbolehkan berharap timbal balik. Atas nama toleransi, muslim selalu dipaksa mengalah kepada non muslim. Atas nama toleransi, muslim selalu diminta menghormati non muslim. Kalau terus-terusan seperti itu, bukankah itu lebih cocok disebut privilege (pengistimewaan) daripada toleransi?

#Mekkah Al-Mukarromah

June 30, 2017

(Lagi-lagi) Bandung


Kalau Jogja adalah Rajanya kota di hati saya, maka boleh lah Bandung saya angkat sebagai Ratunya. Kota ini tak henti-hentinya membuat saya terkejut atas progres positifnya. Selain tata kota yang indah, ruang terbuka hijau yang masih luas, dan terakhir saya dibuat geleng-geleng kepala melihat aktivitas dakwah yang maju pesat.

Ramadhan kemarin, sepertiga terakhirnya sengaja saya habiskan di Kota Kembang itu. Saya sedang sangat butuh keterasingan dan ketenangan. Dua hal yang sangat sulit saya dapat kalau saya memaksakan tetap berada di Tangsel. Nah, mengambil momen i’tikaf Ramadhan, saya kunjungi Bandung untuk ber-tahanuts (wkwk, gayane).

Saya berangkat dari Jakarta bareng Mas Firman, teman saya orang Bandung yang qodarullah saat itu baru selesai mengisi seminar di Depok. Untungnya punya teman orang Bandung adalah, selain dapat tebengan gratis (hehe), saya jadi punya info up to date tentang hal-hal yang sedang hits di sana. Dan hits pertama yang saya dengar dari Mas Firman adalah tentang fenomena Masjid Al-Lathif, markasnya gerakan Pemuda Hijrah, yang dikomandoi ustadz muda, Ustadz Hanan Attaki.  

Hmm…tapi tujuan utama saya ke Bandung sebenarnya bukan ke sana. Selain nama masjidnya masih asing di telinga, saya juga punya agenda sendiri. Saya ingin mengunjungi masjid-masjid yang memang sudah memberi kesan bagi saya dan masjid pertama yang saya kunjungi (sekaligus saya jadikan basecamp, hehe) adalah Masjid Salman ITB.

Masjid Salman, karena merupakan masjid kampus, memiliki ruh yang berbeda dengan masjid-masjid lain. Pertama kali saya datang ke sini, saya terkesan dengan ciri khas ketenangannya. Entah bagaimana saya harus mendeskripsikannya, tapi yang pasti saya suka dengan ruh masjidnya (hah?). Masalahnya (bagi saya), ketika saya datang kemarin, ternyata jamaah i’tikaf di Salman sangat banyak, padahal itu baru malam ke-21 dan aktivitas kuliah juga sudah diliburkan. Artinya, pikir saya mahasiswa yang i’tikaf di situ pastilah mahasiswa lokal, bukan dari luar kota. Kalau baru malam ke-21 saja sudah sebanyak ini, gimana malam setelahnya nih?
Suasana I'tikaf di Masjid Salman (sumber : dok. pribadi)

Tahun-tahun lalu (kecuali tahun 2016 karena saya tidak i’tikaf di sana), jamaah i’tikaf di Salman setau saya tidak sebanyak ini. Menurut saya ini lonjakan yang besar. Hal ini membuat saya berpikir ulang untuk menghabiskan banyak waktu di Salman. Kalau terlalu ramai begini, rasanya misi saya untuk mengasingkan dan menenangkan diri akan sulit tercapai, hehe. Oleh karena itu, sambil safari masjid, saya juga menyeleksi tempat i’tikaf lain sebagai alternatif Salman. Dari pencarian itu, saya memutuskan untuk i’tikaf di dua tempat selain Salman, yaitu Masjid Daarut Tauhid (DT) dan Masjid PUSDAI.

Tidak sesuai dugaan saya, ternyata Masjid DT tidak ramai-ramai amat. Ramai sih, tapi melihat popularitas DT yang sangat masyhur, jumlah jamaah saat itu rasanya masih belum ada apa-apanya. Jadi cukup kondusif lah bagi saya untuk i’tikaf. Mungkin A Factor (Aa Gym Factor, wkwk) menjadi salah satu penyebab kurang ramainya jamaah, karena saat itu Aa Gym sedang umroh. 

Satu hal yang membuat saya heran sekaligus tercengang adalah biaya i’tikaf yang menurun drastis dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu ketika saya tanya salah satu pegawai DT melalui WhatsApp, beliau bilang biaya i’tikaf sebesar 1 juta selama 10 hari. Hal itu membuat motivasi saya anjlok untuk pergi ke DT, wkwk. Tahun ini biayanya menurun drastis, hanya 100 ribu untuk 10 hari dengan fasilitas yang hampir sama (termasuk dapat ifthar dan makan sahur). Tapi mengingat rencana awal saya tidak i’tikaf di sini, maka saya tidak mendaftar secara resmi. Hanya sekedar ikut i’tikaf saja. Untuk ifthar dan sahur saya cari sendiri di luar. 

Tambahan info lain dari DT, masjid ini sedang memulai pembangunan lantai tiga (Masya Allah). Insya Allah daya tampung jamaah juga akan lebih banyak. Ke depan, kalau biayanya masih segitu, mungkin bisa jadi opsi utama untuk i’tikaf nih, hehe. Info lainnya, sepengamatan saya kemarin kelihatannya makin banyak akhwat menggunakan cadar (#eh). Lucunya (gak lucu juga sih), banyak diantara mereka yang memakai cadar dengan setelan akhwat lokal Indonesia. Maksudnya, cadar mereka dikombinasikan dengan rok, baju, serta hijab ala akhwat Indonesia, bukan setelan gamis seperti akhwat Saudi (dengan abaya hitamnya). Malah ngomongin cadar gini sih…

Okay, selanjutnya adalah Masjid PUSDAI. Awalnya juga saya gak niat i’tikaf di sini, tapi begitu melihat kondisinya yang kondusif, akhirnya saya memutuskan i’tikaf di sini juga. Tekad saya semakin bulat untuk menghabiskan beberapa malam di sini begitu mendengar bacaan imam tarawihnya yang sangat mengena di hati saya. Tapi sayangnya beliau menjadi imam di satu malam itu saja (hadeh). 

Satu catatan dari Masjid PUSDAI adalah, di sana tidak ada tempat penitipan tas. Jadi tas harus dijaga sendiri. Bagi saya yang i’tikaf seorang diri, rasanya was-was kalau meninggalkan tas saya begitu saya ada keperluan, misalnya ke WC, karena masjid itu berada di tempat terbuka. Maksudnya bukan seperti Masjid Salman yang ada di dalam area kampus yang cenderung tertutup. Sudah tertutup, plus ada fasilitas penitipan tas dan laundry segala pula, makanya saya jadikan Salman basecamp.

Dan masjid terakhir yang ingin saya bahas adalah Masjid Al-Lathif, yang juga menjadi fenomena terkini di Bandung. Masjid ini sebenarnya masjid kecil di tengah komplek. Ukurannya jauh lebih kecil dari Masjid Nurul Ashri Deresan – Jogja, tapi saya kira ruhnya hampir serupa. Ke depan bisa jadi masjid ini akan mengalami perluasan seperti Masjid Nurul Ashri.

Saya datang ke masjid ini di waktu sholat Isya dan tarawih bersama Mas Firman, dan itupun atas rekomendasi beliau. Sebelumnya kami makan malam di sekitar situ. Bahkan sejujurnya tujuan kami ke daerah itu awalnya adalah untuk makan malam. Nah pas makan itu Mas Firman bilang, “Ini kita sudah dekat sama Masjdi Al-Lathif nih, kamu mau sholat tarawih di sini? Kebetulan katanya sekarang imamnya Muzammil.” Karena penasaran, akhirnya saya iyakan ajakan beliau.

Begitu sampai di sana, saya langsung kaget melihat penuhnya parkiran. Kami sangat sulit mendapatkan tempat untuk parkir motor. Saking penuhnya, kami sampai harus keliling komplek untuk mendapatkan slot parkir. Itupun akhirnya kami parkir di dalam garasi orang, setelah si pemilik rumah membukanya untuk dijadikan lahan parkir dadakan. Tidak lama setelah kami dapatkan slot parkir, saya lihat jalan utama menuju masjid sudah diportal. Terlambat sedikit saja kami sudah tidak bisa masuk.

Setelah sulit mendapatkan slot parkir, kami lalu kesulitan mendapatkan shaf untuk shalat karena jamaah yang membludak. Untungnya panitia menggelar terpal di jalanan untuk mengakomodir jamaah yang tidak kebagian di dalam masjid. Akhirnya kami pun sholat di jalanan. Kesan spontan saya saat itu, “Ini sholat tarawih apa sholat Idul Fitri?” Haha. Saya tidak tau membludaknya jamaah apakah disebabkan M Factor (Muzammil Factor) atau memang biasanya seperti itu jumlah jamaahnya. Yang pasti saya memutuskan untuk tidak i’tikaf di situ karena overcrowd

Masjid Al-Lathif, sebagaimana sudah saya jelaskan di atas, adalah markas gerakan Pemuda Hijrah. Maka tidak heran kalau segmentasi utamanya juga adalah anak muda. Saya perhatikan sebagian besar jamaahnya (mungkin mencapai 90%) memang anak muda. Tentu saya sangat senang dengan fenomena ini dan saya berharap fenomena ini menular ke kota-kota lain, termasuk Tangsel. Aamiin…

#Home Sweet Home, Tangsel

June 12, 2017

Tentang Buka Bersama


“Suami sebenarnya sudah mengizinkan saya untuk buka bersama, tapi saya gak tega meninggalkan dia di rumah berbuka seorang diri” (seorang ibu paruh baya)

Kalimat pembuka di atas adalah kutipan percakapan saya dengan seorang ibu paruh baya. Sebuah percakapan singkat yang akhirnya membuat saya lama termenung, betapa orangtua kita dulu begitu memahami arti sebuah kesetiaan. Tidak hanya dipahami, tapi juga diinternalisasi dalam diri mereka sehingga tiap gerak lakunya merupakan ekspresi cinta pada pasangannya.

Dalam percakapan itu, Si Ibu mengaku diajak buka bersama oleh kerabatnya. Sebenarnya yang diajak bukan cuma ibunya, tapi juga seisi keluarganya. Namun Si Ayah berkeberatan untuk menghadirinya, entah karena udzur apa. Karena Si Ayah urung hadir, maka Si Ibu juga berkeberatan untuk hadir. Tidak tega katanya meninggalkan suaminya berbuka sendiri. So sweet. Meski demikian, beliau tetap mengutus anak-anaknya untuk memenuhi undangan tersebut.

Bagi saya, pilihan Si Ibu untuk mendahulukan Si Ayah adalah ekspresi kesetiaan. Bagi saya, pengorbanan Si Ibu untuk tidak menghadiri buka bersama kerabat agar bisa menemani Si Ayah berbuka adalah bentuk tanggung jawab. Bagi saya, ketulusan Si Ibu melayani Si Ayah adalah performa cinta yang sangat mulia. Ibu itu paham betul bagaimana ber-khidmat kepada suami, yang menjadi amanah utamanya di dunia ini, yang dengan khidmat itu beliau berharap ridho dari suaminya sebagai tiket terusan menuju surga.

Hari ini kita hidup di tengah gempuran feminisme yang sangat sadis. Kaum perempuan begitu ingin disejajarkan dengan laki-laki. Meski menolak paham feminisme, toh nyatanya banyak perempuan yang sangat ingin bisa mandiri sehingga menihilkan ketergantungan kepada suaminya. Sekilas, pemikiran ini terlihat normal-normal saja, bahkan dianggap baik oleh beberapa kalangan. Tapi bermula dari pemikiran ini pula, akhirnya banyak kaum istri yang durhaka kepada suaminya. Karena merasa memiliki kekuatan dan sumber daya, sikap ta’dhim mereka kepada suami perlahan memudar. Apalagi kalau ternyata penghasilan si istri lebih besar daripada suami. Bisa sangat berbahaya kalau keduanya tidak memiliki pondasi iman yang kokoh.

Kembali ke masalah buka bersama, dulu ada seorang aktivis dakwah yang sempat cerita kepada saya. Katanya beliau diprotes oleh ibunya karena hampir setiap hari memiliki jadwal buka puasa di luar dan sangat jarang berbuka di rumah bersama keluarga. Hmm…kelihatannya sepele, cuma masalah buka bersama, tapi saya rasa menjadi tidak se-sepele itu ketika ada hak-hak keluarga yang ditelantarkan. Iya, niat beliau memang mulia untuk menuntaskan proyek-proyek akhirat bertema dakwah, tapi bukankah seharusnya keluarga terdekat lah yang menjadi ladang dakwah utama kita? Penelantaran kita terhadap hak-hak keluarga, meski itu hanya sekedar berbuka puasa bersama, dapat mendatangkan kesan negatif dari keluarga kepada dakwah itu sendiri. “Gara-gara kegiatan yang katanya dakwah, anak saya jadi gak mau buka bersama di rumah.” Pikiran semacam itu bukan tidak mungkin mencuat di tengah anggota keluarga kita. 

Lalu apa hubungannya cerita pertama, feminisme, dan buka bersama? 

Hmm…saya mengamati nilai-nilai feminisme hakikatnya sudah sangat kentara, bahkan bermunculan di kalangan aktivis dakwah. Banyak aktivis dakwah (perempuan) yang sangat aktif berkegiatan di luar sehingga hak-hak keluarganya terpinggirkan. Padahal kalau mau dibikin skala prioritas, siapa sih yang menjadi prioritas tanggung jawab kaum perempuan? Bukankah anak-anak dan suaminya? (atau orangtuanya kalau dia belum menikah). Dan sebenarnya siapa yang paling berkewajiban keluar/safar untuk berdakwah? Bukankah justru pihak laki-laki?

Mungkin banyak aktivis dakwah yang berkilah, “Saya sudah menyiapkan semuanya (hidangan berbuka) untuk keluarga kok. Jadi saya tidak melalaikan tanggung jawab saya.” Kalau sekedar menyiapkan hidangan berbuka, saya kira tidak perlu disiapkan juga mereka (suami/anak-anak/orangtua) pasti akan tetap berbuka. Mereka bisa ke warung atau warteg untuk membeli ifthar. Tapi esensinya kan bukan di situ. Pelayanan istri kepada suaminya tidak akan pernah bisa disamakan dengan pelayanan mbak-mbak penjaga warteg. Bakti anak kepada orangtuanya tidak akan serupa rasanya dengan bakti bibi/pembantu di rumah. Ada keterputusan emosi di sana.

Saya di sini bukan sedang menggugat peran perempuan dalam dakwah. Sama sekali bukan. Hanya saja terkadang saya lihat ada ketimpangan antara pemenuhan kewajiban primer dengan sekunder.  Apa-apa yang bersifat sekunder kadang justru lebih diprioriotaskan, mengalahkan kewajiban primer. Hal ini yang sangat disayangkan.

Kita, biar bagaimanapun pahamnya terhadap syariat, kadang penerapannya justru kalah telak dengan orangtua-orangtua kita yang kita anggap “awam” dalam hal agama. Seperti kisah ibu yang saya sampaikan di awal, mungkin kalau ditanya pemahaman agama, beliau masih sangat kurang. Akan tetapi dalam hal praktik, bagaimana khidmat serta ta’dhim beliau kepada suami, lalu memenangkan hati kerabatnya dengan mengutus anak-anaknya, menurut saya sikap beliau sudah sangat excellent. Allahua’lam.

“Allahumma ihdinashshiratal mustaqim”

#Home Sweet Home, Tangsel

June 11, 2017

Akhir Cerita Sebuah Kelas Bahasa


Selasa 16 Mei 2017 menjadi hari terakhir saya berada di Ma’had Lughoh. Tidak terasa sudah dua tahun saya investasikan waktu saya di sana. Terasa begitu singkat jika mengenangnya saat ini, tapi tampak sangat lambat ketika menjalaninya dulu.

Kuliah di Ma’had Lughoh bisa dibilang susah-susah gampang (susahnya dua kali lho). Susah karena saya menjalani aktivitas yang repetitif seperti layaknya anak sekolah. Pergi pagi, pulang siang plus dibekeli PR hampir setiap hari. Susah karena saya tidak punya background Bahasa Arab sama sekali, bahkan sekedar angka pun dulu saya tidak tau. Lalu gampang karena para assatidzah di Ma’had yang begitu pengertian (semoga Allah menjaga mereka).

Dari empat semester yang saya lalui di Ma’had, bisa dibilang semester empat lah yang paling menyulitkan saya. Di semester itu saya ditempatkan bersama orang-orang yang sebenarnya sudah expert dalam Bahasa Arab. Total jumlah mahasiswa di kelas saya ada 6 orang, 2 dari China, 1 dari Jepang, 1 dari Afganistan, dan 1 lagi dari Somalia. 

Dua orang China itu adalah lulusan S1 Bahasa Arab di negaranya. Mereka datang ke Saudi hanya untuk memperbaiki kompetensi bahasa mereka. Satu orang Jepang adalah lulusan Ma’had Lughoh di Jepang dan pernah satu tahun belajar di Mesir. Dia menjadi mahasiswa terpandai di kelas dengan kosakata yang sudah sangat kaya. Mereka (orang China dan Jepang) itu baru bergabung di Ma’had pada semester ketiga. Lalu satu orang dari Afganistan juga pernah belajar Bahasa Arab di negaranya. Selain itu, bahasa nasional dia, Persia, merupakan bahasa yang masih serumpun dengan Bahasa Arab, bahkan hurufnya pun serupa. Lalu terakhir, satu orang Somalia, meski mengaku baru belajar Bahasa Arab di Saudi, tapi dia adalah lulusan madrasah diniyah. Tentu sudah tidak asing dengan istilah-istilah dalam Bahasa Arab.

Konsekuensi negatif dari penempatan yang tidak strategis itu adalah, saya menjadi mahasiswa yang tampak paling lemah di kelas. Celakanya, beberapa matakuliah seperti ta’bir syafawi (speaking), istima’ (listening) dan qiro’ah muwassa’ah (extensive reading) menggunakan sistem penilaian berdasarkan performa di kelas. Otomatis norma pembandingnya adalah teman-teman sekelas saya yang expert-expert itu. Dibandingkan dengan mereka tentu membuat saya kerdil. Bahkan saya sempat mengalami degradasi percaya diri akibat ketimpangan skill diantara kami.

Meski ada konsekuensi negatif dalam hal nilai (IPK), tapi saya tak menampik konsekuensi positif yang juga menjamur dari sistem penempatan itu. Ditempatkan bersama mereka yang sudah pandai membuat saya memiliki kemajuan yang pesat dalam bahasa. Istilah-istilah dan kosakata yang mereka gunakan umumnya sudah lebih maju dari mahasiswa kelas sebelah yang juga semester empat. Bahkan beberapa dosen kami juga sempat mengutarakan hal itu, bahwa kelas kami memiliki skill yang lebih advance daripada kelas sebelah (ehem).

Farewell Party
Dan penutup perjalanan kami selama di Ma’had adalah sebuah farewell party pada Selasa malam, 23 Mei 2017. Malam itu adalah malam terakhir duo China di Saudi. Esoknya mereka akan terbang ke China untuk final exit. Sedangkan teman-teman yang lain masih menunggu pemberkasan untuk masuk ke tingkat universitas. 

Well, meski agak ganjil, tapi saya akui saya sedih dengan perpisahan ini (apakah perpisahan selalu menyedihkan?). Kami baru saja akrab satu sama lain, menemukan chemistry untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Tapi kami harus segera berpisah dan menjalani hidup kami masing-masing. Duo China akan kembali bekerja sebagai PNS di negaranya. Si Jepang akan masuk ke kuliah (S1, meski dia sudah punya gelar S1) untuk mengejar cita-citanya sebagai sastrawan Bahasa Arab. Si Afganistan akan terbang ke Amerika untuk berkumpul bersama keluarganya. Dan Si Somalia juga akan masuk ke kuliah untuk merasakan pendidikan tinggi yang merupakan barang langka di negaranya. Lalau bagaimana dengan saya? Hmm…pertanyaan sulit. Tidak bisa saya jawab sekarang.

Kembali ke farewell party, “pesta” itu dibagi menjadi dua shift. Shift pertama kami makan malam di sebuah mall di Riyadh. Sejujurnya ini adalah pertama kali saya masuk mall di Arab Saudi, haha. Saat itu hampir semua tagihan dibayar oleh Si Jepang. Luar biasa memang orang ini. Yang menarik, saat itu Si Jepang memakai kimono (pakaian khas Jepang) lengkap dengan sandal bakyak-nya, dan akibat pakaiannya itu, dia sempat beberapa kali berurusan dengan security mall. Maklum, Saudi termasuk negara yang “kolot” sehingga cara berpakaian pun sangat diperhatikan. Beruntung, meski sempat dilarang, Si Jepang pada akhirnya diperbolehkan masuk mall. 

Kalau Si Jepang memakai kimono yang sangat menarik (terbukti beberapa orang minta foto sama dia), maka Si Somalia memakai kemeja dan dasi, lengkap dengan jasnya agar tidak kalah menarik. Alih-alih membuat orang tertarik, menurut saya justru terlihat sangat norak, haha. FYI, Si Somalia ini adalah sasaran bully di kelas. Dia seringkali membuat orang tertawa dengan tingkahnya. Kalau sudah berdebat dengan Si Afganistan, tidak ada yang bisa memisahkan kecuali jam pulang. Meski Si Somalia seringkali di-bully, tapi dia tidak pernah marah. Itu yang sangat saya suka darinya.

Shift pertama selesai sekitar jam sepuluh malam. Kami langsung kembali ke kampus untuk melanjutkan farewell party shift kedua karena pada shift pertama tadi Si Afganistan urung bergabung. Shift kedua berlokasi di kafe kampus. Kami ngobrol lama sekali di sana. Hampir jam dua dinihari kami baru bubar. Sejujurnya saya tidak pernah bergadang selama di Saudi dan sangat rentan ngantuk, tapi pada malam itu selalu ada bahan cerita untuk kami obrolkan sehingga tak terasa waktu sudah sangat larut. 

Di kesempatan itu pula kami bertukar cindera mata sebagai kenang-kenangan sebelum berpisah. Mengingat saya tidak menyiapkan apa-apa dari Indonesia, maka gantungan kunci dari Mesir saya jadikan cindera mata untuk mereka. Saya sendiri dapat beberapa cindera mata dari Duo China dan Jepang. 

Setelah benar-benar kehabisan bahan obrolan, ditambah energi yang sudah melemah, kami pulang ke mabna (asrama) masing-masing dengan kepala berat. Berat karena perpisahan, juga berat karena ngantuk.

#Home Sweet Home, Tangsel
#Perdana ngetik pake iPad dan eksternal keyboard-nya, enak juga

June 6, 2017

Ramadhan di Mekkah



Ramadhan di Mekkah mungkin menjadi puncak safari Ramadhan saya selama ini.  
Benar-benar pengalaman yang tak ternilai. Kesempatan saya merasakan bulan Ramadhan di tanah suci Mekkah adalah pengalaman monumental. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Alhamdulillah saya melewati puasa hari pertama sampai hari kelima di sana. Merasakan khusyuknya puasa, semaraknya ifthar (berbuka), serta khidmatnya sholat tarawih bersama jutaan jamaah di Masjid Al-Haram. Meski hanya lima hari, tapi benar-benar syahdu.

Saya memang  sengaja merencanakan kegiatan itu sebelum pulang ke tanah air. Kalau melihat jadwal libur, sebenarnya libur kuliah sudah dimulai sejak sebelum Ramadhan*, tapi saya pikir kapan lagi mendapat kesemptan merasakan I’tikaf di Haram? Tahun depan saya belum tentu masih ada di Saudi. Selain itu, kemarin saya juga sempat ada masalah visa dan baru kelar menjelang Ramadhan. Jadi sayang sekali rasanya melewatkan Ramadhan di Haram yang sudah ada di pelupuk mata.

Saya berangkat ke Haram bersama teman-teman pada malam pertama Ramadhan (tarawih pertama). Jadi otomatis saya tidak dapat tarawih pertama di Haram. Sebisa-bisanya saya usahakan tarawih di bis. Kami baru tiba di Mekkah sekitar pukul 6 pagi dan langsung melaksanakan umrah. Tahukah kamu bahwa pahala umrah Ramadhan setara dengan haji? :)

Teman-teman saya umumnya hanya membawa perlengkapan sedikit karena mereka hanya menetap dua hari di Haram (mereka mau pulang ke Indonesia dua hari setelahnya). Jadi tas mereka bisa dititipkan di penitipan barang. Adapun barang bawaan saya lumayan banyak karena rencananya akan menetap selama seminggu. Agak berat rasanya kalau dititipkan di loker karena lumayan mahal. Untungnya saya punya kenalan TKI yang kontrakannya dekat dengan Haram. Jadi saya bisa menitipkan tas saya di kontrakan dia.

Puasa di Haram, meski secara zahir terlihat berat, tapi nyatanya sangat dapat dinikmati. Bagaimana tidak berat lha wong kita puasa di bawah suhu 47 derajat Celcius dengan durasi puasa mencapai 15 jam? Tapi karena suasana di Haram sangat kondusif, hal itu jadi tidak terlalu terasa. Semua mengalir begitu saja. Tau-tau ashar, tau-tau buka puasa, tau-tau tarawih, tau-tau selesai tarawih, tau-tau sahur, dan seterusnya.

Geliat semarak Ramadhan di Haram biasanya dimulai ba’da ashar. Saat itu orang-orang sudah mulai mempersiapkan takjil. Satu jam menjelang berbuka, halaman Masjidil Haram sudah full dengan jamaah yang berburu ifthar. Di saat-saat seperti ini, fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) para jamaah sangat jelas terlihat. Mereka umumnya memiliki makanan untuk dibagi ke jamaah lain. Jadi rasanya mustahil jika ada orang yang tidak kebagian ifthar. Sangat-sangat mustahil.

Oya, sebenarnya kita bisa memilih mau berbuka di dalam Masjid atau di halamannya. Menu berbuka di halaman masjid biasanya lebih banyak dan bervariasi, sedangkan di dalam masjid biasanya terbatas karena ada askar (penjaga) yang melarang orang membawa terlalu banyak barang, jadi jumlah muhsinin tidak sebanyak di area luar. Menu umum yang biasa dijumpai di Haram (baik di dalam maupun luar masjid) biasanya adalah kurma, zam-zam, kopi, teh, laban (yoghurt), roti, jus, dan buah.

Setelah berbuka dan sholat Maghrib, jamaah bersiap untuk melaksanakan sholat Isya dan tarawih. Kegiatan yang biasanya dilakukan sambal menunggu datangnya waktu Isya adalah tilawah, meski ada juga yang memilih kegiatan lain seperti berbelanja atau cari makan berat. Jadwal sholat Isya di Haram dimundurkan sampai setengah jam. Kalau dilihat di jadwal sholat, semestinya Isya sudah masuk pukul 20.30, tapi adzan baru berkumandang pukul 21.00. Saya juga tidak paham apa alasannya.

Selesai Isya, jamaah langsung melaksanakan tarawih. Satu hal yang perlu diperhatikan jika kamu ingin tarawih di Haram adalah, pastikan kamu tidak sholat di tempat tawaf. Karena askar akan mengusir kamu secara paksa jika kamu ngeyel. Saya dan teman-teman pada malam kedua Ramadhan sebenarnya sudah mendapatkan posisi yang sangat yahud bin ideal, di depan Ka’bah. Tapi sayangnya posisi itu hanya bertahan sampai selesai sholat Isya karena setelah Isya kami disuruh ke bagian belakang (di luar lokasi tawaf) untuk sholat tarawih.

Menariknya, dalam hal ini (pembubaran jamaah) askar tidak memberikan toleransi sama sekali. Biasanya, jika membubarkan jamaah yang sholat tidak pada tempatnya, askar akan menunggu sampai jamaah selesai sholatnya, tapi pada pelaksanaan tarawih ini mereka memaksa dan mendorong jamaah untuk pindah ke lokasi lain selain lokasi tawaf tanpa menunggu selesainya sholat. Jadi jamaah dipaksa membatalkan sholatnya. Lucunya, saat itu saya sudah terlanjur sholat di lokasi tawaf bersama jamaah lain. Ketika tarawih sudah masuk satu rakaat, datang askar untuk membubarkan kami. Seorang askar sudah memegang saya dan bersiap mendorong, tapi kemudian ada seorang syaikh (penjaga Haram juga) yang memakai misylah (gamis beserta jubah hitamnya) mengomando askar itu, “Sudah, tidak apa-apa, mereka sudah dapat satu rakaat. Dibubarkannya nanti saja setelah selesai salam”. Akhirnya selamat lah kami dari relokasi paksa si askar, wkwk.

Jumlah rakaat sholat tarawih di Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) adalah sebanyak 23 rakaat. Selain di dua tempat itu, hampir semua masjid di Saudi melaksanakan tarawih 11 rakaat. Di Masjidil Haram, biasanya sholat tarawih dilaksanakan selama dua jam, dimulai sekitar pukul 21.15 dan berakhir pukul 23.15. Tidak perlu ditanya bagaimana kualitas bacaan imam-imamnya. Duh, subhanallah banget deh. Bacaan yang biasanya cuma kita dengar lewat murattal mp3, saat itu hadir langsung memanjakan telinga kita. Sehingga dua jam pelaksanaan tarawih rasanya mengalir begitu saja.

Satu hal penting yang saya catat dari para imam di Haram adalah tentang “profesionalitas” mereka. Begini, sudah menjadi rahasia umum bahwa pelaksanaan shalat jamaah, apalagi qiyamul lail, selalu mengundang syahdu. Tidak jarang para imam menangis ketika membaca surat-surat Al-Qur’an, terlebih imam Masjidil Haram. Nah, yang saya kagumi dari para imam Haram adalah, meskipun tidak jarang mereka menangis, tapi mereka mampu mengontrol tangis dan emosi mereka sehingga tidak berlarut-larut. Sekedarnya saja. Dan hebatnya lagi, mereka mampu menjaga bacaan mereka tetap baik sesuai dengan tajwidnya meski membaca sambal menangis. Hal berbeda sering saya dapati di Indonesia. Imam di masjid-masjid Indonesia sering kali tidak mampu mengontrol emosi dan tangis mereka sehingga larut dalam tangisnya. Saya tidak mengatakan hal itu sebagai suatu keburukan, tapi menurut saya itu sangat berbahaya. Bahaya jika ternyata kita justru lebih menikmati tangis kita daripada mengingat pesan dari ayat tersebut. Allahua’lam.

Selesai tarawih, sebagian besar orang keluar untuk mencari makan atau kembali ke hotel. Oya, qiiyamul lail di Haram baru dilaksanakan mulai malam ke 16 (kata teman saya). Jadi pada malam kesatu sampai ke lima belas, tidak ada kegiatan lagi selepas tarawih. Kegiatan berjamaah baru dimulai lagi ketika masuk waktu subuh.

Well, i’tikaf di Haram adalah sesuatu yang sangat spesial. Kalau ada kesempatan, jangan sampai disia-siakan. Beberapa catatan yang harus diperhatikan untuk I’tikaf di Haram diantaranya adalah:

  • Sebisa mungkin kerjakan sholat di dalam area masjid, bukan di halaman depan karena sangat tidak kondusif, banyak orang lalu lalang
  • Jangan sholat tarawih di area tawaf kalau tidak mau diusir paksa oleh askar
  • Jangan membawa barang berlebih ke area dalam masjid (bisa dilarang masuk)
  • Kalau mau ikut buka bersama atau cari ifthar, usahakan datang paling telat satu jam sebelum berbuka agar dapat tempat yang kondusif
  • Kalau mau menginap, usahakan bawa sajadah/sarung/ihram untuk dijadikan selimut karena di dalam cukup dingin

 * note : seharusnya libur kuliah dimulai di pertengahan Ramadhan, tapi kemudian Raja Salman memajukan jadwal ujian di seluruh lembaga pendidikan sampai sebelum Ramadhan.

#Home Sweet Home, Indonesia

May 16, 2017

Thesis : The Most Destructive of Student Mentality



Kita sering berharap agar kita bisa meraih kesuksesan bersama teman-teman yang membersamai kita sejak awal. Anak-anak SMA kelas XII misalnya, indikator kesuksesan yang paling utama bagi mereka adalah lulus ujian nasional. Setiap siswa tentu berharap agar dirinya dan semua temannya, terutama yang satu sekolah, bisa lulus tanpa terkecuali. Ada perasaan kebersamaan yang kuat diantara mereka karena mereka memulai perjuangan itu bersama-sama.  Mereka memahami susah dan senangnya menghadapi perjuangan itu. 

Pun begitu dengan anak kuliah, indikator kesuksesan mereka juga sama, yaitu lulus dan diwisuda. Begitu besar harapan kita agar semua teman seperjuangan kita bisa lulus dan diwisuda. Bersama-sama merasakan suka cita memakai toga setelah perjuangan panjang nan melelahkan di bangku kuliah. Akan tetapi, betapapun mulianya harapan itu, takdir sering berkata lain. Sering kita melihat teman kita (atau bahkan diri kita sendiri) punya masalah serius dengan skripsinya. Masalah yang pada akhirnya berdampak pada psikologisnya. Perasaan tertekan, stres, kemudian depresi karena skripsi yang tak kunjung selesai tidak jarang menjangkiti mahasiswa tingkat akhir. Bagi mereka yang memiliki daya lenting super, mungkin bisa bangkit setelah terpuruk untuk kemudian menyelesaikan skripsinya. Tapi sayangnya tidak semua orang dikaruniai sifat itu.

Ah, skripsi memang selalu menjadi momok paling menakutkan bagi mahasiswa. Kenapa menakutkan? Karena daya rusak skripsi bagi mental mahasiswa sangat tidak berpola. Dia meneror siapa saja, baik yang cerdas maupun kurang cerdas. Yang relijius maupun pendosa. Yang ber-IPK dewa maupun dua koma. Semua bisa terseret ke dalam stres yang berkelanjutan akibat skripsi yang tak kunjung kelar. Saya punya segudang contoh kasus dari permasalahan ini. Jadi jangan dikira orang yang cerdas bisa dengan mudah menyelesaikan skripsinya. Juga jangan beranggapan orang yang relijius akan lancar-lancar saja skripsinya. Belum tentu! Karena sekali lagi, semua variabel itu tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan kesuksesan menulis skripsi.

Menulis skripsi memang bukan sekedar urusan kecerdasan kognitif semata, tapi merupakan gabungan dari kecerdasan emosi dan spiritual. Ketika menulis skripsi mental kita akan digedor sekuat-kuatnya melalui berbagai permasalahan, entah ketidaksepahaman ide dengan dosen pembimbing, kesulitan dalam mencari rujukan, rasa malas yang dituruti, atau hal-hal administratif yang kelihatannya sepele. Penumpukan masalah itu bisa menggiring kondisi psikologis seseorang ke level terendah.

Saya pribadi, sangat tidak tega melihat kawan yang tertekan luar biasa karena skripsi atau tesis yang belum kelar. Tahun lalu, ketika saya sowan ke kampus saya (MMB UGM), seorang pengelola prodi bercerita kepada saya bahwa ada mahasiswa yang stres karena tesisnya belum juga selesai. “Badannya itu sampai habis lho mas, kurus banget sekarang” cerita karyawan itu kepada saya. Kisah dan deskripsi dari karyawan itu membuat saya sangat sedih karena saya kenal betul mahasiswa yang dimaksud. Saya tau dia mahasiswa yang pintar dan mudah bergaul. Saya juga sering melihat keseharian beliau yang selalu ceria dan antusias. Sampai kemudian keceriaan itu terampas oleh tesis.

Akan tetapi kabar itu tidak lebih mengagetkan dari kabar yang saya terima kemarin di salah satu grup BBM. Melalui grup itu, dosen kami, yang juga merupakan sekretaris prodi, mengabarkan bahwa mahasiswa angkatan 2013 yang tidak lulus bulan Juli tahun ini akan di-drop out. Hal yang membuat saya kaget bukan informasi drop out-nya, karena memang sejak awal kita sudah diwanti-wanti bahwa kuliah S2 cuma diberi jatah maksimal 4 tahun, saya kaget karena jumlah teman seangkatan saya yang belum lulus ternyata mencapai 10 orang. Itu artinya sepertiga dari jumlah keseluruhan kami. Angka yang fantastis menurut saya.

Apa sebab utama keterlambatan mereka? Allahu a’lam. Masing-masing orang pasti memiliki kisahnya sendiri. Saya hanya sedih jika mereka benar-benar di-drop out. Saya sedih karena saya tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantu mereka, orang-orang yang membersamai saya sejak memulai  kuliah S2. Dan saya sangat sedih karena ternyata saya sangat sibuk dengan urusan saya sendiri, sampai tidak tau bahwa ada 10 orang dari teman saya yang terancam DO. 

#Asrama Mahasiswa King Saud University – Riyadh

May 6, 2017

اللغة العربية: لماذا أتعلمها؟

 
لا شك أن اللغة العربية مهمة جدا لكل الإنسان، خاصة بالنسبة للمسلمين. العربية هي لغة القرآن الكريم والقرآن هو الهدى الذي يظهر الناس إلى الطريق الصحيح إلى الجنة. إذا كنا لا نفهمه جيدا فكيف يمكننا استخدامه بمثابة هدى؟ والله اختيار العربية لأنه سيكون من السهل لنا لتعلم كما ذكر الله في سورة الزخرف آية 3, قال تعالى: "إنا جعلناه قرآنا عربيا لعلكم تعقلون[1]". قال السعدي في تفسيره أن الله أقسم في هذه الآية وجعل بأفصح اللغات وأوضحها وأبينها, وهذا من بيانه[2]. لهذا السبب، أتعلم اللغة العربية في معهد اللغة في جامعة الملك سعود. حتى أفهم هذه المؤجزة جيدا.

ثم ثانيا، أريد أن أتعلم العربية لأنني مهتم في علم النفس في المنظور الإسلامي. في الواقع أنا قد تخرجت من قسم علم النفس في إندونيسيا. وفي وجهة نظري، هناك كثير من الارتباك في هذا العلم، وخاصة بالنسبة للمسلمين. لسوء الحظ، هذا العلم ينتشر ويصبح دليل الحياة بالنسبة لهم. في الوقت الحاضر ممعظم  المسلمين أكثر فخور لتعلم هذه الحياة من علم النفس وليس من القرآن، وأنها تستمع إلى عالم نفسي أكثر من العلماء في علم الشرع. في الواقع هذا ما يرام طالما علم النفس تعليم الأدلة الحقيقية إلى الجنة، ولكن إذا كان يعلم الناس أن تصبح بعيدة عن دينهم، فإنه ينبغي تصحيح. لذلك أريد دراسة علم النفس في المنظور الإسلامي من أجل العثور على حقيقة علم النفس.

وآخرها، هناك فائدة كثيرة لتعلم اللغة العربية من منظور العلاقات الدولية. اللغة العربية هي اللغة الخامسة الأكثر استخداما من حيث عدد الناطقين بها[3]. أنا شخصيا أحب العيش في بلد مختلف. على سبيل المثال لقد عشت في هولندا قبل بضع سنوات. التقيت بكثير من الناس من الدول العربية هناك، وخاصة أولئك الذين أصبحوا لاجئين. ووجدت أيضا العديد منهم منتشرة في دول أوروبا. أشعر أن أخوتهم قوية جدا لبعضهم البعض. لسوء الحظ، فإنهم يتحدثون عادة باللغة العربية. لذلك لم أكن أعرفهم جيدا. أتمنى عندما أتعلم العربية وأمارستها، أستطيع أن أهضم في مجتمعهم و أشعر بجمال الأخوة. 

#إسكان الطلاب بجامعة الملك سعود بالرياض

[1] القرآن الكريم سورة الزخرف آية 3
[2] السعدي, عبد الرحمن. (٢٠١٥). تفسير السعدي. (ط٢). الكويت: مؤسسة الرسالة ناشرون.
[3] ويكيبيديا. قائمة اللغات حسب عدد متحدثيها الأصليين. ٢٠١٧. تم الاسترجاع ٠٦\٠٥\٢٠١٧ م. من http://bit.ly/1JasbQ6