September 24, 2013

Riset, Oh Riset

Di awal-awal perkuliahan, seorang dosen memberi tahu kami (mahasiswa) bahwa prodi Manajemen Bencana memiliki banyak proyek riset. Mendengar hal itu, saya benar-benar sumringah. Bukan karena kata “proyek” nya (yang biasanya identik dengan uang), tapi karena kata “riset” nya. 
sumber: think360studio.com

Sejak S1 saya memang sudah menyenangi riset, tapi sayangnya saya kesulitan menemukan wadah yang dapat menampung hasrat tersebut sehingga aktivitas riset itu sendiri jarang saya lakukan. Sebenarnya ada lembaga yang mewadahi riset mahasiswa, tapi lembaga itu terkesan sangat eksklusif. Mendekatinya saja saya sungkan, apalagi bergabung di dalamnya.

Di jenjang S1, tercatat ada dua aktivitas riset yang saya lakukan, yaitu riset PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) dan skripsi. Di riset PKM, saya menjadi project leader nya. Meski tema PKM yang diusung bukan murni tema saya, tapi karena saya yang mengumpulkan mereka, maka saya lah yang ditunjuk menjadi team leader nya. Sedangkan di riset skripsi, tema yang saya ambil murni dari gagasan saya karena saya memang sangat tertarik dengan tema tersebut. Temanya adalah tentang pendidikan masyarakat Betawi.

Nah, di program pascasarjana ini pintu untuk melakukan riset kembali terbuka. Akan tetapi, seperti gula yang selalu dirubung semut, riset pun demikian. Mahasiswa “berebut” untuk ambil bagian dalam riset. Saya tidak tahu motif di belakangnya apa, yang jelas saya sangat menyayangkan jika motif itu adalah motif ekonomi.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak mahasiswa yang ingin ikut riset dosen karena ingin mendapat pemasukan tambahan. Sehingga orientasi yang diusung bukan pada keilmuan, melainkan pada kesejahteraan pribadi. Menurut saya, hal itu merupakan suatu kecacatan akademis bagi akademisi yang bersangkutan.

Bagi saya, sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap pekerjaan yang kita senangi dan sungguh-sungguh kita lakukan, pasti akan mendatangkan “efek samping”. Efek samping yang dimaksud bisa bermacam-macam bentuknya, bisa uang, jabatan, dan networking. Sehingga orang yang sungguh-sungguh dan mencintai pekerjaannya tidak akan risau dengan efek samping karena hal itu akan turut mengiringi beserta kerja-kerja yang kita lakukan.

Jika seorang akademisi melakukan riset karena motif ekonomi, maka sangat mungkin dia tidak total melakukan risetnya jika motif ekonomi yang dicari itu tidak terpenuhi atau tidak sesuai dengan harapannya. Sehingga hal itu berpengaruh pada hasil riset, yang juga berpengaruh kepada kemasalahatan hidup orang banyak. Kalau sudah begini, bukankah itu adalah bentuk kejahatan?

Saya menyenangi riset bukan karena efek sampingnya yang menggiurkan. Efek samping tetaplah efek samping, bukan efek utama. Saya senang riset karena disitulah passion saya. Di situlah kepuasan hidup saya terbingkai.
*dengan catatan, pekerjaan yang dilakukan adalah halal.

#sepertinya saya sedang on fire. Dalam satu minggu, sudah ada lima artikel yang ditulis. Tiga artikel di blog, dua lainnya artikel “ilmiah” (rock).

#wisma Pakdhe

September 22, 2013

30 Hari Tanpa Kafein

Di setiap pagi saya, hampir selalu ada kopi yang menyertai. Mulut saya tersugesti untuk pahit kalau belum ngopi. Kebiasaan ini sebenarnya belum berlangsung lama. Saya baru mulai “mencandui” kopi pasca lulus SMA. Ketika masih sekolah, rasanya jarang sekali saya minum kopi karena ibu melarang saya. “Nanti otaknya bebal”, begitu kira-kira nasihat beliau saat itu. Sebagai gantinya, susu lah yang biasanya mengisi pagi saya sebelum berangkat sekolah. Belakangan saya tau dari beberapa artikel tentang Food Combining bahwa susu ternyata tidak baik untuk kesehatan. Jadilah saya semakin jauh dengan susu.
Sumber: allcreated.com

Jenis minuman kopi yang saya sukai adalah kopi “anak muda”, seperti Latte, Moccachino, White Coffee, dan kopi-kopi campuran. Campurannya biasanya adalah krimmer, meski ada juga yang dicampur susu. Selain rasanya yang lebih nikmat, kopi jenis itu juga tidak berampas sehingga bisa diminum sampai tetes terakhir. Apalagi jika diminum di tengah udara pagi Jogja, ah… rasanya sangat menggugah.

Saya tidak menyukai kopi hitam, tubruk, pekat, atau apapun namanya, yang tidak dicampur. Meminum kopi murni, selain rasanya yang kurang cocok di lidah, membuat jantung saya berdebar-debar. Bukan karena saya meminumnya di depan calon mertua, tapi karena memang efeknya seperti itu di tubuh saya. Ah, mungkin kopi ini cocok diminum beberapa hari sebelum melamar. Agar tubuh saya bisa terkondisikan :p

Meskipun mencandui kopi, tapi saya tidak muluk-muluk dalam memilih merk, kemasan, dan tempat ngopi. Bagi saya, sebungkus kopi warung yang harganya seribuan sudah sangat memuaskan. Saya bukan tipe orang yang suka hangout, nongkrong, atau apalah namanya, di coffee shop untuk sekedar menikmati segelas kopi. Selain karena harganya yang tidak masuk akal, menurut saya ngopi di coffee shop juga tidak sesuai dengan budaya Timur yang egaliter-kolektifis (Vickinisasi mode: on). Well, mungkin ada kalanya kita membutuhkan coffee shop sebagai tempat kerja sementara yang nyaman dan kondusif, tapi tentu tidak setiap hari.

Puasa Kopi
Berawal dari artikel-artikel kesehatan yang saya baca, saya mulai menimbang ulang kebiasaan saya mencandui kopi. Bahwa meminum kopi dalam kadar yang berlebihan adalah tidak baik untuk tubuh, saya sudah lama mengetahuinya, meski saya sendiri cuek bebek dengan informasi tersebut. Akan tetapi, entah angin apa yang sedang merasuk tubuh saya, belakangan saya semakin ketat dengan perkara kesehatan. Misal, saya mulai mengatur jam makan saya, tidak lagi berani makan malam di atas jam 20.00 (kecuali dalam kondisi terpaksa, ditraktir misalnya) karena dari artikel yang saya baca hal itu tidak baik untuk tubuh. Begitu juga dengan olahraga, saya semakin tergerak untuk berolahraga meski hanya sebentar. Dan terakhir, angin yang ada di dalam tubuh itu membisiki agar saya menjauhi kopi. Nah lho!

Bagi saya pribadi, diminta menjauhi kopi laksana diminta mengetik dengan menggunakan sarung tinju (gak kira-kira analoginya). Susah sekali. Oleh karena itu, sampai saat ini saya belum pernah jauh dari kopi untuk waktu yang lama. Kecuali jika saya sedang berada di tempat yang saya tidak memiliki kuasa di situ, misal menginap di rumah teman, maka saya mampu menahan keinginan untuk tidak ngopi.

Akan tetapi, karena saat ini dorongan untuk menerapkan pola hidup sehat sedang menggelora dalam diri saya, maka saya pun mulai merencanakan agar bisa terbebas dari kopi. Minimal tidak mencandui lah. Nah, untuk mewujudkan hal itu, saya telah membuat action plan, yaitu menghindari kopi selama 30 hari berturut-turut. Eng..ing..eng..

Meski batin saya bilang bahwa hal itu terdengar ambisius dan tidak realistis, tapi logika saya mengatakan bahwa saya mampu. Dan saya pun sudah memulainya. Sampai saat ini, saya sudah dua hari tidak minum kopi, hehe.

Maksimalisasi Air Putih
Tujuan saya berhenti ngopi adalah agar saya bisa memaksimalkan manfaat air putih untuk kesehatan saya. Sebenarnya bukan hanya berhenti ngopi, tetapi juga berhenti meminum minuman lain selain air putih, baik itu teh, susu, sirup, es, dsb. Kata Erikar Lebang (salah satu pegiat Food Combining), meminum air putih dalam 1-2 bulan tanpa minum minuman lain bisa membuat tubuh ter-detoksifikasi.

Selain berusaha menjadikan air putih sebagai minuman utama, saya juga memaksimalkan manfaat air putih untuk menggantikan peran obat. Jika sedang sakit, saya biasanya lebih memilih memperbanyak minum air putih daripada minum obat. Kebiasaan ini sudah saya lakukan selama kurang lebih dua tahun. Dan hasilnya sangat memuaskan, saya lebih cepat sembuh dengan minum air putih daripada minum obat. Dengan izin Allah tentunya.

Yah, semoga manfaat air putih benar-benar terwujud dalam program 30 hari tanpa kafein ini. Dan yang lebih penting lagi, semoga saya istiqomah dengan hanya meminum air putih ini.

#wisma Pakdhe

September 20, 2013

Menangis

Kita mungkin pernah melihat orang berdoa dengan sangat khusyuk. Saking khusyuknya, air matanya berderai membasahi wajah. Hingga membuat kita yang melihat menjadi iba dan membatin, “betapa berat ujian yang (mungkin) sedang ia alami”. Atau di lain waktu, rasa iri yang mungkin hadir lebih mendominasi dalam hati, “kapan saya bisa berdoa se-khusyuk itu?”. 

Sayangnya, walaupun kita menangis tersedu-sedan dalam doa, hingga cairan hidung pun ikut meleleh karenanya, ternyata hal itu belum bisa dijadikan tolok ukur kualitas doa kita. Setidaknya, itu yang guru saya katakan.
Ilustrasi Menangis (sumber: ecr.co.za)

Ya, mungkin kita menangis dalam doa, tapi di saat yang sama kita juga patut bertanya, untuk apa kita menangis? Apakah tangisan itu murni karena takut kepada Allah atau karena hal lain? Di saat menangis itu, mungkin kita justru lebih menikmati tangisan daripada munajat kepada Allah, sehingga rasa ujub datang tak disadari. Merasa bangga sudah berlinangan air mata, padahal tidak ada yang didapat selain nafsu diri yang terpuaskan. Ujung-ujungnya, kita berusaha mengawet-awetkan tangisan agar kita bisa menikmatinya lebih lama.

Masyaallah… Ternyata perkara tangis-menangis tidak sesederhana yang saya kira. Dan saya pun semakin takjub dengan guru saya karena dalamnya ilmu beliau.

Menangis dalam doa, jika ditinjau dari penyebabnya, terbagi atas dua tipe, yaitu menangis karena beratnya masalah dan menangis karena ingat dosa. Kedua tangisan ini akan berpengaruh pada cepat-tidaknya keperihan yang dirasakan dari masalah yang sedang dihadapi. Oke, agar lebih mudah dipahami, saya berikan contohnya saja.

Misal, fulan di-PHK dari kantornya. Kebetulan setelah PHK itu, ia sulit mendapatkan pekerjaan. Sudah berbulan-bulan ia mencari dan sudah berpuluh-puluh pekerjaan dilamarnya, tapi belum menemukan jalannya juga. Sehingga semua sumber daya yang ia miliki sedikit demi sedikit habis untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Tabungan, laptop,  dan benda-benda kesayangannya terpaksa ia jual karena sudah tidak memiliki uang lagi.

Ujian ini terasa sangat perih, hingga ia berdoa tersedu sedan, “Ya Allah, mengapa ujian yang Engkau berikan kepada hamba seberat ini? Harta benda yang hamba miliki sudah hampir habis untuk mencukupi kebutuhan hamba. Tolong berikan hamba pekerjaan agar hamba bisa mencukupi kebutuhan hidup hamba tanpa membebani orang lain”.

Selintas doa itu terdengar wajar dilantunkan dan tidak ada kesalahan dengan meminta seperti itu. Toh, ia meminta pekerjaan karena ia tidak mau membebani orang lain. Akan tetapi, doa seperti ini akan membuatnya semakin lama merasakan keperihan karena orientasinya adalah masalah, yaitu PHK dan sulit mendapat kerja. Lain halnya jika orientasinya terpusat pada dosa dan maksiat yang selama ini ia lakukan ketika punya pekerjaan.

Misal doa fulan begini, “Ya Allah, Engkau tau bagaimana hati hamba selama ini. Hamba lebih merasa aman dengan tabungan yang hamba miliki daripada aman dengan jaminan-Mu. Engkau tau bagaimana kotornya mata hamba ketika memiliki laptop. Engkau tau bagaimana sombongnya hamba ketika diberi kelebihan rezeki. Ampuni dosa-dosa hamba Ya Allah. Tuntun hamba untuk kembali ke jalan-Mu”.

Jika sedu sedan fulan disebabkan oleh dosa-dosanya, niscaya perihnya masalah tidak akan berlangsung lama. Mungkin masalahnya masih ada, tapi hatinya dibuat tenang dalam menghadapi masalah tersebut. Tidak gelisah dan mudah mengeluh ke makhluk karena yang dia ingat adalah dosa dan maksiat. Sehingga perhatian fulan terfokus pada upaya pembersihan diri.

Hingga suatu saat nanti, ketika fulan benar-benar sudah lulus ujian ini, Allah akan mengembalikan lagi “harta” fulan. Bedanya, hati fulan sudah tidak terpaut lagi ke “harta” tersebut sehingga hal itu tidak terlalu menarik baginya.

Wallahu a’lam bishawab.

#wisma Pakdhe

September 7, 2013

Fakta Menarik Tentang Masjid Kampus UGM

Jumat yang lalu (06/08/13) saya sempat berbincang-bincang dengan Mas Niko, orang yang sering menjadi MC sholat Jum’at di Masjid Kampus (Maskam) UGM. Saya diajak oleh Imron, teman KKN saya. Dulu Imron pernah nge-kost di tempat beliau, makanya Imron mengenalnya.

Kami sempat membicarakan beberapa hal tentang Maskam dan saya mendapat beberapa fakta menarik tentang salah satu masjid favorit saya tersebut. Berikut fakta-faktanya:
Masjid Kampus UGM (sumber: eksotisjogja.com)

Fakta pertama, bangunan utama Maskam ternyata baru selesai dibangun tahun 1999. Hal ini cukup mengagetkan mengingat UGM sebagai kampus telah berdiri sejak tahun 1949.  Kalau begitu, selama hampir setengah abad berarti UGM tidak memiliki Maskam resmi dong? Ya, meskipun dulu pasti ada masjid sebagai tempat ibadah, tapi bukannya aneh kalau Maskam resmi baru dibangun tahun 1999?

Fakta kedua, meskipun bangungan resmi sudah selesai dibangun tahun 1999, tapi rupanya Maskam sempat terbengkalai sampai tahun 2002 karena belum memiliki takmir masjid. Kemudian pihak kampus meminta anak-anak JS (Jama’ah Sholahudin-Rohis nya UGM) untuk memindahkan sekretariat mereka yang awalnya di Gelanggang Mahasiswa ke Maskam agar sekalian bisa mengurus Maskam. Akhirnya anak-anak JS-lah yang mengurus Maskam sampai akhirnya kepengurusan masjid diambil alih oleh takmir yang terbentuk tahun 2002.

Fakta ketiga sekaligus fakta yang paling cetar dan mencengangkan adalah, Maskam ternyata bukan milik UGM, saudara-saudara!!! Eng..ing..eng..

Jadi begini, Maskam itu dibangun pada masa kepemimpinan Bapak rektor Ichlasul Amal, tapi bukan menggunakan dana dari UGM. Apakah pembangunannya menggunakan dana swadaya atau dari kantong Bapak Ichlasul Amal sendiri, saya masih agak miss di sini. Nah, setelah Maskam berdiri, kemudian dibentuklah Yayasan Masjid Kampus UGM yang diketuai oleh Bapak Ichlasul Amal sendiri.

Konsekuensi logis dari semua itu, Maskam yang takmirnya berhaluan Muhammadiyah (fakta lainnya), tak bisa di-intervensi untuk mengikuti pemerintah, misalnya dalam hal penentuan awal puasa, karena Maskam memang bukan milik pemerintah (UGM). Oleh karena itu, rektor UGM juga tidak memiliki wewenang untuk meminta Maskam mengikuti pemerintah.

Dengan begitu, tanda tanya yang selama ini berputar di kepala saya tentang masjid yang tiap jum’atannya “berpenghasilan” 13 juta-an ini sudah terjawab. Dulu saya bertanya-tanya, mengapa Maskam sering melakukan puasa lebih dulu dari pemerintah, padahal UGM kan kampus negeri, sudah sewajarnya mengikuti ulil amri. Tapi lain cerita kalau begini faktanya.

Kurang lebih, itulah beberapa informasi yang saya dapati tentang Maskam UGM. Info-info tersebut disampaikan oleh Mas Niko yang sudah tinggal di perumahan dosen (jarak rumahnya kurang lebih 20 m dari Maskam) sejak Maskam baru dibangun. Semoga tidak ada info yang keliru atau salah dengar.
Wallahu a’lam bishawab.

#wisma Pakdhe

September 3, 2013

28 Maret 1988

28 Maret 1988. Hari itu adalah hari bersejarah bagi sepasang muda-mudi. Hari yang melegalkan perkara yang sebelumnya termasuk ke dalam dosa besar. Bukan hanya legal (mubah), tapi perkara itu pun bernilai kebaikan (pahala) bagi mereka. Bahkan dianggap ibadah karena ijab kabul telah membingkainya dengan indah.

28 Maret 1988. Hari itu adalah hari Senin, bertepatan dengan 10 Sya’ban 1408 H. Senin adalah salah satu hari yang istimewa. Rasulullah saw bersabda bahwa hari Senin (dan Kamis) adalah hari dimana malaikat menyetorkan amal manusia ke hadapan Allah swt (oleh karena itu beliau berpuasa sunnah pada kedua hari itu). Dan momen berharga itu juga menjadi hari pernikahan sepasang muda-mudi tersebut. Semoga ada nilai lebih darinya.
Sumber: pinterest.com

28 Maret 1988. Mereka sebenarnya masih sangat muda. Sang mempelai pria baru di pertengahan 24 menuju 25 tahun. Usia yang pada saat ini dianggap belum matang dan jauh dari kemapanan. Alih-alih menikah, pacaran dijadikan pilihan yang lebih logis oleh banyak kalangan. Sebagian lainnya menenggelamkan diri dalam kehedonisan sebagai wujud aji mumpung, “mumpung masih muda”.

Usia mempelai wanita dambaan lebih mencengangkan lagi, baru memasuki akhir 18 tahun. Jangankan menikah, dewasa ini usia segitu justru sedang pol-polnya hura-hura. Menonton konser, pergi ke mall, tenggelam dalam gadget dan socmed, serta genit-genitan dengan lawan jenis sangat lumrah ditemui di kehidupan gadis remaja saat ini.

Akan tetapi, sepasang muda-mudi itu memilih menikah sebagai jalan hidup mereka. Meski mereka belum mapan secara ekonomi, meski gairah pemuda untuk berhura-hura sedang bergejolak, dan meski kematangan mungkin belum hadir dalam ruang berpikir mereka, tapi mereka tidak ambil pusing. Semua itu insyaallah akan menyertai seiring melengkungnya janur kuning di pintu masuk pelaminan.

Dan hal itu benar-benar terwujud 8 bulan 13 hari kemudian. Allah swt mengaruniakan rezeki berupa anak sebagai pelengkap kebahagiaan mereka. Achmad Fery nama buah cinta pertama tersebut. Sekarang usianya sama dengan usia ayahnya ketika menikah dulu, tapi dia belum ingin menikah karena harus konsentrasi menyelesaikan pendidikan masternya yang baru saja dimulai.

Tujuh tahun berselang setelah kelahiran si sulung, lahir buah cinta kedua, yang diikuti buah cinta ketiga sepuluh tahun berikutnya. Ketiga anak mereka semuanya adalah laki-laki, atau “jagoan” dalam bahasa kampung. Itu berarti mempelai wanita menjadi wanita tercantik di keluarga kecil tersebut.

Keluarga kecil itu merintis semuanya dari nol. Mempelai pria, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, bukan merupakan pria yang sudah mapan. Dia merintis karir dari bawah sekali hingga kini akhirnya telah memiliki penghidupan yang lebih layak. Mempelai wanita, sang manjaer rumah tangga, mendidik anak-anak dengan pendidikan terbaik, hingga berhasil mengantarkan anaknya melanglang buana sampai ke negeri Eropa.

Sayangnya, ada badai yang harus dihadapi oleh keluarga kecil tersebut. Mempelai wanita diuji oleh penyakit yang sangat berat hingga akhirnya menghadap Sang Khalik satu tahun sebelum usia perak pernikahannya. Meskipun badai itu belum sepenuhnya berlalu dan masih membuat bahtera keluarga kecil itu limbung, tapi mereka selalu percaya bahwa Allah selalu menjaga mereka.

#wisma Pakdhe