December 17, 2016

Ketika Lelaki Memasuki Guanya



Sudah menjadi kodratnya bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Secara fisik, umumnya laki-laki memiliki bentuk tubuh yang lebih kuat dan gagah dibandingkan perempuan. Karena itu, tugas-tugas yang membutuhkan banyak tenaga umumnya dialamatkan kepada lelaki. Adapun perempuan lebih cenderung berkutat pada wilayah domestik, yaitu tugas-tugas yang sifatnya membutuhkan ketelatenan.

Selain pada hal yang zahir (fisik), lelaki dan perempuan juga berbeda dari sisi kebatinannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lelaki memiliki karakter sebagai pelindung dan perempuan sebagai pihak yang dilindungi. Keduanya saling melengkapi dan sama-sama puas dengan karakter bawaan seperti itu. Yang laki-laki bangga sebagai pelindung. Yang perempuan juga senang menjadi objek yang dilindungi, meski belakangan para feminis mencoba mengacak konsep tersebut sehingga tampak kabur pembagian tugas antar keduanya.

Perbedaan yang mencolok antara lelaki dan perempuan menginspirasi John Gray untuk menulis buku yang sangat terkenal berjudul Men are from Mars, Women are from Venus. Dia berkelakar bahwa berbedanya lelaki dan perempuan dikarenakan mereka berasal dari planet berbeda, yang kemudian dipertemukan di Bumi. Dalam buku itu, dia banyak mengupas perbedaan antara lelaki dan perempuan dari sisi psikologis.

Satu catatan menarik dari buku tersebut adalah tentang bagaimana lelaki dan perempuan menghadapi masalah. Mengingat John Gray menganggap kedua makhluk tersebut datang dari dua planet berbeda, maka cara mereka menghadapi masalah juga amat sangat berkebalikan. Dari pihak lelaki, jika mereka dirundung masalah, mereka akan mengasingkan diri seasing-asingnya sampai dia menemukan solusi yang tepat dari masalah tersebut. Ketika masalah telah kelar, dengan sendirinya dia akan kembali ke dunianya. Proses pengasingan diri ini oleh John Gray diistilahkan dengan masuk ke dalam gua.

Ah, saya jadi ingat satu peristiwa ketika dulu belajar Qashashun Nabiyin di ma’had lughoh. Waktu itu saya sempat ditegur dosen karena senyum-senyum gak jelas saat beliau menceritakan kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan Nabi Yusuf menghendaki dirinya masuk  ke penjara karena khawatir terjerumus fitnah dunia, sampai al-Qur’an mengabadikan perkataannya dalam surat yang juga dari nama beliau, Yusuf. Pada ayat 33 beliau berkata, “as-sijnu ahabbu ilayya”. Penjara lebih aku sukai. Saya tersenyum karena seketika ingat dengan konsep “laki-laki dan guanya” dari Syaikh John Gray ini. Kalau merujuk pada konsep ini, jelas bahwa keinginan Nabi Yusuf masuk penjara adalah manifestasi kebutuhan lelaki akan guanya saat masalah datang merundung.

Belakangan saya menyadari bahwa ternyata banyak juga dari para anbiya yang memiliki pola perilaku serupa. Sebut saja Nabi Ibrahim ketika berkontemplasi memikirkan keberadaan Tuhan disaat masyarakat sekitar menyembah patung. Atau Nabi Musa yang menyepi 40 hari dari Bani Israil. Bahkan Nabi kita sendiri, sebelum beliau menerima risalah kerasulan sering ber-tahanuts di dalam gua (dalam arti sebenarnya).

Perlu dipahami bahwa masuknya lelaki ke dalam guanya bukan manifestasi kepengecutan atau pelarian diri dari masalahnya. Sekilas dua hal ini tampak serupa, tapi sesungguhnya tidaklah sama. Lelaki yang mengasingkan diri untuk lari dari masalah tidak akan pernah berani keluar menghadapi masalahnya. Sedangkan mereka yang mengasingkan diri karena butuh akan guanya akan segera keluar ketika mereka merasa cukup.

Pertanyaannya, mengapa mereka harus masuk ke dalam gua? Karena di dalam gua itulah mereka bisa me-recharge tenaga, berkontemplasi, dan fokus terhadap permasalahannya. Hal ini sulit mereka lakukan di luar mengingat banyaknya distraktor, sedangkan sifat alamiah lelaki cenderung kerepotan melakukan multi tugas (multi tasking).

Celakanya, perilaku tersebut sering diartikan berbeda oleh pasangannya. Kaum perempuan kerap menafsirkan diamnya lelaki sebagai bentuk kemarahan, kekecewaan atau bahkan ketidakpercayaan. Mereka berasumsi bahwa ketidakmauan lelaki berbagi masalahnya adalah bentuk ketidakpercayaan lelaki tersebut terhadapnya. Padahal sama sekali bukan begitu maksudnya. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, “persemedian” lelaki di dalam guanya justru merupakan metode mereka dalam menyelesaikan masalah. Dan berbagi masalah dengan orang lain bagi lelaki ibarat aib yang harus dihindari. Disana, jauh di dalam diri lelaki, tersimpan harga diri yang tinggi. Mereka tidak mau dianggap lemah karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini sangat ma’ruf di kalangan lelaki

Sayangnya, pemahaman yang berkebalikan justru mendarah daging di kalangan perempuan. Disana, di planetnya perempuan, berbagi masalah merupakan hal yang lumrah, wajar, bahkan menjadi suatu kebutuhan. Mereka tercerahkan dari permasalahannya justru ketika mereka membagi permasalahan itu dengan orang lain. Meskipun sebenarnya dalam sesi curhat itu mereka seringkali tidak saling memberikan solusi, hanya saling mendengar dan bicara, tapi hal itu sudah sangat cukup bagi mereka. Semangat yang mereka bawa adalah semangat kebersamaan. Mereka senang untuk membersamai dan dibersamai. Beda dengan lelaki, semangatnya adalah semangat solusi. Maka dari itu banyak istri merasa tidak didengarkan oleh suaminya, karena ketika istri curhat, pikiran suami seketika pergi mencari solusi. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal hakikatnya, yang dibicarakan istri seringkali bukanlah masalah dan tidak membutuhkan solusi. Mereka sekedar menginginkan kebersamaan.

Contoh sederhana ketika istri berkata, “Mas, aku capek hari ini nyuci banyak sekali”. Mendengar keluhan ini, otak suami langsung menjalankan sistemnya; 1, menganalisis masalah (nyuci banyak, bikin capek), 2, mencari solusi (anggaplah solusi yang ditemukan saat itu adalah “membeli mesin cuci”), 3, menawarkan solusi “Yasudah, nanti kita beli mesin cuci”. Bagi suami, permasalahan berakhir ketika solusi telah ditemukan. Maka mereka tidak merasa berdosa ketika saat itu meninggalkan istrinya yang sedang mengeluh. Toh permasalahan sudah kelar. Tapi bagi istri sikap tersebut menunjukkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian suami padanya karena pergi disaat istri menginginkan kebersamaan.

Aplikasinya dalam Pergaulan?
Meski John Gray menitikberatkan konsep ini pada relasi suami istri, tapi sebenarnya konsep ini juga bermanfaat dalam relasi sosial, terutama kepada teman sejenis. Untuk lelaki misalnya, mengingat mereka adalah makhluk dengan tingkat kepekaan yang rendah, maka mereka seringkali luput akan keberadaan temannya yang sedang susah. Karena itu, jika sekiranya nanti kita temui seorang teman  sedang memasuki guanya, tidak perlu kita mengusiknya, apalagi menghakiminya dengan persangkaan yang buruk. Biarkan dia mengambil waktunya untuk berkontemplasi sambil kita menyisipkan doa juga  untuknya.

Kalaulah kita sudah tidak tahan ingin membantunya, maka jangan gunakan kata-kata yang dapat mengoyak harga dirinya, misalnya dengan mengatakan “Antum lagi ada masalah apa? Bisa saya bantu?”. Sekilas tawaran bantuan itu baik, tapi sesungguhnya di telinga lelaki agak kurang bersahabat. Pilihlah kata-kata yang tidak membuat lawan bicara seolah-olah lemah dan tidak berdaya, misalnya dengan mengatakan, “Akhi, saya lihat antum agak berbeda belakangan ini. Seperti ada ujian yang sedang antum hadapi. Akhi, saya yakin antum bisa menghadapi ujian antum, tapi sekiranya antum butuh pertolongan, antum bisa menghubungi saya kapan saja”. Semoga dengan begitu mereka jadi merasa lebih dihargai.

Allahua’lam
Riyadh, 13 Desember 2016