January 20, 2014

Bencana dalam Teralis

Beberapa hari yang lalu, tepatnya Sabtu (28/9) kita dibuat prihatin atas berita meninggalnya satu keluarga di Jelambar Baru, Jakarta, karena terjebak dalam kebakaran di rumah mereka sendiri. Mereka tidak bisa lari menyelamatkan diri karena panik sehingga tidak bisa membuka kunci gembok terali besi yang sengaja dipasang untuk mengamankan rumah dari pencuri.

Kejadian ini bukanlah yang pertama. Sejak Juni sampai September, tercatat tiga kali kejadian serupa di Jakarta yang merenggut total 13 nyawa. Hal ini menjadi kontradiksi dari manfaat yang seharusnya didapat atas pemasangan terali besi di rumah. Harapan agar harta benda aman dari pencuri justru berujung hilangnya nyawa akibat api.

Ilustrasi kebakaran (sumber : www.alatpemadamapi.co.id)

Dari sini, pemerintah sudah semestinya mengambil tindakan bijak agar tidak ada lagi nyawa yang terrenggut akibat amukan api. Kebebasan warga dalam memasang terali besi di rumah sudah seharusnya dievaluasi. Bahkan rasa-rasanya pemerintah perlu mempertimbangkan opsi pelarangan mengingat bahaya yang ditimbulkannya sangat serius.

Adalah benar bahwa warga bebas dalam menentukan sendiri bagaimana model rumah yang dibangun dan sistem pengamanan yang dirancang karena itu merupakan hak mereka sebagai pemilik tanah dan bangunan. Akan tetapi, jika hak tersebut tidak digunakan dengan bijak dan berpotensi menimbulkan bencana bagi orang banyak, maka pemerintah juga punya hak untuk mengaturnya.

Jika mengacu pada Undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebenarnya pemasangan terali besi secara implisit sudah terlarang. Dalam pasal 32 ayat 1 poin b tertulis bahwa dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah dapat mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap orang atas suatu benda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengingat kebakaran adalah sebuah bencana dan dapat merugikan banyak pihak, maka semestinya pemerintah dapat bertindak tegas mengatur penggunaan terali besi karena selain menyulitkan proses evakuasi korban yang terjebak, kebakaran pada rumah berterali besi juga akan menyulitkan kerja petugas pemadam sehingga api dapat menjalar ke rumah-rumah di sekitarnya.

Sebenarnya ada opsi untuk tetap menggunakan terali, asalkan warga juga harus membuat pintu darurat untuk mengantisipasi kebakaran. Akan tetapi, jika melihat kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang mudah panik ketika menghadapi bencana, maka opsi ini sebaiknya kita lupakan. Di tengah kepanikan, pemilik sering kali lupa tempat menyimpan kunci atau tidak bisa membuka gembok sehingga keberadaan pintu darurat sama dengan tidak adanya. Ada namun tidak ada artinya.

Kepanikan yang sering dialami warga sendiri merupakan buah dari minimnya pendidikan kebencanaan. Mengingat bencana dapat terjadi kapan dan dimana saja, maka sudah sewajarnya jika pelatihan menghadapi bencana diadakan secara rutin. Kalau warga sudah mengetahui dan terbiasa dengan tindakan-tindakan apa saja yang harus diambil ketika terjadi bencana, maka intensitas kepanikan yang berujung pada kesalahan antisipasi akan berkurang.  Masalahnya, warga sendiri seringkali meremehkan pelatihan atau simulasi-simulasi seperti ini sehingga efektivitas pelatihan menjadi tidak maksimal.

Jika opsi pelarangan terali besi benar-benar ditempuh, maka konsekuensi logis yang harus dibayar pemerintah adalah penjaminan keamanan kepada warga. Penggunaan terali besi pada rumah warga sudah sangat jelas mengisyaratkan bahwa warga khawatir dengan keamanan jiwa dan harta bendanya. Fungsi aparat penegak hukum sebagai kepanjangan tangan pemerintah sampai saat ini pun masih disangsikan mengingat semakin hari kejahatan bukannya semakin menurun, tapi justru semakin merebak. Apalagi aparat pun kini “ikut-ikutan” menjadi korban teror penembakan sehingga warga semakin bingung, kepada siapa mereka harus mencari perlindungan.

Revitalisasi Nilai Luhur Bangsa
Kebingungan yang dialami warga dalam mencari perlindungan, terutama warga kota, semakin menjadi-jadi mengingat kepercayaan yang terjalin antar warga juga semakin luntur. Apatisme yang tinggi dalam pribadi warga kota membuat mereka sama-sama skeptis atas jaminan keamanan yang diberikan tetangga masing-masing. Maka, menjadi lumrah jika warga lebih memilih untuk membangun sistem keamanan sendiri.

Budaya kolektif yang menjadi ciri khas orang Indonesia pun semakin jelas tertanggalkan. Keluhuran nilai yang dulu dijunjung semakin hilang dari kepribadian bangsa. Limbung karena dihajar globalisasi. Dan yang paling merana lagi-lagi adalah warga kota karena di sanalah tempat globalisasi mengalir tidak terkontrol.

Ronda yang sempat menjadi sistem keamanan lingkungan yang efektif sekarang sudah semakin ditinggalkan, apalagi dengan mobilitas orang kota yang sangat tinggi. Jangankan menyisihkan waktu untuk lingkungan, ketersediaan waktu untuk keluarga sendiri pun menjadi barang langka nan mewah.

Dalam kondisi seperti ini, revitalisasi nilai-nilai luhur bangsa semakin menjadi urgensi. Budaya gotong royong harus digalakkan karena dengan begitu warga menjadi semakin paham kondisi warga yang lain sehingga simpati muncul dalam diri masing-masing warga. Ketika sambungan-sambungan kesepahaman sudah terjalin, niscaya kepercayaan antar warga akan turut menyertai.

#ditulis 03 Oktober 2013. Dikirim ke Media, tapi tidak dimuat, wkwk

Berantas Korupsi Dari Rumah

Entah mengapa sejak zaman reformasi dimulai, pejabat tinggi negara seperti memiliki hobi baru. Satu persatu dari mereka bergantian menyayat hati rakyat dengan perilaku amoralnya. Dan perilaku amoral paling berbahaya sekaligus paling sering dilakukan adalah korupsi. Hampir semua elemen petinggi negara pernah tersangkut kasus korupsi. Terakhir, pada Rabu malam (02/10) kita dipaksa menghela nafas panjang tatkala mendengar berita bahwa ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, ditangkap KPK.
Sumber : rmolsumut.com

Berita itu benar-benar menghentak bumi Indonesia. Kita tidak menyangka, lembaga yang sejatinya menjadi benteng terakhir penegakan keadilan, justru diketuai oleh seorang hakim bermental korup. Bukan hanya mencoreng wajah MK sebagai lembaga peradilan, perisitwa ini juga membuat luka di hati rakyat semakin menganga hingga rakyat semakin skeptis dan bertanya, masih mungkinkah korupsi diberantas jika pelaku penegak keadilan pun bermental korup?

Sikap skeptis yang muncul dalam diri rakyat memang wajar adanya karena dari ke hari rakyat disuguhkan “drama” tingkat tinggi pemberantasan korupsi yang seolah tak berkesudahan. Semakin diberantas, korupsi bukannya semakin hilang, tapi justru semakin subur berkembang.

Menurut hemat penulis hal itu adalah kewajaran, karena selama ini rakyat terlalu bergantung kepada KPK. Padahal, peran KPK hanya memberantas, sedangkan upaya pencegahan sepenuhnya bergantung kepada rakyat itu sendiri.

Seperti kata Bibit Samad Riyanto, korupsi di Indonesia ibarat gunung es; yang berada di atas permukaan laut hanyalah tindak pidana korupsinya, sedangkan akar masalahnya berada di bawah permukaan air laut. Jadi, seberapapun gunung es di atas permukaan air laut diterabas, tetap akan muncul gunung es baru selama gunung es yang berada di bawah permukaan air laut belum diterabas.

Perilaku korup merupakan manifestasi dari mental yang tidak sehat. Dan agen terdekat pembina mental individu adalah keluarga. Sedari kecil, orangtua sudah semestinya memberikan pendidikan karakter untuk anak-anak demi kemajuan perkembangan kepribadian mereka. Pemupukan karakter yang baik sejak dini akan mempermudah pembentukan sifat dan sikap baik anak.

Peran sekolah, masyarakat, dan negara sesungguhnya hanyalah sebagai pelengkap, sedangkan peran sentral pembentukan karakter anak harus tetap dipegang keluarga. Seberapapun institusi pendidikan aktif dalam mengampanyekan pendidikan karakter, jika tidak ditindaklanjuti dalam keluarga, maka hal itu hanya akan menjadi kesiaan belaka karena walau bagaimanapun keluarga adalah tempat dimana anak banyak menghabiskan waktunya.

Dengan pendidikan karakter kepada anak sedini mungkin, kita berharap ke depannya korupsi benar-benar bisa diberantas sampai ke akarnya sebelum korupsi memberantas rakyat dalam nestapa.

#ditulis 04 Oktober 2013. Dikirim ke Kedaulatan Rakyat, tapi tidak dimuat, wkwk

Bencana di Jalan Raya

Berita tentang kecelakaan maut yang terjadi di Tol Jagorawi Km 8 pada Minggu (8/9/2013) dini hari dan merenggut 7 korban jiwa begitu ramai dibincangkan belakangan ini. Tersedotnya perhatian publik tersebut setidaknya disebabkan oleh dua hal, pertama, karena supir yang menjadi tersangka penabrakan (AQJ) ternyata masih di bawah umur. Kedua, selain di bawah umur, AQJ juga merupakan anak dari pasangan selebritis, yaitu Ahmad Dhani dan Maia Estianty. 
 
Peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi para orangtua untuk tidak memberikan kebebasan kepada anaknya yang masih di bawah umur untuk mengendarai kendaraan bermotor karena secara fisik dan psikologis mereka belum siap untuk berkendara.

Secara fisik, kebanyakan anak-anak di bawah usia 17 tahun, selain belum diperkenankan memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), mereka juga masih belum memiliki fisik yang ideal untuk mengendalikan kendaraan bermotor. Ketidakidealan itu akan membuat keseimbangan mereka mudah terganggu sehingga dapat membahayakan dirinya dan orang lain.

Kalaupun secara fisik mereka sudah ideal, tetapi bukan berarti mereka sudah bisa bebas berkendara karena ada aspek lain yang harus menjadi perhatian, yaitu aspek psikologis. Anak-anak di bawah usia 17 tahun umumnya belum memiliki kematangan dalam berpikir dan cenderung impulsif. Impulsifitas itu ditunjukkan dengan mudah terpancingnya mereka ketika ada pengendara lain yang menyusulnya sehingga tanpa pikir panjang mereka menancap gas lebih kencang lagi agar bisa menyusul pengendara di depannya.

Ketidaksiapan fisik dan psikologis tersebut seharusnya sudah cukup untuk membuat orangtua sadar sehingga mereka tidak memberikan fasilitas kendaraan kepada anak. Sayangnya, pertaruhan harga diri dan gengsi antar orangtua yang dibungkus dengan label “sayang anak”, sangat sulit dielakkan. Orangtua dengan bangga memberikan kendaraan bermotor kepada anak karena mereka melihat orangtua yang lain pun melakukan hal serupa.

Pada akhirnya, muncul permisifitas di tengah masyarakat terhadap penyalahgunaan kendaraan bermotor oleh anak di bawah umur. Permisifitas masyarakat seperti inilah yang membuat anak-anak semakin berani mengendarai kendaraan bermotor, padahal kunci keberhasilan pencegahan penyalahgunaan kendaraan bermotor ada pada masyarakat. 


Kecelakaan Lalu Lintas sebagai  Bencana Sosial
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dapat diketahui bahwa jalan raya merupakan pembunuh nomor tiga di dunia setelah penyakit Jantung Koroner dan Tubercolosis. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Polri, selama 2012 telah terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang (republika.co.id). Angka fantastis ini setidaknya membuat kecelakaan lalu lintas sudah layak untuk disebut sebagai bencana sosial.

Bencana sosial sendiri, berdasarkan Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, didefinisikan sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia.

Tingginya angka kecelakaan lalu lintas dan korban jiwa yang jatuh sudah seharusnya menjadi perhatian semua pihak. Pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sudah seharusnya bersatu padu untuk menekan angka kecelakaan lalu lintas.

Lalu lintas masuknya kendaraan bermotor ke Indonesia sudah seharusnya diperketat. Seperti kita ketahui, Indonesia laksana surga bagi produsen kendaraan bermotor negara-negara maju karena leluasanya importir memperdagangkan produk mereka di sini.  Dalam hal ini, pemerintah memiliki peran penting dalam membuat regulasi agar Indonesia tidak lagi menjadi sasaran empuk para importir.

Selain itu, pemerintah juga semestinya menyediakan sarana transportasi umum yang murah, aman, dan nyaman sehingga masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Buruknya layanan transportasi masal dan mudahnya memperoleh kendaraan bermotor selama ini ditengarai sebagai biang keladi permasalahan transportasi di Indonesia.

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga semestinya mampu bertindak tegas dalam menindak para pelaku penyalahgunaan kendaraan bermotor. Akan tetapi, patut diakui bahwa sampai saat ini kita masih skeptis dengan efek jera dari hukuman yang diberikan. Perilaku oknum aparat yang korup, yang mudah menegosiasikan hukum, membuat efek jera baru sebatas hayalan.

Terakhir, masyarakat juga harus mampu menahan diri dari sikap konsumtif sehingga tidak mudah tertarik untuk membeli kendaraan bermotor. Kita kadang mengelus dada melihat satu keluarga yang setiap anggotanya memiliki kendaraan sendiri, padahal mereka masih bisa berbagi kendaraan dengan anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu, egoisme harus dikesampingkan dan budaya menggunakan transportasi umum harus dibangun.

#ditulis pada tanggal 04 September 2013. Dikirimkan ke Media, tapi tidak dimuat, wkwk

January 12, 2014

It's True Great


Ada dua kabar gembira yang saya dapat seminggu ini. Kabar pertama dari perkuliahan. Paper yang saya buat untuk tugas matakuliah Kebijakan dan Kelembagaan dinobatkan menjadi salah satu yang terbaik di kelas. Tidak hanya itu, paper saya bahkan dijadikan acuan penulisan untuk tugas matakuliah tersebut. Artinya, semua teman seangkatan di prodi saya akan membaca dengan seksama paper itu. Prof. Purwo, pengampu matakuliah ini, bahkan memberikan kredit tersendiri atas paper tersebut. Berikut adalah email yang dikirimkan oleh Prof. Purwo kepada kami: 

"Peserta kuliah Kebijakan dan Kelembagaan ysh Dalam komentar umum yang telah saya sampaikan, saya mengatakan bahwa sebagian besar makalah yang disusun para peserta tidak mengacu pada referensi yang memadai, terlebih referensi dalam bisang kebijakan dan kelembagaan. Sehubungan dengan komentar itu, saya menemukan setidaknya satu yang terkecuali, yakni naskah ini. Ini adalah contoh naskah yang mengacu pada literature tentang proses pelembagaan. Dengan acuan yang relatif banyak, mas Fajar tetap mengekspresikan gagasannya dengan baik. Hanya saja, bagian pengantarkan agak bertele-tele. Selamat buat mas Fajar. Bagi peserta yang lain: Selamat mengambil inspirasi dari tulisan mas Fajar. Salam Purwo Santoso."

Saya senang. Bukan karena saya bisa menjadi yang terbaik, tapi karena saya bisa memberikan manfaat untuk orang lain. Sebelumnya, kami semua bingung atas maksud Prof. Purwo. Termasuk saya! Ketidakfamiliaran cara beliau dalam menyampaikan materi saya rasa menjadi faktor utama yang mendatangkan kebingungan tersebut.Oleh karena ketidakpahaman instruksi itulah, akhirnya kami semua gagal memenuhi ekspektasi beliau seperti yang beliau paparkan dalam email di atas.

Saya sendiri sebenarnya tidak menyangka jika paper saya mendapat kredit sebagus itu. Saya hanya berusaha menuliskan apa yang beliau inginkan. Oleh karena itu, sebelum menulis tugas tersebut, saya berusaha mengerti dulu apa yang benar-benar beliau ekspektasikan. Maka saya pun bertanya kepada teman-teman sekelas. Hampir sepertiganya saya tanyakan. Anehnya, semakin saya tanya, saya justru semakin bingung. Tidak puas dengan itu, saya mencoba bertanya kepada Bang Iyeng, maestro Sospol yang saya kagumi. Yang saya tanyakan bukan tentang tugas, tapi tentang matakuliah dan cara Prof. Purwo mengajar. Apa sebenarnya esensi dari kuliah tersebut dan bagaimana “kemauan” Prof. Purwo kepada mahasiswanya. Dari situ, mulai tersingkaplah kabut-kabut yang selama ini menutupi.

Setelah bertanya kepada teman sekelas dan Bang Iyeng, selanjutnya saya kumpulkan bahan-bahan tentang kelembagaan. Prof. Google sangat membantu saya dalam hal ini. Untungnya, saya juga menemukan satu makalah yang khusus membahas kelembagaan dalam hal kebencanaan. Berulang-ulang kali saya baca paper tersebut untuk memahami isi dan alur berpikirnya. Setelah benar-benar paham, barulah saya menuliskan paper saya. Dan hasilnya dapat dibaca dari petikan email di atas. Alhamdulillah :-D

Akan tetapi, “great” yang Prof. Purwo berikan bukanlah yang ultimate bagi saya kala itu. Meski patut diakui bahwa hati ini sempat tercuri karenanya, tapi tidak lama setelah itu ada “great” lain yang lebih “digdaya” yang mampu menyingkirkan “great” Prof. Purwo dari hati. “Great” yang membuat kegembiraan saya benar-benar meledak minggu lalu adalah mimpi tentang Umi.

Ya, mimpi tentang Umi. Dalam mimpi tersebut, paman saya menyampaikan kepada saya bahwa makam Umi akan dipindahkan. Saya diminta datang untuk menyaksikan pemindahan makam tersebut. Ketika makam telah digali, saya melihat jasad Umi ternyata masih utuh. Bahkan tidak hanya utuh, tetapi juga kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, dalam mimpi tersebut saya juga mendapat ilustrasi makam Umi dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Masya Allah…

Saya yakin ini adalah pertanda baik. Ini adalah mimpi yang baik. Saya meyakininya karena saya memulai “prosesi” mimpi itu dengan baik. Saya mengawali tidur saya dengan baik. Membersihkan dan menyucikan diri sebelum tidur. Menyikat gigi dan berwudhu. Tidak lupa membaca do’a, lalu membaringkan posisi tubuh saya ke arah kiblat, sesuai dengan sunnah Rasulullah saw. Saya juga menjadikan suara Tilawah Al-Qur’an Syaikh Sudais sebagai pengantar menuju alam mimpi sampai akhirnya Allah menakdirkan saya bertemu dengan mimpi tersebut. Ah, semoga ini memang benar-benar pertanda baik buat Umi saya.

Seminggu sebelumnya, saya menitipkan doa kepada Mas Firman, seorang kawan dari Bandung, yang akan berangkat umroh. Doa yang saya titipkan ada dua, salah satunya adalah doa untuk kebaikan Umi saya. Mungkinkah mimpi itu adalah tanda dari Allah swt bahwa doa tersebut ter-ijabah? Wallahu ‘alam.

#Wisma Pakdhe