June 12, 2015

Buat Yang Mau Studi Di Luar Negeri



Belakangan ini saya memperhatikan animo mahasiswa untuk melanjutkan studinya di luar negeri semakin meninggi. Wajar sih, karena peluangnya memang semakin terbuka lebar. Beasiswa yang pemerintah tawarkan untuk studi di luar negeri memang sangat menggiurkan. Apalagi sejak ada LPDP, program beasiswa yang tidak kalah menterengnya dengan program beasiswa dari luar, terutama dari segi tunjangan hidup.

Banyak alasan orang ingin studi di luar negeri, ada yang karena memang ingin mencari kualitas kampus yang lebih baik, ada yang cuma karena ingin merasakan tinggal di luar negeri, ada juga yang hanya sekedar gengsi atau ikut-ikutan. Well, saya hanya bisa bilang: Innamal a’malu binniyat. Amal itu tergantung niat dan mereka akan mendapatkan sesuai apa yang mereka niatkan.

Meski studi di luar negeri menawarkan banyak keuntungan, tapi perlu dicermati bahwa studi di luar negeri juga bisa membuat kita (umat Islam) kehilangan beberapa nikmat, apalagi kalau kita studi di negeri yang muslimnya menjadi minoritas, seperti kebanyakan di negara-negara Eropa. Niscaya kita akan benar-benar merindukan nikmatnya tinggal di Indonesia. Beberapa nikmat yang (menurut saya) hilang itu diantaranya adalah:

a.       Hilangnya Romantisme Mendengar Senandung Adzan
Di negara-negara yang muslimnya menjadi minoritas, terutama di Eropa, suara adzan tidak boleh dikumandangkan dengan menggunakan speaker karena menurut mereka itu adalah hal yang mengganggu. Kita akan merasakan betapa berbedanya suasana di sana dibandingkan dengan di Indonesia. Tidak ada lagi suara muadzin yang sahut-menyahut di langit untuk mengingatkan bahwa waktu sholat telah masuk, kemudian mengajak kita sholat berjamaah. Kita harus selalu sadar dan ingat kapan waktu sholat itu tiba. Jika lalai, maka bisa jadi kita tidak sadar bahwa kita telah masuk waktu sholat berikutnya. Terlebih waktu sholat di Indonesia dengan di Eropa sangat berbeda.

Kalau kita datang ke masjid bersamaan dengan waktu sholat tiba, mungkin kita masih beruntung bisa mendengarkan suara adzan karena muadzin tetap boleh adzan di dalam masjid tanpa speaker. Akan tetapi apakah kita selalu bisa seperti itu? Dan lagi, romantisme ketika langit ramai dengan suara muadzin yang mengagungkan asma Allah tidak akan bisa terganti dengan hanya mendengarkan suara seorang muadzin di dalam masjid saja.

b.      Hilang/Berkurangnya Kesempatan I’tikaf (Berdiam Diri di Masjid)
Tidak semua masjid buka 24 jam. Ada masjid yang hanya dibuka ketika waktu sholat tiba dan ditutup lagi setelah sholat berjamaah selesai dilaksanakan. Bagi mereka yang tau keutamaan berdiam diri lebih lama di masjid, hal ini tentu akan sangat merugikan. Ada banyak sekali kebaikan yang akan berkurang atau hilang, misalnya kebaikan didoakan oleh malaikat, diampuni dosa, dihujamkan ketenangan, dan ditumbuhkan rasa cinta kepada Allah.

c.       Rusaknya Sholat Berjamaah
Bagi laki-laki, saya bisa mengatakan bahwa studi di luar negeri bisa menjadi pintu utama dalam merusak kebiasaan mereka dalam sholat berjamaah. Ada banyak sekali penghalangnya, mulai dari letak masjid yang sangat jauh, suara adzan yang tidak berkumandang  sehingga tidak menyadari bahwa waktu sholat telah masuk, hingga cuaca yang tidak bersahabat, terlebih ketika memasuki musim dingin. Alhasil, kalau tekad tidak kuat, maka penghalang-penghalang tersebut akan selalu menjadi pembenaran bagi kita untuk tidak sholat berjamaah.

d.      Terbatasnya Makanan Halal
Beruntung kalau kita tinggal di negara yang memiliki kelompok umat muslim yang kuat karena biasanya mereka akan memfasilitasi umat muslim lainnya dalam banyak hal, terutama penyediaan makanan halal. Di Belanda misalnya, ada komunitas muslim dari Turki yang sangat kuat (meski mereka tetap menjadi minoritas di Belanda). Mereka memiliki beberapa toko yang menyediakan makanan-makanan halal, baik yang mentah maupun yang sudah siap santap. Meskipun dalam beberapa hal harganya bisa lebih mahal.

Masalah harga ini saya lihat cukup menjadi penggoyah juga bagi beberapa orang sehingga tidak sedikit yang akhirnya memilih membeli di tempat yang harganya lebih murah meskipun tidak jelas kehalalannya. Pertanyaannya, tidakkah kita khawatir dengan nasib kita ketika datang hari penghisaban nanti?

e.      Terbatasnya Majelis Ilmu
Kalau di Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukan majelis ilmu di masjid-masjid. Tetapi kalau di luar negeri tidak semudah itu. Majelis ilmu cukup jarang dilaksanakan dan kalaupun dilaksanakan, biasanya menggunakan bahasa “mereka” masing-masing. Di Belanda misalnya, karena banyak imigran dari Turki, biasanya majelis ilmu mereka juga menggunakan Bahasa Turki. Ada juga majelis ilmu yang menggunakan Bahasa Belanda dan Arab. Saya sendiri belum pernah menemukan majelis ilmu yang menggunakan Bahasa Inggris. Beruntung teman-teman dari Indonesia punya majelis ilmu sendiri yang biasanya diadakan sepekan sekali.

Well, mungkin kita masih bisa mengobati kerinduan bermajelis seperti di Indonesia dengan cara mendengarkan via web streaming. Tapi perlu diingat juga bahwa kita akan banyak kehilangan berkah dari majelis ilmu kalau kita hanya mendengar via web streaming, misalnya berkah berkumpul bersama orang sholih, berkah menempuh perjalanan menuntut ilmu (kan kalau web steaming tinggal duduk di depan laptop sambil ngemil :p), serta berkah berdiam diri di masjid.

Dengan berbagai nikmat yang banyak berkurang itu, maka muslim yang baik harus benar-benar memperhitungkan jika ia hendak belajar ke luar negeri yang minoritas muslim. Sehingga kepergiannya ke sana dapat membuat kualitas dirinya sebagai hamba Allah bertambah-tambah, bukan justru semakin terkikis dan tergerus karena pengaruh negeri yang dikunjungi. Harus diingat bahwa kerugian bukanlah ketika kita gagal pergi ke luar negeri, tapi kerugian adalah ketika kita jauh dari Allah. Meskipun gagal ke luar negeri, tapi kalau tambah dekat dengan Allah, maka sejatinya dia untung.

#Wisma Pakdhe