December 28, 2014

Who am I? #1

Dulu saya pernah menjalani wawancara dengan seorang psikolog sebagai salah satu ujian masuk di perusahaan BUMN. Beliau bertanya kepada saya, apa yang menjadi kekurangan saya. Saya menjawab, kekurangan saya adalah saya mudah terpengaruh. “Terpengaruh bagaimana maksudnya?”, beliau menyelidik. “Iya, saya mudah terpengaruh. Contoh sederhananya begini, saya ingin beli sepatu dan tidak tau harus membeli yang mana. Kemudian saya bertanya kepada penjaga toko, sepatu mana yang bagus. Dia menunjuki sepatu sambil menerangkan kelebihannya kepada saya. Maka saya akan cenderung memercayai omongan si penjaga toko itu kemudian membeli sepatunya”, saya menjelaskan. “Oh, tapi tidak mudah terpengaruh dalam urusan yang lebih prinsip?”, tanya beliau lagi. “Kalau yang prinsip saya tidak mudah terpengaruh”, jawab saya.

Who am I? Siapa saya? Pertanyaan ini pertama kali saya dapati ketika saya mengikuti ospek di Psikologi. Dulu saya menjawab sekenanya, hanya untuk memenuhi syarat agar tidak dikenai sanksi karena tidak mengerjakan tugas ospek. Dan pertanyaan yang sama kembali saya dapati hampir di tiap proses kaderisasi dari organisasi yang saya ikuti. Who am I? Siapa saya? Jawaban saya rasanya masih tidak jauh berbeda dengan jawaban ketika ospek dulu, hanya sekedar formalitas untuk memenuhi tuntutan tugas saat itu.

Kini pertanyaan itu kembali mengusik alam berpikir saya, tapi bukan karena orang lain yang menanyakan, melainkan saya sendiri. Who am I?

Entah mengapa saya jadi tertarik untuk menyelidiki dan mengenal lebih jauh diri saya sendiri. Apakah karena sudah lama saya tidak belajar psikologi sehingga kehausan? Atau karena ini memang merupakan kebutuhan manusia untuk mengenal dirinya? Artinya, ini memang salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Ah, entahlah. Saya tidak mau berpikir yang ruwet-ruwet dulu karena pikiran saya pun sedang ruwet dengan tesis. Dalam tulisan kali ini, saya hanya ingin membedah diri saya sendiri. Siapa saya?

Ketika dihadapkan pada pertanyaan tersebut, orang-orang biasanya menjawab dengan menyebutkan profesi, kedudukan, ciri sifat, cita-cita atau menjawabnya berdasarkan tinjauan agama. Tidak ada yang salah dengan jawaban-jawaban itu selama dijawab dengan jujur. *ini kayak mau ngasih kuesioner aja, haha. Saya sendiri kali ini lebih menjawab dengan ciri sifat yang melekat pada diri saya.

Satu hal yang belakangan saya sadari bahwa saya ini termasuk orang yang mudah terpengaruh. Saya mudah percaya kepada orang lain. Ya, seperti yang sudah saya ceritakan di awal tulisan, saya begitu mudah terbawa omongan orang, apalagi omongan mereka yang baru saya kenal. Saya seperti tidak menaruh kecurigaan. Entah apa sebabnya, tapi yang pasti hal ini kadang cukup mengganggu karena tidak jarang saya ditipu. Saya seolah lupa, bahwa dunia ini dihuni oleh dua tipe manusia, yaitu mereka yang baik dan jahat. Saya terlalu naïf sehingga menyangka semua orang itu baik. Apalagi kalau tampilannya sudah mencerminkan bahwa dia itu baik. Ah, makin lemahlah pertahanan saya. Makin mudahlah saya dibodohi.

Sifat mudah terpengaruh ini tidak hanya melalui omongan sebenarnya, tapi juga melalui tulisan. Ketika saya membaca buku A, maka pola berpikir saya akan sangat mudah terbawa dengan pola berpikir penulis A atau isi dari buku A. Beralih ke buku B, maka pola berpikir saya juga bisa dengan mudahnya switch to penulis B. Bahkan tidak hanya pola berpikir sebenarnya, tapi juga gaya menulis. Ketika saya membaca buku A, maka gaya menulis saya juga bisa terbawa dengan gaya si penulis buku A. Edan!

Sisi positifnya, saya merasa memiliki kemampuan replikasi yang cukup baik. Replikasi yang saya maksud di sini bukanlah menyontek atau plagiasi isi/ide, tapi hanya sekedar gaya penulisan. Style. Akan tetapi sisi negatifnya saya seperti mengalami krisis identitas. Saya tidak punya orisinalitas. Sesuatu yang mencirikan bahwa “inilah saya” karena apa yang saya tunjukan sebenarnya adalah “punya” orang lain.

Dalam lingkup yang lebih luas, saya merasa sampai saat ini saya hanya bisa menjadi pengekor, bukan inovator. Pengikut, bukan pencetus. Jiwa saya bukan seperti jiwa-jiwa para penemu yang punya ide-ide orisinil. Ah, padahal saya ingin sekali menjadi penemu. I wanna be an inventor.


“Ya Allah, hamba berlindung pada-Mu dari pengaruh-pengaruh yang tidak bermanfaat bagi dunia & akhirat hamba”

Wisma Pakdhe