May 13, 2015

Jempol Kaki dan Kemahasempurnaan Skenario-Nya


Malam ini saya sedang tafakur. Merenungi betapa sempurnanya skenario Allah hari ini untuk saya. Sampai malu rasanya diri ini karena lebih sering berkhianat daripada mensyukuri nikmat-Nya. 

Hari ini adalah hari ketujuh saya berada di Kediri. Tadi siang alhamdulillah saya telah selesai mengambil data di sekolah kedua dari tiga sekolah yang dijadikan sampel penelitian. Pengambilan data kira-kira selesai jam 14.00 WIB. Setelah itu saya langsung pulang. Di tengah jalan, tepatnya di daerah kota sampai pintu masuk Pare, hujan turun dengan lebatnya disertai angin yang tak kalah kencangnya berhembus. Buruknya drainase (saya tidak menyangka drainasenya akan seburuk ini, mungkin lebih buruk dari Jakarta) disertai intensitas hujan yang tinggi membuat jalan di Kediri kebanjiran. Di beberapa titik, tinggi muka air sampai hampir selutut orang dewasa. Padahal itu di tengah jalan raya. Motor saya pun hampir mogok tadi. Tapi saya tidak hentikan perjalanan untuk menunggu hujan reda karena jempol kaki saya mulai tidak bersahabat.

Ya, seminggu ini jempol kaki saya membengkak karena “malpraktek” dalam memotong kuku. Mulanya bengkaknya kecil dan saya kira akan hilang dengan sendirinya seperti yang sudah-sudah. Tapi rupanya sampai hari ini bengkaknya tidak mengecil, melainkan justru membesar disertai dengan nanah di pinggirnya. Dan mulai hari ini juga, bengkak itu semakin terasa efeknya. Jempol kaki kanan saya semakin terasa nyeri. Di perjalanan dari kota ke Pare tadipun saya melepas sepatu saya karena sudah tidak tahan dengan nyerinya. Jadi saya pulang nyeker. Untung hujan, jadi rasanya agak dimaklumi oleh orang-orang. Beda kalau tidak hujan, pasti orang banyak yang bertanya-tanya mengapa saya nyeker. Itu sih menurut saya.

Ketika sampai di kost, saya tanya ke Muis (salah satu penghuni kost), RS terdekat untuk berobat karena nyeri jempol ini sudah mulai mengganggu. Muis tahu lokasinya dan bersedia mengantar. Beberapa detik sebelum berangkat, Pak Taufik (Bapak yang punya kost) pulang. Qodarullah kata Muis Bapak kost ini bekerja di RSUD Kediri yang jaraknya kurang dari 1km dari kost. Setelah ngobrol sebentar dan memberi tahu tentang kondisi saya, Pak Taufik malah bersedia mengantar saya ke RSUD.

Berhubung poli bedah sudah tutup, saya dibawa ke IGD. Di sana saya diperiksa oleh salah satu dokter yang berjaga. Name tag di baju Sang Dokter tertulis dr. Houdini. Hmm… namanya seperti nama pesulap. Sang Dokter bertanya kronologi kejadiannya. Saya ceritakan ke beliau bahwa hal ini memang cukup sering terjadi. Biasanya bengkak akan mengecil sendiri dan nanah akan menghilang bersama dengan kulit yang mengelupas. Saya cerita begitu dengan harapan kuku saya tidak dicabut karena ngeri juga kalau harus dicabut, hehe. Dokter kemudian mengatakan bahwa saya akan diberi obat dulu, nanti kalau obatnya tidak ampuh, mau gak mau harus dicabut kukunya.

Di sela-sela obrolan itu, datang seorang petugas medis (entah jabatan fungsionalnya apa) turut melihat jempol kaki saya. Kemudian beliau menyarankan agar dikeluarkan saja dahulu nanahnya agar tidak terlalu nyeri karena yang membuat nyut-nyutan itu nanah yang tidak bisa keluar. Kemudian saya perkuat pendapat petugas medis itu dengan mengulang cerita yang sama seperti sebelumnya. Harapannya masih sama, agar tidak dicabut kukunya, hehe. Akhirnya dokter menyetujui untuk membuang nanahnya dulu. *kayaknya baru kali ini dokter bisa dinego*

Singkat cerita, pembedahan sederhanapun dimulai. Petugas medis yang tadi memberi saran ternyata bertindak sebagai pembedah. Saya sudah agak paranoid karena saya diminta telentang dan tidak boleh melihat. Sementara itu kaki kanan saya diwadahi nampan yang berfungsi untuk menampung nanah yang keluar. Sebenarnya saya yakin ini tidak akan terlalu sakit karena jempol kaki kanan saya paling-paling hanya dirobek sedikit untuk mengeluarkan nanahnya. Tapi karena sudah kadung paranoid, saya meminta untuk diberi penghilang rasa sakit sebelum dilakukan pembedahan. Petugas medis kemudian menyemprotkan spray ke kaki kanan saya. Sepertinya ini adalah spray yang sama yang dipakai para petugas medis untuk pemain bola yang cidera di tengah pertandingan. Kaki saya terasa sangat dingin dan agak mati rasa. Saat itulah petugas medis beraksi.

Beliau dengan entengnya memencet-mencet bagian yang bengkak untuk mengeluarkan semua nanah yang ada. Rasanya? Hmm.. saya harap kamu tidak mengalami hal yang sama seperti yang saya alami. Setelah nanah dikeluarkan, beliau kemudian membersihkan jempol kaki saya di tempat yang disayat tadi dengan berbagai macam cairan. Kamu mengerti sendiri lah ya bagaimana cara membersihkannya, tentu sesuai dengan prosedur standar petugas medis. Tidak seperti kita yang lemah gemulai kalau membersihkan luka kita sendiri. Jempol kaki saya kemudian diperban dan tidak diperkenankan terkena air dulu. Saya juga diberikan dua macam obat, entah obat apa itu.

Buah karya petugas medis RSUD Kediri
Hmm.. Saya benar-benar bersyukur akan skenario yang Allah susun ini. Pertama, Allah memberikan nyerinya di hari ini setelah saya mengambil data, bukan kemarin-kemarin. Walaupun masih ada satu sekolah yang harus didatangi, tapi karena besok (Kamis) dan Sabtu adalah tanggal merah, saya jadi punya waktu istirahat di kost untuk recovery sekaligus mengolah data yang sudah ada.

Kedua, les TOEFL sore ini diliburkan. Oya, saya lupa memberi tau bahwa saya akhirnya ikut program TOEFL Preparation di Pare ini setiap Senin-Jumat pukul 16.00-17.30. Dengan diliburkannya les TOEFL, saya jadi ada waktu untuk ke RS. Saya tidak yakin kalau les tidak diliburkan, saya akan ke RS. Biasanya saya lebih mendahulukan lesnya dulu.

Ketiga, Allah menskenariokan saya untuk tinggal di tempat yang pemiliknya bekerja di RS. Dengan begitu, saya jadi lebih mudah mendapatkan akses ke RS untuk berobat. Keempat, Allah menghadirkan Pak Taufik sesaat sebelum saya berangkat ke RS bersama Muis. Sehingga saya akhirnya dibersamai oleh beliau ke RS. Masya Allah, ini benar-benar kemahasempurnaan rencana Allah.

Semoga sakit ini menjadi penggugur dosa-dosa saya.

#Pare – Kediri

May 9, 2015

Antara Memakmurkan atau Dimakmurkan Masjid


Saya sedang berada di Kediri untuk keperluan penelitian tesis. Saya berangkat dari Jogja hari Kamis (07/05/15) pukul 05.30 WIB dengan menggunakan sepeda motor. Sendiri!!! Kemudian sampai di gerbang Kediri (perbatasan Nganjuk) sekitar pukul 11.15 WIB. Tiba di daerah kota sekitar pukul 12.00. Well, tapi di sini saya bukan ingin membicarakan perjalanan saya, melainkan hal lain. Semoga di kesempatan berikutnya saya bisa menuliskan pengalaman touring sendirian itu agar bisa dikenang. Hehe.

Dalam tulisan ini, saya ingin menceritakan tentang fenomena yang saya anggap aneh. Jadi, sehari setelah sampai di Kediri, yaitu hari Jumat, saya mengurus perizinan pengambilan data ke Badan Kesbangpolinmas. Siangnya, saya memutuskan untuk sholat Jumat di Masjid An-Nur, Masjid Agung yang ada di Kecamatan Pare. Seperti kebanyakan Masjid Agung, jamaah sholat Jumat di Masjid An-Nur juga sangat banyak. Untung masjidnya besar, mungkin 2x lebih besar dari Maskam UGM yang memiliki daya tampung lebih dari 2000 jamaah.

Masjid An-Nur Pare (Sumber: Google)
Waktu itu saya datang agak telat karena sempat tersesat (atau mungkin tepatnya disesatkan oleh GPS?). Khotib sudah naik mimbar, saya baru tiba. Jadi, tidak mungkin saya mengharap unta pada jumatan kali itu (ngerti kan maksud saya?).

Setelah Jumatan selesai, saya memutuskan untuk tetap berada di masjid hingga Ashar karena beberapa alasan. Singkat cerita, tibalah waktu Ashar. Karena wudhu saya belum batal, maka setelah adzan saya langsung sholat rawatib. Kekagetan pertama saya adalah, begitu saya selesai sholat rawatib, muadzin langsung iqomat. What? Cepat sekali, padahal saya berniat tilawah Qur’an. Jeda antara adzan dengan iqomat di masjid sebesar itu menurut saya tergolong sangat cepat, bahkan mungkin lebih cepat daripada musholla kecil dekat kost saya.

Kekagetan saya kemudian berlanjut ketika melihat jumlah jamaah yang hadir ketika sholat sudah dimulai. Hanya 4 orang!!! Plus 1 imam (dan sepertinya ada 1 jamaah putri di sebelah kanan). Masya Allah… Saya benar-benar geleng-geleng kepala menyaksikan hal ini. Masjid segede gaban dan terletak di tengah kota gitu jamaah Asharnya cuma 4 orang? Ini serius? Well, ketika salam saya memang melihat ada jamaah masbuk, sehingga totalnya 8 orang. Tapi tetap saja jumlah segitu masih tidak sebanding dengan megahnya bangunan masjid. Bahkan Musholla dekat kost saya yang kecil mungil saja bisa lebih dari 10 orang jamaah sholat Asharnya. Pertanyaan saya adalah, kemana ribuan jamaah yang tadi sholat Jumat?

Oya, sebelum sholat dimulai saya melihat ada tiga orang remaja yang ngobrol-ngobrol di selasar masjid. Saya perhatikan sudah cukup lama mereka ada di situ, mungkin sudah satu jam. Nah, ketika salam, saya melihat ketiga remaja tadi masih ngobrol-ngobrol di masjid. Ini membuat kekagetan saya bertamabah-tambah, menjadi tiga. Masya Allah… Hal ini benar-benar tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Bagaimana mungkin, orang yang sudah ada di masjid, mendengar dengan jelas adzan dan iqomat, tapi tidak ikut melaksanakan sholat berjamaah? Edan!!! Saya garuk-garuk kepala memikirkan hal ini. Bagi saya ini tidak logis. Sangat sangat tidak logis.

Saya jadi bertanya-tanya, mengapa masjid dibangun sebesar ini kalau belum bisa dimakmurkan secara maksimal? Padahal perintah untuk memakmurkan masjid datang langsung dari Allah:
“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (At-Taubah (09) : 18)

Kalau begini keadaannya, rasa-rasanya bukan masyarakat yang memakmurkan masjid, tapi masjid lah yang dijadikan simbol kemakmuran masyarakat, sekaligus juga simbol kebanggaan. Duh, semoga kejadian yang saya alami itu cuma insidental yah. Artinya, itu terjadi hanya saat itu saja. Mudah-mudahan biasanya masjid itu ramai dengan orang yang mau beribadah.

#Pare – Kediri