July 22, 2016

Apa yang Tersisa dari Kampung Ini?


Berbatasan langsung dengan Jakarta, kampung saya menjadi salah satu kampung yang banyak diincar para pendatang untuk dijadikan tempat tinggal. Tak heran pembangunan rumah, kontrakan, dan kos-kosan disini begitu masifnya. Jarak antara bangunan satu dengan yang lain pun sudah seperti  buku dengan covernya. Berhimpit menjadi satu. Sehingga kadang kita sulit mengklasifikasikan, apakah suatu bangunan terdiri dari hanya satu rumah atau beberapa rumah?

Imbas dari kondisi ini adalah ruang terbuka yang semakin tergerus. Sangat sulit menemukan tempat yang dapat menghimpun kegiatan warga dalam jumlah banyak di sini, kecuali masjid. Tempat bermain anak-anak pun sangat sulit ditemui. Kalau dulu anak-anak generasi saya dapat bermain kelereng, lompat tali, gobak sodor, dan petak umpet di depan rumah, kini anak-anak generasi sekarang hanya dapat bermain games digital di rumah masing-masing dengan perangkat smartphone, game boy, play station, dan semacamnya.
Bocah kesulitan mendapatkan tempat bermain (sumber : dok. pribadi)
Saya juga ingat, dulu di kampung saya masih banyak sawah dan empang (kolam ikan). Sungai pun masih cenderung nyaman untuk dijadikan tempat bermain sehingga dulu banyak anak-anak yang berenang di sana. Belum lagi kalau musim hari raya akan tiba, kampung ramai dengan kegiatan ngubek empang, yaitu memanen ikan yang dipelihara di empang. Kalau sekarang apa yang mau diubek? Lah empangnya sudah berubah wujud.

Maka dari itu setiap kali mudik dan berusaha membangkitkan romantisme masa lalu, saya hanya bisa berimajinasi tentang kenangan-kenangan masa kecil saya di kampung ini tanpa bisa saya tapak tilasi.

Selain perubahan kondisi fisik kampung, komposisi penduduk kampung ini juga telah jauh berubah. Jumlah pendatang sudah sangat banyak, yang artinya banyak pula orang yang tidak saya kenali disini. Sehingga terkadang saya merasa malah seperti pendatang. Di musholla dekat rumah, mungkin setengah jamaahnya adalah orang pendatang. Saya sendiri kaget ketika pertama kali sholat jamaah di sana setelah pulang dari Riyadh karena saking banyaknya orang yang tidak saya kenal.

Perubahan lain dari kampung ini juga terlihat dari kondisi jalan kampung, baik kondisi fisik maupun kepadatannya. Kalau dulu banyak jalan yang berlubang, sekarang sudah lebih baik karena sudah dibeton. Tapi jalanan itu juga semakin padat oleh pengendara dari luar yang menjadikannya sebagai jalan alternatif. Alhasil, jalanan kampung saya sering macet. Pernah saya ke suatu tempat menghabiskan waktu setengah jam dengan menggunakan sepeda motor karena panjangnya antrian mobil yang berpapasan, padahal biasanya hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, padahal jalan itu hanya layak dilalui satu arah (mobil). Kondisi macet yang seperti ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tapi ternyata benar-benar terjadi.

Secara teori, perubahan kondisi kampung yang demikian akan mendatangkan stressor yang sangat banyak bagi warga. Tapi saya sendiri tidak tau, warga disini stres tidak ya?

#Home Sweet Home