May 23, 2014

Melankolia Jaka Tingkir-Bogowonto #2 (End)


Hari Kepulangan
Saya sebenarnya tidak biasa naik kereta untuk perjalanan Jakarta-Jogja (pernah saya ceritakan di tulisan yang lalu-lalu). Akan tetapi, karena terminal Lebak Bulus, yang merupakan terminal terdekat dengan tempat tinggal saya, ditutup akibat proyek MRT, saya mau tidak mau harus membiasakan diri untuk naik kereta. Selain itu, belakangan ini jadwal bis juga semakin berantakan karena kondisi jalan dan hal lainnya sehingga waktu tiba di Jogja selalu telat. Padahal hari Senin jadwal kuliah saya sangat padat. Full seharian.

Anyway, kereta saya (Bogowonto) dijadwalkan akan berangkat pukul 18.30. Meski begitu, saya sudah berangkat dari rumah selepas Ashar karena khawatir dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang tidak bisa diperkirakan macet/lancarnya. Adik saya juga hanya bisa mengantar sampai Pasar Jumat karena stasiun Senen terlalu jauh.

Kereta api Bogowonto (sumber : danar1994.blogspot.com)

Well, kondisi jalan sore itu cukup lancar. Menggunakan metromini yang telah disulap seperti transjakarta, saya tiba di Senen masih cukup sore, sekitar 16.45. Sambil menunggu kedatangan kereta, saya buka “mainan” saya yang telah non aktif selama kurang lebih 4 hari. Smartphone memang sengaja saya non aktifkan untuk menghindari pertanyaan para kepo-ers, haha. Dan benar saja, ketika dinyalakan, para kepo-ers itu telah melontarkan pertanyaannya via WhatsApp mengenai misi agung saya.

Walaupun ditodong pertanyaan, saya tidak (atau belum) memberikan jawaban saya sama sekali. Hal ini memang sengaja saya lakukan untuk membuat mereka semakin penasaran, haha (senyum kemenangan). Dan saya rasa hal itu cukup berhasil, wkwkwk.

Ketika waktu sudah memasuki pukul 18.00, saya segera masuk ke peron dan menunaikan ibadah sholat Maghrib yang langsung dijamak dengan Isya. Sekitar pukul 18.15 kereta Bogowonto datang dan langsung disambut hiruk pikuk para penumpang untuk mencari tempat duduk. (Heran juga gw, padahal tiap orang punya nomor kursi sendiri-sendiri, kenapa harus berebutan masuk?).

Perjalanan kami dengan Bogowonto cukup lancar, setidaknya sampai stasiun Cirebon. Setelah stasiun Cirebon dilalui, kira-kira pukul 22.40 kami mengalami kejadian yang mengerikan. Kereta yang kami tumpangi tiba-tiba menabrak sesuatu yang menimbulkan suara dentuman cukup keras dan membuat gerbong saya oleng. Secara refleks saya mengambil tas punggung kemudian menunduk sambil melindungi kepala dengan tas tersebut. Jaga-jaga kalau nanti kereta terguling atau kaca pecah. Selang beberapa detik setelah dentuman, kereta berhenti!!!

Kemudian ada penumpang yang spontan keluar dan berteriak, “Kereta anjlok..kereta anjlok..cepat keluar..”, teriaknya. Intonasi dan cara beliau menyampaikan serta merta membuat semua penumpang panik, termasuk saya. Saya khawatir jika gerbong saya akhirnya terguling juga atau meledak karena tumpahan bahan bakar (ah, terlalu banyak nonton Hollywood nih, tapi emang bau bahan bakar tumpah sih).

Maka saya pun ikut berhamburan keluar bersama penumpang yang lain. Ketika sudah diluar, penumpang yang tadi mengomando kembali berteriak, “Awas, jangan ke sawah. Banyak ular!”. Saya benar-benar bingung dengan komando orang itu. Lha bagaimana mungkin kami tidak ke sawah sedangkan kereta kami memang berhenti di tengah sawah? Aku kudu piye tweeps? :p

Peringatan laki-laki muda itu tidak saya hiraukan. Bukan karena saya tidak takut ular, tapi karena saat itu saya lebih takut kereta meledak daripada ular, hehe. Saya pun segera melihat keadaan sekitar, terutama kondisi kereta. Karena saya berada di gerbong terdepan, maka hal pertama yang bisa saya tengok adalah bagian depan, yaitu lokomotif. Kondisi lokomotif saat itu ternyata sudah terguling. Saya kaget juga. Kalau lokomotif sampai terguling, berarti tabrakannya lumayan parah. Yah, dari guncangan yang saya rasakan memang cukup membuat shock sih.

Setelah melihat bagian depan kereta, saya langsung menuju bagian belakang untuk memeriksa gerbong bagian belakang (udah kayak petugas KAI aja gw) dan mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Saya benar-benar kaget ketika sampai di bagian ekor kereta. Di sebelah kiri gerbong sudah tergolek kepala truk yang cukup besar. Tidak salah lagi, kereta pasti menabrak truk ini. Tapi mengapa cuma ada kepala truknya saja, dimana badannya?

Subhanallah, ternyata badan truk ada di sisi gerbong sebelah kanan. Dengan kata lain, truk terbelah dua!!! Dari ciri-ciri fisiknya, truk ini adalah truk trailer yang biasa dipakai untuk mengangkut mobil-mobil baru, tapi saat itu untungnya truk tidak berisi muatan apa-apa. Kemungkinan truk terbelah di bagian sambungan antara kepala dengan badan. Rasanya tidak mungkin kalau belahan itu ada di tengah badan truk karena itu terbuat dari besi. Meski demikian, tetap saja tabrakan ini tergolong dahsyat karena bisa menjungkirbalikan lokomotif dan membelah truk jadi dua.

Lalu bagaimana dengan kondisi supir truk?

Dari informasi yang berhasil dihimpun, supir truk selamat karena telah lari sebelum truk tertabrak. Jadi ceritanya begini, truk itu sebenarnya mogok di tengah rel. Penjaga pos perlintasan telah memberi tahu masinis bahwa ada truk yang mogok. Tapi karena kereta sedang melaju kencang, maka masinis pun tidak mampu menahan lajunya meski sudah direm. Mengetahui kereta akan segera datang, supir langsung melarikan diri hingga akhirnya truk pun tertabrak kereta.

Meski benturan yang terjadi lumayan keras, tapi alhamdulillah tidak ada korban jiwa yang jatuh. Masinis pun hanya mengalami luka-luka saja. Penumpang juga sepertinya tidak ada yang terluka. Hanya saja dampak terburuknya adalah, kami mengalami keterlambatan yang amat sangat. Di jadwal, kereta seharusnya tiba di stasiun Tugu pukul 03.30 subuh, tapi karena kejadian itu kereta akhirnya baru sampai di Tugu pukul 15.30. Terlambat 12 jam bro!!!

Masih mending jika kami melakukan perjalanan dengan normal. Artinya, bisa duduk dengan tenang dan ada yang bisa dikonsumsi. Sayangnya, akibat tabrakan itu, gerbong saya (gerbong satu) tidak bisa dipakai lagi sehingga seluruh penumpang di gerbong satu diminta untuk mengungsi di gerbong lain. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya kereta ketika gerbong kelebihan muatan. Beruntung saya masih dapat kursi. Penumpang lain banyak yang tidak dapat kursi sehingga mau tidak mau bergeletakan di lantai gerbong.

Selain itu, restorasi (dapur) juga tidak bisa berfungsi normal sehingga tidak ada makanan yang dijual, padahal berdasarkan aturan baru, asongan pun sudah tidak boleh masuk kereta. Jadi, selama lebih dari 15 jam itu tidak ada yang bisa dikonsumsi!!! Pihak KAI sebenarnya membagikan pop mie kepada para penumpang, tapi penumpang diminta untuk menyeduh sendiri pop mie itu di dapur. Dengan kondisi gerbong yang ramai seperti itu, bahkan untuk jalan pun sulit, saya tidak tertarik sama sekali untuk bergerilya mencari air panas di dapur.

Well, perjalanan ini memang penuh drama. Seandainya misi yang saya usung gagal dilaksanakan, mungkin drama itu akan semakin membenamkan kondisi psikologis saya ke titik terendah. Tapi karena misi yang diemban sukses dengan predikat cum laude (halah), maka berbagai drama itu semakin membuat kisah ini tampak heroik dan sangat bernilai untuk diceritakan ke anak-cucu. Ceileh…

Wisma Pakdhe

May 18, 2014

Melankolia Jaka Tingkir-Bogowonto #1


Harus dituliskan. Saya rasa perjalanan pulang saya ke Jakarta sekitar tiga minggu yang lalu harus dituliskan mengingat banyaknya drama yang terjadi dalam perjalanan tersebut. Sejak dari awal pemberangkatan hingga perjalanan kembali lagi ke Jogja. 

Well, 29 April yang lalu saya pulang ke Jakarta. Sebenarnya kepulangan ini tergolong tiba-tiba karena baru direncanakan seminggu sebelumnya. Jadi, seminggu sebelum kepulangan saya mendapatkan misi yang sangat agung dari “Pak Bos”. Misi yang sangat rahasia! Top Secret! Menyangkut dunia akhirat (nah lho). Kalau misi ini tidak segera dituntaskan, maka bisa berdampak negatif bagi banyak pihak. Walau pada awalnya sempat kaget dan ragu, tapi akhirnya saya menerima misi tersebut. Yah, kalaupun saya mengelak saat itu, di kesempatan lain saya toh akan tetap menjalani misi ini juga :p

Jadwal kepulangan saya saat itu sebenarnya agak kurang strategis karena berdekatan dengan hari libur nasional, 01 Mei (Hari Buruh Internasional) yang jatuh pada hari Kamis sehingga Jumat pun menjadi hari kejepit nasional (harpitnas). Biasanya kalau kondisinya seperti ini, tiket kereta akan sulit didapat. Dan benar saja, tiket kereta andalan saya untuk pp Jogja-Jakarta, Progo (hehe), telah ludes terjual. Tiket Bengawan yang harganya sama dengan tiket Progo pun ludes juga. Akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus hunting kereta lain.

Pilihan mengarah pada kereta Jaka Tingkir. Walaupun ini kereta ekonomi, tapi harganya relatif mahal, yaitu dua kali harga Progo, padahal keberangkatannya dari Solo. Meski begitu, waktu keberangkatan dan kedatangannya sangat strategis. Berangkat dari Lempuyangan jam 18.37 dan tiba di Pasar Senen jam 05.00 sehingga saya bisa langsung capcus ke halte busway tanpa perlu lama menunggu apalagi bermalam di stasiun. Akhirnya, saya pinang juga Jaka Tingkir ini.
Kereta api Jaka Tingkir (sumber : merdeka.com)

Selain membeli tiket keberangkatan, saya juga langsung memburu tiket pulang agar tidak kehabisan. Saya merencanakan pulang antara Sabtu atau Minggu (3 atau 4 Mei). Tapi sayangnya semua tiket kereta ekonomi pada tanggal tersebut ternyata sudah laris manis (tentu tidak manis bagi saya). Untung masih ada kereta Bogowonto yang relatif murah. Yah, demi misi agung yang saya emban, urusan harga menjadi prioritas terakhir, hehe.

Fix! Berangkat dari Jogja menggunakan Jaka Tingkir tanggal 29 April. Pulang dari Jakarta menggunakan Bogowonto tanggal 04 Mei.

Di hari-H keberangkatan, saya meminta teman untuk mengantar ke stasiun. Dia sebenarnya bukan teman kost. Saya meminta tolong dia agar motor saya bisa dimaksimalkan selama saya tidak di Jogja mengingat dia baru kehilangan motor dan pasti sangat membutuhkan transportasi tersebut. Selepas Maghrib saya langsung capcus ke kosannya. Dia pun sudah bersiap.

Kami berangkat dari kosan jam 18.10. Sebenarnya masih ada waktu yang sangat cukup untuk perjalanan ke stasiun karena normalnya waktu tempuh perjalanan hanya sekitar 15 menit. Akan tetapi, Allah berkehendak bahwa perjalanan tersebut adalah perjalanan abnormal. Ban motor saya bocor di perempatan lampu merah MM UGM!!! Kalau menunggu ditambal, tidak akan cukup waktunya. Sedangkan di sekitar situ tidak ada ojek sama sekali. Berusaha meredam kepanikan, saya menelepon teman kost untuk minta diantar. Beruntung dia sedang luang dan bisa mengantar.

Jam 18.20 teman kost saya baru tiba di tkp. Saya langsung pamit ke teman yang saya titipkan motor sambil menitipkan uang untuk biaya tambal. Meski masih punya waktu sekitar 17 menit untuk tiba di stasiun, tapi karena sudah dikondisikan dengan kejadian itu, detak jantung saya mulai meningkat tanpa dikomando. Dan keringat semakin membasahi tubuh manakala melihat kemacetan di persimpangan kereta dekat stasiun. Ada kereta yang lewat. “Jangan-jangan, ini keretanya (Jaka Tingkir, pen)”, saya membatin. Untunglah itu cuma sekedar paranoid karena yang lewat ternyata kereta barang.

Tepat jam 18.30 saya tiba di stasiun. Kepanikan berangsur mereda ketika petugas yang berjaga mengatakan bahwa kereta Jaka Tingkir belum datang. Hanya berselang beberapa menit, kereta datang dan sayapun langsung mengambrukan diri di kursi kemudian memikirkan strategi yang jitu untuk menunaikan misi agung esok lusa.

Hari-H (D-Day)
Walaupun eksekusi misi agung baru bisa dilakasanakan hari Kamis, tapi saya sengaja berangkat dari Jogja hari Selasa agar saya bisa istirahat dan survey lokasi hari Rabunya mengingat lokasi pelaksanaan misi tersebut cukup jauh dan saya belum memiliki gambaran sama sekali (ini dari bahasanya kayaknya ngeri banget).

Akan tetapi, rencana tinggallah rencana. Hari Rabu ternyata badan saya nge-drop. Rencana survey terpaksa saya batalkan. “Daripada berantakan pas hari-H, mending istirahat aja deh”, pikir saya saat itu. Maka untuk menyiasatinya, saya minta teman saya yang sudah tau medan untuk mengantar ke lokasi pada hari-H. Beruntung, dia tidak ada kegiatan hari itu dan bersedia mengantar!

Kami berangkat dari rumah pukul 08.00. Misi itu harus saya eksekusi pukul 10.00. Perkiraan teman saya, insya Allah pukul 09.30 sudah sampai di lokasi sehingga masih ada sisa waktu 30 menit yang bisa digunakan untuk istirahat. Ah, rencana yang sangat matang dan strategis.

Akan tetapi, sekali lagi, rencana tinggallah rencana. Harapan untuk tiba 30 menit sebelum eksekusi misi ternyata meleset. Keterpelesetan itu sebenarnya sudah terendus di tengah jalan. Ketika itu, saya heran, mengapa kami bablas terus padahal gapura “Selamat Jalan” dari kota tujuan kami telah terlewati. Tidak mau ambil resiko terlalu besar, saya memutuskan untuk berpindah posisi. Kalau sebelumnya saya yang menyetir, kini gantian saya yang dibonceng.

Beruntung mainan baru (baca: smartphone) saya dilengkapi dengan GPS sehingga saya bisa memaksimalkan fitur tersebut untuk kondisi seperti ini. Saya segera membuka GPS tersebut dan langsung mencari lokasi tujuan kami. Aneh bin ajaib, ternyata kami bergerak berlawanan arah dengan lokasi tujuan kami. Semakin lama semakin jauh. Artinya, lokasi tujuan telah terlewat!!!

Saya langsung meminta teman saya untuk putar haluan dan mengikuti petunjuk GPS. Pukul 09.50 saya sms ke pihak terkait misi ini untuk menjelaskan bahwa saya akan datang terlambat karena masih mencari lokasi. Celakanya, seperti yang sudah saya sebutkan di awal, hari itu adalah Hari Buruh Internasional sehingga banyak sekali buruh yang berdemo saat itu. Perjalanan pun menjadi sangat terhambat karenanya.

Alhamdulillah, pukul 10.20 saya tiba di lokasi. Setelah meminta izin kepada pihak terkait misi untuk istirahat sejenak agar bisa memperoleh ketenangan (ingat bro, ini misi penting, hehe), saya langsung mengeksekusi misi agung tersebut.

Segala puji bagi Allah, misi berhasil dieksekusi dengan lancar dan efektif. Tingkat kesuksesan pun cukup memuaskan. Yah, kalau dikasih skor 1-10, dapat 8 lah kira-kira, hehe. Meski begitu, misi tersebut menghasilkan guncangan yang sangat hebat bagi jiwa saya. Sejujurnya saya mengalami “kegilaan” minimal 2x24 jam setelah misi tersebut.

#Wisma Pakdhe