September 14, 2015

Hudaibiyah Versi Saya


Teringat saya dengan perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian antara umat muslim dan kafir Quraisy yang menurut Umar ibn Khaththab berat sebelah sehingga menimbulkan protesnya kepada Rasulullah. Menurut Umar, perjanjian tersebut sangat merugikan umat muslim sehingga tidak semestinya “ditandatangani” oleh Rasulullah. Salah satu klausul yang membuat Umar geram adalah sebagai berikut:

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus pulang pada tahun ini dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang Muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.”

Karena klausul tersebut, umat muslim yang sudah jauh-jauh datang dari Madinah terpaksa harus kembali pulang. Padahal Rasulullah sendirilah yang mengajak umat muslim ke Mekkah karena beliau bermimpi melihat dirinya bersama para sahabat memasuki masjidil haram, mengambil kunci Ka’bah, serta melaksanakan thawaf dan umrah. Karena semua sahabat meyakini bahwa mimpi Rasulullah adalah benar, maka “kegagalan” mereka memasuki Mekkah membuat mereka gusar. Apalagi diantara umat muslim saat itu banyak terdapat kaum muhajirin dari Mekkah yang sudah lama tidak kembali ke kota kelahiran mereka.

Saat itu Umar mengadukan keberatannya kepada Abu Bakar, “Mengapa kita harus kembali ke Madinah? Bukankah Rasulullah mengatakan kita akan umrah di Mekkah?” Abu Bakar yang bijak dan cerdas menanggapi kegelisahan Umar dengan berkata, “Apakah Rasulullah juga bilang bahwa umrahnya akan dilaksanakan tahun ini? Bukankah Rasulullah hanya berkata bahwa kita akan umrah?” Mendengar jawaban itu, Umar akhirnya melunak.

Saya pribadi sangat memahami apa yang dirasakan Umar. Sangat mengerti apa yang digusarkan Umar. Karena saat ini, detik ini, saya pun merasakan kegusaran yang serupa dengan Umar. Bagaimana tidak gusar, Mekkah sudah didepan mata, kerinduan untuk beribadah di masjidil haram sejengkal lagi akan terobati, pelaksanaan ibadah haji tinggal menghitung hari, tapi semua itu harus tertunda. Kalau Umar, Rasulullah, dan para sahabat tertunda karena perjanjian Hudaibiyah, saya tertunda karena masalah administrasi, yaitu belum keluarnya iqomah (residence permit atau KTP Saudi).

Iqomah, menurut para sesepuh disini, sangat penting karena itu merupakan tanda pengenal kita. Kalau belum punya iqomah dan hanya mengandalkan visa, lanjut para sesepuh, bisa jadi kita akan dideportasi ketika ditangkap oleh polisi. Jangankan belum punya iqomah, yang sudah punya iqomah saja bisa dideportasi kalau ketahuan melakukan ibadah haji dengan ilegal (tanpa tasrih). Oleh karena itu, para sesepuh menasihati agar sebaiknya saya menunda hajat ingin berhaji tahun ini. Aaaakkkkk!!!!
Ilustrasi Haji (sumber : Google)
Sedikit mengulas tentang legal dan ilegal pelaksanaan ibadah haji, mahasiswa di sini banyak yang melakukan ibadah haji ilegal (duh rasanya gak enak banget nulis ilegal, kesannya buruk banget). Ilegal artinya tidak memiliki tasrih, yaitu izin resmi untuk melaksanakan haji. Untuk memiliki tasrih, kita harus mendaftar dengan biaya yang tidak sedikit. Ustadz Junaedi kemarin sempat mengatakan bahwa paket murah untuk haji resmi berkisar 4000 Riyal (sekitar Rp 14 juta) dan paket mahalnya berkisar 7000 Riyal (sekitar Rp 24 juta). Itupun para muqim (yang memiliki iqomah) hanya dapat jatah 5 tahun sekali. Artinya, kalau dia akan haji tahun ini, dia baru bisa haji lagi 5 tahun mendatang.

Bayangkan, sudah berada di Saudi saja masih harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk pergi berhaji. Maka saya paham kalau kemudian banyak yang melakukan haji ilegal atau biasa disebut haji koboy di sini. Biaya untuk haji koboy hanya sekitar 1500 – 2000 Riyal. Masih lumayan besar sih, tapi setidaknya jauh dibawah harga haji resmi.

Sebenarnya ada satu lagi jalan untuk berhaji, bahkan yang ini tanpa mengeluarkan biaya sama sekali, yaitu haji melalui kampus. Pihak kampus setiap tahun dengan baiknya memfasilitasi mahasiswa untuk berhaji, tapi sayangnya tidak semua mahasiswa kebagian jatah haji dari kampus. Hanya yang beruntung saja yang bisa haji melalui jalan ini. Jadi alurnya adalah mahasiswa diminta mendaftar ke kampus, lalu kampus akan mengundi mereka. Yang mendapat undian itulah yang akan difasilitasi kampus untuk berhaji. Saya belum bisa mendaftar karena saat saya datang, pendaftaran haji telah lama ditutup. Mudah-mudahan tahun depan bisa mendaftar dan kebagian jatah haji dari kampus. Aamiin…

NB: Percakapan antara Abu Bakar dan Umar itu saya tuliskan berdasarkan ingatan saya saja, dari buku yang saya baca. Saya tidak tau persis redaksinya seperti apa.

#Asrama No 27 kamar No 224

September 13, 2015

Riyadh: Sebuah Perjalanan


Alhamdulillah saya sudah tiba di Riyadh. Banyak sekali yang ingin saya tuliskan terkait persiapan saya menuju Riyadh, dari mulai mengurus visa sampai benar-benar tiba di Bandara King Khalid, Riyadh. Tapi karena masih ada banyak keperluan yang harus diurus, maka hal itu belum bisa saya lakukan. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menceritakan keberangkatan saya dari Jakarta menuju Riyadh.

Bisa saya simpulkan keberangkatan saya kemarin sangat mendadak. Bayangkan, saya diberi tiket oleh King Saud University (KSU) Senin sore (31 Agustus) dan tiket pesawatnya bertanggal 02 September. Artinya, saya hanya punya waktu kurang dari dua hari untuk mempersiapkan semuanya. Padahal waktu itu saya masih berada di Jogja. Untung saat itu saya memang benar-benar sudah siap pulang ke Jakarta, jadi tidak perlu repot-repot mencari tiket pulang. Akhirnya, selama perjalanan di kereta itu saya koordinasi dengan keluarga untuk meminta bantuan mereka mempersiapkan keberangkatan saya. Apa yang bisa dikerjakan lebih dulu, maka mereka kerjakan.

Perjalanan dari Jogja ke Jakarta saya tempuh dengan menggunakan kereta api. Tiba di Stasiun Senen sekitar pukul 12 malam. Dari stasiun, sebenarnya saya agak bingung juga mau naik apa untuk sampai ke rumah. Bis kota jelas sudah tidak beredar. Transjakarta harus pakai kartu yang lumayan mahal. Taksi jelas lebih mahal. Bermalam di stasiun hanya akan membuang waktu. Aha, saat itu saya kepikiran gojek. Sempat agak ragu, apakah gojek masih beredar atau tidak jam segitu, tapi saya coba order melalui hp dan alhamdulillah masih ada. Akhirnya saya sewa dua gojek, yang satu untuk membawa barang bawaan mengingat barang bawaan saya sangat banyak, dan satu lagi untuk mengangkut saya. Alhamdulillah bisa sampai di rumah dengan selamat.

(Duh, jadi inget, saya juga sebenarnya ingin menuliskan saat-saat terakhir berada di Jogja, kota yang sangat berat untuk ditinggalkan. Semoga ada kesempatan menuliskannya)

Setelah istirahat sebentar, paginya saya langsung tancap gas untuk mempersiapkan semuanya. Mondar-mandir kesana kemari untuk membeli barang-barang yang perlu dibawa. Bisa dibilang itu adalah hari tersibuk saya karena sejak pagi, siang, sore, malam, sampai pagi lagi saya masih mengurus semua persiapan, termasuk berpamitan ke paman, bibi, dan saudara-saudara lainnya. Mereka banyak sekali membantu persiapan saya. Saya merasa sangat berhutang budi kepada mereka.

Pesawat saya take off jam 16.55 WIB. Oya, maskapai yang dipesan oleh KSU adalah Qatar Airways, bintang 5, sama seperti Garuda. Saya berangkat dari rumah jam 13.00. Ada lumayan banyak tetangga yang melepas kepergian saya, maklum lah saya kan orang kampung, hehe. Terus mampir sebentar di rumah paman untuk pamitan lagi. Duh, paman saya pake nangis segala. Jujur saya tidak kuat kalau melihat orang nangis, apalagi menangisi saya. Sontak air mata ini meleleh dengan sendirinya. Setelah pamitan, kami langsung meluncur ke Bandara Soekarno Hatta.

Tiba di bandara sekitar jam 14.30. Saya langsung bawa barang bawaan untuk dimasukkan ke bagasi pesawat. Masih ada waktu sekitar satu jam untuk bercengkrama dengan keluarga. Ah,  ini saat-saat yang sangat berat. Saya membayangkan ibu saya. Dulu waktu pergi ke Belanda, beliau mengantar saya sampai ke bandara. Menunggui saya sampai menjelang waktu boarding. Sekarang beliau tidak ada. Hanya ada bapak yang menemani. Masya Allah… sulit bagi saya menggambarkan perasaan saya saat itu.

Ketika waktu boarding tiba, saya pamitan lagi dengan keluarga yang mengantar. Saya peluk satu persatu mereka. Kalau saat itu saya mengedepankan perasaan, rasanya saya ingin batalkan saja kepergian saya, pulang ke rumah dan berkumpul lagi bersama keluarga. Tapi tidak mungkin saya melakukan hal itu. Konyol sekali rasanya.

Selama berada di boarding gate, perasaan saya terasa lumpuh (emotionally paralyzed). Tidak saya sangka waktu berjalan secepat ini. Saya sudah harus pergi lagi meninggalkan keluarga. Setelah tujuh tahun berkelana di Jogja, kini saya pergi ke tempat yang lebih jauh lagi selama jangka waktu yang saya sendiri tidak tahu berapa lama. Semua berjalan sangat cepat. Benar-benar cepat. Baru kemarin rasanya berlebaran bersama mereka, kini sudah harus saya tinggalkan lagi. Masya Allah…

Rute penerbangan saya adalah Jakarta – Doha – Riyadh. Saya duduk bersebelahan dengan seorang wanita Filipina. Awalnya saya kira dia orang Indonesia, tapi ternyata bukan. Duh, pakaiannya bikin risih, celananya sangat pendek. Dia katanya sudah tujuh tahun di Indonesia, tapi bahasa Indonesianya masih acak adut. Saat itu dia mau ke London untuk bertemu dengan suaminya.

Saya tiba di Doha sekitar pukul 21.30 waktu Doha (sekitar jam 01.30 WIB). Transit di Doha tiga jam, kemudian berangkat lagi ke Riyadh jam 1.10 waktu Doha. Di jadwal, pesawat seharusnya tiba di Riyadh jam 2.35, tapi entah kenapa kemarin rasanya lebih cepat, jam 02.10 sepertinya pesawat sudah landing. Langsung saja saya menuju imigrasi. Ada sedikit permasalahan di imigrasi, tangan saya tidak bisa terdeteksi untuk sidik jari. Saya diminta pergi ke WC untuk cuci tangan. Petugas imigrasinya jutek sekali dan tidak mau berbahasa Inggris.

Setelah cuci tangan, saya datangi lagi petugas itu. Alhamdulillah sekarang sudah bisa dan saya dipersilahkan masuk. Saya langsung mencari koper saya. Lama sekali saya menunggu sampai akhirnya saya pindah ke tempat koper yang lain, ternyata kopernya ada di sana. Sekitar jam 03.15 semua urusan baru selesai.

Ketika saya keluar, saya dipanggil oleh orang kulit hitam yang membawa tulisan “King Saud University”. Ini pasti utusan dari kampus. Dia memperkenalkan diri, namanya Daud dan ada satu lagi temannya, namanya Khader dari Yaman. Khader ini mahasiswa S3 Psikologi, tapi dia tidak bisa berbahasa Inggris. Saya diberi kartu oleh Daud. Saya kira itu kartu mahasiswa, ternyata kartu untuk makan di kantin.

Pak Mubasyir, koordinator yang membantu mahasiswa baru, mengatakan bahwa akan ada mahasiswa Indonesia yang menjemput saya. Tapi saat itu kata Daud dia tidak melihat mahasiswa Indonesia dari tadi. Akhirnya saya tunggu mahasiswa Indonesia yang katanya mau menjemput saya. Toh Daud dan Khader juga masih menunggu satu mahasiswa lagi yang belum datang.

Sekitar pukul 04.00, datanglah tiga orang mahasiswa Indonesia yang menjemput saya, mereka adalah Byan, Faruq, dan Pak Andi. Melihat saya dijemput oleh teman-teman Indonesia, Daud kemudian mempersilahkan saya jika ingin pulang duluan. Saya sebenarnya tidak enak jika meninggalkan Daud dan Khader karena mereka telah menjemput saya, tapi karena badan saya juga sudah sangat capek dan mata sudah sangat ngantuk, akhirnya saya pulang duluan meninggalkan Daud dan Khader yang masih menunggu mahasiswa baru.
Tiba di Bandara King Khalid, Riyadh
Setelah sholat Subuh di bandara, saya langsung dibawa ke asrama 27 oleh ketiga mahasiswa Indonesia itu. Asramanya berada di lingkungan kampus dan sangat dekat dengan kantin mahasiswa. Saya dipersilahkan menempati kamar sementara. Ada lumayan banyak mahasiswa Indonesia yang datang ke kamar saat itu. Saya baru bisa istirahat sekitar pukul 07.00.

Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di Riyadh.

#Sakan 27, kamar 224

September 10, 2015

Menemukan Ketenangan Hidup (Membahas Surat Al-An’am ayat 82)


الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Di surat Al-An’am ayat 82, Allah SWT berfirman bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihi salam mengatakan kepada kaumnya pada ayat sebelumnya (ayat 81), “kelompok mana yang lebih layak mendapat kedamaian?”

Ayat 82 menjelaskan tentang orang yang mendapat kedamaian hidup. Orang yang menderita gangguan emosional, seperti depresi, sedih, mudah marah, gelisah. Bagaimana mereka mendapatkan kedamaian? Apakah ada hubungan antara keimanan dan kedamaian, yaitu kedamaian diri dan psikologis?

Allah berfirman:
“Orang yang benar-benar beriman, tidak mencampuraduk keimanannya dengan amalan buruk.”

Amalan buruk tidak hanya menimbulkan gangguan terhadap orang lain. Indahnya, di ayat ini Allah SWT mengatakan bahwa jika anda berbuat buruk terhadap orang lain, anda juga sebenarnya merusak diri anda sendiri.

Allah mengatakan, jika anda bisa untuk tidak melakukannya, yaitu tidak melakukan hal buruk dan melakukan ketidakadilan terhadap orang lain, orang seperti itulah yang berhak mendapatkan kedamaian. Mereka akan mendapatkannya dan merasakan kedamaian dalam dirinya.

Kita tahu sekarang ini banyak tentara yang pulang dari medan perang, menyaksikan aksi kekejaman atau disengajanya aksi kekejaman tersebut. Atau hanya menjadi saksi terhadap aksi tersebut yang dilakukan rekannya saat perang. Saat pulang mereka akhirnya bunuh diri atau mereka dihantui mimpi buruk, tidak bisa tidur nyenyak, atau harus melalui berbagai pengobatan. Mereka mengalami trauma, bukan hanya trauma (cidera) fisik, tapi juga trauma psikologis. Mereka mungkin dianggap sudah patuh, yaitu mematuhi sesuai peraturan pemerintah. Namun di dalam diri mereka sebenarnya hancur. Mereka tidak memiliki kedamaian lagi. Mereka tidak bisa menjalani hidup seperti itu.

Ada orang yang melakukan berbagai perbuatan dosa, misalnya bekerja di industri hiburan, industri musik. Mereka mungkin bukan artis terkenal, tapi mereka terlibat dalam industri tersebut sehingga harus melakukan dosa terus menerus dan berbuat buruk. Mereka yang berada di industri clubbing atau di industri yang penuh maksiat. Orang-orang ini mungkin harus terus menerus mengonsumsi narkoba untuk mendapatkan kedamaian karena mereka telah melakukan hal buruk ke diri mereka dan orang lain. Mereka membuat dirinya mati rasa dan menjauh dari kenyataan untuk mampu mengatasinya.

Allah mengatakan, orang yang sungguh memiliki keimanan, mereka menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di klub malam, di pesta, di narkoba, di minuman keras. Mereka tidak menemukan kedamaian dimanapun. Untuk orang yang tidak tenggelam di hal-hal buruk itu, mungkin anda tenggelam di dunia hiburan. Anda menonton film terus menerus. Hal ini mengacaukan dan merusak diri anda sendiri. Hal yang terus anda lakukan adalah mengisi diri dengan hiburan terus menerus. Hal itu tidak akan berhenti.

Ketika bulan Ramadhan tiba, anda memutuskan berhenti melakukannya atau setidaknya berkurang intensitasnya. Lalu anda pergi ke masjid dan merasakan kedamaian tersebut. Anda mungkin baru merasakan kedamaian itu setelah waktu yang sangat lama hingga anda bisa membedakan antara racun di dalam diri anda, yaitu racun spiritual. Dan anda juga dibersihkan hanya dengan mendengar al-Qur’an, bersujud bersama jamaah lainnya. Itu mungkin hanya beberapa menit saja, tapi betapa besar dampaknya ke diri anda. 

Pada mulanya, dimana anda sudah terbiasa makan makanan buruk, makanan yang sehat terasa tidak enak. Jadi orang yang sudah lama tidak ke masjid, mereka merasa tidak nyaman di dalam. Mereka lebih ingin pergi keluar masjid untuk nonton. Anda bisa lihat anak muda, khususnya yang biasanya terlihat di luar atau serambi masjid, mereka sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Tidak ada yang bisa duduk tenang.

Inilah manfaat keimanan, yaitu memberi ketenangan dan kedamaian. Anda tidak gelisah ataupun risih. Anda tidak akan merasa selalu kekurangan. Apakah itu mata, pikiran, lidah, atau tubuh anda. Anda tidak akan merasakan adanya kekurangan. Anda hanya merasakan ketenangan. Merekalah orang yang selalu (berkomitmen) di atas petunjuk-Nya.

Allah di sini mengatakan, jika tanpa komitmen, usaha kita tidak akan berhasil. Jadi anda harus menunjukkan komitmen untuk mendapatkan kedamaian tersebut.

Allah SWT berfirman di ayat yang lain:
ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram (ar-Ra’d ayat 28).”

Dan inilah inti ayat 82 dari Surat Al-An’am. Demi Allah, semua manusia di bumi ini mencari kedamaian hidup. Mereka mencari ketenangan dalam diri mereka. Sesuatu mengganggu mereka dan mereka mengatakan ke dirinya, “jika saya bisa mendapatkan hal itu, maka saya akan bahagia”. Atau dengan memakai kata lain untuk mendapatkan kebahagiaan. Misalnya dengan mengatakan jika saya punya uang banyak, saya akan bahagia. Jika mendapatkan gadis ini atau mobil ini saya akan bahagia. Dan banyak hal lain yang dicari untuk mendapatkan kebahagiaan, misalnya dengan berusaha membeli rumah, video game, jabatan, melakukan ini dan itu. Kita selalu menargetkan keinginan kita dan mengatakan bahwa kita akan bahagia bila target itu tercapai. Pertanyaannya, berapa lama kebahagiaan itu akan bertahan? Anda akan mencoba hal lainnya dan anda tetap tidak pernah puas. Ayat 82 dari Surat Al-An’am inilah ayatnya dimana Allah SWT mengajarkan kita melalui kata-kata Ibrahim ‘alaihi salam yang diabadikan.

Orang yang betul-betul menemukan keimanan dan tidak menggantinya dengan perbuatan buruk. Jika anda orang Islam, belum tentu mendapat kedamaian ini. Mungkin anda mengganti keimanan anda dengan tindakan buruk. Anda perlu menghentikannya dalam kehidupan anda dan Allah akan menghadiahkan kedamaian.

Semoga Allah jadikan kita orang yang mendapatkan ketenangan dan semoga Allah jadikan kita bagian dari “al muhtadin” (orang yang mendapatkan petunjuk.

(Materi tulisan diambil dari Kajian Ustadz Nouman Ali Khan


#Riyadh, Saudi Arabia

September 9, 2015

Mengobati Hati yang Terluka (Surat Al-Qashash (28) ayat 10)


وأصبح فؤاد أم موسى فارغا إن كادت لتبدي به لولا أن ربطنا على قلبها لتكون من المؤمنين

“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).”

Setiap manusia pernah mengalami pengalaman yang membuat trauma. Ada yang merasa sakit karena kehilangan orang yang dicintai. Ada yang sakit karena mendengar ucapan orang yang kita cintai, misalnya perkataan yang diucapkann oleh orangtua kita, anak kita atau yang diucapkan oleh pasangan kita. atau teman kita. Ada juga yang sakit karena mengalami kejadian yang membuat trauma, seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah atau bahkan yang lebih buruk lagi.

Beberapa orang di dunia ini hidup dalam keadaan yang memilukan yang tak dapat kita bayangkan penderitaannya. Beberapa anak hidup menderita, yang mungkin tidak bisa kita bayangkan jika anak kita yang mengalaminya. Itulah kenyataan yang dihadapi oleh beberapa orang.

Ayat 10 dalam surat al-Qashash ini adalah ayat yang sangat memberikan harapan, karena bila seseorang terluka perasaannya, mereka merasa tak akan dapat sembuh dan tak bisa kembali menatap hidup lagi.

Ibunda Musa dihadapkan dengan ujian yang amat luar biasa berat. Ia harus menaruh bayinya di air. Seorang ibu harus menaruh bayinya di air! Itu bukanlah hal yang dapat dibayangkan oleh seorang ibu. Dia hanya punya 2 pilihan, melihat anaknya disembelih oleh tentara Fir’aun di depan matanya atau menaruh anaknya di keranjang yang belum teruji anti air. Dan akhirnya ia memilih menjatuhkan keranjang itu ke sungai.

Ibunda Musa menaruh bayinya ke sungai atas ilham yang diberikan Allah karena sesungguhnya perasaannya tak mampu melakukannya. Oleh karena itu, Allah bantu ia melakukannya. Allah berkata:

“Dan menjadi kosonglah hati Ibu Musa”

Hati Ibunda Musa menjadi kosong karena rasa trauma melepas anaknya pergi mengalir di sungai dan tidak bersamanya lagi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, apakah ia akan tenggelam? Apakah ia akan tertangkap oleh tentara Fir’aun? Apakah keranjangnya akan terbalik? Ia tidak tahu. Hal terburuk mungkin terlintas di pikirannya. Maka dari itu hati Ibunda Musa menjadi kosong.

Ketika seseorang mendengar kabar buruk dan matanya mulai menatap kosong, yang kemudian membuatnya tak bisa berbicara, cuma bisa diam, perasaannya lumpuh. Itulah kondisi yang dihadapi Ibunda Nabi Musa ‘alaihi salam saat itu.

Dia hampir berlari dan berteriak, “Itu bayi saya, itu bayi saya”. Tapi kalau ia teriak, maka bayinya akan dibunuh.

Kemudian Allah berkata:
“Seandainya tidak Kami teguhkan hatinya”

Jika tidak Allah ikat hatinya. Jika tidak Allah jaga hatinya. Allah jadikan hatinya yang tadinya bergejolak (fuad) dan di ayat yang sama, Allah gunakan kata lain dari “fuad” yaitu “qalb”, lalu Allah jadikan hatinya tenang. Membuatnya kembali ke kondisi normal. Allah katakan bahwa Dia mampu melakukannya.

Ada orang-orang yang hatinya mengalami trauma, dan ia tak bisa pulih. Kenapa tak bisa? Karena Allah tak melepaskan hatinya. Allah belum melepasnya. Terkadang manusia memang tak memiliki kemampuan untuk pulih dari kondisi ini, tapi dari ayat ini kita tau bahwa Allah dapat menyembuhkannya.

Mungkin ada orang yang berkata, “Perasaan saya tak bisa untuk memaafkan kamu”, tapi Allah bisa jadikan hatimu mampu melakukannya. Mungkin ada orang yang berfikir, “Saya sangat terpukul atas apa yang terjadi, tidak mungkin saya bisa kembali ke kehidupan saya”, tapi keimanan kita kepada Allah cukup untuk membuat kita kembali pada hidup kita.

Allah berfirman dalam ayat yang sama:
“jika tak kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya”

Ibu mana yang tidak trauma bila melihat bayinya dihanyutkan di sungai dan tak bisa melihanya lagi? Bagaimana dia bisa pulih kalau tanpa campur tangan Allah? Tak hanya bisa pulih, tapi ia juga bisa berpikir jernih setelahnya untuk kemudian mengirim saudarinya untuk mencari tahu Musa. Ia sama sekali tak akan bisa berpikir jika Allah tak campur tangan.

Seperti halnya Ibunda Musa, Allah juga akan turut campur tangan atas kondisi perasaan kita. Ibunda Musa bukanlah seorang nabi, namun ia adalah orang yang beriman. Artinya, ini kesempatan bagi kita juga. Apapun trauma yang kamu hadapi, ketahuilah bahwa Allah dapat campur tangan untuk memberi ketenangan dalam pikiran dan hatimu. Dan Allah pun dapat memberimu kedamaian lagi. Apakah itu kegelisahan, ketakutan, kesedihan atau kemarahan, apapun perasaan atau kejadian yang melukaimu, Allah dapat menghilangkan luka itu sepenuhnya.

Semoga Allah dapat memberi kita kekuatan di hati sehingga dapat menjadikan kita orang yang benar-benar beriman, yang hidup dalam kondisi spiritual dan emosi yang sehat.

(Materi tulisan diambil dari Kajian Ustadz Nouman Ali Khan

#Riyadh, Saudi Arabia