December 17, 2016

Ketika Lelaki Memasuki Guanya



Sudah menjadi kodratnya bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Secara fisik, umumnya laki-laki memiliki bentuk tubuh yang lebih kuat dan gagah dibandingkan perempuan. Karena itu, tugas-tugas yang membutuhkan banyak tenaga umumnya dialamatkan kepada lelaki. Adapun perempuan lebih cenderung berkutat pada wilayah domestik, yaitu tugas-tugas yang sifatnya membutuhkan ketelatenan.

Selain pada hal yang zahir (fisik), lelaki dan perempuan juga berbeda dari sisi kebatinannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa lelaki memiliki karakter sebagai pelindung dan perempuan sebagai pihak yang dilindungi. Keduanya saling melengkapi dan sama-sama puas dengan karakter bawaan seperti itu. Yang laki-laki bangga sebagai pelindung. Yang perempuan juga senang menjadi objek yang dilindungi, meski belakangan para feminis mencoba mengacak konsep tersebut sehingga tampak kabur pembagian tugas antar keduanya.

Perbedaan yang mencolok antara lelaki dan perempuan menginspirasi John Gray untuk menulis buku yang sangat terkenal berjudul Men are from Mars, Women are from Venus. Dia berkelakar bahwa berbedanya lelaki dan perempuan dikarenakan mereka berasal dari planet berbeda, yang kemudian dipertemukan di Bumi. Dalam buku itu, dia banyak mengupas perbedaan antara lelaki dan perempuan dari sisi psikologis.

Satu catatan menarik dari buku tersebut adalah tentang bagaimana lelaki dan perempuan menghadapi masalah. Mengingat John Gray menganggap kedua makhluk tersebut datang dari dua planet berbeda, maka cara mereka menghadapi masalah juga amat sangat berkebalikan. Dari pihak lelaki, jika mereka dirundung masalah, mereka akan mengasingkan diri seasing-asingnya sampai dia menemukan solusi yang tepat dari masalah tersebut. Ketika masalah telah kelar, dengan sendirinya dia akan kembali ke dunianya. Proses pengasingan diri ini oleh John Gray diistilahkan dengan masuk ke dalam gua.

Ah, saya jadi ingat satu peristiwa ketika dulu belajar Qashashun Nabiyin di ma’had lughoh. Waktu itu saya sempat ditegur dosen karena senyum-senyum gak jelas saat beliau menceritakan kisah Nabi Yusuf. Disitu dikisahkan Nabi Yusuf menghendaki dirinya masuk  ke penjara karena khawatir terjerumus fitnah dunia, sampai al-Qur’an mengabadikan perkataannya dalam surat yang juga dari nama beliau, Yusuf. Pada ayat 33 beliau berkata, “as-sijnu ahabbu ilayya”. Penjara lebih aku sukai. Saya tersenyum karena seketika ingat dengan konsep “laki-laki dan guanya” dari Syaikh John Gray ini. Kalau merujuk pada konsep ini, jelas bahwa keinginan Nabi Yusuf masuk penjara adalah manifestasi kebutuhan lelaki akan guanya saat masalah datang merundung.

Belakangan saya menyadari bahwa ternyata banyak juga dari para anbiya yang memiliki pola perilaku serupa. Sebut saja Nabi Ibrahim ketika berkontemplasi memikirkan keberadaan Tuhan disaat masyarakat sekitar menyembah patung. Atau Nabi Musa yang menyepi 40 hari dari Bani Israil. Bahkan Nabi kita sendiri, sebelum beliau menerima risalah kerasulan sering ber-tahanuts di dalam gua (dalam arti sebenarnya).

Perlu dipahami bahwa masuknya lelaki ke dalam guanya bukan manifestasi kepengecutan atau pelarian diri dari masalahnya. Sekilas dua hal ini tampak serupa, tapi sesungguhnya tidaklah sama. Lelaki yang mengasingkan diri untuk lari dari masalah tidak akan pernah berani keluar menghadapi masalahnya. Sedangkan mereka yang mengasingkan diri karena butuh akan guanya akan segera keluar ketika mereka merasa cukup.

Pertanyaannya, mengapa mereka harus masuk ke dalam gua? Karena di dalam gua itulah mereka bisa me-recharge tenaga, berkontemplasi, dan fokus terhadap permasalahannya. Hal ini sulit mereka lakukan di luar mengingat banyaknya distraktor, sedangkan sifat alamiah lelaki cenderung kerepotan melakukan multi tugas (multi tasking).

Celakanya, perilaku tersebut sering diartikan berbeda oleh pasangannya. Kaum perempuan kerap menafsirkan diamnya lelaki sebagai bentuk kemarahan, kekecewaan atau bahkan ketidakpercayaan. Mereka berasumsi bahwa ketidakmauan lelaki berbagi masalahnya adalah bentuk ketidakpercayaan lelaki tersebut terhadapnya. Padahal sama sekali bukan begitu maksudnya. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, “persemedian” lelaki di dalam guanya justru merupakan metode mereka dalam menyelesaikan masalah. Dan berbagi masalah dengan orang lain bagi lelaki ibarat aib yang harus dihindari. Disana, jauh di dalam diri lelaki, tersimpan harga diri yang tinggi. Mereka tidak mau dianggap lemah karena tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Hal ini sangat ma’ruf di kalangan lelaki

Sayangnya, pemahaman yang berkebalikan justru mendarah daging di kalangan perempuan. Disana, di planetnya perempuan, berbagi masalah merupakan hal yang lumrah, wajar, bahkan menjadi suatu kebutuhan. Mereka tercerahkan dari permasalahannya justru ketika mereka membagi permasalahan itu dengan orang lain. Meskipun sebenarnya dalam sesi curhat itu mereka seringkali tidak saling memberikan solusi, hanya saling mendengar dan bicara, tapi hal itu sudah sangat cukup bagi mereka. Semangat yang mereka bawa adalah semangat kebersamaan. Mereka senang untuk membersamai dan dibersamai. Beda dengan lelaki, semangatnya adalah semangat solusi. Maka dari itu banyak istri merasa tidak didengarkan oleh suaminya, karena ketika istri curhat, pikiran suami seketika pergi mencari solusi. Mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal hakikatnya, yang dibicarakan istri seringkali bukanlah masalah dan tidak membutuhkan solusi. Mereka sekedar menginginkan kebersamaan.

Contoh sederhana ketika istri berkata, “Mas, aku capek hari ini nyuci banyak sekali”. Mendengar keluhan ini, otak suami langsung menjalankan sistemnya; 1, menganalisis masalah (nyuci banyak, bikin capek), 2, mencari solusi (anggaplah solusi yang ditemukan saat itu adalah “membeli mesin cuci”), 3, menawarkan solusi “Yasudah, nanti kita beli mesin cuci”. Bagi suami, permasalahan berakhir ketika solusi telah ditemukan. Maka mereka tidak merasa berdosa ketika saat itu meninggalkan istrinya yang sedang mengeluh. Toh permasalahan sudah kelar. Tapi bagi istri sikap tersebut menunjukkan ketidakpekaan dan ketidakpedulian suami padanya karena pergi disaat istri menginginkan kebersamaan.

Aplikasinya dalam Pergaulan?
Meski John Gray menitikberatkan konsep ini pada relasi suami istri, tapi sebenarnya konsep ini juga bermanfaat dalam relasi sosial, terutama kepada teman sejenis. Untuk lelaki misalnya, mengingat mereka adalah makhluk dengan tingkat kepekaan yang rendah, maka mereka seringkali luput akan keberadaan temannya yang sedang susah. Karena itu, jika sekiranya nanti kita temui seorang teman  sedang memasuki guanya, tidak perlu kita mengusiknya, apalagi menghakiminya dengan persangkaan yang buruk. Biarkan dia mengambil waktunya untuk berkontemplasi sambil kita menyisipkan doa juga  untuknya.

Kalaulah kita sudah tidak tahan ingin membantunya, maka jangan gunakan kata-kata yang dapat mengoyak harga dirinya, misalnya dengan mengatakan “Antum lagi ada masalah apa? Bisa saya bantu?”. Sekilas tawaran bantuan itu baik, tapi sesungguhnya di telinga lelaki agak kurang bersahabat. Pilihlah kata-kata yang tidak membuat lawan bicara seolah-olah lemah dan tidak berdaya, misalnya dengan mengatakan, “Akhi, saya lihat antum agak berbeda belakangan ini. Seperti ada ujian yang sedang antum hadapi. Akhi, saya yakin antum bisa menghadapi ujian antum, tapi sekiranya antum butuh pertolongan, antum bisa menghubungi saya kapan saja”. Semoga dengan begitu mereka jadi merasa lebih dihargai.

Allahua’lam
Riyadh, 13 Desember 2016

July 22, 2016

Apa yang Tersisa dari Kampung Ini?


Berbatasan langsung dengan Jakarta, kampung saya menjadi salah satu kampung yang banyak diincar para pendatang untuk dijadikan tempat tinggal. Tak heran pembangunan rumah, kontrakan, dan kos-kosan disini begitu masifnya. Jarak antara bangunan satu dengan yang lain pun sudah seperti  buku dengan covernya. Berhimpit menjadi satu. Sehingga kadang kita sulit mengklasifikasikan, apakah suatu bangunan terdiri dari hanya satu rumah atau beberapa rumah?

Imbas dari kondisi ini adalah ruang terbuka yang semakin tergerus. Sangat sulit menemukan tempat yang dapat menghimpun kegiatan warga dalam jumlah banyak di sini, kecuali masjid. Tempat bermain anak-anak pun sangat sulit ditemui. Kalau dulu anak-anak generasi saya dapat bermain kelereng, lompat tali, gobak sodor, dan petak umpet di depan rumah, kini anak-anak generasi sekarang hanya dapat bermain games digital di rumah masing-masing dengan perangkat smartphone, game boy, play station, dan semacamnya.
Bocah kesulitan mendapatkan tempat bermain (sumber : dok. pribadi)
Saya juga ingat, dulu di kampung saya masih banyak sawah dan empang (kolam ikan). Sungai pun masih cenderung nyaman untuk dijadikan tempat bermain sehingga dulu banyak anak-anak yang berenang di sana. Belum lagi kalau musim hari raya akan tiba, kampung ramai dengan kegiatan ngubek empang, yaitu memanen ikan yang dipelihara di empang. Kalau sekarang apa yang mau diubek? Lah empangnya sudah berubah wujud.

Maka dari itu setiap kali mudik dan berusaha membangkitkan romantisme masa lalu, saya hanya bisa berimajinasi tentang kenangan-kenangan masa kecil saya di kampung ini tanpa bisa saya tapak tilasi.

Selain perubahan kondisi fisik kampung, komposisi penduduk kampung ini juga telah jauh berubah. Jumlah pendatang sudah sangat banyak, yang artinya banyak pula orang yang tidak saya kenali disini. Sehingga terkadang saya merasa malah seperti pendatang. Di musholla dekat rumah, mungkin setengah jamaahnya adalah orang pendatang. Saya sendiri kaget ketika pertama kali sholat jamaah di sana setelah pulang dari Riyadh karena saking banyaknya orang yang tidak saya kenal.

Perubahan lain dari kampung ini juga terlihat dari kondisi jalan kampung, baik kondisi fisik maupun kepadatannya. Kalau dulu banyak jalan yang berlubang, sekarang sudah lebih baik karena sudah dibeton. Tapi jalanan itu juga semakin padat oleh pengendara dari luar yang menjadikannya sebagai jalan alternatif. Alhasil, jalanan kampung saya sering macet. Pernah saya ke suatu tempat menghabiskan waktu setengah jam dengan menggunakan sepeda motor karena panjangnya antrian mobil yang berpapasan, padahal biasanya hanya butuh waktu kurang dari 5 menit, padahal jalan itu hanya layak dilalui satu arah (mobil). Kondisi macet yang seperti ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya, tapi ternyata benar-benar terjadi.

Secara teori, perubahan kondisi kampung yang demikian akan mendatangkan stressor yang sangat banyak bagi warga. Tapi saya sendiri tidak tau, warga disini stres tidak ya?

#Home Sweet Home 

June 30, 2016

Pintu Pemeriksaan


Alhamdulillah liburan musim panas sudah tiba. Saya sudah bisa mudik ke Indonesia. Bahkan sudah sebulan lebih saya berada di negeri tercinta. Sudah bisa menikmati sayur asem, ikan asin, mie ayam, ketoprak, bakso, nasi goreng, sate, dan berbagai kuliner lain yang menggoda. Sudah bisa merasakan hangatnya matahari dan sejuknya semilir angin sore yang memanja. Alhamdulillah.

Meski semua itu sudah kembali saya dapati, tapi ada proses yang menegangkan yang harus saya lalui sebelum saya benar-benar bisa menginjakkan kaki di tanah air. Proses yang membuat saya cemas, khawatir, serta ketakutan karena hampir saja saya batal pulang ke Indonesia.

Kisah bermula ketika saya mendengar omongan teman saya yang mengatakan bahwa kita bisa membawa dua tas ke dalam kabin pesawat. Jadi menurut beliau, agar bisa membawa oleh-oleh lebih banyak, maka sebaiknya masukkan baju ke dalam tas kabin sehingga koper bagasi bisa dikhususkan untuk membawa oleh-oleh. Mengingat ini adalah kepulangan pertama saya dan ada banyak oleh-oleh yang dibeli, maka saya ikuti trik beliau.

Singkat cerita, ketika ingin loading koper di counter Oman Air, maskapai yang saya gunakan saat itu, saya ditegur karena membawa dua tas ke dalam kabin sedangkan yang diperbolehkan hanya satu tas. Itupun berat maksimalnya hanya 7 kg sedangkan dua tas saya itu sekitar 15 kg. Sungguh saya tidak tau kalau ternyata kami hanya diperbolehkan membawa satu tas saja. Saya sudah berusaha meminta pengecualian dengan alasan bahwa saya mahasiswa dan membawa buku dan laptop (dan saya memang benar-benar membawa keduanya), jadi tidak mungkin barang-barang itu saya tinggalkan, tapi mereka tetap tidak mengizinkan. Akhirnya, sibuklah saya me-repacking tas saya.

Satu jam lebih saya repacking dua tas saya agar bisa jadi satu tas dengan berat 7 kg. Hal yang agak mustahil kalau saya tidak mengorbankan barang-barang di dalamnya. Maka dengan sangat disayangkan, banyak pakaian saya buang. Beberapa barang yang bisa diberikan ke orang lain, saya berikan ke mereka agar tidak mubazir, misalnya oleh-oleh. Berulang kali saya datangi counter Oman Air untuk menimbang ulang, berulang kali juga mereka menolak karena rupanya masih kelebihan. Sampai akhirnya saya diizinkan membawa tas saya itu ketika waktu keberangkatan hampir tiba, kurang lebih 30 menit lagi.

Masalah kedua muncul di counter imigrasi. Sidik jari saya tidak terbaca sehingga saya tertahan di imigrasi. Berulang kali saya coba, yang artinya berulang kali pula saya mengulang antrian karena begitu sidik jari saya tidak terbaca mereka menyuruh saya mengantri lagi dari belakang, tapi berulang kali pula saya gagal. Sampai akhirnya saya cemas luar biasa karena waktu keberangkatan yang segera tiba. Seorang penumpang lain berasal dari Jordan sempat menasihati saya agar meminta didahulukan karena waktu saya yang sangat mepet. Saya meminta bantuan beliau untuk meyakinkan petugas imigrasi.

Awalnya petugas imigrasi itu tetap tidak peduli dengan urusan saya. Dengan tampang sangar dia menyuruh saya tetap pada antrian. Tapi setelah saya tunjukkan tiket dan meyakinkan dia bahwa waktu yang saya miliki sangat sedikit, akhirnya petugas itu berbaik hati meminta temannya yang lain untuk meng-handle saya.

Meski ada petugas lain yang meng-handle urusan saya, bukan berarti semuanya langsung selesai. Saya masih tidak bisa melakukan cek sidik jari. Paspor saya dibolak-balik oleh petugas itu, kemudian dia menanyai beberapa hal sampai pada satu pertanyaan yang bikin saya kaget. “Kamu punya masalah apa di sini?” tanya dia. Saya jawab, “Saya mahasiswa. Baru satu tahun disini dan tidak punya masalah apa-apa”.

Setelah proses yang menegangkan itu, akhirnya saya diperbolehkan masuk. Saya langsung cari tempat boarding Oman Air. Untunglah masih belum tutup, walaupun sudah tidak ada lagi penumpang di ruangan itu karena semua sudah masuk pesawat. Saya bersyukur bisa ikut penerbangan malam itu.

***
Satu hal yang belakangan terpikirkan oleh saya dan menjadi hikmah serta refleksi saya dari kejadian itu adalah tentang keadaan manusia di akhirat kelak.

Saya membayangkan, pemeriksaan di dunia yang dilakukan oleh manusia saja begitu ketatnya, lalu bagaimana pemeriksaan nanti di akhirat yang dilaksanakan oleh para malaikat? Tidak terbayangkan ketatnya pemeriksaan yang harus dilalui manusia untuk menentukan tempatnya di akhirat, Surga atau Neraka. Saking ketat dan mencemaskannya, pemeriksaan itu bahkan menyebabkan sebagian golongan harus merutuki diri sendiri, “Celakalah aku! Celakalah aku!” disaat sebagian lagi tersenyum menunggu datangnya kenikmatan abadi.

Saya membayangkan, menghadapi pertanyaan “punya masalah apa kamu disini?” dari petugas imigrasi saja sudah begitu menegangkannya. Padahal itu hanya pertanyaan dunia. Kalaupun kita salah, masih bisa kita perbaiki kemudian. Tapi jika yang bertanya malaikat, “punya masalah apa kamu di dunia?”. Duh, itu sudah pertanyaan final. Tidak ada waktu lagi untuk bertobat dan memperbaiki kesalahan kita.

Saya membayangkan, kalau pada saat pemeriksaan imigrasi saya masih bisa dibantu oleh orang Jordan yang baik. Yang mau membantu saya meyakinkan petugas imigrasi. Hal serupa sudah tidak mungkin saya dapati lagi di akhirat karena setiap orang akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Kita pun tidak bisa meminta belas kasihan para penjaga (malaikat) seperti saya meminta belas kasihan petugas imigrasi, karena para malaikat selalu tunduk dengan perintah Allah. Tidak bisa disuap. Tidak bisa dikelabui. Dan tidak peduli dengan ratap manusia yang memelas.

Sepayah apapun kita memelas, sekuat apapun kita memohon, kalau dokumen-dokumen penunjang kita tidak lengkap, maka kita tidak akan diizinkan mengikuti “penerbangan” ke Surga. Begitu juga sebaliknya, kalau paspor sudah di tangan, visa sudah didapat, dan tidak ada masalah yang berarti, Insya Allah kita akan mudah masuk Surga. Oleh karena itu mumpung masih di dunia, selagi masih ada waktu untuk bertobat, mari perbaiki diri dan lengkapi dokumen-dokumen penunjang ke Surga dengan perbanyak amal baik.

#Home Sweet Home

June 18, 2016

Kereta Hidayah


Beberapa hari sebelum puasa, saya menyempatkan diri ke Jogja. Selain untuk melepas rindu pada kota yang telah saya tinggali tujuh tahun terakhir itu, bertemu dengan orang-orang yang saya hormati dan ta’dhimi di sana, saya juga perlu mengurus ijazah dan transkrip kuliah saya di kampus tercinta yang cintanya tidak saya rasakan ketika sedang menulis skripsi dan tesis.

Dalam perjalanan di atas kereta, saya duduk berhadapan dengan seorang pemuda. Jika dibandingkan, usia kami mungkin tidak berselisih. Kalaupun tidak dibandingkan, usia kami juga rasanya tetap tidak berselisih karena yang suka berselisih kan politisi partai.

Dua kursi yang sejatinya bisa diduduki oleh empat orang itu, saat itu hanya diduduki oleh kami berdua, saya dan teman perjalanan saya itu. Menyebabkan kami berhadap-hadapan seperti Captain America dan Iron Man dalam poster film Civil War. Bedanya kami tidak pakai topeng. Atau mungkin dia punya topeng, tapi tidak dipakai?

Dari pakaian yang dikenakan, pemikiran heuristik saya langsung menduga bahwa beliau ini adalah anggota dari salah satu jamaah pengajian. Dan dugaan saya ternyata benar. Saya mengetahuinya setelah bercakap-cakap dengan beliau. Lebih dari setengah perjalanan saya habiskan dengan berbincang bersama beliau. Ada banyak hal yang kami bicarakan, tapi yang paling sering jadi topik bahasan adalah kegiatan beliau sebagai juru dakwah.

Mulanya, teman perjalanan saya ini yang pertama kali membuka obrolan. Tunggu, untuk lebih menghemat tenaga, sebutan “teman perjalanan” ini selanjutnya akan saya ganti dengan Rofiq. Itu saya tidak sedang asal memberi nama, karena bahasa Arabnya teman perjalanan adalah memang Rofiq. Nah, sekarang kamu tau.

Di awal perjalanan, Rofiq lah yang membuka obrolan. Dia mulai berbasa-basi dengan menanyakan tujuan perjalanan saya, tapi hanya saya tanggapi tipis-tipis saja karena sayanya lagi fokus melamun saat itu. Baru ketika perjalanan sudah sekitar 3 jam, saya yang inisiatif ajak obrol.

Mas Rofiq ini aslinya warga Kutoarjo. Dia baru dari Jakarta untuk menghadiri sebuah pengajian atau dauroh selama tiga hari di daerah Cikampek. Beliau katanya lulusan universitas di Afrika Selatan. Saya lupa tanya nama universitasnya apa, tapi yang pasti dia tinggal di sana lumayan lama, tujuh tahun. Belajar syariah katanya. Baru lulus berapa bulan yang lalu katanya. Jadi masih seger! Kalau Mas Rofiq berbentuk sebuah jeruk, masih enak dibikin jus.

Pas saya tanya kenapa kok dia memilih kuliah di sana, sesuatu yang agaknya kurang lazim, dia bilang karena di sana bagus.

Iya Mas, bagus, tapi kenapa?

Iya, karena lingkungannya mendukung. Mahasiswanya berasal dari banyak negara. Penduduk lokalnya ramah dan mau menoleransi warga muslim (muslim menjadi minoritas di sana). Apalagi penduduk muslimnya, sangat senang membantu sesama muslim.

Oh, gitu Mas.

Mas Rofiq kadang-kadang juga nanya saya, biar gak dikira seperti sedang main kuis Who Wants to be a Millionaire karena saya terus yang tanya. Dia tanya apa ya. Oh ini, dia tanya apakah saya tau jamaah yang dia maksud dan apakah ada jamaah yang datang ke daerah saya?

Saya bilang, yah sedikit-sedikit saya tau Mas. Tapi tempat tinggal saya itu jarang dimasuki sama jamaah-jamaah yang Mas Rofiq maksudkan karena banyak warga yang khawatir dengan pemahaman-pemahaman yang baru. Jadi kalau ada jamaah lain yang datang, yang mau mengadakan pengajian atau hal semisal, tidak jarang warga menolaknya.

Mendengar jawaban saya itu, Mas Rofiq langsung bereaksi. Dengan gagah perkakas dia mengatakan, “Kalau saya yang kesana, sudah saya debat kyainya. Lah memang kami melakukan apa? Dakwah kok dilarang. Kami kan mengajak orang pada kebaikan, bukan sebaliknya”

Iya, Mas Rofiq.

“Seharusnya yang dilarang itu yang suka mabuk-mabukan, judi, pacaran dan sebagainya. Bukan justru orang yang mengajak pada kebaikan”

Iya, Mas Rofiq.

“Antum tau, berapa banyak orang yang akhirnya dapat hidayah karena usaha dakwah kami? Banyak. Dari mulai preman bertato, penjahat, sampai artis-artis, banyak yang dapat hidayah karena jamaah ini. Tidak ada jamaah lain yang bisa berbuat seperti ini. N*, Muham*******, W*h*b* tidak bisa!” sambung Mas Rofiq dengan bergelora.

Sebenarnya ada banyak sekali percakapan yang saya lakukan bersama beliau. Tadi sudah saya katakan bahwa setengah perjalanan saya, saya habiskan untuk berbincang bersama beliau. Tapi tidak mungkin saya tuliskan semua di sini karena selain saya tidak mau menyusahkan diri sendiri, saya juga sudah tidak ingat semua isi percakapannya.

Saya sungguh bangga dengan perjuangan teman-teman dakwah, baik dari gerakan yang diikuti Mas Rofiq, maupun dari gerakan lainnya yang sesuai dengan sunnah. Biar bagaimanapun, merekalah para pewaris perjuangan para nabi dan ulama. Tapi sangat disayangkan jika hidayah yang merupakan pemberian Allah diklaim sebagai usaha mereka, saya kira ada pemahaman yang perlu diluruskan di sana.

#Home Sweet Home

June 11, 2016

Mari Nakal!!!


Kaku. Semakin kemari rasanya hidup saya semakin kaku pada peraturan. Terlalu takut salah. Terlalu taat pada pihak yang saya anggap berwenang. Terlalu menyanderakan diri pada dogma-dogma. Atau kalau mau diperas dan diambil intinya, saya terlalu berlebihan jadi “anak baik”.

Well, saya bukan sedang menyombongkan diri karena memang saya tidak bangga dengan itu. Justru menurut saya itu adalah masalah. Sebuah persoalan yang harus saya selesaikan. Karena ini berkaitan dengan karir saya sebagai akademisi (haiiss), apalagi akademisi ilmu sosial.

Sebagai akademisi, modal utama yang harus kita pelihara baik-baik adalah pemikiran kritis. Seolah-olah ada postulat bahwa setiap pendapat, opini, peraturan, atau hal semisal harus dikritisi. Tidak peduli siapa pihak yang mengeluarkan opini atau peraturan itu. Entah itu pemuka agama, pemerintah, dosen, akademisi lain atau sekedar warga biasa. Selama itu bukan syariat-syariat yang telah jelas hukumnya dari Allah, maka menjadi wajib hukumnya untuk mengkritisi pendapat mereka. Toh, mereka bukan utusan yang menerima wahyu dari Jibril.

Nah, kemampuan mengkritisi inilah yang rasanya pudar dari saya. Belakangan ini saya terlalu mem-beo. Terlalu berlebihan mengiyakan perkataan orang, apalagi kalau orang itu memiliki otoritas atau kewenangan. Bisa semakin merunduk saya jadinya.

Saya menduga hal ini bersebab rasa cinta saya yang berlebih pada harmoni serta kekhawatiran yang terlalu mendalam pada konflik hingga menjadikannya mental block. Bahkan untuk sekedar berdebat atau adu argumen pun rasanya sungkan. Padahal hal itu menjadi keharusan bagi akademisi.

Saya tercenung mendengar perkataan teman saya yang bilang, “menjadi nakal itu tidak selamanya buruk. Kadang dengan nakal itulah kita temukan kreativitas, inovasi, dan ide-ide”. Yang dimaksud nakal oleh teman saya itu bukan nakalnya pengonsumsi narkoba, miras, dan sebagainya. Kalau itu sudah jelas dosanya. Nakal disini artinya berusaha mengupayakan jalan lain untuk mencari kebaikan sekaligus juga kesenangan, selama tidak dosa, hehe.

Sebagai contoh, berapa banyak anak yang akhirnya bisa berenang karena terbiasa mandi di sungai? Saya yakin banyak orangtua yang melarang kegiatan itu, tapi karena si anak ingin mengejar kesenangannya, maka iapun berani menyiasati larangan orangtua dengan kreativitasnya. Mulanya mungkin dia bertanya kepada orangtuanya mengapa dia dilarang? Kemudian dia memberikan argumen-argumen untuk meyakinkan orangtuanya bahwa kekhawatiran mereka terlalu berlebihan. Kalau masih dilarang juga, sedangkan keinginan mandi di sungai begitu menggebu, mereka lancarkan strategi lain. Dengan ngumpet-ngumpet atau dengan mencari akses lain menuju ke sungai sehingga orangtuanya tidak tau. Sesudah mandi, dia harus cari cara agar orangtuanya tidak tau kalau dia baru mandi. Kalaupun orangtuanya tahu, dia harus mencari alasan agar dia tidak dimarah. Begitu terus, sehingga terasa begitu hidup otak si anak nakal itu.

Coba bandingkan dengan anak yang manut-manut saja, yang sekali dilarang langsung mem-beo, saya yakin mereka akan kalah kreatif dengan si nakal. Oleh karena itu, rasanya kenakalan itu kadang diperlukan, selama hal itu bukan perbuatan kriminal dan merugikan orang. Kita yang dewasa pun rasanya cenderung lebih suka dengan anak nakal daripada anak yang mem-beo. Mereka yang nakal terlihat lebih menarik dan tidak membosankan serta lebih enak diajak bercanda.

Oleh karena itu, mari nakal…!!!

#Home Sweet Home

May 4, 2016

هذه قصة عن نفسي


بسم الله الرحمن الرحيم...
اسمي فجر الدين. في الحقيقة، عندما كنت طفل صغير اسمي أحمد فيري، لكن كان والدي يغيره لأني مريضة في كثير من الأحيان في ذلك الوقت. في البلد نحن لدينا التقليد لتغير اسم الأولاد إذا عندهم مشكلة مثل مريض. بعد غيرت الاسم، ما وجدت أي مريض خطير الحمد لله. ولكن هذه ليست حجة أن يغير الاسم هو الشافع، إن الشفاء من الله فقط وهو الصحيح الشافع.

 عمري سبعة وعشرون سنة الآن، لكن زملائي في المعهد لم يصدقوني. هم قالوا عمري حول عشرون سنة، هههه. كنت الأكبر من ثلاثة أشقاء. الأخ الأول عمره عشرون سنة وهو يدرس في الجامعة في قسم الحاسب. فالأخ الآصغر عمره أحد عشر سنة ويدرس في مدرسة الإبتدئية. أبي عنده بقالة وهو يبيع أي شيء فيها .وأمي، المرأة الوحيدة في عائلتنا، توفيت منذ أربع سنوات بسبب السرطان. 

ولدت في عاصمة إندونيسيا، جاكرتا، وما ذهبت إلى مكن آخر إلى أدرس في الجامعة. هذا أيضا من تقليد شعبي. هم لا يحبون أن يذهبون إلى مدينة أخرى، بل يبقون هناك منذ الولادة وحتى الموت. لكن عندما كنت أدرس في الجامعة، أنا أنتقل إلى مدينة أخرى بوحدي، تسمى جوغجاكرتا، التي تقع في جاوا الوسطى، حولي ٨٠٠ كيلومتر من جاكرتا.

درست علم النفس في المرحلة البكالوريوس. كثير من الناس يسالوني لماذا أنا أدرس ذلك العلم؟ حتى أسرتي سألوا هكذا. هم يفكرون إن علم النفس هو خاص للنساء فهذا ليس عنده المحتملين للعمل. أجبت نعم، في الواقع لقد وجدت العديد من الطالبات هناك، لكن هذا العلم مهم ليس للنساء فقط، بل رجل أيضا. ليس هناك شك في أن كل الشخص لديهم مشكلة نفسية، الرجال والنساء. ثم أعتقد إن الرزق هو من الله لأنه الرزاق فهو لن يترك عبيده.

ألحمد لله كملت البكالريوس بسبب نعمة من الله وهي نعمة عالية لأنني تقريبا أنا لا أستطيع أن أكمله منذ وفاة والدتي. في الحقيقة، كنت عندي مشكلة كبيرة عندما أمي توفيت. حصلت وأكد قليلا، والاكتئاب، و لم أستطع التفكير بوضوح. في حين لا بد لي من إكمال بحثي وكتابة أطروحتي.

بعد انتهيت من البكالريوس، أنا أدرس في المرحلة الماجستير. وافقت على منحة دراسية من وزارة التعليم العالي. كنت سعيد جدا لأنني لدي طموحات لتصبح محاضر في الجامعة. بالمناسبة، أريد أن أكون المحاضر لأنني أحب العلم، والبحث، والأوساط الأكاديمية، وأعتقد هؤلاء موجودون في الجامعة.

التخصص في المرحلة الماجستير هو علم النفس كارثة. كما عرفنا إندونيسيا عندها كارثة الخطر كثير جدا، مثل الزلازل، والبراكين، والتسونامي، والفيضانات، والعواصف، وهكذا. وبعد الكارثة، كثير من الناس لديهم مشكلة النفسية، مثل الصدمة. ف علم النفس كارثة يحاول أن يفهم من هذه المشكلة وكيفية التعامل معها. إذن الموضوع حول كيفية كارثة تؤثر على الجانب النفسي، وكيف أنها ترتد مرة أخرى بعد كارثة.

عندما كنت أكمل الماجستير تقريبا، حصلت على إشعار قبول من جامعة الملك سعود. قبلت في قسم علم النفس في المرحلة الماجستير مرة أخرى. كان الأمر غريبا جدا لأنني تقدمت بطلب المنحة قبل سنتين، ولكن أيضا كنت سعيدا بهذه الأخبار. أخيرا ذهبت إلى المملكة العربية السعودية أن أغتنم هذه الفرصة.

لما وصلت هنا وقابلت مع رئيس القسم، وفوجئت جدا. هو قال أن التعليم في قسم علم النفس ليس باللغة ألإنجليزية، بل العربية. أنا ما فهمت هذه المعلومات وأنا أفهم التعليم باللغة الإنجليزية. في الختام، رئيس القسم بعث لي إلى معهد اللغة العربية لكي أستطيع أن أدرس هناك. بانسبة لي هذا هو فرصة جيدة. في الواقع هدفي لأدرس في المملكة العربية السعودية هو أن نتعلم علم النفس على أساس منظور إسلامي لأن الكثير من الخرافات في علم النفس الغربي. وألآن أنا أدرس في المعهد في مستوى الثاني الحمدلله. آمل أن أفهم اللغة العربية بشكل جيدة حتى أستطيع أن أفهم علم النفس الصحيح. 

ثم رئيس القسم قال أنا يمكن أن تحويل المنحة إلى المرحلة الدكتوراه. لذلك أنا لست بحاجة إلى أن أكرر على المرحلة الماجستير مرة أخرى. سألني لإجراء مقابلة في السنة القادمة إن شاء الله. 

إسكان الطلاب بجامعة الملك سعود بالرياض  

April 13, 2016

Indonesia: Senandung Rindu



Hampir genap dua semester saya belajar Bahasa Arab. Menjalani program intensif tiap harinya. Berusaha meleburkan diri dalam pergaulan internasional demi melatih kefasihan dalam berbicara. Tapi rasa-rasanya kemajuan yang dicapai masih belum sesuai yang diharapkan.

Dari keempat skill yang diperlukan dalam belajar bahasa, speaking, listening, writing, dan reading, rasa-rasanya belum ada satu skill pun yang bisa saya banggakan. Dalam hal speaking, jelas masih banyak yang harus dikoreksi. Kesalahan-kesalahan mendasar, seperti memasangkan jenis kata feminim dengan maskulin, masih sering terjadi. Begitu pula dengan listening skill yang masih sangat kentara kekurangannya. Word missing masih sering saya alami ketika mendengarkan kuliah dosen. Padahal materi yang disampaikan masih sederhana, seputar tema umum yang sering muncul dalam kehidupan.

Kemampuan writing pun setali tiga uang. Meski sudah mulai terbiasa menuliskan huruf hijaiyah, tapi kengacoan saya mengganti satu huruf dengan huruf lainnya masih sering terjadi. Misalnya mengganti huruf hamzah dengan huruf ‘ain dalam kata ta’tiiy (arti: kamu datang). Pun demikian dengan kemampuan reading. Saya lebih sering mengernyitkan dahi kalau disuruh baca kitab gundul.

Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut, tentu modal Bahasa Arab saya untuk belajar di jenjang pasca sarjana nanti akan sangat kurang. Sudah semestinya saya memangkas waktu istirahat. Menambah lagi porsi ikhtiyar dan munajat. Serta yang tidak kalah penting, mengobarkan kembali api semangat.

Ah ya, belakangan ini memang saya seperti mengalami kejumudan. Kuliah intensif empat jam sehari, lima hari seminggu. Ditambah beban tugas serta tambahan kuliah di luar jam tersebut selama delapan bulan terakhir akhirnya mengantarkan saya pada kondisi itu. Lelah disertai bosan kadang datang karena aktivitas yang repetitif, mengingat sudah lama sekali saya tidak melakukan rutinitas yang seperti ini.

Ya, terakhir kali saya melakukan aktivitas seperti ini kan ketika masih berseragam sekolah. Di bangku kuliah saya sudah tidak merasakan ini karena memang jam kuliah biasanya tidak full. Kadang cuma satu atau dua matakuliah saja sehari. Bahkan sering pula tidak ada kuliah seharian penuh. Saat itu sepertinya keberadaan hari libur sama dengan tidak adanya. Ada, namun apalah artinya. Toh, jadwal kuliahnya juga jarang-jarang.

Berbeda sekali dengan kondisi sekarang. Pengumuman libur dari Kementrian Pendidikan malam hari sebelum kuliah rasanya sangat menggirangkan hati. Pulang lebih cepat karena dosen berhalangan mengajar sudah bisa menghadirkan keceriaan sendiri. Yah, kurang lebih sama lah cerianya ketika anak SD pulang lebih awal karena gurunya rapat.

Dan satu hal yang melipatgandakan kejumudan saya adalah karena jadwal liburan musim panas yang sudah di depan mata. Perlu diketahui, kampus saya yang baik ini selalu memberikan tiket pp liburan ke negara asal setiap kali libur musim panas. Dan dengan waktu libur yang hanya tinggal sebulan lagi itu, pikiran saya dengan egoisnya sudah jauh terbang duluan ke Indonesia meninggalkan jasad ini di tengah gegurunan. Lalu dihadirkan pula rasa rindu yang berupa-rupa.

Rindu dengan romantisme lengkingan suara (tukang) putu di tengah gerimis yang baru merintik. Rindu dengan koor musik tukang siomay yang konsisten melintas di penghujung senja. Rindu dengan cengkrama ketuk kayu tukang bakso malang yang setia mengisi malam. Ah, dimana lagi saya bisa dapatkan hal itu kalau bukan di Indonesia?

#Asrama 27 King Saud University, Riydah

March 29, 2016

Mengukur Ketauhidan Warga Jakarta Melalui Pilgub DKI 2017



Saya tidak bisa menyembunyikan kegelisahan saya terkait ajang Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta tahun 2017 mendatang. Gelisah karena cagub petahana yang ada memiliki ideologi yang sangat bersebrangan dengan ideologi umat muslim. Dan celakanya dia dicitrakan masif sekali di media. Propaganda media untuk meninggikan namanya amat sangat gencar, mulai dari televisi, berita di koran dan internet, sampai media sosial.

Saya khawatir kejadian Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 kembali terulang dimana Pak Jokowi berhasil mengalahkan Pak Prabowo, meski menurut saya secara kompetensi kepemimpinan Pak Prabowo tidak layak kalah. Tapi karena “modal media” yang dimiliki Pak Prabowo tidak lebih besar daripada Pak Jokowi, maka jabatan presiden tidak berhasil diperolehnya.

Saat itu hampir semua media mainstream, baik cetak maupun digital, mendukung Pak Jokowi. Pencitraan besar-besaran mereka lakukan demi meninggikan nama beliau. Publik disodorkan kisah kepahlawanan Pak Jokowi sepanjang hari, berulang-ulang dari pagi, siang, sore, malam sampai bertemu pagi lagi. Dan itu sangat efektif untuk membentuk dan menggiring opini publik.

Seperti yang kita tahu bahwa kekuatan media di era digital seperti sekarang ini teramat sangat luar biasa. Mereka dapat mengemas kotoran menjadi berlian. Dapat pula menjebloskan orang jujur ke penjara dan sebaliknya, membebaskan penjahat dari hukuman. Bahkan mereka juga bisa menaikkan dan menurunkan seorang presiden atau kepala negara seperti yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Nah, kalau pekerjaan yang berskala internasional saja bisa mereka lakukan, apalagi kalau skalanya hanya provinsi?

Saat ini framing yang media lakukan untuk cagub petahana DKI Jakarta sudah sangat kentara. Keberpihakan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi. Artinya bisa dikatakan “modal media” yang dimiliki cagub petahana sudah mengungguli cagub manapun. Belum lagi cyber corps yang berseliweran di media sosial, yang siap mengkritik, menghujat, dan mengintimidasi siapapun yang memberikan komentar negatif kepada cagub petahana. Rasanya sangat mengerikan jika melihat besarnya “modal media” yang dia miliki.

Kengerian itu semakin menjadi ketika membaca postingan teman saya di group Whatsapp. Dalam postingan itu dikatakan bahwa Ustadz Yusuf Mansur akan ikut meramaikan Pilgub DKI dengan mengatakan siap maju menjadi cawagub. Begitu membaca postingan itu, seketika tercetus dalam pikiran saya, “Sudah begitu tak tertandinginya kah cagub petahana hingga beliau (Ustadz YM) harus terjun langsung dalam perhelatan?”

Jawaban dari pertanyaan itu langsung saya dapatkan dari postingan yang sama dimana dalam postingan tersebut Dr. Adian Husaini berkomentar: “Kalau Yusuf Mansur benar-benar terjun ke kancah Pilgub DKI, hampir pasti itu karena desakan yang sangat hebat dari para ulama dan tokoh masyarakat Jakarta.”

Ah, rupanya para ulama pun khawatir dengan power yang dimiliki cagub petahana sekaran ini. Umat Islam akan menghadapi pertarungan yang sangat dahsyat. Kalau saja Ustadz YM benar-benar turun gunung menjadi cawagub dan kemudian kalah, maka bisa diartikan DKI Jakarta berada dalam status darurat ketauhidan. Well, sekarang pun sebenarnya kondisinya sudah gawat karena banyak orang muslim yang dengan bangga berkampanye untuk cagub petahana. Tapi hasil Pilgub DKI 2017 akan memperjelas kondisinya, apakah kondisi ketauhidan warga Jakarta cukup gawat, gawat, atau sangat gawat?

#Asrama 27 King Saud University, Riyadh

March 6, 2016

Kisah Nabi Musa 'alaihi salam


Setelah mengikuti kuliah Qiro’ah Muwassa’ah dengan kitab Qoshoshun Nabiyin sebagai kitab acuannya, saya merasa memiliki pemahaman yang lebih integratif tentang kisah para nabi. Pada pertemuan terakhir misalnya, kami sedang membahas kisah Nabi Musa. Sebenarnya, kisah ini belum selesai kami bahas karena begitu panjangnya, di Al-Qur’an sendiri kisah Nabi Musa menjadi kisah terpanjang diantara para nabi. Tapi walaupun belum selesai dibahas, saya akan sedikit mengulas kisah tersebut disini.

Penulis kitab Qoshoshun Nabiyin, Abu Ali An-Nadwi, mengawali kisah dengan menceritakan bahwa Nabi Yusuf, setelah diangkat menjadi bendaharawan Mesir, mengajak semua keluarganya untuk hijrah kesana. Beliau merasa tidak nyaman hidup sendirian di Mesir. Oleh karena itu, diundanglah Nabi Ya’qub (Bapaknya Yusuf), Ibunya Yusuf, dan ke-sebelas saudaranya untuk berkumpul bersama beliau di Mesir. Sebelumnya mereka tinggal di Negeri Kan’an atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syam (meliputi wilayah Palestina, Suriah, Yordania, dan Libanon).

Singkat cerita, mereka hijrah ke Mesir dan membangun kehidupan selama berpuluh tahun disana. Mereka dicintai dan dihormati oleh warga Mesir karena Nabi Yusuf memiliki akhlak yang mulia dan menjadi “penyelamat” berkat takwil mimpinya yang melegenda. Keturunan-keturunan dari Nabi Ya’qub ini selanjutnya disebut sebagai Bani Israil. Israil adalah nama lain dari Ya’qub. Mereka berbeda dengan penduduk asli Mesir yang disebut sebagai Kaum Qibthi.

Nah, permasalahan bermula ketika para tetua Bani Israil telah wafat. Dimulai dari Nabi Ya’qub, kemudian disusul oleh Nabi Yusuf. Setelah waktu yang panjang, terjadi perubahan pada Bani Israil. Mereka mulai meninggalkan dakwah kepada Allah dan sibuk memikirkan dunia sampai akhirnya tibalah masa dimana Fir’aun menjadi penguasa Mesir.

Ketika Fir’aun berkuasa di Mesir dan mendeklarasikan diri sebagai Tuhan, ada seorang ahli nujum (kahin atau tukang ramal) yang meramalkan bahwa akan datang seseorang laki-laki di masa depan yang akan menjatuhkan kerajaannya. Mendengar ramalan ini, Fir’aun ketakutan. Dia kemudian memerintahkan bawahannya untuk membunuh semua bayi yang lahir dari Bani Israil. Fir’aun hanya membunuh bayi laki-laki dari Bani Israil dan tidak membunuh bayi laki-laki dari Kaum Qibthi karena menurut tukang ramal, laki-laki perebut kekuasaan Fir’aun itu berasal dari Bani Israil.

Kebijakan Fir’aun itu berlangsung cukup panjang hingga akhirnya para penasihat kerajaan mulai khawatir akan hilangnya generasi yang akan membantu pemerintahan. Kekhawatiran ini disampaikan kepada Fir’aun. Kekhawatiran yang sangat logis dan berdasar ini pada akhirnya merubah kebijakan awal. Kalau semula Fir’aun membunuh habis bayi laki-laki yang lahir dari Bani Israil, setelah adanya masukan dari penasihat ini, Fir’aun membunuh mereka dengan waktu yang berselang-seling. Setahun membunuh. Setahun membiarkan. Artinya, kalau ada bayi laki-laki yang lahir di tahun ini, dia akan dibunuh dan dia akan membiarkan hidup bayi yang lahir di tahun depan. Begitulah kebijakan barunya.

Kebijakan baru itu sedikit memberi angin sejuk bagi Bani Israil. Setidaknya harapan untuk memiliki bayi laki-laki sebagai penerus generasi tidak hilang sama sekali. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi kekhawatiran para orangtua, terutama kaum ibu, karena mereka tidak bisa memprediksi bayi dengan jenis kelamin apa yang akan terlahir nanti pada tahun pembunuhan. Kalau dia berjenis laki-laki, maka pengorbanan mereka selama sembilan bulan dan pertaruhan hidup-mati mereka ketika melahirkan akan menjadi sia-sia.

Kekhawatiran yang serupa juga dialami oleh istri dari Imron, yang kelak menjadi Ibunda Nabi Musa. Beliau saat itu hamil bertepatan dengan tahun pembunuhan. Dan ketika tiba waktunya melahirkan, beliau menjadi semakin ketakutan karena yang terlahir ternyata laki-laki, yaitu Musa.

Di bawah kecemasan dan ketakutan tersebut, Ibunda Musa masih sempat merawat Musa kecil selama tiga bulan tanpa sepengetahuan Fir’aun. Akan tetapi beliau sadar, cepat atau lambat Fir’aun akan mengetahuinya dan beliau tidak mau melihat putra kesayangannya disembelih di depan matanya. Melalui ilham dari Allah, beliau akhirnya menempatkan Musa kecil dalam sebuah kotak dan menghanyutkannya di Sungai Nil.
Salah satu sisi sungai Nil (sumber : dok. pribadi)
 وأوحينا إلى أم موسى أن أرضعيه فإذا خفت عليه فألقيه في اليم ولا تخافي ولا تحزني إنا رادوه إليك وجاعلوه من المرسلين

Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul (Surat Al-Qashash (28) : 7).


Hikmah
Walaupun kisah Nabi Musa belum selesai kami baca dan bahas, tapi setidaknya sudah ada dua hikmah yang tercetus dalam pikiran saya. Pertama, tentang pentingnya nasab atau garis keturunan. Dalam kisah Nabi Musa, keturunan Nabi Yaqub dapat teridentifikasi dengan jelas karena mereka memiliki nama umum, yaitu Bani Israil. Di kalangan bangsa Arab, kita juga mengetahui bahwa nama seseorang sering dinisbatkan pada nama ayah atau anaknya. Misal, Abu Ismail, yang berarti Bapaknya Ismail. Atau Ibnu Ibrahim, yang berarti Anaknya Ibrahim.

Penisbatan nama ayah atau anak pada nama seseorang (atau sering disebut nama kun’yah) membuat statusnya menjadi jelas, dari keluarga mana dia berasal. Jika mengacu pada perspektif sosial, menurut saya budaya ini sangat penting karena dapat mencegah, atau setidaknya meminimalisir, terjadinya kelahiran “anak tidak berbapak”. Seperti yang kita ketahui, zaman sekarang ini banyak anak yang terlahir dengan status yang tidak jelas siapa orangtuanya karena hubungan haram yang dilakukan di luar nikah.

Nah, budaya penisbatan nama ayah atau anak ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan hubungan haram karena sanksi sosial yang mereka dapatkan akan sangat berat jika kelak terlahir seorang anak dari hubungan haramnya itu. Baik si anak maupun si bapak tidak akan saling bisa menisbatkan nama mereka (duh, agak muter-muter, semoga dapat dipahami). Ingat, ini baru bicara perspektif sosial, hubungan antara manusia dengan manusia, belum bicara hubungan manusia dengan Tuhannya (perspektif agama).

Hikmah kedua yang terlintas dalam pikiran saya adalah tentang kemahasempurnaan skenario Allah subhanahu wa ta’ala. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, sebelum Musa kecil dihanyutkan di sungai Nil, Bunda Musa menyempatkan diri merawat Musa selama tiga bulan. Allah kemudian memberikan jobdesc yang lebih spesifik lagi kepada beliau, yaitu dengan memerintahkannya menyusui Musa, seperti pada surat Al-Qashash ayat tujuh yang saya kutip di atas.

Dalam ilmu psikologi, ada istilah kelekatan (attachment) antara bayi dengan figur lekat. Kepada siapa bayi melekatkan dirinya akan sangat tergantung pada siapa figur lekat yang ia dapati di awal kehidupannya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kaum ibu untuk menyusui dan membersamai bayinya sejak awal kelahiran.

Nah, ketika Musa kecil nantinya diambil oleh istri Fir’aun, ternyata tidak ada satupun kaum wanita yang dapat menyusuinya. Musa sama sekali tidak mau menyusu kepada mereka. Dia terus menangis sampai akhirnya nanti ia dipertemukan dengan ibunya, barulah ia mau menyusu. Allahu Akbar. Walaupun baru tiga bulan disusui, tapi Musa telah memiliki kelekatan yang sangat kuat kepada ibunya.

Allah menepati janjinya kepada Bunda Musa bahwa Dia akan mengembalikan Musa padanya. Ini merupakan karunia bagi beliau karena setelah menghanyutkan anaknya ke sungai, hati beliau seperti kosong (emotionally paralyzed). Yah, ibu mana yang tidak gamang melihat bayinya yang masih merah hanyut di sungai? Saya rasa semua ibu akan merasakan hal itu.

#InsyaAllahBersambung

#Asrama 27 King Saud University, Riyadh