June 30, 2013

Cinta Sesaat?

Awal Juni lalu, saya telah mengikuti seleksi beasiswa S2 (BPP-DN) dari Dikti. Secara keseluruhan, saya kurang puas dengan performa saya ketika seleksi. Well, jika dibuat skala 1-10, kepuasan saya berada di level 7. Tidak terlalu memuaskan, tapi juga tidak terlalu mengecewakan. Standar lah.

Akan tetapi, yang namanya beasiswa tentu yang dicari adalah bibit-bibit unggul, bukan cuma yang standar. Apalagi para penerima beasiswa ini nantinya diproyeksikan menjadi dosen, tentu yang dipilih adalah mereka yang benar-benar brilian, terutama dari sisi akademis.

Pengumuman beasiswanya sendiri, dari timeline yang dibuat Dikti, seharusnya sudah bisa diketahui akhir bulan ini. Dari timeline yang dibuat UGM-pun menyatakan demikian, bahwa pengumuman hasil seleksi sudah bisa diketahui di minggu ketiga bulan Juni. Akan tetapi sampai sekarang (akhir bulan) belum ada pengumuman apa-apa, baik dari Dikti maupun UGM.

Kemarin, selama masa penantian pengumuman, saya mengikuti seleksi Jamsostek. Awalnya, hal ini saya lakukan hanya untuk berjaga-jaga kalau nanti tidak diterima beasiswa, tapi lama kelamaan saya semakin dalam terlibat affair dengan Jamsostek.

Saat ini, saya sudah mencapai tahapan akhir dari seleksi, yaitu seleksi wawancara user dan medical check up. Tahapan seleksinya sendiri sebenarnya ada banyak, insyaallah di tulisan mendatang saya akan menyampaikannya dengan lebih rinci. Nah, kata seorang sumber, jika kita sudah memasuki tahapan wawancara user dan medical check up ini, peluang lolosnya sudah cukup besar.
Sumber: vectorstock.com

Menghadapi hal ini saya jadi semakin bingung. Awalnya, rencana saya dulu adalah, ketika sudah ada pengumuman beasiswa (yang seharusnya minggu ketiga Juni) dan saya diterima, saya akan mengundurkan diri dari seleksi Jamsostek. Toh, pada minggu ketiga itu pun tahapan seleksinya masih tahap seleksi awal. Kalau tidak diterima beasiswa, barulah saya mau “serius” menghadapi seleksi Jamsostek. Akan tetapi, sampai di tahapan akhir seleksi Jamsostek ini, pengumuman beasiswa belum juga muncul.

Di sisi lain, saya mulai terpikat dengan godaan yang sebenarnya lebih banyak bersifat duniawi-nya, yaitu bahwa menjadi pegawai Jamsostek akan sangat sejahtera. Nun jauh di salah satu pojok hati saya terselip keinginan untuk mencapai kesejahteraan seperti yang orang-orang bilang itu. Terselip satu hasrat untuk memperbaiki kualitas hidup dan kehidupan melalui “jalan” lain selain akademis.

Ah, saya lagi-lagi terjebak pada keadaan yang sangat dilematis. Lagi-lagi saya harus mengambil keputusan yang sulit. Apakah Jamsostek hanyalah cinta sesaat saya? Atau justru cinta sejati karena saya bukan termasuk tipe “kutu loncat”? Yah, kalau sudah bimbang begini, andalan saya hanya satu: istikhoroh. Dan selalu ingat postulat seorang muslim sejati: apapun yang Allah berikan untukku, pasti yang terbaik. 

#pojok Tawangsari

June 24, 2013

Kembalinya Sendal Gunung

Hari Rabu kemarin (19/06/13), saya kehilangan sendal gunung saya di masjid dekat kost (Masjid Al Ikhlas). Ini adalah sendal gunung kedua yang hilang setelah sebelumnya juga pernah raib di masjid Fakultas Kehutanan. Sebenarnya bukanlah kebiasaan bagi saya pergi ke masjid memakai sendal ini (biasanya saya memakai sendal jepit atau sendal biasa), tapi entah mengapa saat itu saya ingin memakai sendal tersebut. Yah, namanya juga qodarullah, kalau memang sudah saatnya hilang, ya akan hiilang.
Ilustrasi Sendal Gunung (sumber: tokopedia.com)

Di kost, saya memikirkan hikmah dari kejadian ini. Jangan-jangan ada keburukan yang sering saya perbuat dengan sendal ini? Hmm…

Belum lengkap saya menghimpun hikmah dari kejadian tersebut, keesokan harinya saya dihadapkan lagi pada peristiwa yang tidak kalah mengagetkannya. Kamis (20/06/13), ketika saya sholat zuhur di maskam, saya kaget karena melihat sendal gunung yang mirip sekali dengan sendal saya yang kemarin hilang. Saya perhatikan bentuk dan ciri-cirinya, sama persis. Tidak salah lagi, ini adalah sendal gunung saya.

Sejenak saya kehilangan arah, apa yang harus saya lakukan? Langsung bawa pulang sendal saya atay tunggu sampai orangnya datang? Pilihan pertama sepertinya sangat beresiko karena bisa jadi saya yang disangka malingnya. Akhirnya, saya inisiatif menunggu “pelaku”nya.

Selagi menunggu, saya mencari satpam untuk meminta pendampingan menghadapi masalah ini. Saya khawatir jika nanti bertemu dengan orang yang memakai sendal tersebut, ada peristiwa yang tidak diinginkan *halah, gayanya, gak sekalaian aja lw cari pengacara*. Setelah bertemu Pak Satpam, dia meminta saya menunggui sendal tersebut, nanti kalau sudah ketemu orangnya, baru saya diminta memanggilnya lagi.

Saya pun mengintai dengan penuh kecemasan (Sherlock Holmes mode: on). Agak gerogi juga saya menghadapi situasi seperti ini. Dalam benak saya, sudah terbayang hal-hal yang aneh. Saya berusaha menenangkan diri. Seorang Bapak juga coba menentramkan suasana dengan memberikan perspektif yang berbeda, “Siapa tau malingnya sudah menjual sendal adek ke toko loak (barang bekas, red), terus dibeli sama orang yang sekarang? Jadi, nanti jangan emosi dulu ya!”. Ah, benar juga. Bisa juga seperti itu.

Cukup lama saya menunggu, tapi “lakon” yang ditunggu tidak tampil-tampil juga. Sampai hampir satu jam saya menunggu, saya akhirnya menyerah (karena sedang ada janji sebenarnya). Saya pun menitipkan pesan kepada ibu-ibu penjual buku di situ agar memerhatikan orang yang memakai sendal tersebut. “Bu, kalau ada orang yang memakai sendal tersebut, tolong ditanya, dia belinya dimana. Kalau sampai ashar tidak ada yang mengambil sendal tersebut, nanti saya ambil. Insyaallah saya sholat ashar di sini”, pesan saya kepada si ibu setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang saya alami. Untungnya si ibu terlihat sangat kooperatif, hehe.

Ketika kembali ke Maskam untuk sholat Ashar, hati saya berbunga-bunga karena melihat sendal saya masih ter-onggok manis di tempat semula. Setelah sholat, saya laporan ke Pak Satpam, maksudnya ingin meminta kejelasan, apa sendal itu boleh saya bawa pulang atau gimana. Pak Satpam menjelaskan bahwa sendal itu sebenarnya sudah ada sejak kemarin sore. Kemarin sore ada bapak-bapak yang kehilangan sepatu dan hanya tersisa sendal tersebut, tapi bapak itu tidak mau membawa sendalnya. Akhirnya sendal itu dibiarkan di situ sampai akhirnya pemilik aslinya, yaitu saya, menemukannya kembali, hehe.

Kalau analisis Pak Satpam sih begini, jadi si maling mengambil sendal saya di Masjid Al-Ikhlas ketika Zuhur, kemudian menukarnya dengan sendal atau sepatu lain di Maskam ketika Ashar. Pola seperti itu menurut Pak Satpam sering dilakukan oleh maling. Walaupun sudah ada beberapa maling yang tertangkap basah dan dipukuli, tapi rupanya mereka belum jera juga. Ckckck. 

#pojok Perpus Psikologi

June 9, 2013

Mereka Bertanya Tentang Psikotes

Sebagai (mantan) mahasiswa Psikologi, saya seringkali ditodong dengan pertanyaan seputar psikotes oleh job hunters yang mulai stres karena belum mendapat pekerjaan. Pertanyaan yang biasanya dilontarkan adalah, “Kalau gambar pohon, yang bagus gimana sih biar bisa diterima?”, “Gw udah ngerjain soal itungan dan yakin banget bisa, tapi gw kok tetep gak lolos?”, “Masa cuma disuruh gambar pohon, orang, dan rumah aja gw gagal. Ini serius gak sih?”, “Gw mau tes anu besok, bagi triknya dong biar bisa lolos”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang setipe.

Sejujurnya saya sudah lelah sekali menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Kalau tidak dianggap tidak sopan, saya akan merekamkan jawaban saya agar nanti kalau ada yang bertanya lagi tinggal saya suruh dengarkan rekamannya saja. Simpel kan?
Ilustrasi Wawancara (sumber: medium.com)

Tapi sebagai Psikolog “setengah matang”, sudah semestinya saya tau bahwa melakukan hal itu sama saja dengan menunjukkan ketidak-empatian saya kepada penanya. Padahal, empati adalah syarat pertama yang harus dipenuhi oleh seorang Psikolog. Oleh karena itu, setiap kali ada job hunter yang bertanya tentang psikotes, saya usahakan menjawabnya dengan hati penuh.

Di sinilah letak permasalahannya. Meski sudah sepenuh hati menjawab pertanyaan mereka, mereka umumnya kecewa dengan jawaban yang saya berikan karena jawaban itu lebih bersifat “ceramah untuk direnungkan” ketimbang fixed solution. Well, saya akui bahwa jawaban saya ini tidak populis di telinga mereka (job hunters), tapi hal ini perlu saya lakukan agar mereka tidak terjebak dalam pola berpikir pragmatis. Lah, bagaimana tidak pragmatis kalau mereka sudah meminta jalan pintas (shortcut) untuk menaklukan psikotes? Keinginan mendapatkan jalan pintas itu tentu timbul, salah satunya, karena pemahaman mereka yang salah terhadap tes tersebut. Dan saya tidak rela menyesatkan mereka lebih jauh lagi dengan cara menunjukkan jalan pintas tersebut.

Oke, mari kita bahas apa yang saya sampaikan kepada mereka. Begini, mula-mula saya berikan pemahaman dulu bahwa ilmu psikologi dalam dunia kerja itu biasanya digunakan untuk mengungkap karakteristik, kepribadian atau kecenderungan para pelamar. Sebelum melangkah lebih jauh, perlu digarisbawahi bahwa dalam dunia psikologi, tidak ada istilah tipe kepribadian yang baik dan buruk. Semuanya netral. Yang membedakan adalah konteks atau keadaan yang sedang dihadapi. Oke, agar lebih mudah, saya beri contoh.

Mungkin banyak orang yang mengira bahwa tipe kepribadian ekstrovert itu lebih baik daripada introvert karena orang yang ekstrovert lebih mudah bergaul, “rame”, dsb. Alhasil, mereka (job hunters) yang percaya dengan doktrin ini pun mempelajari tes psikologi agar hasil yang mereka dapatkan nanti menunjukkan bahwa dia adalah seseorang dengan tipe ekstorvert.

Perlu saya sampaikan dan tegaskan bahwa keyakinan seperti itu adalah keyakinan sesat karena tidak ada rumusnya dalam dunia psikologi bahwa ekstrovert itu lebih baik daripada introvert. Begitu juga sebaliknya, introvert pun tidak lebih baik dari ekstrovert. Mereka berdiri sendiri-sendiri. Baik-buruknya tergantung pada konteks yang dihadapi. Tipe ekstrovert tentu lebih baik untuk pekerjaan yang berhubungan dengan orang banyak, seperti sales, public relation, trainer, dan sejenisnya. Akan tetapi, jika seseorang ingin melamar menjadi pustakawan, maka kepribadian ekstrovert ini tentu menjadi poin yang sangat menjatuhkan karena dunia perpus adalah dunia hening. Butuh ketenangan, bukan “rame” seperti di pasar.

Oleh karena itu, setiap kali ada orang yang bertanya seputar psikotes, apalagi menanyakan tips dan trik, maka saya akan memberikan “ceramah untuk direnungkan” seperti di atas, kemudian mengarahkannya agar dia menjawab tes tersebut sesuai dengan kata hatinya. Istilah pasarannya, be your self!

Memanipulasi atau mengakali psikotes agar bisa lolos hanya akan merugikan kedua belah pihak, yaitu perusahaan dan pencari kerja. Perusahaan rugi karena mereka mendapatkan pekerja yang tidak sesuai dengan kriteria mereka karena pencari kerja telah memalsukan “identitas” yang sebenarnya. Pencari kerja juga rugi karena akan mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ciri sifat mereka. Hal ini akan menimbulkan stress kerja. Kalau sudah seperti ini, ujung-ujungnya mereka akan meminta resign (mengundurkan diri) dengan berbagai alasan. Hal ini akan membuat track record mereka buruk di mata perusahaan lain.

#pojok Tawangsari