June 13, 2014

The Power of Doing Something


Wow… Pressure yang saya rasakan selama 2 pekan kebelakang benar-benar memaksa saya untuk bilang “wow”. Stressor datang bertubi-tubi dengan rupanya yang beraneka ragam. Rupa yang paling dominan muncul tidak lain dan tidak bukan, tentu dalam bentuk “tugas kuliah”.

Ya, selama 2 pekan ke belakang saya benar-benar dibuat mati gaya oleh tugas kuliah. Hampir semua dosen memberikan tugasnya masing-masing. Semua tugas berformat paper. Banyak paper kelompok, tapi ada juga yang individu. Dan semua itu harus dipresentasikan dalam waktu yang berdekatan. Andai saja tugas-tugas itu mengenal aturan muhrim/bukan muhrim, tentu saya sudah melarang mereka untuk berada di waktu yang berhimpit. Tapi karena tidak ada aturan itu, maka saya pasrah saja melihat mereka berkhalwat. Saking dekatnya, kemarin bahkan ada hari dimana saya harus presentasi di semua matakuliah pada hari itu. Edan!

Sekedar refleksi, meski tugas kelompok terlihat lebih ringan karena tanggung jawab bisa didistribusikan ke semua anggota, tapi rupanya hal ini yang paling menyita energi psikologis. Ego yang enggan untuk merunduk dan komitmen yang terpecah belah karena tiap anggota juga punya tugasnya masing-masing, baik individu maupun kelompok, membuat friksi antar anggota menjadi penghias kegiatan kami selama mengerjakan tugas. Untunglah tidak sampai mutung-mutungan. Yah, sudah S2 juga sih, malulah kalau masih suka mutung.

Well, karena kesibukan tersebut, mau tidak mau saya harus mengubah pola hidup dan tidur saya. Mungkin kalau dirata-rata, dalam 2 pekan kemarin saya cuma tidur 3-4 jam sehari. Yah, kadang-kadang bisa “nyolong” tidur di kelas waktu jeda antar kuliah sekitar setengah jam. Meski begitu, tetap saja ada efek sampingnya. Kondisi kebugaran dan kesehatan saya jadi tidak stabil. Saya jadi mudah sekali nge-drop.

***

Meski kurang menyenangkan, tapi saya bersyukur telah diberikan kesempatan mencicipi fase tersebut. Karena fase itu, saya terpantik untuk melakukan satu eksperimen yang teori dasarnya saya dapati sewaktu dulu menyaksikan acara semacam motivasi di televisi.

Narasumber dalam acara tersebut memaparkan materi tentang The Power of Doing Nothing. Well, pada intinya beliau menganjurkan pemirsa untuk tidak melakukan apa-apa ketika kita merasa tak berdaya atau lelah dengan rutinitas kita. Tidak pula memikirkannya. Pokoknya, bebaskan pikiran dan tindakan dari rutinitas tersebut. Jika hal itu (doing nothing) dilakukan, setidaknya 3 sesi perhari (@10 menit), niscaya semangat dan energi anda akan te-recharge kembali. Begitu kira-kira beliau berpromosi, hehe.
Ilustrasi Power (sumber : thebluediamondgallery.com)

Di tengah pressure kemarin, saya mencoba mempraktikan “terapi” itu, tapi dengan sedikit modifikasi. Meski modifikasinya sedikit, tapi hal ini menjadi pembeda yang sangat besar di antara keduanya. Kalau “doing nothing” hanya bernilai dunia (yaitu energi yang te-recharge – itupun baru klaim, hehe), maka terapi modifikasi ini insya Allah bernilai dunia dan akhirat karena selain dapat me-recharge tenaga, juga akan menambah timbangan kebaikan. Saya menyebut terapi ini dengan sebutan “The Power of Doing Something”.

Apa itu?

Well, intinya tetap sama, saya tidak memikirkan dan melakukan apapun terkait tugas-tugas saya, tapi saya mengisi kekosongan tersebut dengan aktivitas yang lain, yang bernilai ibadah. Bukan kemudian diam saja. Aktifitas yang saya lakukan yaitu tilawah (baca al-Qur’an) dan i’tikaf (berdiam diri di masjid).

Tilawah yang saya maksudkan di sini adalah tilawah di luar rutinitas kita. Kalau biasanya kita tilawah sehabis sholat, maka yang saya maksud di sini adalah tilawah di luar itu. Tapi tilawah yang selepas sholat tetap dikerjakan. Jadi agenda tilawah menjadi dua, yang biasa kita kerjakan dan yang terapi “doing something” sehingga jumlah bacaan Qur’an kita (seharusnya otomatis) menjadi lebih banyak dari biasanya. Tilawah ini saya lakukan sebagai metode istirahat. Kalau fisik dan pikiran sudah lelah, maka saya istirahatkan diri dan pikiran dengan tilawah itu.

Sedangkan kalau kondisi saya sudah benar-benar suntuk. Kalau saya sudah tidak tau apa yang harus saya kerjakan dengan tugas-tugas saya, maka yang saya lakukan adalah i’tikaf. I’tikaf yang saya lakukan biasanya tidak terlalu lama, hanya pada jeda waktu antara sholat Magrib dan Isya saja. Itupun tidak terlalu sering, hanya beberapa kali saja ketika kondisi sudah benar-benar stuck.

Dengan 2 metode tersebut alhamdulillah saya dapat melalui 2 pekan yang penuh pressure itu. Hasilnya pun cukup memuaskan. Selain semua tugas dapat dilibas, saya juga mendapat kredit tersendiri dari salah satu dosen atas pekerjaan saya. Alhamdulillah.

***

Saya jadi teringat dengan metode Rasulullah saw dalam me-recharge tenaganya. Beliau yang mulia mengistirahatkan diri beliau dan para sahabat dengan sholat. “Ya Bilal, istirahatkan kami dengan sholat”, begitu sabda beliau yang diriwayatkan dalam hadits Abu Daud dan Ahmad. Artinya, tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Apalagi waktu yang terbuang untuk perilaku dosa. Semua waktu digunakan secara produktif, kalau tidak bekerja, ya ibadah (kerja juga ibadah ding). Masya Allah…


WARNING: Dengan tulisan di atas, saya harap anda TIDAK over-rated dalam menilai saya. Saya tidak sebegitu sholihnya. Apa yang saya lakukan di atas hanya eksperimen. Dalam kondisi biasa (sehari-hari), saya tidak melakukan hal itu, hehehe. Tapi kalau mau didoakan agar saya bisa seperti itu, saya ucapkan jazakallahu bi ahsanil jaza.

Wisma Pakdhe