February 15, 2016

Laki-laki dan "Gua"nya



Ada matakuliah yang menarik di semester ini, yaitu Qiro’ah Muwasa’ah (Extensive Reading). Matakuliah ini diampu oleh Ustadz Abdurrahman Ash-Shoromiy. Beliau ustadz muda yang sangat baik. Produk asli Riyadh. Memiliki sifat yang mirip dengan sifat orang Betawi. Beliau sangat betah di wilayah sendiri. Lahir dan tumbuh besar di Riyadh, menikah dengan orang Riyadh dan kini bekerja serta membina rumah tangga di Riyadh. Beliau mengatakan tidak ada rencana untuk tinggal di luar Riyadh.

Saya sangat senang dengan matakuliah Qiro’ah Muwasa’ah ini karena selain diajar oleh dosen muda yang sangat baik (langka lho, hehe), kitab acuan untuk matakuliah ini juga sangat menarik, yaitu Kitab Qoshoshun Nabiyin karangan Syaikh Abu Al-Hasan Ali An-Nadwi. Seperti judulnya, kitab ini berisi tentang kisah para nabi.

Kami saat ini sedang membahas kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam setelah sebelumnya merampungkan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihi salam. Dalam kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam ada sesuatu yang membuat saya tercenung, yaitu ketika beliau berkata: as-sijnu ahabbu ilayya (penjara lebih aku sukai – termaktub dalam Surat Yusuf ayat 33). Perkataan beliau ini didasari oleh kekhwatirannya terjerumus fitnah dari istri penguasa Mesir yang menggodanya.

Saya tercenung karena teringat dengan apa yang menjadi kebiasaan (habit) para lelaki ketika sedang menghadapi masalah, yaitu masuk ke dalam “gua”nya. Bagi kalian yang sudah pernah membaca buku Men are from Mars and Women are from Venus pasti langsung mengerti apa yang sedang saya bicarakan. Bagi kalian yang belum baca, saya akan ulas sedikit disini.

Jadi menurut John Gray (penulis bukunya), laki-laki dan wanita itu memiliki kebiasaan yang berbeda dalam menghadapi masalah. Dalam menghadapi masalahnya, laki-laki cenderung memilih menyepi dan menyendiri. Dia akan menghindari keramaian dan berusaha memecahkan masalahnya sendiri. John Gray menyebut kegiatan ini sebagai “masuk ke dalam gua”. Hal ini sangat berkebalikan dengan metode penyelesaian masalah kaum wanita yang justru dilakukan dengan cara menceritakan masalah-masalah mereka kepada orang lain.

Nah, dalam konteks kisah Nabi Yusuf ‘alaihi salam, masalah yang beliau hadapi adalah fitnah dari istri penguasa. Masalah ini ruwet karena yang beliau hadapi adalah istri penguasa dan beliau sendiri merupakan “barang belian” sehingga sangat lemah posisinya. Keruwetan masalah ini pada akhirnya membuat beliau lebih memilih dipenjara. Beliau ingin masuk ke guanya untuk menyelesaikan masalah-masalah itu.

Metode yang kurang lebih sama dilakukan juga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari kitab-kitab sirah kita mendapati bahwa beliau pun sering masuk ke dalam gua (gua dalam makna yang sebenarnya) ketika belum diangkat menjadi nabi. Beliau sering menyendiri di Gua Hira karena “tidak tahan” dengan perilaku orang-orang Quraisy yang jahil.

Berdasarkan dua kisah ini, teori John Gray mungkin ada benarnya. Bahwa kebutuhan gua bagi laki-laki tak dapat dipungkiri. Mereka butuh menyepi dan menyendiri untuk menyelesaikan persoalannya sebagaimana perempuan butuh teman curhat untuk menyimak kisahnya.

Jadi, tidak perlu heran kalau teman atau suami anda nyuekin anda. Sebenarnya mereka bukan cuek, tapi sedang konsentrasi menyelesaikan masalahnya. Dan kalau mereka sedang masuk ke dalam guanya, tidak perlu diganggu (misalnya dengan menawarkan bantuan). Maksud anda mungkin baik, tapi hal itu justru akan membuatnya terusik. Tenang saja, ketika masalahnya sudah selesai atau ketika mereka merasa sudah cukup, mereka akan keluar dengan sendirinya. Wallahu a’lam.

#Asrama 27

February 3, 2016

Hijrahmu Untuk Apa?


Sebelum berangkat ke Saudi, Abang* saya berpesan seperti ini:

“Selamat hijrah, Jar. Bab Niat (Hadits) Arbain diulang-ulang. Abang minta maaf kalau ada salah, belum tau kapan bisa ketemu lagi. Tidak perlu diingat-ingat Indonesia karena semua itu sama saja. Selamat jalan. Semoga usia berkah”

Membaca pesan itu membuat saya mbrebes mili karena pertama, saya lagi-lagi harus berpisah dengan orang-orang yang saya cintai, termasuk beliau, dan saya tidak tau kapan bisa bertemu lagi dengan mereka. Kedua, ketika jiwa ini sudah sangat menyatu dengan Jogja, saya harus meninggalkan kenyamanan itu. Beralih ke negeri lain dan beradaptasi lagi dengan lingkungan yang baru. Yah, inilah hidup. Harus dijalani meski berat.

Tapi bukan permasalahan berat-ringat hidup yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya ingin mengulas nasihat Abang saya untuk mengulang-ulang Hadits Arbain pada Bab Niat. Berikut saya tampilkan haditsnya:

عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول " إنما الأعمال بالنيات , وإنما لكل امرئ ما نوى , فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله , ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها و امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه " متفق عليه

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Abang saya meminta saya untuk selalu mengingat apa tujuan utama saya berhijrah. Untuk Allah dan Rasul-Nya, untuk dunia, atau untuk wanita? Mengingat saya dan beliau sepemikiran, maka sudah pasti maksud beliau adalah agar saya selalu ingat bahwa tujuan utama hijrah ini adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.

Beliau paham betul bahwa di tanah hijrah akan ada banyak godaan yang dapat menggelincirkan niat karena beliau sendiri anak perantauan. Dan pemahaman beliau memang tidak keliru. Saya mendapati tanah hijrah ini banyak sekali godaan, terutama dalam bentuk materi. Disini seolah-olah pintu dunia dibuka lebar. Kesempatan yang luas itu tidak jarang pada akhirnya mengubah orientasi seseorang dari yang semula ingin belajar, berubah menjadi pencari dinar.

Perubahan orientasi itu memang tidak berlangsung serta merta. Meski ada juga yang begitu, tapi umumnya perubahan itu berlangsung perlahan. Senyap sekali. Awal mulanya mungkin hanya coba-coba. Atau tergiur melihat nominal. Atau bisa jadi karena saat itu memang sedang didesak kebutuhan. Tapi alasan-alasan yang mulanya remeh itu perlahan mendominasi. Menggeser apa yang menjadi pokok. Menumbangkan apa yang menjadi dasar. Hingga pada akhirnya kita tidak sadar bahwa kita sudah jauh dari niat semula, yaitu menuntut ilmu. Kalau ditarik garis lurus dari titik awal kita berpijak, mungkin sudah terjadi penyimpangan sekian puluh derajat.

Yah, bukan maksud saya merecoki mereka yang sudah terjun ke sana. Semua orang memiliki kebutuhan masing-masing untuk dipenuhi dan saya tidak tau apa saja kebutuhan tersebut. Selama itu halal, sah-sah saja bagi mereka untuk melakukan pekerjaan itu. Saya hanya sedang mengingat-ingat apa yang dinasihatkan Abang saya ke saya. Agar saya selalu meniatkan hijrah ini hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan semoga pemeliharaan niat ini mengantarkan saya pada apa yang Allah janjikan.

*bukan Abang kandung

#Asrama 27