December 28, 2014

Who am I? #1

Dulu saya pernah menjalani wawancara dengan seorang psikolog sebagai salah satu ujian masuk di perusahaan BUMN. Beliau bertanya kepada saya, apa yang menjadi kekurangan saya. Saya menjawab, kekurangan saya adalah saya mudah terpengaruh. “Terpengaruh bagaimana maksudnya?”, beliau menyelidik. “Iya, saya mudah terpengaruh. Contoh sederhananya begini, saya ingin beli sepatu dan tidak tau harus membeli yang mana. Kemudian saya bertanya kepada penjaga toko, sepatu mana yang bagus. Dia menunjuki sepatu sambil menerangkan kelebihannya kepada saya. Maka saya akan cenderung memercayai omongan si penjaga toko itu kemudian membeli sepatunya”, saya menjelaskan. “Oh, tapi tidak mudah terpengaruh dalam urusan yang lebih prinsip?”, tanya beliau lagi. “Kalau yang prinsip saya tidak mudah terpengaruh”, jawab saya.

Who am I? Siapa saya? Pertanyaan ini pertama kali saya dapati ketika saya mengikuti ospek di Psikologi. Dulu saya menjawab sekenanya, hanya untuk memenuhi syarat agar tidak dikenai sanksi karena tidak mengerjakan tugas ospek. Dan pertanyaan yang sama kembali saya dapati hampir di tiap proses kaderisasi dari organisasi yang saya ikuti. Who am I? Siapa saya? Jawaban saya rasanya masih tidak jauh berbeda dengan jawaban ketika ospek dulu, hanya sekedar formalitas untuk memenuhi tuntutan tugas saat itu.

Kini pertanyaan itu kembali mengusik alam berpikir saya, tapi bukan karena orang lain yang menanyakan, melainkan saya sendiri. Who am I?

Entah mengapa saya jadi tertarik untuk menyelidiki dan mengenal lebih jauh diri saya sendiri. Apakah karena sudah lama saya tidak belajar psikologi sehingga kehausan? Atau karena ini memang merupakan kebutuhan manusia untuk mengenal dirinya? Artinya, ini memang salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Ah, entahlah. Saya tidak mau berpikir yang ruwet-ruwet dulu karena pikiran saya pun sedang ruwet dengan tesis. Dalam tulisan kali ini, saya hanya ingin membedah diri saya sendiri. Siapa saya?

Ketika dihadapkan pada pertanyaan tersebut, orang-orang biasanya menjawab dengan menyebutkan profesi, kedudukan, ciri sifat, cita-cita atau menjawabnya berdasarkan tinjauan agama. Tidak ada yang salah dengan jawaban-jawaban itu selama dijawab dengan jujur. *ini kayak mau ngasih kuesioner aja, haha. Saya sendiri kali ini lebih menjawab dengan ciri sifat yang melekat pada diri saya.

Satu hal yang belakangan saya sadari bahwa saya ini termasuk orang yang mudah terpengaruh. Saya mudah percaya kepada orang lain. Ya, seperti yang sudah saya ceritakan di awal tulisan, saya begitu mudah terbawa omongan orang, apalagi omongan mereka yang baru saya kenal. Saya seperti tidak menaruh kecurigaan. Entah apa sebabnya, tapi yang pasti hal ini kadang cukup mengganggu karena tidak jarang saya ditipu. Saya seolah lupa, bahwa dunia ini dihuni oleh dua tipe manusia, yaitu mereka yang baik dan jahat. Saya terlalu naïf sehingga menyangka semua orang itu baik. Apalagi kalau tampilannya sudah mencerminkan bahwa dia itu baik. Ah, makin lemahlah pertahanan saya. Makin mudahlah saya dibodohi.

Sifat mudah terpengaruh ini tidak hanya melalui omongan sebenarnya, tapi juga melalui tulisan. Ketika saya membaca buku A, maka pola berpikir saya akan sangat mudah terbawa dengan pola berpikir penulis A atau isi dari buku A. Beralih ke buku B, maka pola berpikir saya juga bisa dengan mudahnya switch to penulis B. Bahkan tidak hanya pola berpikir sebenarnya, tapi juga gaya menulis. Ketika saya membaca buku A, maka gaya menulis saya juga bisa terbawa dengan gaya si penulis buku A. Edan!

Sisi positifnya, saya merasa memiliki kemampuan replikasi yang cukup baik. Replikasi yang saya maksud di sini bukanlah menyontek atau plagiasi isi/ide, tapi hanya sekedar gaya penulisan. Style. Akan tetapi sisi negatifnya saya seperti mengalami krisis identitas. Saya tidak punya orisinalitas. Sesuatu yang mencirikan bahwa “inilah saya” karena apa yang saya tunjukan sebenarnya adalah “punya” orang lain.

Dalam lingkup yang lebih luas, saya merasa sampai saat ini saya hanya bisa menjadi pengekor, bukan inovator. Pengikut, bukan pencetus. Jiwa saya bukan seperti jiwa-jiwa para penemu yang punya ide-ide orisinil. Ah, padahal saya ingin sekali menjadi penemu. I wanna be an inventor.


“Ya Allah, hamba berlindung pada-Mu dari pengaruh-pengaruh yang tidak bermanfaat bagi dunia & akhirat hamba”

Wisma Pakdhe

November 30, 2014

Kisah Klasik Pengondisian


Tulisan saya yang pernah dimuat di Kompas, 21 Mei 2010 tentang kasus penangkapan Susno Duaji.
 
Suara nyanyian Susno mungkin begitu paraunya, sehingga membuat telinga Polri kesakitan mendengarnya. Ruang khusus pun mereka siapkan untuk Susno, agar suara nyanyiannya tidak terdengar lagi sampai ke luar atau bahkan membuatnya tidak bernyanyi sama sekali. Ruang itu bernama penjara.
Dalam ilmu Psikologi, dikenal istilah classical conditioning (pengkondisian klasik), yaitu sebuah upaya pembentukan perilaku melalui stimulus yang terkondisikan. Contoh sederhananya, orang yang semula tidak takut berjalan melewati kuburan pada malam hari, setelah diperlihatkan film-film horor tentang hantu kuburan, maka ia menjadi takut. Upaya pembentukan perilaku dengan cara pengkondisian seperti ini terbukti cukup ampuh dalam beberapa kasus. Bisa jadi, Polri pun, (entah disengaja atau tidak), telah melakukan pengkondisian klasik atas penahanan Susno baru-baru ini.
Susno Duadji (sumber : tribunnews.com)
 Tindakan Polri yang menggelandang Susno saat ia sedang berkobar-kobarnya membongkar praktik kejahatan di tubuh Polri, menyiratkan pesan bahwa orang yang “macam-macam” dengan institusi penegak hukum tersebut akan celaka, dalam kasus ini dipenjara. Sehingga, masyarakat (terutama rakyat kecil) yang sebelumnya minder, semakin dibuat ketakutan berurusan dengan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, penangkapan ini juga menyebabkan masyarakat ketakutan membongkar praktik kejahatan di institusi-institusi lainnya, karena ancaman pemenjaraan tersebut.  Alhasil, kita semakin skeptis dengan upaya penegakan hukum di negeri ini. Bagaimana hukum mau ditegakkan, sedangkan orang yang menyuarakan kebenaran saja dipenjarakan?
Sikap lain yang juga muncul akibat “penangakaran” ini adalah perasaan tertipu atas jargon Polri yang berbunyi “melindungi dan melayani masyarakat”. Jangankan melindungi dan melayani masyarakat, stafnya sendiri pun belum mampu dilindungi dan dilayani. Atau mungkin penangkapan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan Polri atas ancaman pembunuhan Susno Duadji? Mungkin Polri takut “staf terbaiknya” itu benar-benar dibunuh jika dibiarkan berkeliaran di luar, sehingga mereka perlu “mengamankannya”.
Memang, penangkapan Susno yang dituduh menerima suap Rp 500 juta dalam kasus penangkaran ikan arwana PT Salmah Arawana Lestari bisa dibenarkan (selama tuduhan-tuduhan tersebut dapat dibuktikan). Tetapi, apakah juga dapat dibenarkan jika penangkapan ini pada akhirnya menutup kotak pandora yang telah terbuka? Menurut hemat penulis, memberikan kesempatan kepada Susno untuk bernyanyi lebih lama adalah lebih bijak daripada terburu-buru menangkapnya. Dengan begitu, sangat mungkin Polri akan mendapatkan tangkapan yang lebih banyak dan lebih besar. Tapi apa boleh buat, telinga Polri sudah kadung dibuat merah olehnya dan pengkondisian terlanjur terlaksana.
Meski begitu, seberapapun efektifnya pembentukan perilaku melalui pengkondisian ini, tetap akan ada fase dimana masyarakat akan kebal terhadap berbagai ancaman, baik itu pemenjaraan, pembunuhan, pengucilan, maupun ancaman lainnya, sehingga tidak akan menghalangi mereka untuk menyuarakan kebenaran di depan publik. Fase itu disebut extinction. Tidak bisa diperkirakan kapan waktu terjadinya fase ini, tetapi kemunculannya merupakan keniscayaan. Kita tunggu saja.

September 28, 2014

Postulat Untuk Diingat #6: Antara Ujian dengan Teguran


Beberapa pekan yang lalu saya berdiskusi dengan Mas Firman, seorang kawan dari Bandung yang sangat hobi berkontemplasi. Materi diskusi adalah seputar permasalahan yang sedang saya alami. Saya bingung mengklasifikasikan masalah tersebut, apakah itu termasuk teguran dari Allah atau ujian?

Baik, agar lebih mudah akan saya berikan contoh sebagai ilustrasi. Misalnya saya berencana ingin melamar kerja menjadi dosen. Begitu lamaran diterima, ternyata ada beberapa kendala yang saya hadapi, mulai dari jadwal mengajar yang ternyata berubah dari jadwal yang sebelumnya disepakati, kesepakatan gaji yang berubah, dan kendala lainnya. Saya bingung, apakah ini teguran dari Allah agar saya sebaiknya membatalkan pekerjaan tersebut karena kemungkinan akan ada suatu hal yang berbahaya. Atau ini hanya ujian dari Allah guna membuktikan keseriusan saya untuk melanjutkan prosesnya?
Ilustrasi ujian (sumber : pixabay.com)

Mas Firman kemudian bertanya kepada saya, apa bedanya ujian dengan teguran? Saya jawab tidak tahu. Beliau kemudian menjelasakan bahwa sesuatu dikatakan teguran jika awal mula sesuatu tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak baik. Sebaliknya, sesuatu akan dikategorikan ujian jika awal mulanya dilaksanakan dengan cara yang baik.

Jadi, dalam kasus di atas, masalah yang saya hadapi selama proses menuju menjadi dosen itu dikatakan sebagai teguran jika saya mengawalinya dengan menyuap, curang/menyontek selama tes, meniatkan untuk hal yang tidak baik, dan sebagainya. Tapi jika semua cara dan niat kotor tersebut tidak dilakukan, maka hal itu sangat mungkin hanyalah ujian dari Allah.

Untuk apa Allah menguji? Mas Firman menambahkan, Allah menguji untuk meningkatkan kompetensi yang sampai saat ini kurang pada diri kita. Dalam kasus di atas, kita dihadapkan pada masalah berupa jadwal mengajar yang berubah dari kesepakatan awal, maka itu adalah ujian untuk meningkatkan kompetensi negosiasi kita karena selama ini kita memiliki kelemahan dalam hal tersebut. Begitu menurut perspektif Mas Firman.

Maka menjadi penting bagi kita untuk pandai-pandai dalam memilah dan memilih, mana masalah yang berupa teguran dan mana yang ujian agar kita tidak terombang-ambing dalam kebimbangan sehingga salah dalam mengambil keputusan.

“Wahai Dzat Yang Maha Baik, tunjukkan kepada kami jalan-Mu yang lurus menuju Jannah-Mu. Jikalau harus berguru, tunjukkan kepada kami kepada siapa kami harus berguru. Jikalau harus membaca buku, tunjukkan kepada kami buku yang mana yang harus kami baca. Jikalau harus berkawan, tunjukkan kepada kami kepada siapa kami harus berkawan. Agar kami tidak tersesat, Ya Rahman”


#Wisma Pakdhe

September 7, 2014

Kajian Jelajah Hati 07 Januari 2010


Kajian Jelajah Hati
Tempat : Pesantren Mahasiswi Daarush Sholihat
Pemateri: Ustadz Syatori Abdurrouf
Hari/Tanggal: Kamis, 07 Januari 2010
Tema: Sakaratul Maut (Tafsir Surat Al-Fajr)

Hidup adalah pilihan. Amal-amal kita selama hidup di alam fana, adalah pilihan untuk hidup kita di alam baqa. Surat Al-Fajr menghadirkan dua pilihan untuk kita. Pertama, “Aduh, kalau saja aku mengerjakan (kebaikan untuk hidupku ini” (al-Fajr: 24). Kedua, “Wahai jiwa-jiwa yang tenang..” (al-Fajr: 27-30).

Dari situ, kita harus mulai memahami apa itu makna “penting”. Sesuatu dikatakan penting manakala memberikan manfaat untuk hidup kita sesudah mati. Dengan demikian, menonton sepak bola, sinetron, main game, dan sebagainya tidak bisa diklasifikasikan sebagai hal yang “penting”.
Ilustrasi ketaatan (sumber : saidnursi.de)

Hidup ini cuma sekejap, tapi beresiko. Karena itu, hiduplah untuk kematianmu dan matilah untuk kehidupanmu agar saat Dia Yang Maha Hidup mematikanmu, membuatmu merasakan hidup yang sesungguhnya.

Hidup ini cuma sekali sehingga tidak mungkin jika kita mengelolanya dengan manajemen untung-untungan. Kematian tidak hanya merenggut mereka yang sudah renta, tetapi juga mereka yang masih muda. Kematian itu diawali dengan sakaratul maut. Berikut adalah anatomi sakaratul maut:
1.       Akal dan ingatan tidak bisa bekerja. Yang bekerja adalah alam bawah sadar kita.

2.       Setan akan berdatangan menggoda dengan sekeras-keras godaan. Misalnya, setan akan datang dalam rupa orangtua kita, lalu membisikkan kata-kata manis sehingga seseorang tidak mengingat Allah Swt.

3.       Rasa sakit yang amat sangat, seolah-olah ditusuk-tusuk oleh 300 pedang. Dalam riwayat lain, tubuh ini seperti dililit oleh kawat-kawat berduri. Kawat ini menusuk hingga daging, lalu kawat itu ditarik dari atas kepala.

Kajian Anatomi Pertama
Alam bawah sadar kita akan bekerja sesuai dengan apa yang paling kita senangi selama hidup ini. Seperti halnya mimpi, apa yang kita impikan adalah kesenangan saat kita terjaga. Barangsiapa yang selama hidupnya senang berwudhlu, maka saat sakaratul maut nanti Allah sibukkan dia dengan kesucian. Kata-katanya akan dijaga oleh Allah hanya untuk mengucapkan kebaikan.

Siapapun yang sepanjang hidupnya cinta membaca Al-Qur’an, maka di kala sakaratul maut nanti Allah sibukkan lisan dia membaca Al-Qur’an.  Barangsiapa yang selama hidupnya selalu membasahi lidahnya dengan Dzikrullah, maka saat sakaratul maut nanti Allah pun akan basahkan lidahnya dengan Dzikrullah.

Barangsiapa yang selama hidupnya selalu lapang dada, maka Allah lapangkan dada dia di kala sakaratul maut nanti. Ketika dia menyadari malaikat maut datang, dia akan tenang-tenang saja. Barangsiapa yang sepanjang hayatnya selalu takut kepada Allah, maka Allah lepaskan dia dari segala rasa takut di kala sakaratul maut. Barangsiapa yang selama hidupnya selalu memendam rindu kepada Allah, maka Allah akan jadikan saat-saat sakaratul maut sebagai saat-saat paling indah dalam hidupnya.

Begitu pula, barangsiapa yang selama hidupnya menyibukkan diri dengan kesenangan dunia, maka di kala sakaratul maut nanti, dia merasakan pedihnya berpisah dengan dunia yang disenanginya. Siapa yang hidupnya dibuai oleh kelalaian, maka Allah akan lalaikan dia dari mengingat Allah di kala sakaratul maut nanti. Allah tidak ridho nama-Nya disebut saat sakaratul maut.

#Wisma Pakdhe

August 26, 2014

Kelas Eksekutif? Biasa Aja...


“Kelas eksekutif hanya untuk mereka yang bermental eksekutif. Walaupun penghasilan anda belum setara eksekutif, tapi setidaknya ubahlah mental anda untuk menjadi eksekutif dengan memesan tiket kelas eksekutif” (Anonim)

Saat mudik Lebaran kemarin, saya dapat tiket promo kereta api eksekutif. Potongan harganya benar-benar miring, tapi tentu tidak semiring pemikiran Ulil Abshor yang mengatakan bahwa semua agama sama. Harga tiket eksekutif yang normalnya berkisar 300 ribu lebih, saya dapatkan hanya dengan harga 99 ribu rupiah saja. *tawa pendekar*

Tiket kereta yang saya pesan saat itu adalah Argo Wilis jurusan Bandung. Lah kok ke Bandung? Yup, karena saya ada misi pribadi di Bandung selama beberapa hari. Sebenarnya ada kereta yang langsung ke Jakarta (Gambir), tapi karena misi ini sudah lama saya rencanakan, maka saya rela untuk tidak mengambil tiket Taksaka dan kawan-kawannya tersebut (kereta eksekutif, red), hehe.
Ilustrasi interior kereta api eksekutif (sumber : wikimedia.org)

Well, di sini saya akan berbagi pengalaman naik kereta eksekutif tersebut. Bukan bermaksud norak, tapi hanya sekedar membandingkan perbedaan antara ketiga kelas kereta yang ada dan pernah saya tumpangi, yaitu kelas ekonomi, bisnis, dan eksekutif. Mudah-mudahan bisa menjadi referensi bagi kita untuk memilih kereta yang sesuai.

Oke, mari kita mulai mengingat-ingat (saya agak lupa, hehe). Pertama, orang banyak mengatakan bahwa kereta eksekutif lebih nyaman daripada kereta bisnis, apalagi ekonomi. Untuk yang satu ini saya tidak bisa mengelak karena anggapan tersebut memang benar adanya. Mulai dari kursi, di kereta ini kursi di-desain seperti kursi bis (privat), satu arah (maksudnya tidak berhadap-hadapan seperti kursi di kelas lain), jarak antar kursi yang lumayan luas (nyaman untuk selonjoran *apa bahasa baku selonjoran?*), dan disediakan pijakan kaki yang bisa diatur ketinggiannya. Selain itu, ada juga petugas (on train cleaner?) yang intens membersihkan gerbong selama perjalanan (mengambil sampah, menyapu, dll) sehingga semakin menambah kenyamanan kereta ini. Well, di kelas lain juga sebenarnya ada petugas yang serupa, tapi di kelas eksekutif intensitas kedatangan petugasnya lebih tinggi sehingga kereta lebih sering dibersihkan.

Hmm…sebenarnya agak janggal juga sih, kereta eksekutif kan biasanya diisi oleh orang kelas atas dengan jumlah penumpang yang cenderung lebih sedikit, tapi mengapa justaru lebih sering dibersihkan daripada kereta ekonomi? Secara logika, semestinya (dan memang faktanya) kereta ekonomi yang harus lebih sering dibersihkan karena penumpangnya lebih banyak sehingga lebih cepat kotor.

Kedua, waktu tempuh yang lebih singkat karena kereta ini didahulukan daripada kereta lain. Saya kemarin sempat mencatat kereta yang saya tumpangi berhenti sebanyak lima kali di Purworejo, Kroya, Banjar, Tasikmalaya, dan Cipeundeuy. Durasi pemberhentian di masing-masing titik berkisar antara 15-20 menit. Artinya, ada waktu tunggu sekitar 75-100 menit selama perjalanan. Selain itu, kereta juga telat sekitar 30 menit dari jadwal. Seharusnya kereta tiba di Stasiun Bandung pukul 18.44, tapi ternyata baru sampai pukul 19.15. Dengan begitu, waktu tempuh bukan menjadi sesuatu yang spesial dari kereta eksekutif karena nyatanya tidak jauh berbeda dengan kereta bisnis dan ekonomi.

Saya juga banyak mendengar anggapan bahwa kereta eksekutif lebih halus (smooth) dan tidak berisik. Kenyataan yang saya dapati adalah kereta ini tidak jauh berbeda dengan kereta kelas lain karena suara gesekan antara rel dengan roda kereta masih sangat terasa dan terdengar kasar di telinga. Agak absurd juga kalau orang bilang tidak terdengar suara gesekan, emangnya kereta Sinkansen? Selama rel dan roda bergesekan, pasti ada suara gesek yang ditimbulkan.

Fasilitas lain yang cukup membedakan kereta ini dengan kereta lain adalah adanya TV yang menayangkan film-film populer. Kalau posisi kursi anda bagus, mungkin perasaan bosan akan sedikit teratasi dengan menonton film tersebut. Tapi kalau posisi kursi anda miring (tidak searah TV) dan agak jauh dari TV, ya percuma saja karena layar TV nya kecil dan terletak di dinding gerbong terdepan dan terbelakang dengan volume (suara) yang juga kecil.

Berdasarkan pengalaman tersebut, saya menyimpulkan bahwa kereta eksekutif hanya unggul dalam hal kenyamanan. Menurut saya, kereta tersebut terasa lebih nyaman karena jumlah penumpangnya yang lebih sedikit. Kalau masing-masing penumpang ekonomi membeli 6 tiket untuk diri sendiri (setara tiket eksekutif), mungkin akan lebih nyaman kereta ekonomi karena dengan begitu jumlah penumpang juga akan lebih sedikit dan bahkan anda bisa mendapatkan space yang lebih besar sehingga sangat nyaman untuk tidur, hehe.

Kelas Eksekutif? Biasa aja ah..

#WIsma Pakdhe

July 29, 2014

Safari Ramadhan #4 (End)


Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru.

Setelah melanglang buana ke bumi Jogja dan Bandung, akhirnya pada malam ke-25 sampai terakhir saya bisa merasakan tarawih dan i’tikaf di kampung sendiri. Berikut adalah tempat yang sempat saya singgahi di malam-malam terakhir Ramadhan: 

25.   Masjid Baitul Ulum Universitas Terbuka (UT)
Di antara masjid-masjid yang ada di sekitar tempat tinggal saya, hanya masjid UT-lah yang tiap pelaksanaan sholat tarawihnya selalu disertai kultum dan jumlah raka’atnya hanya 11 raka’at. Masjid ini juga cenderung tidak terlalu ramai/gaduh dengan suara anak-anak karena memang tidak terletak di perumahan, makanya saya jadi lebih senang sholat tarawih di sini.

Masjid ini juga cenderung lebih nyaman karena dilengkapi dengan AC dan karpet yang tebal. Hmm, tapi saya pernah mendengar seorang ustadz mengatakan bahwa karpet masjid seharusnya tidak boleh terlalu tebal sebagai bentuk ittiba Rasul. Kan dulu masjid Nabawi cenderung sangat sederhana.

Setelah selesai sholat tarawih, saya menghampiri takmir masjid untuk izin melaksanakan i’tikaf di sini. Saya perlu menyampaikan hal ini karena di masjid ini memang tidak dilaksanakan program i’tikaf. Alhamdulillah saya diberikan izin untuk berada di dalam masjid selama i’tikaf sampai tiba waktu sahur.

Setelah pulang sebentar untuk makan dan menyiapkan “perlengkapan perang”, saya kembali lagi ke masjid UT untuk i’tikaf. Malam itu ternyata saya hanya i’tikaf seorang diri (T_T). Well, tapi tidak apa-apa, karena saya memang butuh konsentrasi untuk mengerjakan urusan kampus, hehe.

Dukanya melaksanakan i’tikaf sendirian adalah, saya menjadi begitu mudah dicurigai (-______-). Mungkin dikiranya saya mau berbuat yang aneh-aneh kali ya. Ah, hidup di kota besar memang tidak mudah.

26.   Masjid Fathullah UIN Syarif Hidayatullah
Rumah saya terletak tidak terlalu jauh dari UIN Jakarta, hanya sekitar 10-15 menit perjalanan naik motor. Kondisi itu membuat saya terpacu untuk melaksanakan safari Ramadhan ke sana, hehe. Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang aktivis mahasiswa UIN, dia bilang masjid Fathullah itu sebenarnya bukan masjid UIN, tapi masjid biasa yang kebetulan letaknya berada di depan UIN. Masjid resmi UIN sendiri ada di dalam kampus.

Hmm..saya pernah masuk ke masjid yang di dalam kampus itu sih, tapi menurut saya ruhnya kurang terasa. Justru lebih terasa di masjid Fathullah ini. Mungkin karena masjid yang di dalam kampus itu terkesan ekslusif karena penduduk sekitar tidak bisa mengakses dan bentuk bangunannya pun tidak seperti masjid (jadi ingat masjid UIN Sunan Kalijaga, Jogja, yang anti-mainstream sehingga dinamakan Laboratorium Agama, bukan masjid, ckckck).

Btw di masjid Fathullah sholat tarawih dilaksanakan dua versi untuk mengakomodasi kebutuhan dua kubu, yaitu kubu 11 dan kubu 23, hehe. Jadi teknisnya begini, ketika sudah mencapai 8 raka’at, akan dilaksanakan sholat witir 3 raka’at bagi yang ingin melaksanakan tarawih hanya 11 raka’at. Tapi bagi yang ingin melaksanakan tarawih 23 raka’at, maka tidak perlu ikut sholat witir karena setelah witir akan dilanjutkan sholat lagi sampai 23 raka’at.

Oya, saya mengajak dua adik saya sholat di sini. Setelah itu, saya ajak mereka makan ke WS (WS menjadi salah satu obat rindu saya terhadap Jogja, hehe). Setelah tarawih dan makan selesai, saya langsung capcus ke Masjid UT dengan niat melaksanakan i’tikaf. Seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya (di sini), ternyata masjid UT sudah tutup sehingga mau tidak mau saya harus i’tikaf di luar sendirian (T_T).

27.   Musholla Nurul Iman Dekat Rumah
Nah, ini dia musholla yang paling dekat dengan rumah saya. Kalau lagi mudik, saya pasti sholatnya di sini. Saya baru bisa ikut sholat di musholla ini pada malam ke-27. Seperti kebanyakan masjid atau musholla di kampung saya, musholla ini juga melaksanakan tarawih 23 raka’at, tiap 2 raka’at salam (termasuk witir, 2+1 salam) tanpa disertai kultum. Meskipun jumlah raka’atnya banyak, tapi pelaksanaan sholat tarawih di sini pasti lebih cepat selesai daripada sholat di masjid UT karena imamnya memimpin sholat dengan kecepatan penuh (full speed). Jangankan polisi tidur, polisi bangun aja dilibas, hehe.

Di malam ke-27 ini saya tidak melaksanakan i’tikaf karena selepas tarawih, saya dan adik-adik saya diundang oleh tante makan di rumahnya dan baru selesai larut malam (T_T). Yah, mudah-mudahan pahala i’tikaf terganti dengan pahala menyambung silaturahmi.

28.   Masjid Al-Mukhlisin Dekat Rumah
Masjid ini juga letaknya tidak terlalu jauh dari rumah saya, hanya sekitar 200 meter. Jadi kalau mau diurut dari rumah saya, maka urutannya adalah Musholla Nurul Iman yang letaknya di RT 03, Musholla Nurul Islam yang letaknya di RT 02, baru Masjid Al-Mukhlisin yang letaknya di RT 01, Di masjid inilah saya biasanya melaksanakan sholat Jum’at.

Sama seperti masjid lain, di masjid ini sholat tarawih juga dilaksanakan sebanyak 23 raka’at, tiap 2 raka’at salam (termasuk witir, 2+1 salam). Kadang disertai kultum, tapi tidak pasti selalu ada, seperti kemarin saat saya sholat di sana, tidak ada kultumnya.

Malam ke-28 ini juga saya tidak melaksanakan i’tikaf karena diundang rapat keluarga oleh paman (T_T). Rapat bahkan baru selesai jam 01 dini hari. Yah, mudah-mudahan pahala i’tikaf terganti dengan pahala menyambung silaturahmi.

29.   Home Sweet Home
Maksud hati ingin melepas Ramadhan dengan spesial, yaitu dengan sholat di Masjid Kubah Emas, tapi apa daya hujan turun dengan deras. Maka, jadilah saya sholat tarawih di rumah saja, berdua dengan adik saya yang paling kecil.

Karena hujan itu pula, saya tidak bisa melaksanakan i’tikaf. Jadi, saya menghabiskan malam ke-29 itu di rumah saja. Duh, semoga jika ditakdirkan bertemu dengan Ramadhan lagi, bisa semakin baik ibadahnya.
Masjid Fathullah UIN Jakarta (sumber : google.com)
Hmm…ada beberapa hikmah yang bisa saya ambil dari safari Ramadhan yang saya lakukan sebulan belakangan. Pertama, saya seringkali mendapatkan pemateri kultum yang bagus, padahal saya tidak merencanakannya sebelumnya, misalnya tausiyah dari Syaikh Palestina. Kedua, khazanah pengetahuan saya tentang semarak Ramadhan di berbagai masjid menjadi semakin bertambah. Dalam hal ini, saya benar-benar terpikat dengan semaraknya Ramadhan di Masjid Habiburahman, terutama saat i’tikaf. Luar biasa semarak. Ketiga, persatuan Indonesia, hehe.

Meski Ramadhan telah berlalu, semoga ghirah untuk beribadah tetap terbakal dalam kalbu. Aamiin..


Pondok Cabe, pagi yang dingin, 02 Syawal 1435 H
Home Sweet Home

July 27, 2014

Safari Ramadhan #3


Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah waktu yang disunnahkan untuk i’tikaf. Saya pun sebenarnya sudah sejak lama punya niatan melaksanakan i’tikaf full 10 hari di masjid, tapi belum kesampaian juga sampai sekarang. Pada Ramadhdan kali ini alhamdulillah saya berkesempatan melaksanakan i’tikaf. Meski tidak full 10 hari di masjid, tapi i’itkaf ini sangat berkesan karena banyak mendapat pengalaman dan ilmu baru. Beberapa masjid yang saya datangi sebagai tempat i’tikaf adalah:
Masjid Nurul Ashri (sumber : google.com)
 21.   Masjid Nurul Ashri Deresan
Malam pertama i’tikaf saya lewati di Masjid Nurash. Sebelumnya, saya juga melaksanakan tarawih di sini. Di Nurash ternyata ada qiyamul la’il (sholat malam) satu juz secara berjamaah. Saya yang tidak mengetahui informasi tersebut terlanjur melaksanakan qiyam la’il sendirian. Jadi saya tidak ikut yang berjama’ah.

Kalau mau i’tikaf di Nurash ada peraturan yang harus ditaati. Diantaranya adalah tidak boleh tidur di ruang utama masjid. Kalau mau tidur, harus di luar masjid (selasar). Di sana panitia telah menggelar tikar/karpet untuk jama’ah yang ingin tidur. Sebenarnya saya kurang setuju dengan peraturan ini karena cuaca di luar itu pasti dingin. Kalau panitia bermaksud menjaga kebersihan ruang utama masjid, maka hal itu sebenarnya bisa disiasati dengan menaruh alas (tikar) di atas karpet ruang utama, sehingga tidak kotor. Seperti yang dilakukan oleh Daarut Tauhid (DT) Bandung. Saya sendiri sempat mendapat teguran ketika tertidur di ruang utama, hehe. Maklum lah, belum biasa bergadang.

Oya, satu lagi, panitia juga menyediakan santap sahur gratis untuk para jama’ah. Jadi jama’ah tidak perlu keluar untuk mencari makan. Mantap dah!

22.   Masjid Salman ITB
Program safari Ramadhan saya merambah Bandung saudara-saudara, haha. Hal ini memang sudah saya niatkan sejak jauh hari. Niat awalnya bahkan saya ingin i’tikaf 10 hari di DT Bandung, tapi karena satu dan lain hal niat itu belum kesampaian. Mudah-mudahan di waktu mendatang bisa terwujud. Aamiin..

Btw saya datang ke Bandung naik kereta eksekutif Argo Wilis. Bukan karena sok-sokan, tapi karena waktu itu dapat tiket promo, ke Bandung cuma 99 ribu, makanya saya beli, hehe. Sampai di Bandung sudah jam 19.30. Saya dijemput oleh Mas Firman di stasiun. Alhamdulillah sampai di ITB, tarawih belum dimulai, penceramah masih memberikan kultum sehingga saya bisa ikut tarawih berjama’ah.

Di Salman ada panitia yang mengurusi pelaksanaan i’tikaf. Tarif i’tikaf di sini adalah Rp 10.000 perhari (untuk mahasiswa, kalau untuk umum 12 ribu). Dengan uang segitu, kita akan mendapatkan konsumsi untuk sahur (kalau berbuka selalu disediakan gratis), notes, tas kecil, pulpen, stiker, pin, dan name tag.

Yang menyenangkan dari Salman adalah kebersihannya yang terjaga, termasuk WC dan tempat wudhu. WC-nya wangi karena ada parfum otomatis. Lantai masjidnya bukan marmer/keramik, melainkan kayu sehingga tidak terlalu dingin. Peserta i’tikaf juga tidak terlalu ramai sehingga masih kondusif.
Ruang utama Masjid Salman dengan lantai kayunya
Nametag peserta i'tikaf



















Di malam hari ada qiyamul la’il satu juz berjama’ah. Meski jama’ah i’tikaf lumayan banyak, tapi yang ikut sholat malam hanya dua shaf saja. Itupun lama kelamaan terpangkas menjadi satu shaf karena sholatnya memang lumayan lama.

Overall, Masjid Salman menjadi salah satu tempat yang recommended untuk i’tikaf. Pantas dulu senior saya bela-belain datang dari Jakarta ke Bandung hanya untuk i’tikaf. Hmm… sepertinya saya juga harus memprogramkan i’tikaf di sini lagi di Ramadhan mendatang.

23.   Masjid Habiburrahman PT DI (Bandung)
Hari kedua di Bandung, sebenarnya saya ingin i’tikaf di DT, tapi karena jarak DT lumayan jauh, sedangkan Mas Firman juga agak sibuk, sehingga saya alihkan ke Habiburrahman. Selain itu, saya juga tertarik ke Habiburrahman karena mendengar cerita teman kampus saya yang orang Bandung (Vera). Dia bilang i’tikaf di Habib selalu ramai, bahkan jama’ah banyak yang memasang tenda, wedew… Saya jadi semakin penasaran.

Saya baru tiba di Habiburrahman selepas Ashar. Pertama kali datang agak kaget juga. Ternyata benar apa yang dikatakan Vera, banyak jama’ah yang mendirikan tenda. Komentar spontan saya waktu itu adalah: ini masjid atau bumi perkemahan? Wkwk.

Ketika saya datang, sedang ada kajian dari Ust. Saiful Islam Mubarok (ini salah satu ustadz cetar di Bandung), tapi kajiannya tidak terlalu lama karena jam 17.00 sudah selesai. Satu hal yang cukup mengherankan saya adalah, masjid ini tidak menyediakan hidangan berbuka, bahkan untuk sekedar takjil. Padahal masjidnya lumayan besar dan jama’ahnya juga sangat banyak. Hmm… mungkin karena itu (jama’ahnya banyak) sehingga panitia kerepotan untuk menyiapkan. Akhirnya saya mencari menu berbuka di luar masjid. Di luar, banyak pedagang yang berjualan aneka macam makanan.

Tarawih dimulai setelah kultum, kira-kira jam 20.00 dan baru berakhir kira-kira jam 21.30 tanpa witir karena witir akan dilaksanakan setelah qiyam la’il jilid dua (fyuuh..). Bacaan surat di sholat tarawih kalau saya perhatikan sepertinya satu juz lebih. Saya tidak bisa menaksir secara pasti karena tarawih selesai di tengah juz dengan waktu yang relatif lama. Kaki saya sampai terasa kemeng (Jawa: pegal, mati rasa).

Setelah selesai sholat, jama’ah dipersilahkan tidur karena akan ada qiyamul la’il lagi pukul 00.30. Sholat jilid dua ini lebih cetar lagi karena bacaannya lebih panjang dan waktunya lebih lama. Bayangkan, sholat dimulai jam 01 kurang dan baru selesai jam 04.00. Masya Allah, 3 jam lebih brooo. Apa gak pada copot tuh baut di kaki? Lah baca doa qunut pas witir terakhirnya saja lebih dari 10 menit, saking panjangnya (alhamdulillah doa qunutnya bukan seperti doa qunut biasa, tapi terdiri dari banyak doa, termasuk mendoakan saudara kita sesama muslim di belahan bumi lain seperti Gaza, Suriah, Irak, Afgan, Myanmar, Pakistan, Uighur, dll). Masya Allah…

Yang menakjubkan adalah, meski bacaan sholatnya panjang dan waktu sholat yang sangat lama, tapi jama’ah antusias mengikuti. Bayangkan, masjid itu hampir penuh dengan jama’ah yang sholat (karena ada juga jamaah yang ikut i’tikaf, tapi tidak ikut sholat malam berjama’ah). Benar-benar cetar nih masjid.

Jama'ah banyak yang mendirikan tenda di selasar masjid

Satu sakelar untuk puluhan hp (tampak bar-bar, haha)


Sayangnya, meski Habiburrahman termasuk masjid yang semarak, tapi kondusifitas masjid kurang terjaga. Banyak hal yang menurut saya harus dievaluasi agar pelaksanaan i’tikaf bisa lebih maksimal ke depannya, diantaranya adalah, pertama, jama’ah terlalu penuh. Menurut saya akan lebih baik jika jumlah jama’ah dibatasi, selain untuk menjaga kondusifitas, juga agar jama’ah bisa i’tikaf di masjid lain sehingga masjid lain juga kebagian semaraknya. Mungkin masjid Jogokariyan bisa menjadi salah satu contoh. Masjid itu membatasi jama’ah i’tikaf 100 orang saja (untuk yang ikhwan, saya kurang tau untuk yang akhwat) sehingga kondusifitas masjid lebih terjaga.

Kedua, terlalu banyak anak-anak. Sebenarnya tidak masalah banyak anak-anak, hanya saja harus ditangani dengan baik. Yang kemarin saya lihat adalah, banyaknya jumlah anak-anak tidak dibarengi dengan pengelolaan yang baik sehingga anak lebih sering bercanda daripada ibadah. Ketiga dan terakhir, kebersihan yang kurang terjaga. Well, ini adalah salah satu konsekuensi membludaknya jama’ah, masjid jadi mudah kotor, terutama bagian belakang (WC dan tempat wudhu). WC dan tempat wudhu masjid Habiburrahman kurang nyaman karena bau dan kotor.

24.   Masjid Istiqlal
Saya di Bandung cuma dua hari. Patut disayangkan sebenarnya mengingat suasana i’tikaf Ramadhan di Bandung yang benar-benar semarak. Sebenarnya saya juga ingin lebih lama lagi i’tikaf di Bandung, tapi karena saya sudah terlanjur beli tiket dan tiketnya tidak bisa dibatalkan, maka akhirnya saya pulang di hari kedua.

Perjalanan dari Bandung ke Jakarta saya tempuh dengan naik kereta. Alhamdulillah saya dapat tiket promo lagi untuk kelas eksekutif, jadi saya bisa turun di Gambir yang bersebelahan dengan Istiqlal. Btw rute kereta Bandung-Jakarta benar-benar indah. Saya terkagum-kagum melihatnya. Ini pertama kalinya saya menempuh perjalanan dari Bandung ke Jakarta naik kereta dan ternyata sangat worth it untuk diulang di kemudian hari.

Karena turun di Gambir, maka saya bisa ke Istiqlal dengan berjalan kaki. Saya sampai di Istiqlal kira-kira jam 15.30 pas adzan Ashar, tapi saya tidak ikut sholat Ashar berjama’ah karena telah saya jamak di perjalanan. Yang saya cari saat itu malah kamar mandi karena seharian ini saya belum sempat mandi. Untunglah ada toilet yang cukup luas dan nyaman untuk dipakai mandi (dan sepertinya memang difungsikan untuk toilet dan kamar mandi).

Selesai mandi, saya sholat tahiyat masjid dan tilawah sejenak, kemudiann istirahat. Ternyata saya ketiduran bablas sampai nyerempet waktu Maghrib. Tepat 5 menit sebelum Maghrib saya bangun dan tepat sesaat setelah saya bangun ada orang yang mengajak berbuka bersama. Ah, nikmatnya hidup, haha.

Istiqlal tampak luar

Istiqlal tampak dalam

Ada sedikit yang berbeda saat sholat tarawih di Istiqlal kemarin. Kalau masjid lain biasanya hanya ada sholat dan kultum, di Istiqlal kemarin ada tambahan tilawah al Qur’an oleh qori nasional. Tarawih juga diimami oleh beliau. Saat itu beliau membaca surat Ar Rahman. Ah, beliau membaca dengan bagus, merdu, dan indah sekali.

Selain itu, ada perbedaan lain yang sangat mencengangkan, yaitu jumlah infaq tarawihnya. Bayangkan bro, satu malamnya jumlah infaq mencapai 33 juta. Masya Allah. Yah, wajar juga sih karena jumlah jama’ahnya juga banyak, mungkin mencapai 10x lipat jama’ah Maskam UGM.

Oya, tarawih di sini dilaksanakan 11 raka’at, tiap 2 raka’at salam (kecuali witir, 3 raka’at salam) dengan disertai kultum. Saya tidak melaksanakan i’tikaf sampai subuh di sini karena saya dijemput oleh Asep, hehe. Kalau dia batal datang, saya niatnya sih mau i’tikaf, tapi ternyata dia memenuhi janjinya, hehe. 


Home Sweet Home