February 26, 2014

Postulat Untuk Diingat #5: Bencana Sesungguhnya


Wahai diri, sebaiknya kamu perlu memahami apa sesungguhnya musibah atau bencana itu. Bencana bukanlah ketika abu erupsi Gunung Kelud menghujanimu. Bukan pula ketika kamu kehilangan dompet. Bukan tidak tercapainya cita-cita. Bukan dijauhi teman, kerabat, maupun saudara. Bukan hinaan, permusuhan, fitnah, ataupun boikotan orang lain. Bukan itu semua.

Bencana sesungguhnya adalah ketika kamu mulai kehilangan ibadah-ibadah rutinmu. Meninggalkan sholat berjamaah di masjid. Mungkin awalnya kamu meninggalkan sholat rawatib (sholat sunnah sebelum sholat wajib). Kemudian datang terlambat (menjadi masbuk). Dan akhirnya meninggalkannya sama sekali dengan alasan yang dibuat-buat. Sampai akhirnya kamu merasa nyaman untuk tidak sholat berjamaah.

Musibah sesungguhnya adalah ketika kamu meninggalkan puasa sunnah, sholat tahajjud, dhuha, sedekah. Meninggalkan tilawah Al-qur’an. Membiarkan Al-qur’an kotor berdebu. Meninggalkan kemuliaan majelis-majelis ilmu, nikmatnya bermunajat dan berdua-duaan dengan Allah. Itulah sesungguhnya musibah atau bencana yang sesungguhnya.


Wismpa Pakdhe

February 14, 2014

Hujan Abu Jilid II (Chapter Kelud)


Subuh tadi, ketika akan berangkat sholat Subuh, saya dikagetkan dengan halaman kostan saya yang memutih. “Ah, ini pasti abu dari Gunung Kelud”, saya membatin. Saya menyimpulkan demikian karena tengah malam tadi, teman saya yang sedang berada di Pare (dekat dengan Kediri, lokasi Kelud) sms meminta doa karena di sana sedang hujan kerikil dan abu.

Ketika saya cek melalui internet hp (Speedy kostan saya mati sudah hampir 2 minggu) ternyata memang benar, abu Kelud sampai juga di Jogja. Peristiwa ini mengingatkan saya pada kejadian erupsi Merapi 2010 lalu. Dulu pun saya kaget manakala mendapati halaman kost yang memutih ketika saya hendak berangkat sholat Subuh. Pada malam sebelumnya, memang terdengar suara gemuruh dari Merapi, tapi saya tidak menyangka efeknya akan seperti itu (Jogja terselimuti abu).

Saya yang bukan anak Gunung (tidak ada gunung di daerah asal saya) sama sekali tidak memiliki memori tentang peristiwa erupsi gunungapi. Informasi tentang bagaimana kejadiannya dan apa efek yang ditimbulkan sama sekali tidak saya ketahui, kecuali sangat sedikit. Dan informasi tentang hujan abu ini adalah salah satu efek (info) yang tidak saya ketahui. Maka, begitu hujan abu turun di Jogja pada 2010 lalu akibat erupsi Merapi, saya noraknya bukan main. Kalau diibaratkan, saya mungkin sama noraknya dengan bocah-bocah ingusan yang melompat-lompat di belakang reporter TV yang sedang memberikan laporan. Pagi-pagi sekali, saya ambil sepeda saya dan mengelilingi sekitaran kampus untuk melihat-lihat. “Ternyata putih semua”, kesimpulan norak saya saat itu. “Salju ala Indonesia”, kesimpulan norak saya yang lain.

Berbeda dengan empat tahun lalu, pagi ini saya sudah lebih “dewasa” menyikapi hujan abu kedua saya. Tidak lagi sekaget dan seheboh erupsi Merapi 2010 lalu. Alih-alih sepeda-an berkeliling kampus untuk melihat-lihat, saya berdiam diri di kamar sambil mengingat-ingat kuliah Manajemen Bencana yang sekarang saya geluti. Kalau sedang menghadapi peristiwa seperti ini, saya jadi merasa beruntung bisa kuliah di jurusan ini. Bukan beruntung karena bencananya, tapi beruntung karena saya (insyaallah) akan banyak berguna bagi orang lain.

By the way, di bawah ini ada beberapa gambar hujan abu Kelud yang menimpa Jogja. Foto saya ambil menggunakan kamera saya dengan lokasi di sekitar kostan. Kebetulan kamar saya berada di lantai tiga, jadi view-nya lumayan bagus.

Kita berdoa semoga tidak ada korban jiwa dalam bencana kali ini dan memohon kepada Allah supaya segera didatangkan hikmahnya.


Terlihat abu vulkanik dari Kelud menutupi atap rumah warga dan membuat langit menjadi gelap



Gambar diambil dari lantai 3


 
#Wisma Pakdhe

February 13, 2014

Pendiam? Ya, Memang


Tidak seperti biasanya, forum diskusi pekanan Rabu malam kemarin (12/02/14) tidak diisi dengan materi. Sang pembawa materi menghendaki kami, para peserta diskusi, untuk saling memberi nasihat dan kritikan satu sama lain, tapi tidak melalui lisan, melainkan melalui tulisan. Teknisnya, setiap peserta menuliskan poin positif dan negatif peserta diskusi lain yang jumlahnya tidak lebih dari sembilan orang itu.

Dari beberapa nasihat dan kritikan yang dituliskan para peserta untuk diri saya, saya menangkap setidaknya ada tiga poin utama yang menjadi hal negatif dalam diri ini, yaitu pendiam, pasif, dan kaku. Dari semua poin tersebut, “pendiam” menjadi kata yang paling banyak muncul.
Sumber : medium.com

Hmm… pernyataan mereka bahwa saya adalah pribadi yang pendiam memang sangat benar adanya. Saya tidak menyangkal sama sekali. Sedari kecil, saya memang cenderung tidak banyak omong dan tingkah seperti anak-anak kebanyakan. Kalau anak-anak seumuran saya berjingkrak kegirangan ketika ingin difoto (dulu, foto termasuk barang mewah), maka ekspresi saya biasa saja. Pun begitu ketika bertemu dengan orang-orang dewasa, baik mereka yang sudah saya kenal (misalnya paman/bibi) maupun yang belum kenal (misalnya teman orangtua), saya cenderung tidak banyak omong dan ekspresi.

Saya ingat betul, pernah suatu ketika, saat saya masih SD, bibi saya bertanya kepada saya, “Kok sekarang jarang lewat rumah kalau pulang sekolah”. Biasanya rute pulang pergi saya ke sekolah memang melalui rumah bibi-bibi saya. Dengan malu-malu, saya menjawab “gak apa-apa”. Pertanyaan itu kemudian ditanyakan lagi oleh ibu saya, “Fajar emang gak lewat rumah encing A, B, C kalau pulang-pergi sekolah?”. “Nggak”, jawab saya singkat. “Emang kenapa?”, Ibu saya mengejar. “Abis kalau lewat rumah encing A, B, C pasti ditanya”, saya menjawab jujur.

Jangan dibayangkan pertanyaan bibi-bibi saya itu adalah pertanyaan yang macam-macam, sulit, atau menyakitkan. Tidak. Sama sekali tidak. Yang biasa ditanyakan bibi saya ketika saya lewat sebenarnya hanya pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Baru pulang?”, “Mampir dulu sini”, “Minum dulu sini”. Hanya itu. Ya, hanya pertanyaan sejenis itu. Tapi karena sifat pendiam dan tidak banyak omong yang sudah kadung, saya jadi malas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Makanya saya jadi memilih rute pulang-pergi sekolah yang tidak melalui rumah bibi-bibi saya.

Sifat pendiam dan tidak banyak omong itu semakin menjadi ketika orangtua saya memutuskan pindah rumah ke lingkungan yang lebih sepi ketika saya duduk di kelas empat SD. Meski jarak rumah lama dan rumah baru hanya beberapa ratus meter, tapi perbedaan lingkungannya sangat kentara. Lingkungan di rumah baru itu masih sangat sepi karena berada di daerah persawahan. Alhasil, saya semakin rajin berada di rumah dan semakin jarang berinteraksi dengan orang lain.

Sampai kini, meski tidak se-ekstrem saat masih kecil dulu, rupanya sifat pendiam dan tidak banyak omong saya masih melekat. Setidaknya itu yang teman-teman diskusi saya sampaikan. Akan tetapi, meski sama-sama pendiam, tapi saya menemukan adanya perbedaan antara diamnya saya saat ini dengan sebelumnya. Saya merasa (baru merasa lho, haha) “diam” saya sekarang lebih ideologis daripada “diam” saya yang lalu-lalu. Kalau dulu saya menjadi “pendiam” karena sifat, sehingga dulu saya kurang menyadari bahwa saya sebenarnya adalah pendiam. Kini, saya merasa (lagi-lagi baru merasa lho) saya diam karena saya memang memilih menjadi pendiam. Artinya, saya menyadari betul bahwa saya sedang menjadi pendiam.

Dulu, kalau teman-teman membicarakan sepak bola, setidaknya saya masih senang untuk merespon karena saya sendiri termasuk penghobi bola. Tetapi sekarang, kalau mereka membicarakan hal itu, saya menjadi malas untuk meresponnya karena merasa manfaatnya kurang. “Kalau tim A juara, lalu apa manfaatnya untuk saya?”, “Kalau si B mencetak gol, lalu apa untungnya buat saya?”, pertanyaan-pertanyaan seperti itu kini yang sering hilir mudik di kepala saya. Sehingga saya menjadi semakin irit dalam berbicara.

Akan tetapi, bukan berarti setiap saat saya menjadi pendiam. Ada kalanya saya juga banyak omong. Saya bisa banyak omong kalau sudah menyangkut passion saya. Di luar passion, saya biasanya hanya bicara sekedarnya saja. Apalagi ketika baru bertemu dengan orang asing (belum kenal), biasanya saya hanya bicara kalau ditanya. Sekarang ini, saya mendapati diri saya semakin sulit melontarkan pertanyaan atau membicarakan hal yang sifatnya basa-basi.

Lha katanya mau jadi dosen dan psikolog, kok malah gak suka ngomong?
Nah itu dia yang tadi saya bilang passion. Kebetulan dua profesi itu adalah salah dua passion saya. Jadi saya senang membicarakan hal tersebut.

Kalau saya refleksikan, pilihan untuk menjadi pendiam ini sangat banyak pengaruhnya dari kajian yang sering saya dengar dan datangi. Para ustadz yang sering saya datangi tersebut sangat menekankan untuk menjaga lisan, mengurangi celetak-celetuk, gurauan, basa-basi, dan semisalnya. Karena setiap kali kita bergurau dan orang lain tertawa, maka kita akan ketagihan untuk membuat gurauan lain agar mereka tertawa lagi. Begitu terus hingga kita tidak sadar apa yang kita guraukan mengandung unsur-unsur yang tidak baik, misalnya kebohongan, berlebih-lebihan, menyakiti orang lain, bahkan menjurus ke pornografi.

Alhamdulillah, kini akal semakin sering menggiring saya untuk berefleksi setiap kali nafsu ingin bergurau dan celetak-celetuk, “Manfaat apa yang kamu dapat di akhirat dengan ocehanmu itu?”. Semoga ada hikmah dari semua ini.

#Wisma Pakdhe