January 25, 2016

Meniatkan Amal, Mengamalkan Niat



Banyak yang tertipu. Mengucap janji bahwa sekiranya nanti dirinya diperjalankan oleh Allah dari Indonesia ke Haramain untuk menunaikan umroh atau haji, ia akan pol-polan untuk beribadah. Akan dihabiskannya waktu yang dimiliki di Masjidil Haram untuk sholat, munajat, baca al-Qur’an, dan ibadah sunnah lainnya. Akan tetapi, begitu sampai di Haramain niat itu tak jua mewujud dalam bentuknya yang nyata. Kalaupun mewujud dalam bentuk amal, mungkin hanya sekali-dua. Jauh sekali dari target yang dicanangkannya dulu.

Tidak sedikit yang kecele. Menyangka bahwa jika sudah berada di dua tanah Haram, dia akan semakin mudah beribadah. Akan disempurnakannya sholat yang wajib di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Sehingga sepulangnya nanti ke Indonesia akan dibawa sertanya semangat tersebut. Akan ditularkannya semangat itu ke keluarga. Tapi alih-alih menularkan, bahkan dirinya pun tidak terjangkit “virus” seperti yang dimaksud. Lalu bagaimana mungkin bisa menularkan?

Adalah suatu kebaikan memiliki niat untuk ibadah pol-polan di Masjidil Haram sekiranya nanti berkesempatan melaksanakan umroh atau haji. Merupakan cita-cita yang mulia untuk sepenuhnya menghambakan diri begitu tiba di Haramain. Akan tetapi, harus disadari bahwa setan pun tidak akan tinggal diam dengan rencana-rencana baik itu. Mereka akan selalu bergusar hati jika melihat anak cucu Adam melakukan ketaatan kepada Allah.

Kabar buruknya, setan yang akan dihadapi ketika umroh dan haji nanti bukanlah setan sembarangan. Sekelas setan Haramain. Dan berdasarkan kisah-kisah yang telah sampai ke kita, dapatlah kita ketahui bagaimana “kualitas” tipu daya setan sekaliber Haramain ini. Mereka adalah kelompok setan yang mampu meruntuhkan pertahanan kesabaran sahabat sekelas Abu Bakar radiyallahu ‘anhu untuk tidak membalas cacian Arab Badui. Mereka adalah golongan setan yang memperdaya sahabat Ka’ab bin Malik radiyallahu ‘anhu sehingga tidak menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan pasukannya dalam Perang Tabuk yang membuatnya terkucil selama 50 hari.

Maka dapat disimpulkan bahwa tipu daya mereka tidaklah kacangan. Mereka akan datang dengan sekeras-keras godaan. Akan dihampirinya kita dengan bujuk rayu yang memperdaya. Sehingga terlepaslah satu persatu simpul niat yang sudah dicanangkan dari tanah air untuk melaksanakan ibadah ini dan itu.

Cerita dari mereka yang biasa menjadi muthowif (guide), lazim ditemui jamaah umroh yang pada akhirnya justru lebih memilih sholat di hotel meskipun jarak antara hotel dan Masjidil Haram hanya “sepelemparan batu”. Ada saja yang memberatkan langkah mereka, seperti tidak mau repot naik-turun lift, lelah dan malas jalan kaki. Bahkan meskipun ada bis yang stand by antar-jemput, masih ada saja yang lebih memilih tinggal di hotel. Ah, sayang sekali rasanya uang puluhan juta itu kalau hanya untuk numpang tinggal di hotel.

Yang lebih parah lagi, ada juga kasus jamaah yang akhirnya “membina hubungan gelap” antara jamaah lain sekembalinya mereka ke Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka pergi umroh sendiri-sendiri tanpa ditemani mahrom. Akhirnya, karena terbiasa menghabiskan waktu bersama, timbullah jalinan perasaan  diantara mereka. Seperti pepatah Jawa bilang, witing tresno jalaran soko kulino. Bermula dari intensitas “kebersamaan” yang tinggi ketika umroh, lalu tukar menukar nomor handphone, hingga akhirnya komunikasi berlanjut menembus batas kelaziman.

“Ya Allah, kami berlindung dari keburukan-keburukan tersebut”

Selain faktor setan yang lebih berkelas tadi, saya jadi penasaran apa sebenarnya faktor lain yang menyebabkan banyak jamaah umroh “tertipu/terpedaya”. Selagi memikirkan ini, saya jadi teringat dengan kasus yang sering kita jumpai ketika Ramadhan.

Sudah jadi rahasia umum bahwa menjelang datangnya bulan Ramadhan, banyak umat muslim yang mencanangkan target ibadah seperti khatam al-Qur’an sekian kali, sholat malam sekian raka’at, sedekah sekian rupiah, dan sebagainya. Tapi pada akhirnya banyak dari target tersebut yang gugur hanya di “babak penyisihan”. Hal itu terjadi karena mereka belum melazimkan ibadah-ibadah tersebut sebelum Ramadhan tiba. Ketidakbiasaan sprint itu mengakibatkan jasmani dan ruhani akan mudah lelah.

Sama halnya dengan kasus jamaah umroh, sekiranya mereka tidak membiasakan diri untuk sholat wajib berjamaah di masjid setiap harinya, maka keengganan untuk melaksanakan hal itu juga akan timbul sekalipun mereka berhadap-hadapan langsung dengan Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Jasmani dan ruhani mereka akan kepayahan di hari-hari awal karena shock diajak bekerja keras.

Lain halnya jika mereka melazimkan ibadah-ibadah tersebut sejak di Indonesia. Meskipun setan membisikkan rayuan mautnya, Insya Allah hal itu tidak akan sampai melenakan karena jasmani dan ruhani mereka telah terbiasakan melakukan berbagai ibadah tersebut. Alhasil target-target ibadah selama di Haramain akan lebih mudah dicapai.

Oleh karena itu, saya berpesan khususnya kepada diri sendiri, sebelum Allah mendatangkan kesempatan berharga itu, yaitu menunaikan ibadah umroh dan haji, ada baiknya kita biasakan diri kita untuk beribadah sebaik-baiknya sehingga ketika kesempatan umroh atau haji itu tiba, kita dapat memaksimalkan kesempatan itu untuk sepenuhnya menghambakan diri di hadapan Ilahi.

***

Kasus ini sebenarnya bukan hanya terjadi pada konteks ibadah umroh atau haji saja, melainkan juga pada konteks ibadah lain, misalnya ibadah sedekah. Ada yang berniat ingin banyak bersedekah kalau sudah kaya. Tapi niscaya “niat baik” ini akan mudah menguap kalau hal itu tidak dibiasakan semenjak sebelum kaya.

Sambil menuliskan ini, di bilah otak saya yang lain pun sebenarnya saya sedang memikirkan diri sendiri. Terlalu banyak hal yang harus saya evaluasi. Ada begitu banyak waktu yang berlalu begitu saja tanpa capaian apa-apa. Dulu, selagi masih di Indonesia, ada banyak sekali target yang ingin saya capai di Saudi. Tapi begitu sampai di sini, semangat untuk mencapai target itu seringkali timbul-tenggelam. Duh, semoga lebih banyak timbulnya daripada tenggelamnya.

#Asrama 27, King Saud University

January 21, 2016

Teruntuk Siswa-Siswi Berprestasi

Maaf kalau saya mengawali tulisan ini dengan judging. Menurut saya, merupakan suatu kedzhaliman jika seseorang bermain-main dengan pilihannya. 

Hmm… masih terlalu umum. Oke, begini, saya sedang berbicara tentang anak-anak yang diberi kelebihan dalam hal intelegensi. Sebutlah mereka anak cerdas, berbakat, pintar, dan seterusnya. Mereka memiliki keunggulan dalam bidang akademik. Nilai rapotnya bagus-bagus, ditulis hanya dengan tinta hitam. Mungkin sebagian dari mereka juga merupakan member tetap Persiwa (Persatuan Siswa Rangking Wahid). Atau bahkan ada yang menjadi kepala geng Kejutan (Kesatuan Juara Terus-terusan). Intinya mereka brilian.

Tapi sungguh saya mengkhawatirkan beberapa sikap mereka yang menurut saya kurang empati terhadap sesama. Saya memperhatikan hal ini berdasarkan fenomena yang sering terjadi tiap kali musim seleksi penerimaaan mahasiswa baru PTN tiba. Kalau diperhatikan, banyak siswa yang ikut seleksi dan memilih jurusan di suatu kampus hanya dengan niat coba-coba. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang begitu diterima, malah meninggalkan kampus tersebut karena alasan yang macam-macam. Tidak cocok lah. Tidak sesuai keinginan lah. Hanya ingin mengetes kemampuan lah. Ingin mencari yang lebih baik lah. Atau bahkan sudah diterima di tempat yang lebih baik lah. Dan lah-lah lainnya.

Oh, come on man…kalau memang tidak cocok mbok ya nggak usah dipilih gitu lho. Kalau memang dari awal ragu dan tidak terlalu tertarik, ya jangan dipaksakan. Kalau cuma mau mengetes kemampuan, kan bisa ikut try out yang sering diadakan oleh event organizer (EO). Atau kalau sudah diterima di suatu kampus, kenapa harus ikut lagi di tempat lain? Kalau ingin mencari yang lebih baik, ya semestinya yang menurutmu lebih baik itulah yang harus kamu ikuti seleksinya. Tidak usah serakah memilih semua kampus.

Saya paham betul bahwa itu memang hak mereka untuk mengikuti berbagai seleksi. Toh, uang yang dipakai untuk membayar biaya ujian pun berasal dari kantong (orangtua) mereka sendiri. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka semestinya memikirkan kerugian yang harus ditanggung banyak pihak akibat ulah mereka. Mereka tidak tau bahwa di belakang sana ada siswa lain yang memiliki kemampuan pas-pasan, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Mereka tidak tau bagaimana siswa yang “sedang-sedang” (agak kurang pas kalau disebut pas-pasan, hehe) itu mempersiapkan diri untuk menghadapi ketatnya seleksi. Mereka, para siswa “sedang-sedang” itu, mungkin sudah mengoptimalkan usahanya untuk mendapatkan bangku di PTN tersebut, tapi sialnya karena ulah siswa pintar yang cuma coba-coba tadi, mereka jadi kehilangan jatah.

Mereka juga mungkin tidak tau bagaimana susahnya pihak kampus mempersiapkan seleksi tersebut. Melibatkan SDM yang tidak sedikit. Menggelontorkan dana yang banyak. Demi untuk memilih bibit-bibit potensial yang akan mengisi bangku universitas. Dan proses yang rumit itu menjadi berantakan karena siswa yang cuma coba-coba tadi.

Mereka tidak akan bisa melihat berbagai kerugian tersebut karena yang mereka lihat hanya diri mereka sendiri. Saya sendiri heran mengapa semakin kesini, orang-orang jadi semakin egois. Semakin individualis. Padahal kita Bangsa Timur, bangsa yang dicirikan dengan keramahannya kepada sesama. Tapi keramahan itu semakin tidak kelihatan karena tertutup berbagai kecemasan yang tidak perlu, diantaranya cemas tidak mendapatkan jatah di bangku PTN.

Ah, saya jadi ingat sejak kecil guru ngaji saya sering menceritakan keadaan ketika kiamat nanti. Beliau bercerita bahwa ketika kiamat orang-orang akan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Bahkan para ibu pun akan melepaskan anak dalam pangkuannya saking cemas dan takutnya mereka menghadapi hari kiamat. Nah, apakah tidak mendapatkan jatah bangku di PTN sebegitu mencemaskan dan menakutkannya sehingga kita melupakan keadaan orang lain?

Hmm…mungkin saya bisa mengatakan seperti ini karena saya telah melewati fase-fase tersebut. Seandainya saya berada di posisi mereka, boleh jadi saya pun akan berpikiran sama dengan mereka karena tergiring kecemasan masal.

#Asrama 27, King Saud University

January 20, 2016

Menghadirkan Lisan, Hati, dan Perbuatan dalam Istighfar


Sudah menjadi kewajiban bagi manusia untuk senantiasa ber-istighfar kepada Allah Ta’ala atas segala kemaksiatan yang telah dilakukan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sendiri ber-istighfar 100 kali dalam sehari, padahal beliau telah dijamin masuk surga. Maka seharusnya manusia biasa seperti kita lebih banyak lagi memohon ampun.

Istighfar sendiri berasal dari kata maghfirah. Dalam bahasa Arab maghfirah sering diartikan sebagai “ampunan”, tapi kata aslinya berasal dari kata mighfar, yang berarti “menutupi sesuatu”. Mighfar berarti seperti helm. Jika seorang pengendara motor memakai helm, maka dia tidak akan dikenali oleh orang lain. Setelah helmnya dibuka, barulah ia dapat dikenali. Itulah arti dari kata mighfar, yaitu untuk menutupi.
Ketika kita memohon maghfirah kepada Allah, maka pada hakikatnya kita meminta-Nya agar menutupi dosa-dosa kita. Dosa manusia memang tidak bisa di-indera ketika mereka masih hidup di dunia, tapi ketika tiba hari penghitungan, kelak mereka akan segera sadar bahwa dosa-dosa mereka teramat sangat buruk, busuk, bau, hina, dan menjijikan. Maka pada hari itu kita tidak mau melihatnya dan kita juga tidak mau orang lain melihatnya. Hanya dengan maghfirah-Nya lah segala aib tersebut dapat tertutupi.

Kata istighfar memiliki tiga makna. Makna yang pertama adalah “meminta ampunan”. Orang yang sedang melafadzkan kalimat istighfar maka berarti ia sedang meminta ampunan dari Allah. Sama seperti orang yang melafadz istath’ama yang berarti dia sedang “meminta makan”. Atau yang lebih sering kita dengar, istisqo, yang berarti meminta air (hujan).

Adapun makna yang kedua dari kata istighfar adalah “menginginkan ampunan” Kalau makna yang pertama adalah perkara lisan, yaitu dengan melafadzkannya, maka makna yang kedua adalah perkara hati, yaitu dengan menghadirkan keinginan yang kuat di dalam hati agar diampuni oleh Allah.

Kadang seseorang meminta ampunan, tapi dari sikapnya, perhatiannya, dan tindak-tanduknya nampak jelas bahwa ia tidak menginginkan ampunan. Kita sering melihat orang melafadz istighfar, tapi di saat yang sama dia senyam-senyum untuk sesuatu yang tidak jelas. Tidak jarang kita juga menyaksikan orang melantunkan istighfar, tapi pandangannya beredar kemana-mana yang menandakan dia sedang sibuk memikirkan hal lain (psikologi mode: on). Lisannya komat-kamit, tapi hatinya entah sedang tamasya kemana. Maka kita tidak seharusnya ber-istighfar sampai kita sadar dan mengingat akan kelakuan buruk yang telah kita lakukan.

Makna ketiga dari kata istighfar adalah “mencoba untuk diampuni”. Maksudnya, selain meminta ampunan dan menginginkan ampunan, kita juga harus melakukan sesuatu agar diampuni. Artinya, ada usaha yang dilibatkan dalam istighfar. Jika kita memohon dan menginginkan ampunan karena telah berkata kotor, maka usaha kita agar mendapat ampunan adalah dengan mengganti kata-kata kotor dengan kata-kata baik. Jika kita meminta ampunan kepada Allah karena telah merampas hak tetangga, maka mengganti hak mereka adalah usaha kita untuk mendapat ampunan tersebut. Dan seterusnya.

Jadi ketika seseorang ber-istighfar, maka sejatinya ada tiga hal yang terlibat, yaitu lisan, hati, dan perbuatan. Jika salah satu dari ketiga komponen tersebut tidak dilibatkan, maka sebenarnya dia tidak sedang sungguh-sungguh meminta ampunan. Apa yang ia lafadzkan hanyalah legalitas formal atau kebiasaan berulang yang mungkin bahkan tidak disadarinya.

Hal tersebut sama seperti orang yang mengatakan istath’ama (meminta makan). Sekiranya dia benar-benar merasa lapar, maka selain meminta dan menginginkan makanan, dia juga akan berjuang untuk mendapatkan makanan, entah dengan memasak atau pergi ke restoran. Begitu juga ketika orang benar-benar merasa berdosa, maka “jihad”nya akan mengiringi lisan dan hatinya dalam meminta ampunan. Tidak hadirnya “jihad” dalam istighfar adalah pertanda dia merasa tidak berdosa dan tidak serius membutuhkan ampunan.

Disarikan dari kajian Ustadz Nouman Ali Khan (dengan beberapa perubahan).

#Asrama 27, King Saud University

January 19, 2016

Dauroh di Mekkah


Saya baru saja mengikuti dauroh. Sebuah dauroh singkat di Mekkah al-Mukarromah selama empat hari. Yah, sebenarnya program daurohnya hanya tiga hari karena hari pertama kami “hanya” melakukan umroh.

Meskipun cukup singkat, tapi bagi saya pribadi ada banyak sekali manfaat yang bisa saya ambil dari dauroh tersebut. Pertama, saya diperjalankan oleh Allah bersama para assatidz dari Riyadh hingga ke Mekkah dan melakukan umroh bersama mereka di sana. Perlu diketahui bahwa sebagian besar panitia dauroh tersebut berasal dari Riyadh. Kebalikan dari itu, peserta dauroh dari Riyadh sangat sedikit, yaitu hanya delapan orang sedangkan yang lain berasal dari Universitas Islam Madinah, Qossim, dan Mekkah yang totalnya lebih dari 70 orang.
Ilustrasi Dauroh (sumber : alweeam.com.sa)
Mengapa melakukan safar bersama para assatidz saya sebut sebagai manfaat? Yah, karena dengan begitu saya semakin mengetahui akhlak-akhlak mereka yang indah. Bagaimana cara mereka memperlakukan orang lain, bersabar dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukai, serta menempatkan kepentingan kelompok sebagai prioritas. Hal ini yang akan sulit saya observasi pada hari-hari biasa, terutama bagaimana cara mereka berinteraksi dengan keluarga mereka sendiri.

Besarnya manfaat melakukan safar bersama bahkan sampai membuat Umar bin Khattab mengatakan bahwa kita tidak bisa dikatakan mengenal akhlak seseorang jika kita (salah satunya) belum bersafar bersama mereka.

Ada pengalaman menarik saat safar kemarin. Di tengah perjalanan, kami istirahat untuk sholat dan makan. Sholat dipimpin oleh salah satu ustadz yang Hafidz Qur’an (hafal qur’an 30 juz). Saya mendengar suaranya begitu merdu, tartil dan tenang. Masya Allah, saya merinding mendengar suaranya. Bahkan ketika sholat selesai, ada satu orang Arab yang menghampiri beliau dan memuji suara beliau serta menyuruh anaknya untuk mencium tangan beliau. Masya Allah, orang Arab saja sampai memberikan penghormatan yang begitu tingginya. Yang lebih menarik lagi, kalau saya memperhatikan Sang Ustadz tersebut di kesehariannya, beliau tampak biasa saja. Bersahaja. Seperti tidak ada yang spesial. Tidak ada yang menggembar-gemborkan bahwa beliau hafidz dan memiliki suara yang indah. Ah, semoga banyak pribadi serupa beliau yang saya temui kedepannya.

Manfaat kedua dari dauroh tersebut, saya bisa duduk semajelis dengan para mahasiswa dari universitas-universitas yang memang konsentrasi di bidang ilmu syar’i seperti mahasiswa dari Universitas Islam Madinah, Universitas Ummul Qura’, dan Universitas Qossim. Dengan begitu, saya bisa mendapatkan ghirah yang semakin besar untuk belajar ilmu syar’i, mudah-mudahan akan berguna bagi diri saya pribadi, keluarga, serta masyarakat..

Saya juga bisa ketularan semangat mereka yang menggebu-gebu. Bagaimana tidak menggebu-gebu, bahkan ketika makan pun topik pembicaraan mereka adalah tafsir al-Qur’an. Masya Allah. Selain itu, dengan berada satu majelis dengan mereka membuat saya tampak sangat “kecil”. Wawasan keislaman mereka sangat dalam dan hafalan mereka juga sangat banyak, baik hafalan Qur’an maupun hadits. Setidaknya hal ini cukup menyentil saya untuk meningkatkan hafalan.

Bertambahnya kemampuan Bahasa Arab menjadi manfaat selanjutnya dari dauroh tersebut, apalagi beberapa kajian dalam dauroh itu diisi oleh dosen dari Ummul Qura, bahkan ada juga dari Imam Tarawih Masjidil Haram. Kosakata saya semakin bertambah, terutama kosakata yang berhubungan dengan ilmu syar’i. Perlu diketahui bahwa pembelajaran di Ma’had Lughoh KSU memiliki materi pembelajaran yang cenderung ke kehidupan umum. Sisi Islamnya justru tidak terlalu banyak sehingga kosakata yang saya hafal dari Ma’had justru lebih banyak tentang hal umum. Saya sendiri sangat kesulitan untuk memahami kajian atau khutbah Jum’at karena istilah-istilahnya berbeda dengan yang saya pelajari di Ma’had.

Manfaat lainnya tentu masih banyak lagi, sampai saya kebingungan harus menuliskan apa, hehe. Yang pasti, saya sangat beruntung bisa mengikuti dauroh tersebut dan sangat tertarik untuk mengikuti program serupa di kemudian hari.

#Asrama 27

January 9, 2016

A Magnificent Psychological State


Seorang sahabat pernah mengisahkan pengalaman ruhaninya kepada saya. Beliau menuturkan bahwa kondisi ruhani terhebat yang pernah dirasakannya adalah ketika beliau mengerjakan skripsi. Menurut beliau, stressor yang berat berupa tekanan dari dosen pembimbing, keinginan untuk segera lulus, dan keruwetan permasalahan skripsi telah menjatuhkan mentalnya ke lembah terdalam.

Celakanya, di saat beliau sedang sangat membutuhkan uluran tangan dari orang lain untuk mengangkatnya dari keterpurukan, ternyata tidak ada satu orang pun yang mengulurkannya. Semua “pintu” seolah tertutup. Tidak ada “pintu” lain yang terbuka (dan nyatanya memang selalu terbuka) kecuali Pintunya Allah Ta’ala. Maka kemudian dia pasrahkan semuanya kepada Rabb-nya, sambil tetap mengikhtiarkan apa yang menjadi kewajibannya.

Singkat kisah, setelah beliau pasrahkan semua itu kepada Allah dengan kepasrahan yang total, beliau merasakan ketenangan yang sangat indah. Meski permasalahan belum selesai, keruwetan belum terurai, dan garis finish perjuangan skripsi masih belum tergapai, tapi beliau telah berhasil menemukan “esensi”nya. Esensi dari berbagai permasalahan yang mendera dan menghimpit hati. Sebuah esensi yang kemudian menuntunnya mendapatkan a magnificent psychological state.

Well, a magnificent psychological state itu hanya istilah saya untuk menggambarkan kondisi ruhani/psikologis yang sangat agung, nyaman, dan adiktif. Agung karena kondisi ini membuat hati kita merasa sangat dekat dengan Allah. Kondisi jiwa yang membuat kita sangat merindui-Nya hingga kita sangat siap dan ridho jika harus dipanggil oleh-Nya. Juga nyaman karena kondisi tersebut sangat menentramkan. Dan adiktif karena kita akan selalu mencari kondisi yang seperti itu ketika kita telah kehilangannya.

Hal itu dialami sendiri oleh teman yang sedang saya ceritakan ini. Setelah beliau mencapai magnificent psychological state-nya saat mengerjakan skripsi, beliau tidak menemukan kondisi itu lagi meski telah diusahakan dengan usaha yang tidak bisa dianggap remeh. Kondisi itu baru kembali hadir ketika beliau mengerjakan tesis. Polanya sebenarnya sama dengan ketika beliau mengerjakan srkipsi dulu, yakni beliau berhadap-hadapan dengan beragam tekanan. Meski tekanan itu hadir dengan wajah yang berbeda, intinya sama saja. Orang psikologinya menyebutnya sebagai stressor.

Berdasarkan pengalaman teman saya tersebut dapat disimpulkan bahwa tekanan yang dihadapi ketika mengerjakan tugas akhir menjadi sarana pengantarnya menuju magnificent psychological state. Maka, saking adiktifnya “kondisi” itu, tidak heran kalau kemudian dia pernah berseloroh, “Nanti kalau aku sudah Ph.D, aku mau ambil Post-doc. Aku ingin merasakan kondisi yang sama ketika aku mengerjakan skripsi dan tesis”. Entah cuma bercanda atau serius.

Saya sendiri pernah mendapatkan a magnificent psychological state (versi saya) ketika momen Ramadhan 1436 lalu. Saya mengatakan “versi saya” karena memang kualitas dari kondisi ini berbeda-beda bagi setiap individu. Kualitas yang kemudian akan terasa sangat “dipaksakan” jika harus diukur dengan skala/alat ukur yang sering dipakai ilmuwan psikologi.

Saat itu saya merasakan kondisi psikologis yang juga sangat agung, nyaman, dan adiktif. Tidak pernah saya mendapati kondisi seperti itu sebelumnya pada diri saya. Bedanya, kalau teman saya mengetahui apa faktor yang menjadi penghantarnya menuju kondisi tersebut, saya tidak tau apa yang menjadi musababnya. Tekanan? Saya rasa tidak, karena saat itu saya sedang tidak memiliki masalah. Well, ada sih masalah, tapi menurut saya masih bisa ditolerir. Analisis saya, kondisi itu tercipta oleh momen Ramadhan itu sendiri.

Seperti yang kita ketahui, bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia dimana hampir semua potensi kebaikan manusia “mewujud” dalam bulan tersebut. Ya, mewujud. Kalau pada bulan biasa semua kebaikan itu hanya berupa gagasan/konsep/niat/potensi, pada bulan Ramadhan semuanya termanifestasikan dalam amal nyata. Maka Ramadhan telah mereparasi total manusia, dari yang sebelumnya tidak pernah sholat malam menjadi rajin sholat malam. Dari yang tidak pernah puasa menjadi rajin puasa. Yang tidak pernah sedekah menjadi sangat ringan tangan. Yang suka mengumbar aurat, menjadi tertutup rapat. Hingga tidak heran kalau energi Ramadhan sangat nyata dahsyatnya!

Akan tetapi, analisis tentang “energi positif” ini ingin cepat-cepat saya sangkal. Saya berharap “energi positif” bukanlah faktor penghantar saya menuju magnificent psychological state. Karena kalau memang iya, bahwa “energi positif” adalah konduktor menuju kondisi tersebut, maka saya akan sangat bersedih hati. Bagaimana tidak, karena meski dua tempat utama di dunia ini telah saya kunjungi (bahkan tidak hanya mengunjungi, saya juga menghabiskan beberapa hari saya di dua tempat yang menjadi pusatnya “energi positif” itu), saya masih belum bisa merasakan magnificent psychological state yang saya maksud.

Kalau bukan tekanan dan energi positif, lantas apa? 

#Asrama 27

January 6, 2016

Sepenggal Kisah TKI di Saudi


Akhir pekan* lalu saya berkesempatan membersamai para TKI untuk melaksanakan umroh. Ada 30 TKI yang berangkat umroh saat itu, semuanya laki-laki. Pekerjaan mereka beragam, mulai dari supir, waiter, buruh bangunan, kayu, pipa, besi, dan sebagainya. Ada yang sudah tinggal bertahun-tahun di Saudi, ada juga yang baru datang. Sebagian besar masih muda, tapi tak sedikit pula yang sudah berumur (sepuh). 

Ketika tiba sesi sharing, ada beragam kisah yang mereka utarakan, yang membuat saya tertegun gamang. Misalnya ada seseorang bapak yang sudah cukup berumur mengatakan bahwa perjalanan umroh ini sangat menyenangkan karena dengan begitu beliau bisa kumpul bareng dengan orang-orang Indonesia lainnya. Biasanya beliau hanya sendiri di rumah (majikan).

Saya membayangkan, keadaan orangtua di Indonesia yang ditinggal pergi anak-anaknya yang telah dewasa saja sudah begitu kesepian. Sehingga ilmuwan psikologi mengibaratkan keadaan itu seperti sangkar kosong (empty nest). Padahal mereka masih punya tetangga atau kerabat dekat rumah yang bisa diajak ngobrol, setidaknya mereka masih bisa bersosialisasi dengan lingkungan. Lalu bagaimana kondisi psikologis Bapak TKI tersebut? Tiap hari hanya seorang diri di rumah. Kalaupun ada orang lain, mereka adalah majikannya dan memiliki bahasa dan budaya yang berbeda dengan beliau.

Saya juga membayangkan kondisi TKI yang sebagian sudah berumur (sepuh). Ketika orangtua lain yang seusia dengan mereka sedang menikmati masa tuanya dengan anak-cucu, menghabiskan sisa usianya dengan mengenang masa-masa kejayaan, dan berkelakar bersama teman “seangkatan” tentang kehidupan mereka di masa muda, mereka justru harus merantau ke negeri yang beribu-ribu kilometer jauhnya untuk menjaga dapur mereka tetap mengepul. Dan umumnya mereka seorang diri di sini, tidak ada keluarga yang menyertai.

Di lain kisah, ada juga sebagian kecil dari mereka yang diperkenankan membawa keluarganya kemari. Tetapi sayangnya hanya istri yang boleh diboyong, sedangkan anak-anak mereka tetap tinggal di Indonesia. Umumnya mereka dititipkan kepada keluarga terdekat, entah itu orangtua, saudara, atau kerabat lainnya. Hal ini tentu membawa permasalahan sendiri karena biar bagaimanapun orangtua adalah sumber cinta dan kasih sayang utama bagi anak-anak. Absennya pendidikan dan kasih sayang dari kedua orangtua pasti memiliki dampak psikologis sendiri. Terlebih mereka juga umumnya jarang pulang ke Indonesia.

Belakangan pemerintah RI menerapkan kebijakan embargo yang mengakibatkan penurunan jumlah TKI di Arab Saudi. Salah seorang dari mereka mengatakan bahwa dahulu ketika sedang jaya (maksudnya ketika jumlah TKI menjadi mayoritas di sini), para TK Indonesia cukup disegani oleh TK dari negara lain. Tapi kini ketika jumlah mereka mengalami penurunan, mereka sering tertekan oleh TK dari negara lain. Sering dimarahi dan diintimidasi. Sehingga tidak jarang terjadi kasus TKI yang kabur dari tempat kerjanya karena merasa tidak cocok dan tidak betah.

Berbagai stressor yang diterima para TKI di sini menurut saya sudah cukup berat. Kalau diteliti mungkin akan ada banyak symptom gangguan psikologis yang ditemui. Tapi karena tuntutan kebutuhan yang sangat mendasar, mereka harus rela berhadap-hadapan dengan berbagai stressor tersebut. Kalau saja para penguasa di tanah air mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, tentu rakyat tidak perlu repot-repot turun-naik gunung menjemput kesejahteraan mereka.

*akhir pekan di Saudi adalah hari Jum’at dan Sabtu


#Asrama 27