Alhamdulillah liburan musim panas
sudah tiba. Saya sudah bisa mudik ke Indonesia. Bahkan sudah sebulan lebih saya
berada di negeri tercinta. Sudah bisa menikmati sayur asem, ikan asin, mie
ayam, ketoprak, bakso, nasi goreng, sate, dan berbagai kuliner lain yang
menggoda. Sudah bisa merasakan hangatnya matahari dan sejuknya semilir angin
sore yang memanja. Alhamdulillah.
Meski semua itu sudah kembali
saya dapati, tapi ada proses yang menegangkan yang harus saya lalui sebelum
saya benar-benar bisa menginjakkan kaki di tanah air. Proses yang membuat saya
cemas, khawatir, serta ketakutan karena hampir saja saya batal pulang ke
Indonesia.
Kisah bermula ketika saya
mendengar omongan teman saya yang mengatakan bahwa kita bisa membawa dua tas ke
dalam kabin pesawat. Jadi menurut beliau, agar bisa membawa oleh-oleh lebih
banyak, maka sebaiknya masukkan baju ke dalam tas kabin sehingga koper bagasi bisa
dikhususkan untuk membawa oleh-oleh. Mengingat ini adalah kepulangan pertama
saya dan ada banyak oleh-oleh yang dibeli, maka saya ikuti trik beliau.
Singkat cerita, ketika ingin
loading koper di counter Oman Air, maskapai yang saya gunakan saat itu, saya
ditegur karena membawa dua tas ke dalam kabin sedangkan yang diperbolehkan
hanya satu tas. Itupun berat maksimalnya hanya 7 kg sedangkan dua tas saya itu
sekitar 15 kg. Sungguh saya tidak tau kalau ternyata kami hanya diperbolehkan
membawa satu tas saja. Saya sudah berusaha meminta pengecualian dengan alasan
bahwa saya mahasiswa dan membawa buku dan laptop (dan saya memang benar-benar
membawa keduanya), jadi tidak mungkin barang-barang itu saya tinggalkan, tapi
mereka tetap tidak mengizinkan. Akhirnya, sibuklah saya me-repacking tas saya.
Satu jam lebih saya repacking dua
tas saya agar bisa jadi satu tas dengan berat 7 kg. Hal yang agak mustahil
kalau saya tidak mengorbankan barang-barang di dalamnya. Maka dengan sangat
disayangkan, banyak pakaian saya buang. Beberapa barang yang bisa diberikan ke
orang lain, saya berikan ke mereka agar tidak mubazir, misalnya oleh-oleh. Berulang
kali saya datangi counter Oman Air untuk menimbang ulang, berulang kali juga
mereka menolak karena rupanya masih kelebihan. Sampai akhirnya saya diizinkan
membawa tas saya itu ketika waktu keberangkatan hampir tiba, kurang lebih 30
menit lagi.
Masalah kedua muncul di counter
imigrasi. Sidik jari saya tidak terbaca sehingga saya tertahan di imigrasi.
Berulang kali saya coba, yang artinya berulang kali pula saya mengulang antrian
karena begitu sidik jari saya tidak terbaca mereka menyuruh saya mengantri lagi
dari belakang, tapi berulang kali pula saya gagal. Sampai akhirnya saya cemas
luar biasa karena waktu keberangkatan yang segera tiba. Seorang penumpang lain
berasal dari Jordan sempat menasihati saya agar meminta didahulukan karena
waktu saya yang sangat mepet. Saya meminta bantuan beliau untuk meyakinkan
petugas imigrasi.
Awalnya petugas imigrasi itu
tetap tidak peduli dengan urusan saya. Dengan tampang sangar dia menyuruh saya
tetap pada antrian. Tapi setelah saya tunjukkan tiket dan meyakinkan dia bahwa
waktu yang saya miliki sangat sedikit, akhirnya petugas itu berbaik hati meminta
temannya yang lain untuk meng-handle saya.
Meski ada petugas lain yang meng-handle
urusan saya, bukan berarti semuanya langsung selesai. Saya masih tidak bisa
melakukan cek sidik jari. Paspor saya dibolak-balik oleh petugas itu, kemudian
dia menanyai beberapa hal sampai pada satu pertanyaan yang bikin saya kaget. “Kamu
punya masalah apa di sini?” tanya dia. Saya jawab, “Saya mahasiswa. Baru satu
tahun disini dan tidak punya masalah apa-apa”.
Setelah proses yang menegangkan
itu, akhirnya saya diperbolehkan masuk. Saya langsung cari tempat boarding Oman
Air. Untunglah masih belum tutup, walaupun sudah tidak ada lagi penumpang di
ruangan itu karena semua sudah masuk pesawat. Saya bersyukur bisa ikut
penerbangan malam itu.
***
Satu hal yang belakangan
terpikirkan oleh saya dan menjadi hikmah serta refleksi saya dari kejadian itu
adalah tentang keadaan manusia di akhirat kelak.
Saya membayangkan, pemeriksaan di
dunia yang dilakukan oleh manusia saja begitu ketatnya, lalu bagaimana pemeriksaan
nanti di akhirat yang dilaksanakan oleh para malaikat? Tidak terbayangkan ketatnya
pemeriksaan yang harus dilalui manusia untuk menentukan tempatnya di akhirat, Surga
atau Neraka. Saking ketat dan mencemaskannya, pemeriksaan itu bahkan menyebabkan
sebagian golongan harus merutuki diri sendiri, “Celakalah aku! Celakalah aku!”
disaat sebagian lagi tersenyum menunggu datangnya kenikmatan abadi.
Saya membayangkan, menghadapi
pertanyaan “punya masalah apa kamu disini?” dari petugas imigrasi saja sudah
begitu menegangkannya. Padahal itu hanya pertanyaan dunia. Kalaupun kita salah,
masih bisa kita perbaiki kemudian. Tapi jika yang bertanya malaikat, “punya masalah
apa kamu di dunia?”. Duh, itu sudah pertanyaan final. Tidak ada waktu lagi
untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan kita.
Saya membayangkan, kalau pada saat
pemeriksaan imigrasi saya masih bisa dibantu oleh orang Jordan yang baik. Yang
mau membantu saya meyakinkan petugas imigrasi. Hal serupa sudah tidak mungkin
saya dapati lagi di akhirat karena setiap orang akan sibuk dengan urusannya
masing-masing. Kita pun tidak bisa meminta belas kasihan para penjaga
(malaikat) seperti saya meminta belas kasihan petugas imigrasi, karena para
malaikat selalu tunduk dengan perintah Allah. Tidak bisa disuap. Tidak bisa
dikelabui. Dan tidak peduli dengan ratap manusia yang memelas.
Sepayah apapun kita memelas, sekuat
apapun kita memohon, kalau dokumen-dokumen penunjang kita tidak lengkap, maka
kita tidak akan diizinkan mengikuti “penerbangan” ke Surga. Begitu juga
sebaliknya, kalau paspor sudah di tangan, visa sudah didapat, dan tidak ada
masalah yang berarti, Insya Allah kita akan mudah masuk Surga. Oleh karena itu
mumpung masih di dunia, selagi masih ada waktu untuk bertobat, mari perbaiki
diri dan lengkapi dokumen-dokumen penunjang ke Surga dengan perbanyak amal baik.
#Home Sweet Home