April 13, 2016

Indonesia: Senandung Rindu



Hampir genap dua semester saya belajar Bahasa Arab. Menjalani program intensif tiap harinya. Berusaha meleburkan diri dalam pergaulan internasional demi melatih kefasihan dalam berbicara. Tapi rasa-rasanya kemajuan yang dicapai masih belum sesuai yang diharapkan.

Dari keempat skill yang diperlukan dalam belajar bahasa, speaking, listening, writing, dan reading, rasa-rasanya belum ada satu skill pun yang bisa saya banggakan. Dalam hal speaking, jelas masih banyak yang harus dikoreksi. Kesalahan-kesalahan mendasar, seperti memasangkan jenis kata feminim dengan maskulin, masih sering terjadi. Begitu pula dengan listening skill yang masih sangat kentara kekurangannya. Word missing masih sering saya alami ketika mendengarkan kuliah dosen. Padahal materi yang disampaikan masih sederhana, seputar tema umum yang sering muncul dalam kehidupan.

Kemampuan writing pun setali tiga uang. Meski sudah mulai terbiasa menuliskan huruf hijaiyah, tapi kengacoan saya mengganti satu huruf dengan huruf lainnya masih sering terjadi. Misalnya mengganti huruf hamzah dengan huruf ‘ain dalam kata ta’tiiy (arti: kamu datang). Pun demikian dengan kemampuan reading. Saya lebih sering mengernyitkan dahi kalau disuruh baca kitab gundul.

Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut, tentu modal Bahasa Arab saya untuk belajar di jenjang pasca sarjana nanti akan sangat kurang. Sudah semestinya saya memangkas waktu istirahat. Menambah lagi porsi ikhtiyar dan munajat. Serta yang tidak kalah penting, mengobarkan kembali api semangat.

Ah ya, belakangan ini memang saya seperti mengalami kejumudan. Kuliah intensif empat jam sehari, lima hari seminggu. Ditambah beban tugas serta tambahan kuliah di luar jam tersebut selama delapan bulan terakhir akhirnya mengantarkan saya pada kondisi itu. Lelah disertai bosan kadang datang karena aktivitas yang repetitif, mengingat sudah lama sekali saya tidak melakukan rutinitas yang seperti ini.

Ya, terakhir kali saya melakukan aktivitas seperti ini kan ketika masih berseragam sekolah. Di bangku kuliah saya sudah tidak merasakan ini karena memang jam kuliah biasanya tidak full. Kadang cuma satu atau dua matakuliah saja sehari. Bahkan sering pula tidak ada kuliah seharian penuh. Saat itu sepertinya keberadaan hari libur sama dengan tidak adanya. Ada, namun apalah artinya. Toh, jadwal kuliahnya juga jarang-jarang.

Berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Pengumuman libur dari Kementrian Pendidikan malam hari sebelum kuliah rasanya sangat menggirangkan hati. Pulang lebih cepat karena dosen berhalangan mengajar sudah bisa menghadirkan keceriaan sendiri. Yah, kurang lebih sama lah cerianya ketika anak SD pulang lebih awal karena gurunya rapat.

Dan satu hal yang melipatgandakan kejumudan saya adalah karena jadwal liburan musim panas yang sudah di depan mata. Perlu diketahui, kampus saya yang baik ini selalu memberikan tiket pp liburan ke negara asal setiap kali libur musim panas. Dan dengan waktu libur yang hanya tinggal sebulan lagi itu, pikiran saya dengan egoisnya sudah jauh terbang duluan ke Indonesia meninggalkan jasad ini di tengah gegurunan. Lalu dihadirkan pula rasa rindu yang berupa-rupa.

Rindu dengan romantisme lengkingan suara (tukang) putu di tengah gerimis yang baru merintik. Rindu dengan koor musik tukang siomay yang konsisten melintas di penghujung senja. Rindu dengan cengkrama ketuk kayu tukang bakso malang yang setia mengisi malam. Ah, dimana lagi saya bisa dapatkan hal itu kalau bukan di Indonesia?

#Asrama 27 King Saud University, Riydah