Berbatasan langsung dengan
Jakarta, kampung saya menjadi salah satu kampung yang banyak diincar para
pendatang untuk dijadikan tempat tinggal. Tak heran pembangunan rumah,
kontrakan, dan kos-kosan disini begitu masifnya. Jarak antara bangunan satu
dengan yang lain pun sudah seperti buku
dengan covernya. Berhimpit menjadi satu. Sehingga kadang kita sulit
mengklasifikasikan, apakah suatu bangunan terdiri dari hanya satu rumah atau
beberapa rumah?
Imbas dari kondisi ini adalah
ruang terbuka yang semakin tergerus. Sangat sulit menemukan tempat yang dapat
menghimpun kegiatan warga dalam jumlah banyak di sini, kecuali masjid. Tempat
bermain anak-anak pun sangat sulit ditemui. Kalau dulu anak-anak generasi saya
dapat bermain kelereng, lompat tali, gobak sodor, dan petak umpet di depan
rumah, kini anak-anak generasi sekarang hanya dapat bermain games digital di
rumah masing-masing dengan perangkat smartphone, game boy, play station, dan
semacamnya.
Saya juga ingat, dulu di kampung
saya masih banyak sawah dan empang (kolam ikan). Sungai pun masih cenderung
nyaman untuk dijadikan tempat bermain sehingga dulu banyak anak-anak yang
berenang di sana. Belum lagi kalau musim hari raya akan tiba, kampung ramai
dengan kegiatan ngubek empang, yaitu memanen ikan yang dipelihara di empang.
Kalau sekarang apa yang mau diubek? Lah empangnya sudah berubah wujud.
Maka dari itu setiap kali mudik
dan berusaha membangkitkan romantisme masa lalu, saya hanya bisa berimajinasi
tentang kenangan-kenangan masa kecil saya di kampung ini tanpa bisa saya tapak tilasi.
Selain perubahan kondisi fisik
kampung, komposisi penduduk kampung ini juga telah jauh berubah. Jumlah
pendatang sudah sangat banyak, yang artinya banyak pula orang yang tidak saya
kenali disini. Sehingga terkadang saya merasa malah seperti pendatang. Di
musholla dekat rumah, mungkin setengah jamaahnya adalah orang pendatang. Saya
sendiri kaget ketika pertama kali sholat jamaah di sana setelah pulang dari
Riyadh karena saking banyaknya orang yang tidak saya kenal.
Perubahan lain dari kampung ini
juga terlihat dari kondisi jalan kampung, baik kondisi fisik maupun
kepadatannya. Kalau dulu banyak jalan yang berlubang, sekarang sudah lebih baik
karena sudah dibeton. Tapi jalanan itu juga semakin padat oleh pengendara dari
luar yang menjadikannya sebagai jalan alternatif. Alhasil, jalanan kampung saya
sering macet. Pernah saya ke suatu tempat menghabiskan waktu setengah jam
dengan menggunakan sepeda motor karena panjangnya antrian mobil yang berpapasan,
padahal biasanya hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, padahal jalan itu hanya
layak dilalui satu arah (mobil). Kondisi macet yang seperti ini tidak pernah
terbayangkan sebelumnya, tapi ternyata benar-benar terjadi.
Secara teori, perubahan kondisi
kampung yang demikian akan mendatangkan stressor
yang sangat banyak bagi warga. Tapi saya sendiri tidak tau, warga disini
stres tidak ya?
#Home Sweet Home