December 24, 2013

Asa Baru Pendidikan Indonesia


Melihat geliat pemerintah Indonesia dalam memajukan pendidikan anak bangsa membuat kita patut bersuka hati. Kita mendapati beberapa tahun ke belakang ini pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), banyak membuat kebijakan-kebijakan populis yang pro-pendidikan. Kebijakan-kebijakan itu membuat rakyat Indonesia kembali berani berharap akan terwujudunya bangsa yang cerdas.

Satu gebrakan kebijakan yang paling kentara dapat dilihat dari upaya pemerintah menaikkan partisipasi pendidikan rakyat Indonesia di jenjang perguruan tinggi. Angka Partisipasi Kasar (APK) yang baru mencapai 27,1% pada jenjang perguruan tinggi, membuat pemerintah, mulai tahun 2010 meluncurkan program Beasiswa Pendidikan Bagi Mahasiswa Miskin Berprestasi (Bidikmisi) yang langsung disambut antusias oleh kalangan menengah ke bawah.

Tidak seperti beasiswa lainnya yang cenderung parsial, Bidikmisi merupakan program beasiswa yang komprehensif karena semua kebutuhan mahasiswa tercakup di dalamnya, mulai dari uang kuliah sampai biaya bulanan. Dengan beasiswa tersebut, diharapkan siswa dari kalangan menengah ke bawah bisa mencecap manisnya bangku perguruan tinggi mengingat selama ini biaya sering menjadi kendala bagi siswa miskin untuk melanjutkan pendidikannya. Pendidikan yang lebih tinggi selanjutnya diharapkan bisa membawa pada peningkatan kesejahteraan sehingga lingkaran setan kemiskinan dapat diputus.

Sejak diberlakukan pada tahun 2010, kuota penerima Bidikmisi ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun pertama, jumlah penerima Bidikmisi tercatat ada 20.000 orang. Jumlah itu meningkat pada tahun 2011 menjadi 30.000 orang, lalu menjadi 42.000 orang pada tahun 2012. Pada tahun 2013 ini jumlah keseluruhan penerima Bidikmisi diperkirakan mencapai 150.000 orang.

Keseriusan pemerintah dalam memajukan pendidikan anak bangsa terus berlanjut. Setahun setelah program Bidikmisi diluncurkan, pemerintah kembali meluncurkan program serupa untuk tingkat pascasarjana. Terhitung mulai tahun 2011, Kemendikbud meluncurkan program Beasiswa Unggulan (BU) yang kemudian terintegrasi menjadi Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPP). Beasiswa ini berlaku untuk dosen, calon dosen, dan tenaga kependidikan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang pascasarjana, magister maupun doktor, baik di dalam maupun luar negeri.

Berbeda dengan Bidikmisi yang hanya diperuntukkan kalangan tidak mampu, BPP ini terbuka untuk semua kalangan, baik yang sudah menjadi dosen maupun yang belum. Harapannya, beasiswa ini dapat meningkatkan sumber daya manusia perguruan tinggi Indonesia yang berkualitas dan berkontribusi dalam peningkatan daya saing bangsa. Selain itu, kualitas pendidikan juga diharapkan merata karena calon dosen yang mengikuti program ini akan mengabdi di berbagai perguruan tinggi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sama seperti Bidikmisi yang disambut antusias, program BPP ini juga mampu menyedot perhatian masyarakat. Sampai saat ini, di dalam negeri sendiri sudah ada kurang lebih tujuh ribu mahasiswa pascasarjana yang didanai melalui program BPP-DN untuk calon dosen. Artinya, akan ada tujuh ribu calon dosen yang siap mentransfer ilmu ke segala penjuru nusantara beberapa tahun mendatang.

Terlepas dari segala persoalan yang muncul, misalnya sering telatnya pencairan dana beasiswa, upaya pemerintah ini setidaknya dapat membuat senyum kita mengembang karena optimis dengan masa depan pendidikan bangsa yang cerah.



(Tulisan di atas juga pernah saya ingin kirim ke media, tapi berhubung belum rampung, jadi belum dikirm sampai sekarang. Karena sudah basi, saya post di blog aja deh)

Betawi Butuh Motivasi

 
Bagi mereka yang lahir sebelum tahun 90-an tentu pernah merasakan bagaimana animo masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Ibukota, dengan sinetron Si Doel Anak Sekolah. Sinetron dengan latar budaya Betawi yang bercerita tentang perjuangan Doel dalam menempuh pendidikan tinggi ini sempat menjadi sinetron yang paling ditunggu kala itu.
 
Bagi penulis, hal yang menarik dari sinetron tersebut sebenarnya bukan terletak pada dramanya, tapi pada semangat yang dibawa oleh sang sutradara, Rano Karno, yang juga merupakan putra Betawi. Rano ternyata sengaja membuat sinetron ini untuk mengangkat citra Betawi yang selama ini buruk. Salah satu citra buruk yang beredar di masyarakat tentang Betawi adalah bahwa masyarakat Betawi kurang berpendidikan.

Meski pahit, citra tersebut memang nyata adanya. Sebagai orang Betawi yang lahir dan besar dalam lingkungan yang mayoritas penduduknya juga beretnis Betawi, penulis sendiri sulit menemukan orang Betawi yang mengenyam pendidikan tinggi. Kebanyakan dari mereka hanya menyelesaikan jenjang pendidikan menengah, bahkan tidak sedikit yang terputus pada jenjang pendidikan dasar.

Hal ini tentu berdampak luas bagi perkembangan kehidupan mereka. Sebagai kelompok yang tinggal di kota metropolitan, rendahnya pendidikan tersebut membuat mereka kesulitan bersaing dengan para pendatang yang lebih terdidik. Bahkan untuk sekedar bertahan hidup pun mereka harus menyiapkan 1001 siasat. Bagi orang Betawi yang masih memiliki kecukupan harta, menjual sebagian harta benda mungkin bisa dijadikan solusi bertahan hidup sementara. Meskipun sebenarnya  solusi ini jauh dari prinsip efektif karena harta benda yang dimiliki juga ada batasnya.

Bagi mereka yang hidup pas-pasan, bergabung dengan organisasi masyarakat kedaerahan tidak jarang dijadikan pilihan. Karena kabar burung mengatakan bahwa ormas-ormas tersebut memperjuangkan kepentingan mereka. Sayangnya, burung hanyalah burung. Mereka terlatih hanya untuk membawa berita. Bukan untuk memvalidasi isi berita tersebut. Ormas yang katanya memperjuangkan kepentingan orang Betawi itu ternyata tidak jarang justru menjatuhkan martabat Betawi dengan aksi premanisme, rebutan lahan parkir, dan kerusuhannya. Ironis!

Membangun Pendidikan Betawi
Fenomena ini tentu sangat merugikan dan harus segera disudahi. Orang Betawi harus di-edukasi agar mereka bisa hidup (survive) di tanah sendiri tanpa mengharap uluran kasih orang lain. Apalagi dengan memaksa! Akan tetapi, merubah persepsi orang Betawi terhadap pendidikan tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu waktu dan proses yang tidak sebentar. Untuk memulai agenda besar tersebut, langkah awal yang perlu ditempuh adalah merumuskan penyebab rendahnya partisipasi pendidikan mereka.

Hal pertama yang terlintas menjadi sebab rendahnya pendidikan mereka adalah biaya. Patut diakui bahwa faktor biaya memang seringkali menjadi batu sandungan bagi kebanyakan orang untuk sekolah atau kuliah. Akan tetapi, dewasa ini menjadikan biaya sebagai kambing hitam sepertinya sudah terlalu usang digunakan. Bagaimana tidak usang jika tawaran beasiswa untuk sekolah dan kuliah, baik dari pemerintah maupun swasta, sudah sangat melimpah? Selain itu, julukan “tuan tanah” dan “raja kontrakan” yang identik pada orang Betawi juga mengindikasikan bahwa secara materi mereka sebenarnya berkecukupan. Maka dengan alasan tersebut, faktor biaya menjadi logis untuk dieliminasi.

Faktor lain yang sangat krusial dan mendasar adalah faktor kemauan. Atau dalam paradigma psikologi disebut motivasi. Kalau biaya dan fasilitas pendidikan di Jakarta sudah sangat lengkap, lalu apalagi yang kurang kalau bukan motivasi dari orang Betawi itu sendiri? Maka agenda besar yang ada dalam benak penulis ke depan adalah memompa motivasi orang-orang Betawi agar mereka antusias dengan pendidikan. Strategi yang paling tepat untuk mencapai tujuan itu tentu bukan dengan beretorika, tapi dengan memberikan bukti berupa contoh kesuksesan buah dari pendidikan. Orang berpendidikan yang sukses memang sudah sangat banyak, tapi rasa-rasanya belum banyak yang datang dari kalangan Betawi. Padahal, contoh dari kalangan sendiri biasanya lebih mengena di hati. Maka, agenda pertama yang penulis garap adalah membuat diri ini sukses dulu. Dengan begitu, semoga mata orang-orang Betawi, khususnya yang ada di lingkungan tempat tinggal penulis, menjadi lebih terbuka sehingga ke depannya membangun pendidikan lebih mereka dahulukan daripada membangun kontrakan.

(Tulisan di atas pernah saya ikutkan lomba karya tulis Alfamart bulan lalu, tapi saya belum tau pengumumannya sampai sekarang. Emang lombanya gak jelas juga sih. Anyway, daripada cuma menuh-menuhin harddisk laptop, mending saya post di blog.)