December 12, 2015

Debat Edisi Terakhir: Ilmu vs Harta


Beberapa minggu ke belakang, kuliah Bahasa Arab di hari Kamis pada jam terakhir selalu diisi dengan debat. Ini adalah inisiatif dari ustadz kami. Biasanya di jam terakhir itu, semua materi telah selesai dibahas. Makanya beliau sering kebingungan untuk mengisi jam terakhir dan debat menjadi solusi yang cukup jitu karena bisa menstimulasi mahasiswa untuk berbicara dalam Bahasa Arab, walaupun masih sering harus buka kamus, hehe.

Kamis kemarin adalah sesi debat terakhir karena pekan depan kami akan siap-siap menghadapi UAS. Untuk debat terakhir, Ustadz memberikan tema yang sangat menarik, yaitu tentang Ilmu dan Harta. Mana yang lebih penting, berilmu tapi tidak memiliki harta atau berharta tapi tidak memiliki ilmu? Kelas yang berisikan 10 mahasiswa itu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Ilmu dan Kelompok Harta.

Kelompok Ilmu terdiri atas lima orang, Minhaj (India), Muhammad (Turki), Latif (Cina), Fata Ly (Kamboja), dan tentu saja saya, hehe. Kami semua memiliki kemampuan speaking yang masih sangat terbatas. Sedangkan kelompok Harta diisi oleh mereka yang sudah cukup fasih berbicara Bahasa Arab. Mereka terdiri dari Oljaz (Kazakhstan), Mujib (Afganistan), Kim (Korea Selatan), dan Ibrahim (Burundi). Satu orang lagi, Sajjad (Nepal), berhalangan hadir.

Ustadz memberikan kesempatan kepada kelompok kami terlebih dahulu untuk memberikan alasan mengapa ilmu lebih penting. Beliau meminta saya untuk menyampaikan argumen pertama. Saya kemudian menjelaskan bahwa Ilmu adalah sesuatu yang tidak akan habis jika dibagikan, sedangkan harta akan habis. Penjelasan itu tentu dengan dibantu oleh Syeikh Google Translator, hehe.

Kelompok Harta kemudian diminta menanggapi argumen saya, tapi mereka malah mengajukan pertanyaan. Duh, membelokkan topik nih. Mereka bertanya begini, apa tujuan kalian bekerja setelah nanti selesai kuliah? Haha, saya sudah bisa membaca arah tujuan pertanyaannya. Alih-alih menjawab untuk memenuhi kebutuhan, saya justru menjawab: kami bekerja untuk ibadah kepada Allah, kalaupun nanti dapat uang, maka itu hanyalah efek samping dari ibadah kami.

Sepanjang debat, kelompkok Harta seringkali terdesak dan kesulitan memberikan argumen. Mereka justru lebih sering memberikan pertanyaan. Kalaupun mereka memberikan argumen, hal itu dapat dengan mudah dipatahkan. Misalnya mereka pernah memberikan argumen begini: kalaupun kami tidak punya ilmu, kami bisa mempekerjakan orang-orang berilmu, baik dokter, ulama, konsultan, insinyur, dsb untuk membantu kami. Argumen itu kami patahkan dengan mengatakan, bagaimana kalian bisa tau ahli yang baik kalau kalian tidak berilmu? Mereka justru bisa menipu kalian dan mengambil semua harta kalian karena kebodohan kalian.

Di tengah debat, bahkan salah satu anggota Kelompok Harta, yaitu Mujib (Afganistan) berubah pikiran. Menurut dia, Ilmu memang lebih penting daripada harta. Haha, lucu banget.

Sampai akhir jam kuliah, kedua kelompok sama-sama masih ngotot. Di akhir biasanya Ustadz memberikan ikhtisar mana yang lebih penting, tapi kemarin beliau cenderung mengatakan bahwa keduanya sama-sama penting, haha.

Kelas debat ini sebenarnya sangat menarik dan sangat baik untuk meningkatkan skill Bahasa Arab. Walaupun masih sangat terbatas dalam penggunaan kosakata dan sering membuka kamus, tapi justru dari situlah improvisasi Bahasa Arab bisa dimaksimalkan. Sayangnya kelas ini telah berakhir dan tidak ada jaminan akan bertemu yang seperti ini lagi di Mustawa Tsani (Level 2).

#Asrama 27, Kamar 301. Suhu mulai turun di bawah 10 derajat, bikin malas keluar

November 24, 2015

Belajar Sabar di Saudi



Hampir tiga bulan saya tinggal di Saudi. Sedikit-sedikit saya sudah mulai memahami karakter dan sifat mereka yang kadang membuat saya tersenyum, tapi tidak jarang pula membuat saya mengelus dada. Ada sebagian dari mereka yang super duper baik. Tapi tidak sedikit pula yang kebalikannya.

Bisa dibilang, kalau mentalnya orang Saudi sudah seperti Abu Bakar, baiknya itu “gak ketulungan”. Ringan sekali tangannya untuk menolong. Pernah seorang dosen disini berkata kepada mahasiswa Indonesia, “Kalian kalau sudah dapat LoA (beasiswa), silahkan diurus. Datanglah ke Saudi. Kalau kalian tidak betah, silahkan pulang lagi ke Indonesia. Yang penting kalian sudah haji.” Bagi saya, perkataan ini terasa sangat menentramkan. Beliau memahami bahwa kondisi lingkungan di Saudi sangat berbeda dengan di Indonesia. Hal itu berpotensi besar membuat mahasiswa tidak betah. Nah, beliau melapangkan hati kami dengan mempersilahkan kembali ke Indonesia kalau kami tidak betah di Saudi, asalkan rukun Islam kelima telah ditunaikan.

Ada pula pengalaman kawan-kawan yang dibantu oleh para syaikh untuk berbagai urusan, mulai dari penyediaan sarana tempat tinggal (bagi yang membawa keluarga), sarana penunjang belajar, bahkan sampai urusan finansial. Ah, menentramkan sekali rasanya.

Meski demikian, tidak jarang pula orang Saudi yang bermental sebaliknya. Bahkan berita buruknya, sampai bulan ketiga ini saya lebih sering bertemu dengan mereka yang berjenis “ini” di kampus. Sehingga banyak urusan menjadi repot dan berbelit. Apa yang menjadi hak kita, bisa jadi tidak kita terima. Dan apa yang bukan hak mereka, bisa jadi mereka tuntut.

Ah, saya teringat dulu ketika akan berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, di bagian penyetoran bagasi ada orang Arab yang komplain karena dia tidak diperbolehkan memasukkan barang bawaannya ke bagasi. Sebabnya sederhana, kelebihan beban. Dia terlihat ngotot kepada petugas yang kebetulan saat itu perempuan. Saya yang merasa kasihan, baik kepada petugas maupun orang Arab tersebut, mencoba menengahi. Saya lihat di timbangan, beban bawaan orang Arab itu memang berlebih dan lebihnya lumayan banyak, sekitar 5 kg kalau tidak salah. Saya mencoba menjelaskan semampu saya bahwa dia harus membayar extra charge untuk bawaannya, tapi dia tidak mau dan memaksa petugas untuk membolehkan tanpa harus membayar lebih. Petugas tetap tidak mengizinkan. Akhirnya orang Arab itu pergi dengan bersungut-sungut.

Beda lagi dengan kisah teman. Waktu itu dia sedang berada di terminal di Jeddah. Ketika sedang menunggu bis, datanglah orang Saudi menemui seorang petugas dan ingin naik bis juga. Ketika dilihat tiketnya, petugas bilang bisnya sudah berangkat beberapa jam yang lalu. (Ingat, beberapa jam yang lalu lho.) Tapi orang Saudi ini tidak mau tau, dia ingin tetap naik bis dengan tiket yang sama, tanpa harus membeli lagi. Dia berargumen keterlambatannya datang ke terminal bukan karena kesalahannya, tapi karena salah jalanan yang macet total. Saya yang mendengar cerita ini agak terkekeh sambil mengernyitkan dahi. Kok ada ya yang seperti itu? Celakanya, teman saya bilang hal itu biasa bagi orang Saudi. *tepok jidat.

Cerita lainnya, seorang mahasiswa Indonesia terpaksa rela bekerja part-time tanpa bayaran di kampus selama satu semester. Karena setiap kali meminta haknya (yang dibayar di akhir semester), dia selalu dioper kesana-kesini sampai akhirnya dia menyerah karena begitu melelahkan, baik fisik maupun hati. Dan masih banyak kisah lainnya yang mengundang tarikan nafas panjang, baik yang saya alami sendiri maupun orang lain.

Berbagai kisah ini menyeret saya untuk merefleksikan kisah dakwah Rasulullah saw. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana beratnya perjuangan beliau dalam menyiarkan Islam di tengah kaum yang “ngeyel” ini. Tak terbayang luar biasa sabarnya beliau dalam menghadapi kaumnya sendiri. Saya yang baru berapa bulan saja rasanya sudah sangat sewot. Bawaannya pengen ngomel aja :).

Benar-benar didikte menjadi sabar oleh orang Saudi.

Asrama 27 kamar 301

November 19, 2015

Entah Bagaimana Harus Mensyukurinya



Entah bagaimana harus mensyukurinya. Kesempatan untuk kuliah di Saudi itu datang tepat ketika saya telah menyelesaikan S2 saya di tanah air. Kalau saja lebih cepat setahun, mungkin saya tidak akan berangkat karena di tanah air pun saya sedang terikat program beasiswa. Kalau saja lebih lambat setahun, mungkin juga tidak berangkat karena akan terikat kontrak kerja. Allah yang mengatur semuanya. Dia lah sebaik-baik Perencana.

Entah bagaimana harus mensyukurinya. Melalui mekanisme Allah yang rumit, saya memiliki tabungan yang jumlahnya sangat pas. Pas untuk mengurus visa dan pas pula untuk persiapan berangkat. Sehingga saya tidak perlu merepotkan orang lain. Meskipun ada juga bantuan dari kerabat dekat yang memberi dengan ikhlas. Allah Tahu jumlah yang saya butuhkan. Allah Paham nominal yang saya perlukan.

Entah bagaimana harus mensyukurinya. Ketika sudah sampai di Saudi, bahasa pengantar di jurusan saya ternyata berbahasa Arab. Sedangkan saya hampir tidak bisa berbahasa Arab. Lalu bagaimana mungkin saya bisa diterima? Terlebih setelah saya lihat berkas-berkas ketika saya dulu mengajukan beasiswa ini, saya ternyata tidak menyertakan ijazah, hanya surat keterangan bahwa saya akan segera lulus. Mengapa mereka menerima saya? Wallahu’alam. Dialah Allah Yang Maha Kuasa.

Entah bagaimana harus mensyukurinya. Karena saya tidak bisa berbahasa Arab, saya diminta untuk mengikuti kelas bahasa terlebih dahulu di Ma’had Lughoh. Dari peraturan yang ada, usia maksimal mahasiswa yang boleh belajar di Ma’had Lughoh adalah 25 tahun, sedangkan usia saya saat itu sudah lebih dari 25 tahun. Akan tetapi, karena kasus saya adalah kasus yang “luar biasa”, maka akhirnya saya diperbolehkan belajar di Ma’had. Segala puji bagi Allah.

Entah bagaimana harus mensyukurinya. Jumlah asrama mahasiswa di universitas ini lebih dari 30, tapi saya ditempatkan di asrama yang paling strategis. Dekat dengan restoran. Tidak jauh dengan masjid jami’. Yang lebih dahsyat dari itu, asrama saya banyak dihuni oleh mereka, para mahasiswa S2-S3 dari Indonesia, yang sholih dan luar biasa. Mereka adalah para assatidz dengan spesialisasinya masing-masing. Ada ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih, ahli aqidah, bahkan ahli lughoh. Dan yang membuat saya berkaca-kaca, tidak sedikit dari mereka yang hafal al-Qur’an 30 juz. Bersanad pula. Masya Allah…

Entah bagaimana harus mensyukurinya. Dengan kuliah di Saudi dan satu asrama dengan para assatidz, kesempatan untuk memperdalam ilmu agama terbuka lebar. Peluang untuk menghafal dan memahami al-Qur’an semakin mudah. Tinggal bagaimana saya-nya, cakap atau tidak dalam memanfaatkan peluang-peluang ini?

Rabb, semoga Engkau karuniakan kepada hamba semangat untuk menuntut ilmu yang tiada pernah padam. 

رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني برحمتك في عبادك الصالحين
"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh" (An-Naml (27) : 19)

Asrama 27, kamar 301

November 10, 2015

Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi (Part 4 - End)




Saya akan melanjutkan tulisan saya terkait pengurusan visa pelajar di Kedutaan Besar Arab Saudi (KBAS). Setelah sebelumnya telah saya jelaskan proses medical checkup (MCU), legalisir ijazah & transkrip nilai di tiga kementerian serta pengurusan surat rekomendasi dari Kantor Depag Kota dan SKCK dari Mabes Polri, kali ini Insya Allah saya akan menjelaskan tentang proses legalisir ijazah dan transkrip di KBAS sendiri.


Pelegalisiran ijazah dan transkrip oleh KBAS sangat penting karena merupakan syarat untuk melakukan registrasi di kampus setelah kita sampai nanti. Dengan dilegalisirnya dokumen kita, berarti pihak Saudi telah mengakui keabsahan dokumen-dokumen tersebut.

Walaupun legalisir merupakan hal yang “sederhana”, yaitu hanya meminta cap dan atau tandatangan dari pejabat yang berwenang, tapi proses pengurusan legalisir di KBAS ini bisa saya katakan menjadi proses yang paling ribet, karena untuk meminta legalisir dari KBAS kita harus melegalisir dokumen-dokumen itu terlebih dahulu di tiga kementerian, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Atau jika kamu adalah lulusan luar negeri, bisa jadi kamu juga diminta untuk melegalisir ijazah dan transkripmu di kedubes negara yang bersangkutan. Misalnya kemarin teman saya yang lulusan Brunei diminta melegalisir ijazahnya di Kedubes Brunei yang ada di Jakarta.

Setelah kita melengkapi semua legalisir yang diminta oleh KBAS, barulah kita bisa mengajukan legalisir kepada mereka. Sayangnya, kita tidak bisa secara langsung mengurus legalisir di KBAS sendiri. Semua pengurusan legalisir tersebut diserahkan ke enjaz sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, ridha tidak ridha, kita harus menyiapkan uang lagi untuk mengurus legalisir tersebut.

Biaya legalisir yang dipatok enjaz terbilang cukup mahal. Untuk legalisir satu dokumen dikenakan biaya 250 ribu. Jadi kalau kamu mau legalisir dua dokumen (and you must do), maka biayanya 500 ribu. Lamanya waktu yang dibutuhkan sangat tidak menentu. Pengalaman saya kemarin, saya harus menunggu sampai dua minggu untuk selesainya legalisir ijazah saya. Yah, mungkin karena kemarin berbarengan dengan musim haji juga sehingga mereka pastinya sangat sibuk.

Setelah kamu mendapatkan legalisir dari KBAS, kamu bisa mengajukan visa dengan menyertakan dokumen-dokumen lainnya yang sebelumnya telah saya sebutkan. Untuk mengajukan visa di KBAS melalui enjaz dibutuhkan biaya 1 juta rupiah. Lamanya penerbitan (issued) visa sekali lagi tidak dapat dipastikan. Saya menyarankan sebaiknya kamu menelepon kantor enjaznya setiap sore, sekitar jam 4 karena jam segitulah biasanya mereka mengambil dokumen-dokumen dari KBAS. Tanyakan saja apakah visa kamu sudah keluar atau belum.

Oya, dalam mengurus visa di kantor enjaz ini bisa jadi kamu menemukan pegawai-pegawai enjaz yang kurang ramah. Pesan saya, jangan hiraukan sikap mereka itu dan tidak perlu malu untuk selalu menanyakan progres visa kamu. Itu hak kamu untuk mengetahui infonya.

Terakhir, berikut ini saya simpulkan dokumen-dokumen apa saja yang dibutuhkan, biaya, serta lamanya pengerjaan untuk proses pengurusan visa di KBAS berdasarkan pengalaman saya. Ingat, ini berdasarkan pengalaman saya! Bisa jadi pengalaman orang lain berbeda dengan saya seperti yang telah saya sampaikan di tulisan sebelumnya.

No
Kegiatan
Biaya
Durasi
Keterangan
1
Medical Checkup
1 juta
2-3 hari
Bawa Paspor
2
Legalisir Ijazah di tiga kementerian
DIKTI = gratis*
2-3 hari

Kemenkumham = 25rb/dokumen
2-3 hari

Kemenlu = 30rb
2-3 hari

3
Kantor Depag Kota
Gratis
2-3 hari
Bawa LoA dan surat permohonan
4
SKCK
10 ribu*
Sehari jadi
Pakai pakaian sopan
5
Legalisir di KBAS
250rb/dokumen
unpredictable
Ijazah dan transkrip
6
Pengajuan visa
1 juta
unpredictable


Total
± 3 juta
± 1 bulan

* kalau tidak salah ingat

Very last advice, sabar ya akhi. Fashbir shabran jamiila. Bersabarlah dengan kesabaran yang baik. Karena berdasarkan pengalaman saya pribadi, mengurus visa di KBAS sangat menguras energi, emosi, dan materi. Tapi Insya Allah semuanya akan tergantikan dengan kenikmatan yang akan kamu dapatkan di Saudi. Kerinduan akan Ka’bah, Masjidil Haram, dan Masjid Nabawi Insya Allah akan segera terobati :). Semoga berkah semua urusanmu.

Asrama 27, kamar 301

November 8, 2015

Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi (Part 3: Surat Depag dan SKCK)



Saya akan melanjutkan tulisan saya terkait pengurusan visa pelajar di Kedutaan Besar Arab Saudi (KBAS). Setelah sebelumnya telah saya jelaskan proses medical checkup (MCU) dan legalisir ijazah & transkrip nilai di DIKTI, Kemenkumham serta Kemenlu, kali ini saya akan menjelaskan pengurusan surat rekomendasi dari Kantor Depag Kota dan SKCK dari Mabes Polri.

Sebelum saya lanjutkan, perlu saya informasikan bahwa pengurusan visa pelajar di KBAS antara satu orang dengan orang yang lain bisa jadi berbeda. Saya mengamini bahwa tidak ada standarisasi yang baik terkait pengurusan visa di KBAS. Artinya, bisa saja satu orang diminta dokumen X, tapi orang lain tidak. Contohnya seperti yang saya alami dulu. Dulu saya mendapatkan informasi bahwa untuk legalisir ijazah di KBAS tidak perlu minta cap (legalisir) dari DIKTI, tapi rupanya kemarin saya diminta untuk legalisir di DIKTI juga. Saya juga diberi tau bahwa untuk mengurus visa dibutuhkan surat rekomendasi dari Depag Kota, tapi kemarin saya tidak dimintai dokumen tersebut. Hal ini cukup membuat bingung para mahasiswa yang akan melanjutkan studi di Saudi. Akan tetapi, untuk amannya saya sarankan siapkan saja semua dokumennya daripada harus bolak-balik lagi nanti.

Baik, untuk mengurus surat rekomendasi dari Kantor Depag, caranya cukup mudah. Datangi saja kantor Depag Kota tempat tinggal kamu kemudian bilang bahwa kamu butuh surat rekomendasi. Beberapa Depag mungkin sudah terbiasa membuat surat seperti ini, jadi mereka akan langsung paham. Tapi Depag di kota lain mungkin belum pernah mengurus hal ini sehingga kamu perlu menyiapkan format surat rekomendasinya agar nanti bisa mereka ketik ulang di kertas ber-kop Depag (kertas resmi). Jika kamu membutuhkan format surat rekomendasi, silahkan kirim email ke saya. Insya Allah nanti saya akan berikan contoh surat rekomendasinya. Oya, sebelum pergi ke Kantor Depag, pastikan kamu membawa LoA dan surat permohonan (berisi permohonanmu untuk diberikan surat rekomendasi) yang ditujukan kepada Kepala Depag Kota. Untuk meminta surat ini tidak dibutuhkan biaya sepeser pun. Insya Allah. Adapun masalah waktu, itu tergantung Depag masing-masing. Dulu saya butuh waktu kurang lebih 2 hari.

Selanjutnya, dokumen yang juga dibutuhkan untuk apply visa pelajar di KBAS adalah SKCK dari Mabes Polri. Untuk mengajukan SKCK di Mabes Polri, ada beberapa dokumen yang harus dibawa, yaitu:

  • Rekomendasi dari Polres/Polda setempat (SKCK Polda) 
  • Fotokopi passport 1 lembar
  • Fotokopi KTP 1 lembar
  • Fotokopi KK 1 lembar
  • Fotokopi Akte lahir/Ijazah 1 lembar
  • Foto berukuran 4 x 6 = 6 lembar (latar belakang merah)

Pastikan kamu membawa semua dokumen itu karena kalau tidak mereka tidak akan mau memproses SKCK kamu. Untuk dokumen pertama (surat rekomendasi dari Polres/Polda), kalau kamu sebelumnya punya SKCK Polda, sebaiknya kamu tunjukkan saja SKCK itu. Pengalaman saya kemarin, saya bisa menggunakan SKCK Polda saya yang lama walaupun masa berlakunya sudah habis. Sepertinya mereka hanya ingin melihat rumus sidik jari yang tertera di SKCK itu karena pengurusan SKCK di Mabes Polri tidak melayani cek sidik jari. Untuk dokumen lainnya saya kira sudah jelas, sedangkan untuk biayanya saya agak lupa. Tapi yang pasti cukup murah, kalau tidak salah ingat hanya 10 ribu. Selain murah, waktu pengurusannya juga sangat cepat, jika kamu datang pagi, Insya Allah SKCK kamu bisa diambil siang atau sore harinya.

Oya, kemarin ada juga teman yang “hanya” menggunakan SKCK Polda untuk apply visa di KBAS dan dia berhasil mendapatkan visanya. Inilah yang saya maksud tidak terstandarisasinya apply visa di KBAS. Di satu kasus begini, tapi di kasus lain begitu. Saya sendiri tidak tau mengapa untuk sesuatu yang sangat penting begini tidak ada standarisasi yang baik, mungkin karena visa yang mereka urus jumlahnya sangat banyak mengingat mereka juga harus mengurus visa umroh dan haji.

Satu nasihat yang perlu saya tekankan dari pengurusan visa di KBAS adalah, SABAR. Bersabarlah karena pengurusan visa di KBAS tidak semudah mengurus visa di negara lain (at least Belanda).

#King Salman Central Library, Riyadh

November 7, 2015

Psikologi Islam? Why Not?



Inilah jalan hidup saya. Datang ke Arab Saudi dengan niat melanjutkan studi Psikologi, tapi apa daya Allah menakdirikan saya belajar Bahasa Arab terlebih dahulu, sebab bahasa pengantar kuliah di jurusan Psikologi, King Saud University (KSU), berbahasa Arab. Sedangkan saya masih sangat awam berbahasa Arab (baca: tidak bisa). Durasi program belajar Bahasa Arabnya pun tidak tanggung-tanggung. Saya harus ikut kelas Ma’had Lughoh selama dua tahun!

Lah terus kok bisa saya keterima di KSU padahal tidak bisa berbahasa Arab? Wallahua’lam. Saya sendiri heran. Dulu waktu mendaftar, semua syarat yang diminta berbahasa Inggris. Mereka juga meminta TOEFL dan GRE. Makanya saya berani mendaftar. Tapi entah mengapa ketika sudah sampai di Saudi mereka bilang kuliahnya memakai bahasa Arab.

Keheranan saya semakin menjadi ketika saya mengunjungi jurusan Psikologi untuk pertama kalinya. Pertama kali datang ke jurusan, saya langsung bertemu Kajur (Kepala Jurusan). Saat itu Kajur sangat heran, mengapa saya yang tidak bisa berbahasa Arab ini bisa diterima di Psikologi? Bagi saya pertanyaan ini agak konyol. Logikanya, bukankah setiap penerimaan mahasiswa baru selalu ada persetujuan dari Kajur? Bagaimana mungkin Si Kajur tidak tau? Hmm…

Diterimanya saya, yang tidak bisa berbahasa Arab, di Psikologi rupanya cukup membuat heboh jurusan. Ketika saya datang ke jurusan, ada beberapa dosen yang menghampiri saya. Mereka bertanya, “Mengapa kamu mau belajar di KSU? Kalau kamu bisa bahasa Inggris, seharusnya kamu apply beasiswa di Eropa atau US saja. Di sana Psikologi lebih bagus”

Very good question, Sir!

Saya dengan yakin menjawab, “Saya ingin mendalami Psikologi Islam”

Mendengar jawaban itu, ada seorang dosen yang tertawa, kemudian berkomentar sambil berlalu, “Di sini tidak ada Psikologi Islam. Psikologi ya Psikologi”

Kaget juga saya demi mendengar komentar beliau. Kaget karena: (1) saya berada di Negara Tauhid yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman; (2) saya mendengar jawaban itu dari orang Arab dan Islam tulen; (3) saya pernah membaca kurikulum Psikologi KSU di website dan disana ada matakuliah Psikologi Islam.

Menariknya, pertanyaan tentang mengapa saya mau belajar Psikologi di KSU bukan satu atau dua orang saja yang menanyakan. Pertanyaan itu hampir selalu ditanyakan oleh dosen-dosen yang saya temui, baik dosen Psikologi maupun dosen luar. Dan jawaban saya selalu sama: Saya ingin mendalami Psikologi Islam. Pun begitu tanggapan mereka terhadap jawaban saya selalu sama: Psikologi KSU berkiblat pada teori Psikologi Barat, bukan Psikologi Islam. Beberapa dari mereka menyarankan saya apply beasiswa di UK atau US saja.

Piye toh Pak, sudah jauh-jauh datang dari Indonesia malah disuruh minggat ke UK.

Well, saya tidak ambil pusing dengan komentar mereka. Prinsip saya, kalaupun Psikologi KSU berkiblat pada Psikologi Barat, saya bisa mempelajari Psikologi Islam di luar, mumpung berada di Saudi yang notabene memiliki stok ulama dan kitab bejibun, baik yang klasik maupun kontemporer. Pertama-tama saya harus bisa berbahasa Arab dulu. Kemudian mencari referensi kitab dari para ulama sebanyak mungkin tentang ‘ilmu nafs. Terlebih di sini banyak lembaga yang menyediakan kitab gratis bagi para mahasiswa. Kalau mereka tidak mau mengkajinya, biar saya yang melakukan. Kalau mereka merasa minder dengan Psikologi Islam, biar saya yang membanggakan.

Saya sendiri heran, mengapa ketika kita menghubungkan keilmuan (Psikologi) dengan agama (Islam), banyak akademisi yang antipati. Seperti ada krisis kebanggaan akan nilai-nilai Islam. Saya menangkap hal itu dari obrolan dengan beberapa dosen. Bagi saya ini aneh, terlebih mereka adalah orang Arab tulen, Islam, dan tinggal di Negara Tauhid. Mengapa mereka lebih tertarik dengan Psikologi Barat yang sekuler? Bahkan para Psikolog dan akademisi Psikologi Barat sendiri banyak mempertanyakan keabsahan Psikologi Modern yang kini berkembang (Lilienfeld, Lynn & Lohr, 2004).

Ketidakpercayaan diri orang Arab terhadap ajaran-ajaran Islam semakin terasa ketika 2 minggu setelah kedatangan saya, Fakultas Pendidikan (Psikologi ada di bawah fakultas ini) menggelar Seminar Internasional bertajuk: Mempersiapkan Guru Masa Depan dengan pembicara dari Korsel, Finlandia, dan US. Masya Allah… saya garuk-garuk kepala memikirkannya. Kok bisa orang Islam tulen sekelas bangsa Saudi belajar cara mendidik guru dari Barat? Bukankah mereka (dan kita sebagai muslim) punya guru terhebat sepanjang zaman dan teladan terbaik dalam setiap aspek kehidupan? Bukankah ada banyak kitab dari para ulama yang mengajarkan bagaimana caranya mendidik? Lalu apa urgensinya belajar pada bangsa yang jelas-jelas sekuler? (Bahkan pembicara dari US dengan gamblang mengatakan bahwa mereka berbeda dengan Saudi dimana agama dipisahkan dari pendidikan).

Maaf kalau bahasa saya terdengar sangat tendensius. Saya bukan orang yang anti Barat. Saya hanyalah orang yang percaya bahwa apa yang al-Qur’an dan Sunnah ajarkan adalah yang terbaik. Meskipun modernitas Barat terlihat gemerlap, tapi kalau hal itu bertentangan dengan apa yang Rasul saya ajarkan, semoga Allah mengaruniakan ketidaktertarikan saya padanya.

Ah, saya teringat guru saya pernah memberikan postulat begini: untuk masalah tuntunan, kita harus semakin berpegang teguh pada sumber. Sumber kita sebagai muslim adalah al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, kalau ada tuntunan yang paling up to date, seharusnya semakin diwasapadai karena boleh jadi itu menyimpang dari al-Qur’an dan Sunnah. Misal, beberapa tahun lalu sempat ramai dibicarakan tentang tidak bolehnya menggunakan kata “jangan” dalam mendidik (tuntunan) anak karena menurut mereka kata-kata negatif juga akan berdampak negatif bagi perkembangan psikologis anak. Sekarang coba bandingkan dengan al-Qur’an. Dalam al-Qur’an Luqman mendidik anaknya dengan mengatakan: jangan menyekutukan Allah. Pelarangan kata “jangan” dalam mendidik bukankah sama saja dengan mendustakan sebagian al-Qur’an?

Ya Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa berada di jalan yang lurus. Allahumma ihdinaa ash-shiratha al-mustaqiim.

 #Asrama 27, kamar 301

Pustaka:
Lilienfeld, S. O., Lynn, S. J., and Lohr, J. M. (2004). Science and Pseudoscience in Clinical Psychology. New York: The Guilford Press.

November 6, 2015

Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi (Part 2: Legalisir Dokumen)



Hampir sebulan saya tidak update tulisan di blog, padahal saya punya janji untuk melengkapi tulisan tentang pengurusan visa pelajar di Kedutaan Besar Arab Saudi (KBAS). Harap maklum, ada banyak hal yang harus saya kerjakan sebulan ke belakang. 

Baiklah, tanpa perlu panjang lebar lagi, saya akan meneruskan tulisan saya tentang pengurusan visa di KBAS. Pada tulisan sebelumnya saya telah menjelaskan tahap pertama, yaitu tahap medical check-up (MCU). Jika belum sempat membacanya, silahkan baca di sini.

Selagi menunggu hasil MCU, kita bisa mengurus dokumen lainnya, yaitu terjemah dan legalisir ijazah di DIKTI, Kemkumham, dan Kemenlu. Ijazah bisa diterjemahkan di jasa-jasa penerjemah yang ada di dekat kantor kedutaan atau kantor enjaz, tapi perlu diingat bahwa kita harus menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Saya kurang begitu mengetahui harga terjemahnya berapa, tapi berdasarkan obrolan saya dengan seorang penerjemah yang tidak sengaja saya temui di kantor GAMCA, harganya sepertinya sangat bervariasi, tergantung siapa kliennya. Menurut si bapak penerjemah, kalau kliennya berprofesi sebagai mahasiswa, maka harganya akan lebih murah, bisa dibawah 100 ribu, tapi kalau kliennya berprofesi pegawai (atau sudah bekerja), maka harganya bisa di atas 200 ribu.

Saya sendiri tidak menggunakan jasa penerjemah untuk menerjemahkan ijazah dan transkrip saya karena pihak kampus menyediakan versi Englishnya (*terima kasih UGM, hehe). Oya, sebelum diterjemahkan, sebaiknya dipastikan dulu terjemah versi apa yang kampus minta, English atau Arab. Kalau jurusan umum sepertinya tidak apa-apa pakai terjemah English, tapi kalau jurusan agama saya kurang tau, mungkin harus Arab.

Setelah ijazah dan transkrip diterjemahkan, kita bisa pergi ke kantor Kementerian untuk melegalisir dokumen kita. Urutan proses legalisir yang benar (menurut pegawai DIKTI) adalah, DIKTI-Kemkunham-Kemenlu. Untuk melegalisir di DIKTI ada beberapa syarat yang harus dilengkapi, yaitu:

  • Membuat surat permohonan yang ditujukan kepada Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, maksud dan tujuannya untuk keperluan apa
  • Surat keterangan dari Perguruan Tinggi bahwa yang bersangkutan adalah benar lulusan Perguruan Tinggi tersebut (surat aslinya)
  • Fotocopy ijazah dan transkrip nilai yang sudah dilegalisir Perguruan Tinggi
  • Print out rekaman akademik dari data EPSBED (alamat web: forlap.dikti.go.id)

Memang cukup banyak persyaratannya, tapi mau bagaimana lagi, prosedur itulah yang harus kita tempuh. Saya sendiri sebenarnya baru tau kalau ijazah dan transkrip saya harus dilegalisir DIKTI setelah permohonan visa saya ditolak oleh KBAS. Katanya, saya harus legalisir di DIKTI dulu. Padahal dari informasi yang saya dapat, lulusan PTN tidak perlu legalisir DIKTI. Jadi, mau tidak mau saya harus melengkapi semua persyaratan di atas.

Proses pengurusan legalisir di DIKTI dapat memakan waktu 3 hari. Hal itu tergantung dari ada-tidaknya pejabat yang menandatangani dokumen kita. Kalau pejabatnya tidak kemana-mana, mungkin sehari bisa langsung jadi. Untuk biaya, saya agak lupa. Kalau tidak salah ingat, biayanya gratis.

Setelah selesai legalisir di DIKTI, kita bisa pergi ke Kemenkumham untuk melakukan hal yang sama. Syaratnya tidak sebanyak DIKTI, tapi saya agak lupa. Maklum ya karena proses ini sudah saya jalani lebih dari 3 bulan yang lalu. Untuk amannya, sediakan materai, ijazah & transkrip yang sudah dilegalisir kampus. Oya, ada formulir yang harus diisi juga. Nanti formulirnya disediakan di sana. Kata pegawainya, prosesnya memakan waktu 3 hari kerja. Tapi saya sarankan untuk mengeceknya di hari kedua karena biasanya dokumen sudah selesai dilegalisir di hari kedua. Biaya untuk legalisir di sini sebesar 25 ribu per dokumen.

Kalau sudah dapat legalisir dari Kemenkumham, silahkan langsung diproses di Kemenlu. Perlu dicatat bahwa Kemenlu hanya akan melegalisir dokumen yang sudah dilegalisir oleh Kemenkumham. Kalau belum, maka mereka akan menolaknya. Syaratnya juga tidak banyak. Pokoknya cuma DIKTI yang agak ribet, hehe. Untuk amannya, sediakan materai, ijazah & transkrip yang sudah dilegalisir kampus. Proses legalisir di sini juga memakan waktu 3 hari kerja. Untuk biaya, kalau tidak salah ingat cuma 30 ribu untuk semua dokumen.

Kesimpulannya, untuk melegalisir ijazah dan transkrip di tiga kementerian tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, kalau kamu datang dari luar Jabodetabek, sebaiknya diperhitungkan betul segala sesuatunya. Sebenarnya ada cara yang lebih mudah untuk mengurus itu semua tanpa perlu keluar keringat sedikitpun, yaitu dengan meminta bantuan calo. Tapi jangan tanya kontak mereka ke saya ya, karena saya sendiri tidak tau, hehe.

Selamat berjuang.

#Asrama 27 kamar 301

October 11, 2015

Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi (Part 1)



Sudah lama sekali saya tidak menulis di blog, padahal kemarin ada cukup banyak waktu luang yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan lebih maksimal. Tapi karena terbuai dengan luangnya waktu, saya lebih banyak mengerjakan hal yang sia-sia.

Baiklah, saat ini saya ingin menuliskan pengalaman saya mengurus visa pelajar di Kedutaan Besar Arab Saudi (KBAS). Sebenarnya sudah lama sekali saya ingin menuliskan hal ini, tapi karena satu dan lain hal saya belum juga sempat menuliskannya. Sekarang sudah dua bulan lebih berlalu, semoga saya masih bisa mengingatnya dengan baik.

Oke, hal yang pertama harus kalian pastikan sebelum mengurus visa pelajar di KBAS adalah bahwa kalian benar-benar sudah memiliki LoA (Letter of Acceptance atau dalam Bahasa Arab disebut Isy’ar Qobul) dari kampus yang kalian tuju, yang isinya menyatakan bahwa kalian diterima di kampus tersebut. Surat itu sangat penting karena selain berisi pernyataan bahwa kita diterima di salah satu kampus Saudi, surat itu juga berisi no calling visa kita. Dengan nomor calling visa itulah visa kita baru bisa diproses. Ini saya berikan contoh LoA yang saya dapat dari King Saud University (KSU). 


Oya, selain membutuhkan nomor calling visa, beberapa enjaz (nanti saya jelaskan apa itu enjaz) juga membutuhkan nomor sponsorship (roqm sijil shohibul amal) dari pihak yang mengeluarkan nomor calling visa kita. Nomor sponsorship untuk KSU adalah 7000873302.  Sebenarnya ketika kalian bilang ke petugas enjaz bahwa kalian akan mengurus visa pelajar, para petugas enjaz biasanya sudah tahu berapa nomor sponsorship untuk masing- masing kampus, tapi ada beberapa kantor enjaz yang “agak terbelakang” sehingga mereka harus diberi tahu nomornya. Oya, nomor ini tidak tercantum dalam LoA kita, jadi untuk mengetahuinya kalian harus mencari tau sendiri. Beruntung kemarin ada alumni KSU yang memberi tau nomor itu kepada saya.

Setelah memastikan itu semua, kalian bisa pergi ke KBAS untuk mengurus visa. Perlu diketahui bahwa kantor KBAS bukan di Jln. MT Haryono seperti yang ada di website. Kedutaan Besar Arab Saudi sudah pindah ke Jln Rasuna Said sejak beberapa bulan yang lalu, tepatnya dekat Wisma Bakri 2. Saya sendiri sudah terlanjur ke MT Haryono saat pertama kali datang dan baru tau kalau KBAS sudah pindah setelah diberi tau pegawai disana.

Untuk mengurus visa di KBAS, sangat disayangkan bahwa kita tidak bisa mengurus visa pelajar kita secara mandiri. Pengalaman kemarin ketika saya mau masuk ke KBAS, saya distop oleh security. Ketika saya bilang saya mau mengurus visa pelajar, security mengatakan bahwa pengurusan visa di KBAS hanya untuk visa diplomasi, sedangkan visa lainnya, baik visa pekerja, pelajar, umroh, haji maupun ziarah, harus diurus melalui perantara yang disebut enjaz. Kata security, peraturan ini sudah berlaku sejak tahun 2010. Security kemudian menunjuk kantor enjaz yang berada di gedung sebelah KBAS.

Hmm..saya tidak tahu apa artinya enjaz, tapi menurut saya enjaz hanyalah semacam calo yang “diformalkan”. Karena statusnya sebagai “calo”, maka dengan berat hati saya mengatakan bahwa berurusan dengan enjaz berarti berurusan juga dengan duit. Ketika saya datang ke kantor enjaz, mereka langsung menanyakan LoA saya. Setelah dicek, mereka kemudian menanyakan kelengkapan dokumennya. Saat itu saya agak kaget dengan banyaknya dokumen yang harus dilengkapi, berbeda dengan petunjuk dari LoA yang saya dapatkan. Dokumen-dokumen yang diminta oleh enjaz untuk mengurus visa diantaranya adalah:

  1.  Hasil Medical Check-up dari Kantor GAMCA 
  2. Ijazah dan Transkrip yang telah diterjemahkan dan dilegalisir oleh DIKTI, Kemkumham, dan Kemenlu
  3. Surat Rekomendasi dari Kantor Depag Kota tempat tinggal
  4. SKCK dari Mabes Polri 
  5.  Ijazah dan Transkrip yang telah dilegalisir oleh KBAS
Well, kelihatannya dokumen yang perlu dilengkapi memang “cuma segitu saja”, tapi percayalah untuk mendapatkan semua kelengakapan itu tidaklah mudah. Ada banyak darah yang harus ditumpahkan. Berikut akan saya jelaskan semua proses tersebut satu persatu.

1.       Medical Check-Up (MCU)

Ini sudah menjadi persyaratan kuno, bahwa untuk pergi ke Saudi (dan umumnya negara Timur Tengah), kita harus periksa kesehatan (padahal waktu ke Belanda yang notabene negara yang lebih maju, saya tidak perlu periksa kesehatan). Tempat untuk periksa kesehatan juga tidak bisa sembarangan karena sudah ditentukan. Pihak yang menentukan tempat pelaksaan MCU adalah GAMCA. Saya tidak tau apa itu GAMCA, tapi dari Google saya mengetahui bahwa GAMCA adalah semacam lembaga yang mengurusi MCU untuk negara tujuan Timur Tengah/Teluk. Saya sendiri lebih senang menyebut GAMCA dengan sebutan Calo Jilid 2.

Sebenarnya, daftar rumah sakit (atau lebih tepatnya klinik) sudah tertera di website Kemenlu Saudi, tapi permasalahannya adalah kita tidak bisa mendatangi langsung klinik tersebut. Untuk MCU di klinik-klinik tersebut, harus melalui rekomendasi dari GAMCA. Kalau tidak ada rekomendasi dari GAMCA, sudah pasti kita ditolak. Itulah mengapa saya menyebut GAMCA sebagai Calo Jilid 2.

Kantor GAMCA sendiri terletak di Jln Dewi Sartika, Kalibata, tepatnya di Gedung Binawan. Untuk mendaftar MCU di GAMCA, kita harus menyiapkan foto, LoA dan paspor dengan nama yang terdiri dari 3 suku kata. Saya agak kaget ketika petugas GAMCA bilang bahwa nama di paspor harus tiga suku kata karena nama saya hanya dua suku kata. Petugas GAMCA bilang bahwa untuk negara tujuan Timur Tengah, nama yang tertera memang harus tiga suku kata. Dia kemudian menyuruh saya untuk meminta endorsement dari Kantor Imigrasi (tempat membuat paspor) untuk ditambahkan namanya. Untungnya penambahan nama itu bisa dilakukan setelah MCU.

Informasi tambahan untuk penambahan nama: ini bisa dilakukan di Kantor Imigrasi manapun, tidak perlu di kantor Imigrasi tempat kita membuat paspor. Biayanya konon 75 ribu. Saya katakan konon karena saya sendiri tidak tau berapa harga pastinya sebab ketika mengurus penambahan nama, pegawai imigrasi bilang bahwa masa berlaku paspor saya sudah hampir habis, jadi sebaiknya sekalian diganti paspor baru (padahal masih ada 8 bulan). Untuk perpanjangan paspor dikenakan biaya kurang lebih 300 ribu.

Setelah GAMCA menunjuk klinik tempat kita MCU, kita bisa langsung menuju kesana dengan membawa surat dari mereka. Kemarin GAMCA menunjuk Klinik Rayhan yang berlokasi di daerah Kalibata sebagai tempat MCU saya. Alhamdulillah kliniknya tidak terlalu jauh dari kantor GAMCA. Klinik ini sangat kecil, makanya di awal saya mengatakan bahwa tempat MCU ini lebih tepat disebut klinik, bukan Rumah Sakit.

Saya agak trenyuh juga ketika masuk ke klinik ini karena di dalamnya terdapat pemandangan ibu-ibu yang lugu-lugu dan kelihatan bingung di ruang tunggu. Dan saya pun harus mengelus dada karena ibu-ibu ini adalah para calon TKI yang sebagian besar bekerja sebagai PRT. Indonesia mengimpor PRT. Negara saya menjadi pengimpor pekerja tidak terampil. Ah, kasihan melihat mereka.

Saya langsung ke bagian registrasi untuk mendaftar. Jangan lupa untuk menyediakan foto dan surat pengantar dari GAMCA untuk mendaftar. Saya cukup kaget mendengar biaya yang harus dibayar untuk MCU. Biayanya sebesar Rp 1 juta. Saya sudah bilang ke petugas bahwa visa yang ingin saya ajukan adalah visa pelajar, bukan pekerja, dengan harapan bisa mendapat biaya yang lebih ringan, tapi petugas bilang harganya sama saja untuk semua jenis visa.

Untung saat itu saya membawa uang yang cukup sehingga bisa langsung membayar biayanya. Setelah membayar, saya langsung melakukan proses MCU. MCU yang dilakukan sangat sederhana, yaitu hanya mengukur tensi, pengambilan sampel darah, foto X-Ray bagian dada dan periksa dokter. Dengan pemeriksaan yang sederhana ini, wajar jika saya sewot dengan harga yang dipatok. Kalau bukan karena “bagi-bagi kue”, saya yakin biayanya tidak akan semahal itu.

Satu hal yang patut menjadi perhatian bahwa petugas yang mengurusi foto X-Ray di klinik saya kemarin semuanya laki-laki. Bagi saya itu tidak masalah karena saya sendiri laki-laki, tapi jika anda perempuan, maka hal itu anda harus pertimbangkan baik-baik. Hal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah bahwa dokter yang memeriksa kesehatan adalah perempuan. Sebenarnya tidak masalah jika pemeriksaan kesehatannya “normal-normal saja”, tapi pengalaman saya kemarin, saya dimiinta melepaskan semua pakaian saya kecuali celana dalam. Dan itu dilakukan di hadapan dokter perempuan yang judes dan sangat tidak bersahabat. Sangat semena-mena sekali dia memperlakukan pasien, mungkin dia mengira saya adalah TKI karena ketika saya bilang bahwa saya mengurus visa pelajar, dia kemudian “melunak”. Yah, sebenarnya mau TKI ataupun bukan TKI, akhlakul karimah harus tetap dipraktekan, tidak pandang bulu.

Well, setelah semua proses telah dilalui, besoknya saya bisa mengambil hasilnya. Karena hari itu saya harus kembali ke Jogja, maka pengambilan hasil MCU saya serahkan ke adik saya. Alhamdulillah mereka membolehkan. Esoknya adik saya mengambil hasil MCU dan alhamdulillah hasilnya bagus, saya FIT. Oleh petugas MCU, adik saya diminta membawa hasil itu ke enjaz. Saya katakan bahwa proses ini sangat tidak efektif karena adik saya diminta bolak-balik . Jadi, setelah adik saya mendapatkan hasil MCU, dia diminta ke enjaz. Di kantor enjaz, dia kemudian diminta membayar uang sebesar Rp 1 juta sebagai biaya pengurusan visa. Setelah bayar, adik saya diminta kembali lagi ke klinik untuk menyerahkan bukti pembayaran dan meminta petugas klinik untuk menginput data hasil MCU secara online. Setelah itu, kemudian dia balik lagi ke enjaz untuk mengurus dokumen selanjutnya. Benar-benar tidak efektif. Mereka pikir jalanan Jakarta adem ayem kayak di Kaliurang? Lancar jaya tanpa macet seperti di udara? Jadi sewot saya.

Hmm..karena terlalu panjang, saya akan lanjutkan proses pengurusan visa berikutnya di tulisan yang akan datang, Insya Allah.

# King Salman Central Library, King Saud University

Berikut adalah sambungan tulisan ini:
Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi Part #2
Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi Part #3
Mengurus Visa Pelajar di Kedubes Arab Saudi Part #4

September 14, 2015

Hudaibiyah Versi Saya


Teringat saya dengan perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian antara umat muslim dan kafir Quraisy yang menurut Umar ibn Khaththab berat sebelah sehingga menimbulkan protesnya kepada Rasulullah. Menurut Umar, perjanjian tersebut sangat merugikan umat muslim sehingga tidak semestinya “ditandatangani” oleh Rasulullah. Salah satu klausul yang membuat Umar geram adalah sebagai berikut:

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus pulang pada tahun ini dan tidak boleh memasuki Mekkah kecuali tahun depan bersama orang-orang Muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Mekkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apapun.”

Karena klausul tersebut, umat muslim yang sudah jauh-jauh datang dari Madinah terpaksa harus kembali pulang. Padahal Rasulullah sendirilah yang mengajak umat muslim ke Mekkah karena beliau bermimpi melihat dirinya bersama para sahabat memasuki masjidil haram, mengambil kunci Ka’bah, serta melaksanakan thawaf dan umrah. Karena semua sahabat meyakini bahwa mimpi Rasulullah adalah benar, maka “kegagalan” mereka memasuki Mekkah membuat mereka gusar. Apalagi diantara umat muslim saat itu banyak terdapat kaum muhajirin dari Mekkah yang sudah lama tidak kembali ke kota kelahiran mereka.

Saat itu Umar mengadukan keberatannya kepada Abu Bakar, “Mengapa kita harus kembali ke Madinah? Bukankah Rasulullah mengatakan kita akan umrah di Mekkah?” Abu Bakar yang bijak dan cerdas menanggapi kegelisahan Umar dengan berkata, “Apakah Rasulullah juga bilang bahwa umrahnya akan dilaksanakan tahun ini? Bukankah Rasulullah hanya berkata bahwa kita akan umrah?” Mendengar jawaban itu, Umar akhirnya melunak.

Saya pribadi sangat memahami apa yang dirasakan Umar. Sangat mengerti apa yang digusarkan Umar. Karena saat ini, detik ini, saya pun merasakan kegusaran yang serupa dengan Umar. Bagaimana tidak gusar, Mekkah sudah didepan mata, kerinduan untuk beribadah di masjidil haram sejengkal lagi akan terobati, pelaksanaan ibadah haji tinggal menghitung hari, tapi semua itu harus tertunda. Kalau Umar, Rasulullah, dan para sahabat tertunda karena perjanjian Hudaibiyah, saya tertunda karena masalah administrasi, yaitu belum keluarnya iqomah (residence permit atau KTP Saudi).

Iqomah, menurut para sesepuh disini, sangat penting karena itu merupakan tanda pengenal kita. Kalau belum punya iqomah dan hanya mengandalkan visa, lanjut para sesepuh, bisa jadi kita akan dideportasi ketika ditangkap oleh polisi. Jangankan belum punya iqomah, yang sudah punya iqomah saja bisa dideportasi kalau ketahuan melakukan ibadah haji dengan ilegal (tanpa tasrih). Oleh karena itu, para sesepuh menasihati agar sebaiknya saya menunda hajat ingin berhaji tahun ini. Aaaakkkkk!!!!
Ilustrasi Haji (sumber : Google)
Sedikit mengulas tentang legal dan ilegal pelaksanaan ibadah haji, mahasiswa di sini banyak yang melakukan ibadah haji ilegal (duh rasanya gak enak banget nulis ilegal, kesannya buruk banget). Ilegal artinya tidak memiliki tasrih, yaitu izin resmi untuk melaksanakan haji. Untuk memiliki tasrih, kita harus mendaftar dengan biaya yang tidak sedikit. Ustadz Junaedi kemarin sempat mengatakan bahwa paket murah untuk haji resmi berkisar 4000 Riyal (sekitar Rp 14 juta) dan paket mahalnya berkisar 7000 Riyal (sekitar Rp 24 juta). Itupun para muqim (yang memiliki iqomah) hanya dapat jatah 5 tahun sekali. Artinya, kalau dia akan haji tahun ini, dia baru bisa haji lagi 5 tahun mendatang.

Bayangkan, sudah berada di Saudi saja masih harus mengeluarkan uang sebanyak itu untuk pergi berhaji. Maka saya paham kalau kemudian banyak yang melakukan haji ilegal atau biasa disebut haji koboy di sini. Biaya untuk haji koboy hanya sekitar 1500 – 2000 Riyal. Masih lumayan besar sih, tapi setidaknya jauh dibawah harga haji resmi.

Sebenarnya ada satu lagi jalan untuk berhaji, bahkan yang ini tanpa mengeluarkan biaya sama sekali, yaitu haji melalui kampus. Pihak kampus setiap tahun dengan baiknya memfasilitasi mahasiswa untuk berhaji, tapi sayangnya tidak semua mahasiswa kebagian jatah haji dari kampus. Hanya yang beruntung saja yang bisa haji melalui jalan ini. Jadi alurnya adalah mahasiswa diminta mendaftar ke kampus, lalu kampus akan mengundi mereka. Yang mendapat undian itulah yang akan difasilitasi kampus untuk berhaji. Saya belum bisa mendaftar karena saat saya datang, pendaftaran haji telah lama ditutup. Mudah-mudahan tahun depan bisa mendaftar dan kebagian jatah haji dari kampus. Aamiin…

NB: Percakapan antara Abu Bakar dan Umar itu saya tuliskan berdasarkan ingatan saya saja, dari buku yang saya baca. Saya tidak tau persis redaksinya seperti apa.

#Asrama No 27 kamar No 224