July 29, 2014

Safari Ramadhan #4 (End)


Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru.

Setelah melanglang buana ke bumi Jogja dan Bandung, akhirnya pada malam ke-25 sampai terakhir saya bisa merasakan tarawih dan i’tikaf di kampung sendiri. Berikut adalah tempat yang sempat saya singgahi di malam-malam terakhir Ramadhan: 

25.   Masjid Baitul Ulum Universitas Terbuka (UT)
Di antara masjid-masjid yang ada di sekitar tempat tinggal saya, hanya masjid UT-lah yang tiap pelaksanaan sholat tarawihnya selalu disertai kultum dan jumlah raka’atnya hanya 11 raka’at. Masjid ini juga cenderung tidak terlalu ramai/gaduh dengan suara anak-anak karena memang tidak terletak di perumahan, makanya saya jadi lebih senang sholat tarawih di sini.

Masjid ini juga cenderung lebih nyaman karena dilengkapi dengan AC dan karpet yang tebal. Hmm, tapi saya pernah mendengar seorang ustadz mengatakan bahwa karpet masjid seharusnya tidak boleh terlalu tebal sebagai bentuk ittiba Rasul. Kan dulu masjid Nabawi cenderung sangat sederhana.

Setelah selesai sholat tarawih, saya menghampiri takmir masjid untuk izin melaksanakan i’tikaf di sini. Saya perlu menyampaikan hal ini karena di masjid ini memang tidak dilaksanakan program i’tikaf. Alhamdulillah saya diberikan izin untuk berada di dalam masjid selama i’tikaf sampai tiba waktu sahur.

Setelah pulang sebentar untuk makan dan menyiapkan “perlengkapan perang”, saya kembali lagi ke masjid UT untuk i’tikaf. Malam itu ternyata saya hanya i’tikaf seorang diri (T_T). Well, tapi tidak apa-apa, karena saya memang butuh konsentrasi untuk mengerjakan urusan kampus, hehe.

Dukanya melaksanakan i’tikaf sendirian adalah, saya menjadi begitu mudah dicurigai (-______-). Mungkin dikiranya saya mau berbuat yang aneh-aneh kali ya. Ah, hidup di kota besar memang tidak mudah.

26.   Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah
Rumah saya terletak tidak terlalu jauh dari UIN Jakarta, hanya sekitar 10-15 menit perjalanan naik motor. Kondisi itu membuat saya terpacu untuk melaksanakan safari Ramadhan ke sana, hehe. Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang aktivis mahasiswa UIN, dia bilang masjid Fathullah itu sebenarnya bukan masjid UIN, tapi masjid biasa yang kebetulan letaknya berada di depan UIN. Masjid resmi UIN sendiri ada di dalam kampus.

Hmm..saya pernah masuk ke masjid yang di dalam kampus itu sih, tapi menurut saya ruhnya kurang terasa. Justru lebih terasa di masjid Fathullah ini. Mungkin karena masjid yang di dalam kampus itu terkesan ekslusif karena penduduk sekitar tidak bisa mengakses dan bentuk bangunannya pun tidak seperti masjid (jadi ingat masjid UIN Sunan Kalijaga, Jogja, yang anti-mainstream sehingga dinamakan Laboratorium Agama, bukan masjid, ckckck).

Btw di masjid Fathullah sholat tarawih dilaksanakan dua versi untuk mengakomodasi kebutuhan dua kubu, yaitu kubu 11 dan kubu 23, hehe. Jadi teknisnya begini, ketika sudah mencapai 8 raka’at, akan dilaksanakan sholat witir 3 raka’at bagi yang ingin melaksanakan tarawih hanya 11 raka’at. Tapi bagi yang ingin melaksanakan tarawih 23 raka’at, maka tidak perlu ikut sholat witir karena setelah witir akan dilanjutkan sholat lagi sampai 23 raka’at.

Oya, saya mengajak dua adik saya sholat di sini. Setelah itu, saya ajak mereka makan ke WS (WS menjadi salah satu obat rindu saya terhadap Jogja, hehe). Setelah tarawih dan makan selesai, saya langsung capcus ke Masjid UT dengan niat melaksanakan i’tikaf. Seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya (di sini), ternyata masjid UT sudah tutup sehingga mau tidak mau saya harus i’tikaf di luar sendirian (T_T).

27.   Musholla Nurul Iman Dekat Rumah
Nah, ini dia musholla yang paling dekat dengan rumah saya. Kalau lagi mudik, saya pasti sholatnya di sini. Saya baru bisa ikut sholat di musholla ini pada malam ke-27. Seperti kebanyakan masjid atau musholla di kampung saya, musholla ini juga melaksanakan tarawih 23 raka’at, tiap 2 raka’at salam (termasuk witir, 2+1 salam) tanpa disertai kultum. Meskipun jumlah raka’atnya banyak, tapi pelaksanaan sholat tarawih di sini pasti lebih cepat selesai daripada sholat di masjid UT karena imamnya memimpin sholat dengan kecepatan penuh (full speed). Jangankan polisi tidur, polisi bangun aja dilibas, hehe.

Di malam ke-27 ini saya tidak melaksanakan i’tikaf karena selepas tarawih, saya dan adik-adik saya diundang oleh tante makan di rumahnya dan baru selesai larut malam (T_T). Yah, mudah-mudahan pahala i’tikaf terganti dengan pahala menyambung silaturahmi.

28.   Masjid Al-Mukhlisin Dekat Rumah
Masjid ini juga letaknya tidak terlalu jauh dari rumah saya, hanya sekitar 200 meter. Jadi kalau mau diurut dari rumah saya, maka urutannya adalah Musholla Nurul Iman yang letaknya di RT 03, Musholla Nurul Islam yang letaknya di RT 02, baru Masjid Al-Mukhlisin yang letaknya di RT 01, Di masjid inilah saya biasanya melaksanakan sholat Jum’at.

Sama seperti masjid lain, di masjid ini sholat tarawih juga dilaksanakan sebanyak 23 raka’at, tiap 2 raka’at salam (termasuk witir, 2+1 salam). Kadang disertai kultum, tapi tidak pasti selalu ada, seperti kemarin saat saya sholat di sana, tidak ada kultumnya.

Malam ke-28 ini juga saya tidak melaksanakan i’tikaf karena diundang rapat keluarga oleh paman (T_T). Rapat bahkan baru selesai jam 01 dini hari. Yah, mudah-mudahan pahala i’tikaf terganti dengan pahala menyambung silaturahmi.

29.   Home Sweet Home
Maksud hati ingin melepas Ramadhan dengan spesial, yaitu dengan sholat di Masjid Kubah Emas, tapi apa daya hujan turun dengan deras. Maka, jadilah saya sholat tarawih di rumah saja, berdua dengan adik saya yang paling kecil.

Karena hujan itu pula, saya tidak bisa melaksanakan i’tikaf. Jadi, saya menghabiskan malam ke-29 itu di rumah saja. Duh, semoga jika ditakdirkan bertemu dengan Ramadhan lagi, bisa semakin baik ibadahnya.
Masjid Fathullah UIN Jakarta (sumber : google.com)
Hmm…ada beberapa hikmah yang bisa saya ambil dari safari Ramadhan yang saya lakukan sebulan belakangan. Pertama, saya seringkali mendapatkan pemateri kultum yang bagus, padahal saya tidak merencanakannya sebelumnya, misalnya tausiyah dari Syaikh Palestina. Kedua, khazanah pengetahuan saya tentang semarak Ramadhan di berbagai masjid menjadi semakin bertambah. Dalam hal ini, saya benar-benar terpikat dengan semaraknya Ramadhan di Masjid Habiburahman, terutama saat i’tikaf. Luar biasa semarak. Ketiga, persatuan Indonesia, hehe.

Meski Ramadhan telah berlalu, semoga ghirah untuk beribadah tetap terbakal dalam kalbu. Aamiin..


Pondok Cabe, pagi yang dingin, 02 Syawal 1435 H
Home Sweet Home

July 27, 2014

Safari Ramadhan #3


Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru. Beberapa masjid yang saya datangi sebagai tempat i’tikaf adalah:
Masjid Nurul Ashri (sumber : google.com)
 21.   Masjid Nurul Ashri Deresan
Malam pertama i’tikaf saya lewati di Masjid Nurash. Sebelumnya, saya juga melaksanakan tarawih di sini. Di Nurash ternyata ada qiyamul la’il (sholat malam) satu juz secara berjamaah. Saya yang tidak mengetahui informasi tersebut terlanjur melaksanakan qiyam la’il sendirian. Jadi saya tidak ikut yang berjama’ah.

Kalau mau i’tikaf di Nurash ada peraturan yang harus ditaati. Diantaranya adalah tidak boleh tidur di ruang utama masjid. Kalau mau tidur, harus di luar masjid (selasar). Di sana panitia telah menggelar tikar/karpet untuk jama’ah yang ingin tidur. Sebenarnya saya kurang setuju dengan peraturan ini karena cuaca di luar itu pasti dingin. Kalau panitia bermaksud menjaga kebersihan ruang utama masjid, maka hal itu sebenarnya bisa disiasati dengan menaruh alas (tikar) di atas karpet ruang utama, sehingga tidak kotor. Seperti yang dilakukan oleh Daarut Tauhid (DT) Bandung. Saya sendiri sempat mendapat teguran ketika tertidur di ruang utama, hehe. Maklum lah, belum biasa bergadang.

Oya, satu lagi, panitia juga menyediakan santap sahur gratis untuk para jama’ah. Jadi jama’ah tidak perlu keluar untuk mencari makan. Mantap dah!

22.   Masjid Salman ITB
Program safari Ramadhan saya merambah Bandung saudara-saudara, haha. Hal ini memang sudah saya niatkan sejak jauh hari. Niat awalnya bahkan saya ingin i’tikaf 10 hari di DT Bandung, tapi karena satu dan lain hal niat itu belum kesampaian. Mudah-mudahan di waktu mendatang bisa terwujud. Aamiin..

Btw saya datang ke Bandung naik kereta eksekutif Argo Wilis. Bukan karena sok-sokan, tapi karena waktu itu dapat tiket promo, ke Bandung cuma 99 ribu, makanya saya beli, hehe. Sampai di Bandung sudah jam 19.30. Saya dijemput oleh Mas Firman di stasiun. Alhamdulillah sampai di ITB, tarawih belum dimulai, penceramah masih memberikan kultum sehingga saya bisa ikut tarawih berjama’ah.

Di Salman ada panitia yang mengurusi pelaksanaan i’tikaf. Tarif i’tikaf di sini adalah Rp 10.000 perhari (untuk mahasiswa, kalau untuk umum 12 ribu). Dengan uang segitu, kita akan mendapatkan konsumsi untuk sahur (kalau berbuka selalu disediakan gratis), notes, tas kecil, pulpen, stiker, pin, dan name tag.

Yang menyenangkan dari Salman adalah kebersihannya yang terjaga, termasuk WC dan tempat wudhu. WC-nya wangi karena ada parfum otomatis. Lantai masjidnya bukan marmer/keramik, melainkan kayu sehingga tidak terlalu dingin. Peserta i’tikaf juga tidak terlalu ramai sehingga masih kondusif.
Ruang utama Masjid Salman dengan lantai kayunya
Nametag peserta i'tikaf



















Di malam hari ada qiyamul la’il satu juz berjama’ah. Meski jama’ah i’tikaf lumayan banyak, tapi yang ikut sholat malam hanya dua shaf saja. Itupun lama kelamaan terpangkas menjadi satu shaf karena sholatnya memang lumayan lama.

Overall, Masjid Salman menjadi salah satu tempat yang recommended untuk i’tikaf. Pantas dulu senior saya bela-belain datang dari Jakarta ke Bandung hanya untuk i’tikaf. Hmm… sepertinya saya juga harus memprogramkan i’tikaf di sini lagi di Ramadhan mendatang.

23.   Masjid Habiburrahman PT DI (Bandung)
Hari kedua di Bandung, sebenarnya saya ingin i’tikaf di DT, tapi karena jarak DT lumayan jauh, sedangkan Mas Firman juga agak sibuk, sehingga saya alihkan ke Habiburrahman. Selain itu, saya juga tertarik ke Habiburrahman karena mendengar cerita teman kampus saya yang orang Bandung (Vera). Dia bilang i’tikaf di Habib selalu ramai, bahkan jama’ah banyak yang memasang tenda, wedew… Saya jadi semakin penasaran.

Saya baru tiba di Habiburrahman selepas Ashar. Pertama kali datang agak kaget juga. Ternyata benar apa yang dikatakan Vera, banyak jama’ah yang mendirikan tenda. Komentar spontan saya waktu itu adalah: ini masjid atau bumi perkemahan? Wkwk.

Ketika saya datang, sedang ada kajian dari Ust. Saiful Islam Mubarok (ini salah satu ustadz cetar di Bandung), tapi kajiannya tidak terlalu lama karena jam 17.00 sudah selesai. Satu hal yang cukup mengherankan saya adalah, masjid ini tidak menyediakan hidangan berbuka, bahkan untuk sekedar takjil. Padahal masjidnya lumayan besar dan jama’ahnya juga sangat banyak. Hmm… mungkin karena itu (jama’ahnya banyak) sehingga panitia kerepotan untuk menyiapkan. Akhirnya saya mencari menu berbuka di luar masjid. Di luar, banyak pedagang yang berjualan aneka macam makanan.

Tarawih dimulai setelah kultum, kira-kira jam 20.00 dan baru berakhir kira-kira jam 21.30 tanpa witir karena witir akan dilaksanakan setelah qiyam la’il jilid dua (fyuuh..). Bacaan surat di sholat tarawih kalau saya perhatikan sepertinya satu juz lebih. Saya tidak bisa menaksir secara pasti karena tarawih selesai di tengah juz dengan waktu yang relatif lama. Kaki saya sampai terasa kemeng (Jawa: pegal, mati rasa).

Setelah selesai sholat, jama’ah dipersilahkan tidur karena akan ada qiyamul la’il lagi pukul 00.30. Sholat jilid dua ini lebih cetar lagi karena bacaannya lebih panjang dan waktunya lebih lama. Bayangkan, sholat dimulai jam 01 kurang dan baru selesai jam 04.00. Masya Allah, 3 jam lebih brooo. Apa gak pada copot tuh baut di kaki? Lah baca doa qunut pas witir terakhirnya saja lebih dari 10 menit, saking panjangnya (alhamdulillah doa qunutnya bukan seperti doa qunut biasa, tapi terdiri dari banyak doa, termasuk mendoakan saudara kita sesama muslim di belahan bumi lain seperti Gaza, Suriah, Irak, Afgan, Myanmar, Pakistan, Uighur, dll). Masya Allah…

Yang menakjubkan adalah, meski bacaan sholatnya panjang dan waktu sholat yang sangat lama, tapi jama’ah antusias mengikuti. Bayangkan, masjid itu hampir penuh dengan jama’ah yang sholat (karena ada juga jamaah yang ikut i’tikaf, tapi tidak ikut sholat malam berjama’ah). Benar-benar cetar nih masjid.

Jama'ah banyak yang mendirikan tenda di selasar masjid

Satu sakelar untuk puluhan hp (tampak bar-bar, haha)


Sayangnya, meski Habiburrahman termasuk masjid yang semarak, tapi kondusifitas masjid kurang terjaga. Banyak hal yang menurut saya harus dievaluasi agar pelaksanaan i’tikaf bisa lebih maksimal ke depannya, diantaranya adalah, pertama, jama’ah terlalu penuh. Menurut saya akan lebih baik jika jumlah jama’ah dibatasi, selain untuk menjaga kondusifitas, juga agar jama’ah bisa i’tikaf di masjid lain sehingga masjid lain juga kebagian semaraknya. Mungkin masjid Jogokariyan bisa menjadi salah satu contoh. Masjid itu membatasi jama’ah i’tikaf 100 orang saja (untuk yang ikhwan, saya kurang tau untuk yang akhwat) sehingga kondusifitas masjid lebih terjaga.

Kedua, terlalu banyak anak-anak. Sebenarnya tidak masalah banyak anak-anak, hanya saja harus ditangani dengan baik. Yang kemarin saya lihat adalah, banyaknya jumlah anak-anak tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik sehingga anak lebih sering bercanda daripada ibadah. Ketiga dan terakhir, kebersihan yang kurang terjaga. Well, ini adalah salah satu konsekuensi membludaknya jama’ah, masjid jadi mudah kotor, terutama bagian belakang (WC dan tempat wudhu). WC dan tempat wudhu masjid Habiburrahman kurang nyaman karena bau dan kotor.

24.   Masjid Istiqlal
Saya di Bandung cuma dua hari. Patut disayangkan sebenarnya mengingat suasana i’tikaf Ramadhan di Bandung yang benar-benar semarak. Sebenarnya saya juga ingin lebih lama lagi i’tikaf di Bandung, tapi karena saya sudah terlanjur beli tiket dan tiketnya tidak bisa dibatalkan, maka akhirnya saya pulang di hari kedua.

Perjalanan dari Bandung ke Jakarta saya tempuh dengan naik kereta. Alhamdulillah saya dapat tiket promo lagi untuk kelas eksekutif, jadi saya bisa turun di Gambir yang bersebelahan dengan Istiqlal. Btw rute kereta Bandung-Jakarta benar-benar indah. Saya terkagum-kagum melihatnya. Ini pertama kalinya saya menempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta naik kereta dan ternyata sangat worth it untuk diulang di kemudian hari.

Karena turun di Gambir, maka saya bisa ke Istiqlal dengan berjalan kaki. Saya sampai di Istiqlal kira-kira jam 15.30 pas adzan Ashar, tapi saya tidak ikut sholat Ashar berjama’ah karena telah saya jamak di perjalanan. Yang saya cari saat itu malah kamar mandi karena seharian ini saya belum sempat mandi. Untunglah ada toilet yang cukup luas dan nyaman untuk dipakai mandi (dan sepertinya memang difungsikan untuk toilet dan kamar mandi).

Selesai mandi, saya sholat tahiyat masjid dan tilawah sejenak, kemudiann istirahat. Ternyata saya ketiduran bablas sampai nyerempet waktu Maghrib. Tepat 5 menit sebelum Maghrib saya bangun dan tepat sesaat setelah saya bangun ada orang yang mengajak berbuka bersama. Ah, nikmatnya hidup, haha.

Istiqlal tampak luar

Istiqlal tampak dalam

Ada sedikit yang berbeda saat sholat tarawih di Istiqlal kemarin. Kalau masjid lain biasanya hanya ada sholat dan kultum, di Istiqlal kemarin ada tambahan tilawah al Qur’an oleh qori nasional. Tarawih juga diimami oleh beliau. Saat itu beliau membaca surat Ar Rahman. Ah, beliau membaca dengan bagus, merdu, dan indah sekali.

Selain itu, ada perbedaan lain yang sangat mencengangkan, yaitu jumlah infaq tarawihnya. Bayangkan bro, satu malamnya jumlah infaq mencapai 33 juta. Masya Allah. Yah, wajar juga sih karena jumlah jama’ahnya juga banyak, mungkin mencapai 10x lipat jama’ah Maskam UGM.

Oya, tarawih di sini dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Saya tidak melaksanakan i’tikaf sampai subuh di sini karena saya dijemput oleh Asep, hehe. Kalau dia batal datang, saya niatnya sih mau i’tikaf, tapi ternyata dia memenuhi janjinya, hehe. 


Home Sweet Home

July 24, 2014

Tangsel Jangan Bikin Sebel


Sungguh Jogja benar-benar bikin iri. Di 10 hari terakhir Ramadhan, masjid-masjid di kota itu memanjakan para jama’ah yang ingin i’tikaf dengan fasilitas-fasilitas yang menarik. Mulai dari kajian, hidangan berbuka, hidangan sahur, qiyamul lail, tahsin, dan fasilitas lainnya. Intinya, mereka yang ingin ibadah/mencari lailatul qodar di 10 hari terakhir Ramadhan difasilitasi dengan baik. Walaupun kebanyakan program i’tikaf itu berbayar, tapi bagi saya tidak masalah selama para jama’ah dipedulikan. 

Berbeda sekali dengan kota tempat tinggal saya, Tangerang Selatan. Yah, saya memang belum survey ke semua masjid yang ada di sini sih, tapi sejauh yang saya tau agak sulit untuk menemukan masjid yang menawarkan fasilitas i’tikaf seperti di Jogja. Jangankan memfasilitasi i’tikaf seperti menyediakan makan sahur, mau masuk masjid untuk i’tikafnya saja sulit, seperti yang saya alami sekarang.

Saat ini saya sedang i’tikaf di masjid Universitas Terbuka. Seorang diri. Well, ini malam kedua saya i’tikaf di masjid UT. Kemarin malam saya juga i’tikaf di sini. Bedanya, kemarin malam saya dapat tempat di dalam ruang utama masjid, kalau sekarang saya di luar ruangan (selasar) karena pintu masjid sudah ditutup. Ah, miris banget. Masjid bagus kayak gini tapi gak semarak.

Kemarin malam saya dapat di ruang utama karena pas kemarin saya datang, takmirnya belum pulang. Jadi saya bisa minta izin dulu kepada takmir. Kalau sekarang, yah karena kesalahan saya juga yang baru datang jam 22.00, sehingga takmirnya sudah pulang dan pintu masjid sudah dikunci. Saya sudah mencoba menghubungi satpam yang berjaga dan minta dibukakan pintunya karena sejatinya saya pun sudah izin kepada takmir, tapi dengan alasan mereka tidak punya kuncinya, maka mau tidak mau saya harus i’tikaf di luar.
Tangerang selatan (sumber : google)

Sebenarnya saya agak curiga sih dengan para satpam karena kemarin saya lihat mereka juga buka kunci pintu masjid berulang kali untuk berpatroli. Artinya, mereka sebenarnya memegang kunci masjid. Well, tapi saya juga tidak bisa menyalahkan satpam karena memang sudah tugas dia untuk menjaga keamanan. Kalau tidak ada perintah untuk membuka kunci, ya memang seharusnya mereka tidak membuka kunci.

Tapi itu bukan menjadi perhatian utama saya. Yang saya sayangkan adalah mengapa masjid-masjid di Tangsel jarang membentuk panitia untuk kegiatan i’tikaf, padahal ini adalah salah satu ibadah yang paling utama di bulan Ramadhan. Kalau di Jogja dan Bandung, kegiatan i’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan tampak sangat semarak. Kapan ya Tangsel bisa seperti dua kota itu?


Ditemani nyamuk-nyamuk genit yang suka cocol-cocol kulit
#Masjid Baitul Ulum Universitas Terbuka

July 18, 2014

Safari Ramadhan #2


Ramadhan telah tiba. Setiap kali tamu agung itu datang, selalu terbayang dua wajah di benak saya. Suka dan duka. Suka karena kebaikan yang berlimpah ada dalam bulan ini. Dan duka karena mengenang peristiwa meninggalnya umi saya.

Well, berbeda dengan Ramadhan tahun lalu dimana saya menghabiskan waktu satu bulan penuh di rumah, Ramadhan tahun ini saya berkesempatan berada di Jogja (lagi).

Melewati Ramadhan di Jogja selalu terasa spesial dan ngangeni (bikin kangen) karena di sini syi’ar Islam benar-benar terasa. Mulai dari kajiannya, imam sholatnya, sampai takjilnya. Bahkan ada beberapa masjid yang menjadi incaran mahasiswa karena menawarkan menu takjil yang sangat spesial. Dan itu gratis, setiap hari!

Selain spesial karena saya berada di Jogja, Ramadhan kali ini juga terasa spesial karena saya mencanangkan program pribadi, yaitu Safari Ramadhan. Saya berkeliling dari masjid ke masjid yang ada di DIY untuk sholat tarawih. Kadang juga i’tikaf sejak sebelum maghrib sampai selesai tarawih (bahasanya agak keren “i’tikaf”, padahal nyari takjil, wkwk). Berikut ini adalah masjid-masjid yang sudah saya kunjungi di 10 malam kedua tarawih:

11.   Masjid Mujahidin UNY
Masjid Mujahidin adalah masjid kampusnya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Seperti maskam-maskam pada umumnya, jama’ah Masjid Mujahidin juga didominasi oleh mahasiswa. Yang cukup menarik adalah, meskipun kampus UNY cukup besar dan jumlah mahasiswanya banyak, tapi pada malam kesebelas saya tarawih di sana, jama’ah yang hadir tergolong sedikit. Jama’ah putranya hanya sekitar 3 shaf. Hmm…apa karena mahasiswa sudah pada mudik sehingga jama’ah tidak terlalu banyak? Tidak seperti Maskam UGM yang memiliki imam seorang qori level nasional (ciye, nyombongin kampusnya), masjid ini diimami oleh mahasiswa. Di masjid ini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum.

12.   Musholla As Salaam Dekat Kost
Selama kost di Wisma Pakdhe, bisa dikatakan sebagian besar saya melaksanakan sholat Jama’ah di Musholla As Salaam ini. Bahkan saya pernah menjadi guru TPA di sini. Meskipun tergolong kecil, tapi saya memilih sering sholat di sini karena pertimbangan rute yang lebih “kooperatif”. Sebenarnya ada masjid Al Ikhlas yang juga dekat dengan kost dan lebih besar, tapi karena rute yang harus ditempuh untuk menuju kesana agak kurang kooperatif, maka saya jarang sholat di sana. Mengapa saya katakan tidak kooperatif? Well, karena untuk menuju Al Ikhlas saya harus melewati rumah-rumah warga yang di sana banyak orang-orang nongkrong  (baik wanita maupun pria) yang menampakkan auratnya.
Nah, saya baru mendatangi musholla ini pada malam kedua belas. Saya memang sengaja menyimpan masjid yang dekat kost untuk situasi mendesak. Seperti saat ini misalnya, saya baru saja menjadi saksi pilpres di Ngaglik. Karena cukup lelah, sehingga saya agak enggan untuk keluar jauh-jauh, makanya saya sholat di tempat yang dekat.
Well, seperti kebanyakan masjid lain, sholat di musholla ini dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum.

13.   Masjid Syuhada Kota Baru
Ini dia masjid cetar lainnya yang ada di Jogja, Masjid Syuhada. Masjid ini terletak di Kota Baru, sebuah wilayah yang dulu dihuni para penjajah Belanda. Masjid ini merupakan “cindera mata” Indonesia untuk Jogja. Jadi, ceritanya dulu Ibukota RI kan pernah ada di Jogja, tapi kemudian dipindahkan lagi ke Jakarta. Nah, untuk mengenang para syahid yang gugur selama masa perang, maka didirikanlah Masjid Syuhada ini.
Saya berkesempatan sholat di masjid ini pada malam ketiga belas. Saya bersama teman kampus saya (Rian) sudah datang sebelum maghrib. Sayangnya tidak ada kajian sebelum berbuka di sini, tapi ada penampilan nasyid entah dari mana, wkwk.

14.   Masjid At Taqwa Minomartani
Masjid At Taqwa Minomartani juga sebenarnya salah satu masjid cetar di Jogja. Masjid ini lumayan besar dengan halaman yang luas. Bahkan masjid ini diresmikan oleh Pak Soeharto. Tapi kedatangan saya ke masjid ini sebenarnya sebuah kecelakaan. Niat awalnya sebenarnya saya ingin ke masjid UIN, tapi berhubung hujan turun dengan derasnya, maka perjanalan saya dan teman saya dibelokkan ke masjid ini.
Di masjid ini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Saat saya hadir, pemateri kultum adalah dr. Probosuseno. Alhamdulillah dapat materi kesehatan yang sangat bermanfaat.

15.   Rumah Galang (Mabit)
Pada malam kelima belas, saya dan teman-teman mengunjungi rumah teman kami, Galang, yang ada di Wonosari (gile bro, safari Ramadhan gw sampe ke Wonosari, hehe). Kami berangkat dari Jogja sekitar jam 5 sore. Harapannya sebenarnya bisa berangkat jam 4 agar bisa sekalian berbuka di rumah Galang, tapi karena ada beberapa yang telat sehingga baru bisa berangkat jam 5. Akhirnya, kami berbuka di perjalanan. Walaupun demikian, kami sudah disiapkan makanan berbuka oleh orangtua Galang di rumahnya, hehe.
Kami baru melaksanakan sholat tarawih di sepertiga malam terakhir. Karena kami tidur larut malam, sehingga kami bangun agak telat. Sepertinya sholat kami belum sampai 11 raka’at karena kalau disempurnakan 11 raka’at tidak akan cukup waktunya, apalagi kami belum sahur.

16.   Masjid Al Ikhlas Dekat Kost
Seperti yang sudah saya katakan di poin ke-12 di atas, saya menyimpan masjid-masjid dekat kost untuk situasi mendesak. Nah, kali ini saya akhirnya memakai opsi tersebut karena badan saya nge-drop akibat mabit kemarin malam. Saat berangkat mabit itu, kondisi badan sebenarnya memang sudah agak nge-drop. Dan keesokan harinya tambah nge-drop lagi ketika teman-teman menceburkan saya ke pantai, padahal sedang turun hujan (pada pagi hari setelah mabit, kami main ke pantai Indrayanti Gunung Kidul). Celakanya lagi, saya tidak bawa pakaian ganti. Jadilah saya pulang dengan pakaian basah. Untung kami naik mobil, sehingga tidak terlalu tersiksa oleh angin.
Nah, karena badan yang nge-drop itu, maka saya enggan untuk keluar jauh-jauh. Jadi saya memilih sholat di Masjid Al Ikhlas. Di masjid ini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum.

17.   SMK N 2 Pengasih
Hari Senin-Rabu, 14-16 Juli, saya dan teman-teman lembaga JAN diberikan amanah untuk membersamai pesantren Ramadhan di SMKN 2 Pengasih, Kulon Progo. Otomatis, tarawih malam ketujuh belas dan kedelapan belas pun saya lalui di sana.
Pada malam ke-17, saya yang berkesempatan menjadi imam tarawih. Sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (termasuk witir, 2 raka’at salam dan 1 raka’at salam) tidak disertai kultum karena para peserta telah mendapatkan materi seharian penuh.
Pada malam ke-18, saya menjadi pengawas para peserta sehingga saya tidak sempat sholat tarawih berjama’ah, melainkan sholat tarawih sendiri. Oya, total pesertanya banyak banget, kalau ditotal mungkin lebih dari 600 orang, padahal panitianya cuma sedikit.

18.   Idem

19.   Masjid Nurul Islam Jalan Kaliurang
Pada malam ke-19 saya tarawih di Masjid Nurul Islam Jalan Kaliurang km 5,5. Di masjid ini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Pada saat itu, kultum diisi oleh Mas Awan Abdullah, yang dulu pernah menjadi peserta kontes da’i di salah satu TV swasta.
Masjid Kampus UGM (sumber : republika.co.id)

20.   Masjid Kampus UGM (Maskam)
Malam ke-20 saya kembali lagi ke Maskam. Saya sengaja ke sini karena besok lusa saya akan meninggalkan Jogja (mudik) sehingga sepertinya ini menjadi kesempatan terakhir saya sholat di Maskam untuk Ramadhan tahun ini. Sebenarnya saya berharap bisa diimami oleh imam yang biasa, yang qori nasional itu lho (halah), tapi ternyata saat itu imamnya bukan beliau.
Pemateri kultum malam itu adalah salah satu ustadz favorit saya, yaitu Ust. Ridwan Hamidi, Lc. Materi yang dibawakan sesuai dengan momennya, yaitu malam Lailatul Qadr’. Beruntung sekali saya bisa datang ke Maskam malam itu karena saya jadi lebih terpantik untuk mencari si Laila (halah).

(bersambung)

#Wisma Pakdhe

July 12, 2014

Safari Ramadhan #1


Ramadhan telah tiba. Setiap kali tamu agung itu datang, selalu terbayang dua wajah di benak saya. Suka dan duka. Suka karena kebaikan yang berlimpah ada dalam bulan ini. Dan duka karena mengenang peristiwa meninggalnya umi saya.

Well, berbeda dengan Ramadhan tahun lalu dimana saya menghabiskan waktu satu bulan penuh di rumah, Ramadhan tahun ini saya berkesempatan berada di Jogja (lagi).

Melewati Ramadhan di Jogja selalu terasa spesial dan ngangeni (bikin kangen) karena di sini syi’ar Islam benar-benar terasa. Mulai dari kajiannya, imam sholatnya, sampai takjilnya. Bahkan ada beberapa masjid yang menjadi incaran mahasiswa karena menawarkan menu takjil yang sangat spesial. Dan itu gratis, setiap hari!

Selain spesial karena saya berada di Jogja, Ramadhan kali ini juga terasa spesial karena saya mencanangkan program pribadi, yaitu Safari Ramadhan. Saya berkeliling dari masjid ke masjid yang ada di DIY untuk sholat tarawih. Kadang juga i’tikaf sejak sebelum maghrib sampai selesai tarawih (bahasanya agak keren “i’tikaf”, padahal nyari takjil, wkwk). Berikut ini adalah masjid-masjid yang sudah saya kunjungi di 10 malam pertama tarawih:

1.       Masjid Krapyak
Malam pertama tarawih saya lewati di Masjid Krapyak. Sebenarnya ini bukan inisiasi saya. Saya hanya diajak teman kampus yang pernah nyantri di sana. Di masjid ini, sholat tarawih dikerjakan 23 raka’at, tiap 2 raka’at salam. Spesialnya, bacaan tarawih di sini adalah 2 juz. Jadi, hari ke-15 (semestinya) sudah khatam (rock). Meski surat yang dibaca sangat panjang, tapi durasi tarawihnya terbilang singkat, dimulai jam 19.30 dan berakhir jam 20.30 (tanpa kultum). Kenapa bisa secepat itu? Ya karena bacaannya yang waz-wuz…

2.       Masjid At Taqwa Swakarya
Masjid ini adalah masjid yang dekat dengan kosan saya. Tempat saya mengajar TPA dulu. Saya memilih masjid ini sebagai tempat tarawih di malam kedua karena alasan kepraktisan saja, hehe, karena besoknya ada UAS dari dua dosen. Makanya perlu persiapan lebih. Di masjid ini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum.

3.       Masjid Balai Kota Jogja
Malam ketiga saya lalui di Masjid Balai Kota Jogja. Tidak diniatkan sebenarnya, hanya karena kebetulan lewat saja. Jadi pas sorenya, saya dan teman-teman buka bersama di salah satu rumah teman kami yang dekat dengan masjid tersebut. Sebenarnya di masjid ini sholat tarawih biasa dilaksanakan 11 raka’at, tapi karena pada malam itu imam yang memimpin sholat adalah imam “cabutan” dan beliau belum tahu berapa raka’at biasanya sholat tarawih dilaksanakan, maka akhirnya ada kesalahpahaman. Jadi, ketika imam sudah salam pada raka’at ke-12 dan mau berdiri untuk melaksanakan raka’at 13-14, beliau diingatkan oleh jama’ah yang ada di belakangnya. Akhirnya tidak jadi dilanjutkan sholat tarawih, melainkan langsung sholat witir. Jadi jumlahnya 13 raka’at, wkwkwk. Padahal suara imamnya bagus lho, mirip dengan suara imam di Nurul Ashri. Oya, di sini juga ada kultumnya.

4.       Kost
Malam keempat saya sholat tarawih di kosan karena besok deadline proposal tesis, padahal saya belum mengerjakan sama sekali. Maka dari itu, biar cepat dan efisien, maka saya sholat sendiri di kost, hehe. Sholat saya laksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam. Tentu gak pake kultum -___-

5.       Masjid Pogung Raya (MPR)
MPR adalah salah satu masjid yang syi’arnya sangat terasa. Proyek dakwah dilakukan oleh teman-teman salafi. Pada malam kelima ini, saya berkesempatan sholat di sini. Sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Jama’ah yang datang banyak karena masjidnya juga cukup besar.

6.       Masjid Jogokariyan
Nah, ini dia salah satu masjid terbaik di Jogja versi saya. Selain syi’arnya yang sangat kencang berhembus (wusss), masjid ini juga memiliki manajemen yang sangat baik. Walau masjidnya tidak terlalu besar, tapi cita rasa dakwahnya benar-benar terasa. Bayangkan, pada hari biasa saja, jama’ah sholat zuhur di masjid ini bisa penuh dan itu bukan penuh karena diisi mahasiswa, melainkan karena warga kampungnya sendiri. Kebayang gimana pas Ramadhan? Salut deh.
Saya datang ke masjid ini bersama teman kost. Kami sudah datang sejak sore untuk mengikut kajian mencari takjilan. Jalan Jogokariyan benar-benar penuh sesak oleh orang yang berjualan dan mencari menu berbuka. Kondisinya seperti Sunday Morning (Sunmor) di UGM, tapi beda orientasi. Kami stay di masjid sejak sore sampai selesai tarawih.
Atas kehendak Allah, pada malam itu, sholat isya, kultum, dan tarawih dipimpin oleh imam dari Palestina. Masih muda sebenarnya, baru 22 tahun, tapi wajahnya sudah menunjukkan usia di atas 30 tahun (no offense). Satu malam itu menyelesaikan satu juz, yaitu juz 30. Sholat baru rampung sekitar pukul 21.10. Lumayan lama karena beliau membaca tidak terlalu cepat. Yang menjadi shock therapy adalah ketika sholat isya, beliau membaca An-Naba dan An-Nazi’at. Benar-benar menjadi ujian dari pengajian Ust. Syathori.

7.       Masjid Kampus UGM (Maskam)
Enam malam berkeliling Jogja, kampus sendiri malah belum didatangi. Maklum lah, di awal-awal, Maskam biasanya selalu padat merayap, makanya saya agak menghindari, hehe. Walau sebenarnya pembicara kultum di malam-malam awal tokcer sangad, sekelas Prof Pratikno (Rektor UGM), Amien Rais, dan Mahfud MD. Di malam ke-7 ini, pembicaranya adalah Prof. Jawahir Tontowi, dosen di UGM juga kayaknya, saya gak begitu kenal. Well, di Maskam sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam). Yang bikin kangen dari Maskam adalah lantainya yang sejuk, imamnya yang merupakan qori nasional, dan muadzinnya yang suaranya cetar membahana, baik kualitas maupun kuantitasnya. Mantap dah UGM, hehe.

8.       Masjid Nurul Ashri Deresan
Masjid Nurash juga menjadi salah satu masjid yang syi’arnya sangat terasa. Salah satu faktornya adalah karena donaturnya yang sangat royal dan loyal. Masjid ini sering sekali didatangi da’i-da’i kondang seperti Yusuf Mansur, Habiburahman, Aa Gym, Syeikh Ali Jabber, Teh Ninih (Aa Gym), dan lainnya. Nah, pada malam saya tarawih di sana, yang menjadi imam sholat isya, pembicara kultum, dan imam tarawih adalah seorang syeikh dari Palestina. Selain sholat dan kultum, saat itu juga diputar film tentang Palestina. Semangat dan kepedihan Gaza benar-benar terasa kala itu.

9.       Masjid Gede Kauman
Masjid Kauman adalah salah satu masjid bersejarah di DIY. Kalau kamu pernah melihat film Sang Pencerah (film tentang K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah), maka kamu pasti tahu masjid ini. Bangunan masjidnya masih sangat klasik, baik bentuk maupun bahan penyusunnya. Tiang-tiangnya adalah kayu jati gelondongan yang sudah berusia ratusan tahun. Benar-benar terasa Jogja-nya. Di sini, sholat dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum.
Saya ke sini bersama teman-teman KKN saya yang laki-laki. Kami sudah datang sejak sore untuk mengikuti kajian mencari takjilan. Hidangan takjilannya benar-benar spesial, nasi sop kambing bro, hehe.
Masjid Gede Kauman (sumber : paketwisatajogja.co.id)

10.   Masjid Al-Mu’min depan Waroeng Steak (WS) Jalan Kaliurang
Nah, ini juga menjadi masjid yang saya kunjungi karena insidental. Sorenya saya buka bersama teman yang kontrakannya dekat situ. Karena waktunya yang sudah mepet, maka kami kemudian tarawih di sana. Tidak seperti masjid-masjid lain yang penuh sesak oleh jama’ah, masjid ini memiliki jama’ah yang sangat sedikit, hanya sekitar belasan jama’ah laki-laki (saya gak tau jama’ah perempuannya berapa, tapi kayaknya sedikit juga atau malah tidak ada). Berbanding terbalik sekali dengan tempat di sebelahnya, yaitu WS. Di WS, ramai sekali orang berkunjung, sedangkan masjid sepi, padahal jaraknya Cuma terpaut 3 meter. Benar-benar anomali.

(bersambung)

#Wisma Pakdhe