April 30, 2013

Tohokan Progo

Minggu kemarin (28/04/13) saya pergi ke stasiun Lempuyangan untuk membeli tiket kereta api Progo. Rencananya saya akan pulang hari Rabu, dan akan berada di Jakarta selama kurang lebih 2 minggu, terus balik lagi ke Jogja sebelum tanggal 15 Mei untuk mengikuti tes Acept (Toefl-nya UGM). Kepulangan saya ini bukan karena ingin liburan atau hal-hal mendesak, tapi karena saya memang sudah tidak punya uang lagi, haha. *gak ideologis banget*

Di Lempuyangan saya rencananya beli dua tiket, yaitu tiket Jogja-Jakarta dan Jakarta-Jogja, agar nanti tidak perlu repot-repot lagi untuk membeli tiket di Jakarta. Sebenarnya saya agak pesimis bisa mendapatkan tiket hari Rabu (H-3), karena berdasarkan pengalaman, sejak PT KAI membenahi sistemnya untuk meminimalisir praktik percaloan, saya sering kehabisan tiket kecuali untuk keberangkatan H-7 ke atas. Jadi, kalau saya mau pulang hari Rabu, minimal Rabu sebelumnya seharusnya saya sudah ke stasiun untuk memesan tiket.
Sumber: hargatiket.web.id

Akan tetapi, pada hari itu saya beruntung, berdasarkan informasi yang saya lihat di layar, tiket untuk keberangkatan hari Rabu masih tersedia banyak. Dengan kuda-kuda mantap, saya pun antri di loket pemesanan *halah, antri aja pake kuda-kuda*. Setibanya giliran saya memesan, saya kaget ketika mbak-mbak petugas loket mengatakan bahwa tiket Progo sekarang naik menjadi 90 ribu. Jadi, jika saya ingin membeli dua, maka saya harus membayar 180 ribu^.

*hening sesaat*

Sungguh saya terkesima melihat mbak-mbak tersebut *halah*, maksud saya, saya terkesima mendengar ucapan si mbak. Bukan karena suaranya yang merdu, tapi karena isi (content) ucapannya yang sangat menohok telinga. Bagaimana tidak menohok, lha tiket Progo yang biasanya saya beli hanya 35 ribu kini naik 2,5 kali lipat menjadi 90 ribu!!! Ini merupakan tohokan keras bagi Progonisme (penumpang setia Progo).

Tohokan itu membuat saya bingung, jadi beli atau tidak? Setelah berpikir sejenak, akhirnya saya putuskan untuk membeli satu tiket Jogja-Jakarta karena menurut saya, dengan kenaikan harga tiket itu, akan lebih efisien jika saya naik bis untuk pemberangkatan Jakarta-Jogja daripada naik kereta. Toh, harganya tidak jauh berbeda. Alasan lainnya, pada saat itupun saya hanya membawa uang 120 ribu, jadi tidak cukup untuk membeli dua tiket. *ini sebenernya alasan terkuatnya* =))

Dalam perjalanan pulang dari stasiun ke kostan, saya berpikir keras *lebay* untuk menimbang kejadian ini. Dari pemikiran selama 15 menit itu, saya menyimpulkan: saya harus membatalkan rencana pulang ke Jakarta dan mengembalikan tiket! Lah???

Begini, secara matematis, perhitungannya seperti ini: Ongkos pulang pergi Jogja-Jakarta kurang lebih 250 ribu. Sedangkan saya di Jakarta hanya sekitar 12 hari. Jika dalam satu hari pengeluaran saya di Jogja (untuk makan, dsb) adalah 15 ribu, maka dalam 12 hari total pengeluaran bersih saya adalah 180 ribu. Ditambah tetek bengek, maksimal 240 ribu. Artinya, kalau dihitung secara kasar *yang ngitung petinju*, saya justru merugi. Ini tentu tidak sejalan dengan visi saya pulang ke rumah, yaitu untuk penghematan. :p

Baiklah, saya akan tukarkan tiket ini esoknya saja karena di struk tiket diterangkan bahwa pembatalan tiket bisa diajukan sampai 30 menit sebelum keberangkatan (dan akan dikenakan biaya 25%).

Esoknya, saya pergi lagi ke stasiun dengan nawaitu “membatalkan tiket”. Setelah antri sejenak, tibalah giliran saya. “Mbak, saya mau membatalkan tiket”, terang saya kepada mbak-mbak petugas loket. “Uang pembatalannya baru bisa diambil 30 hari setelah pengajuan, mas, dan akan dikenakan biaya pembatalan 25% dari harga tiket”, jawab mbaknya, datar.

Aaaakkkk!!! Lagi-lagi saya tertohok! Dipotong 25% aja udah nohok, apalagi ditambah penundaan 30 hari!!! Saya tidak tau kalau waktu pengembalian uang sampai selama itu karena di struk tiket pun tidak ada keterangannya. Seperti mengerti keadaan saya yang sedang tertohok, si mbak langsung mengambilkan formulir pengajuan pembatalan dan menyerahkannya kepada saya. Saya pun mundur teratur dari loket.

Di stasiun, saya berpikir sejenak, apakah jadi dibatalkan atau tidak? Banyak hal yang saya harus saya pertimbangkan, dari A sampai ke A lagi. Setelah sekian menit berpikir dan  masih kebingungan, akhirnya saya memutuskan untuk pulang dulu ke kostan. Toh, masih ada waktu dua hari untuk membatalkan.

Di perjalanan pulang dari stasiun ke kostan (naik motor), lagi-lagi saya berpikir keras *bagi para pengendara pemula, sebaiknya kelakuan saya ini jangan ditiru karena sangat beresiko. Hal ini akan mengganggu konsentrasi anda*. Saya gunakan analisis deduktif untuk menyikapi kejadian ini. Jika saya tetap tinggal di Jogja, maka saya beresiko kehabisan uang dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Padahal, saya sendiri belum tau kapan orangtua akan mengirimi saya uang lagi. Akan tetapi, jika saya pulang, maka itu akan mengkhianati visi saya. :p

Well, renungan 15 menit itu akhirnya mengantarkan saya pada kesimpulan: saya akan pulang ke Jakarta! Bismillah. Jakarta, tunggu saya tanggal 02 Mei. *gak penting*

Oya, ada informasi tambahan nih, jadwal kereta sekarang banyak yang berubah. Progo yang biasanya berangkat jam 16.50 dan sampai di Jakarta jam 3-an (subuh), sekarang berangkatnya jam 15.30 dan sudah tiba di Jakarta jam 23.49!!! (gak kira-kira nih KAI, masa gw dilepas di Senen tengah malem gitu). Selain itu, Progo juga sekarang pakai AC. Tapi kayaknya gak cuma Progo deh, semua kereta ekonomi kayaknya sekarang ber-AC. Perubahan ini terjadi mulai 01 April 2013.

Sedikit komentar tentang “perbaikan” yang selalu dilakukan PT KAI, saya pribadi sebenarnya menyambut baik “perbaikan-perbaikan” ini. Semua pembenahan itu membuat mereka terlihat semakin profesional. Tapi, apa mereka gak kasihan sama wong cilik yang biasa bolak-balik Jogja-Jakarta naik kereta ekonomi? Hmm… buat wong cilik, semoga cepet jadi wong gede ya!

^pantes dulu gw denger sayup-sayup berita di tv bahwa ada massa yang berdemo di Lempuyangan menolak kenaikan harga tiket. Ternyata ini dia toh masalahnya *kayaknya gw mulai jadi apatis nih*

#pojok Tawangsari

April 27, 2013

Manajemen Bencana

Setelah bergelut dengan skripsi dan antek-anteknya selama beberapa hari terakhir (hari?), pergelutan yang selanjutnya akan saya hadapi adalah dengan Dikti dan UGM. Saya ingin mengikuti program beasiswa BPP-DN (Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri) dari Dikti *Dikti, you rocks me!*

Well, sebenarnya saya belum sempat bilang ke orangtua saya tentang hal ini karena memang belum ada momen yang tepat. FYI, dari kalangan keluarga besar sendiri, mereka sebenarnya prefer saya bekerja daripada kuliah lagi. Bahkan dulu, waktu saya bilang ke Bu’de bahwa saya mendaftar beasiswa di Arab Saudi, beliau dengan tegas melarang. “Gak usah jauh-jauh, kerja aja di sini”, komentarnya waktu itu. Tapi menurut saya, hal ini terjadi lebih karena pemahaman yang belum tersampaikan, bukan karena mereka tidak suka.

By the way, jurusan yang beruntung saya pilih adalah jurusan Manajemen Penanganan Bencana (MPB) di UGM. UGM lagi? Yap, saya sudah kadung jatuh cinta dengan Jogja dan UGM-nya. Terus kenapa gak milih Psikologi? Kan sudah saya sampaikan dulu, Psikologi itu tidak termasuk bidang yang didanai. Kalau meminjam istilah Dikti, Psikologi itu bukan (atau belum?) bidang yang strategis, makanya tidak termasuk hitungan mereka. Puk..puk..ya psikologi*
sumber: cartoonaday.com

Akan tetapi bagi saya, hal itu bukan masalah besar karena pada dasarnya saya senang dengan dunia pendidikan (sebenernya gw mau bilang, gw seneng belajar, tapi kayaknya keliatan bo’ong banget). Saya tertarik dengan sains dan bersedia kuliah lagi (belajar) di bidang apa saja, asal tidak terlalu jomplang. Misalnya, belajar teknik nuklir, itu kan jomplang banget.

Saya sendiri tertarik dengan MPB karena melihat potensi bencana di Indonesia yang sangat besar, sedangkan penanganannya masih amburadul (bukan berarti gw ngarepin bencana lho). Saya berharap dengan mendalami bidang ini, saya bisa melalui sisa umur saya dengan penuh kebermanfaatan. *prok…prok…prok…*

Kemarin, saya sempat building rapot, bertanya kepada Mbak Kiki (Psikologi 2007) yang kini kuliah di jurusan tersebut. Menurut dia, MPB itu sangat berbeda dengan Psikologi. Di MPB, dia lebih banyak belajar tentang Geografi daripada ilmu-ilmu sosial. Katanya, di semester pertama dia hanya mendapatkan satu matakuliah sosial. Pun di semester kedua, hanya mendapatkan matakuliah Sosiologi Bencana untuk bidang sosial, sisanya adalah ilmu eksakta.

Di sisi lain, manajemen kampusnya pun masih belum rapi karena jurusan ini (ternyata) baru dibuka 2 tahun lalu (Mbak Kiki sendiri adalah angkatan kedua). Maka dari itu, dia sering menemukan permasalahan dalam hal-hal teknis perkuliahan. Selain itu, dosen yang mengampu perkuliahan pun “dicomot” dari berbagai fakultas yang ada di UGM, yang kemudian menyebabkan terjadinya keambiguan visi, katanya. Overall, dia menyarankan saya untuk berpikir dua kali jika ingin mengambil jurusan ini. (Kalo orang psikologi ngomong gini, artinya dia gak menyarankan saya mengambil jurusan ini, hehe).

Well, I assumed what Mbak Kiki said is one of clues from Allah before I take another step. Saya masih harus mengumpulkan clue-clue yang lain sampai akhirnya nanti saya benar-benar mantap melangkahkan kaki untuk menapaki jalan hidup ini. *wedew*. Sambil menunggu clue-clue tersebut, mari sejenak kita rayakan kelulusan kita, haha. *PS manah PS*

*Gara-gara belakangan ini temen-temen gw sering ngomong “puk..puk..”, gw jadi ketularan deh. Lagi nge-hits di jejaring sosial kali ya?

#pojok Tawangsari

April 24, 2013

Kemelut #3 (End)

Setelah mendapat dua tanda tangan dari dosen penguji, saya pun langsung menemui Bu Yuni untuk meminta lembar pengesahan. Lembar ini yang nantinya menjadi salah satu bukti sahnya saya menjadi sarjana psikologi. Bu Yuni sedikit kaget dengan “prestasi” saya yang hanya sekali revisi bersama Pak Azwar. Saya cengar-cengir saja melihat ekspresi beliau.

Di saat Bu Yuni sedang mempersiapkan lembar pengesahan, datanglah Pak Budi. “Ah, pucuk dicinta, ulam tiba”, batin saya dalam hati. Kedatangan beliau membuat saya tidak perlu repot-repot sms/telepon beliau karena dengan begitu saya bisa menanyakan langsung kesediaan beliau untuk menandatangani lembar pengesahan. Tapi, rupanya Bu Yuni yang malah berinisiatif menanyakan untuk saya. Pak Budi meminta saya untuk langsung ke tempat parkiran (tongkrongan beliau) jika lembar pengesahannya sudah selesai di-print.

Setelah kejadian baik itu, kabar baik lainnya rupanya datang bertubi-tubi. Bu Yuni mengatakan bahwa Pak Bagus baru saja selesai menguji, jadi saya bisa langsung meminta tanda tangan beliau.

Setelah mendapatkan tanda tangan pengesahan dari Pak Budi dan Pak Azwar, saya langsung menghadap ke ruangan dosen pembimbing skripsi yang sekaligus menjadi dosen pembimbing akademik saya itu. Alhamdulillah beliau ada di ruangan. Setelah menunggu beberapa menit karena ada yang sedang konsultasi, saya kemudian masuk menemui beliau. Tanpa banyak bertanya, apalagi memeriksa skripsi, beliau menandatangani lembar pengesahan skripsi tersebut. Alhamdulillah, terkumpul sudah tiga tanda tangan. Akhirnya saya bisa yudisium hari ini.
Sumber: wisegeek.com

Semua proses tersebut pada akhirnya mengantarkan saya pada jawaban dari pertanyaan yang paling ingin saya ketahui sejak berakhirnya sidang. Pertanyaan ini membuat saya penasaran sekaligus tegang karena jawaban dari pertanyaan ini sangat menentukan masa depan bangsa (halah). Pertanyaan itu adalah, berapa nilai yang saya dapat untuk skripsi saya?

Well, pertanyaan ini menjadi sangat penting karena nilai saya sangat pas-pasan. Sebelum pendadaran, IPK saya cukup membuat saya nyengir ala kuda balap. IPK saya saat itu adalah 0,01 poin di atas level sangat memuaskan. Tapi jika nilai skripsi saya adalah B atau di bawahnya, maka cengiran itu akan menjadi kegetiran yang paling pahit karena dengan begitu IPK saya turun 0,02 poin. Poin segitu cukup untuk membawa IPK saya turun “kasta”.

Ah, tapi kemudian saya tepis perasaan itu. “Udah bisa lulus aja, syukur banget”, batin saya menasihati. Kalau dipikir-pikir, kerisauan tentang IPK itu memang bisa membuat saya kufur nikmat mengingat fase skripsi ini ternyata tidak mudah saya lalui. Seharusnya saya bersyukur karena pada akhirnya (dengan kasih sayang Allah) saya bisa melalui fase ini.

Well, setelah sempat kaget dengan huruf B yang terpampang cukup besar di lembar biodata wisuda yang diberikan mas Arif (pegawai Tata Usaha), saya kemudian bertahmid dalam hati yang sedang bergemuruh karena melihat transkrip nilai yang baru saja di-print oleh Bu Yuni. Alhamdulillah.. KEMELUT.
Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar.

رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني برحمتك في عبادك الصالحين

(Robbi aw zi’nii an asykuro ni’matakallatii an ’amta ‘alayya wa ‘alaa waa lidayya wa an a’mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnii birohmatika fii ‘ibaadikashshoolihin

"Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh") (An-Naml: 19)

#pojok kamar wisma Pakdhe

April 23, 2013

Kemelut #2

Well, hari Senin akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali saya sudah berangkat ke kampus, sesuai dengan anjuran Pak Bagus (dosen pembimbing) yang menasihati agar saya sebaiknya datang jam 7-8 karena Pak Azwar biasa datang jam segitu. Harapan saya datang pagi adalah, pada pagi hari beliau belum banyak kegiatan sehingga proses revisi skripsi saya berjalan lebih cepat. Saya sih berharap revisinya satu kali saja. Akan tetapi, kalaupun harus dua kali, saya masih punya banyak waktu untuk mengumpulkan revisi yang kedua pada hari yang sama.
Sumber: infopc031.wordpress.com

Btw saya datang jam delapan dan langsung ke ruangannya. Sayangnya, kata staf beliau, beliau belum datang. Saya dipersilahkan menunggu. Sampai jam sembilan saya menunggu, tanda-tanda kemunculannya belum juga hadir. Akhirnya saya tanyakan lagi kepada stafnya, apakah hari itu beliau benar-benar akan datang ke kampus, mengingat beliau baru pulang dari luar kota, mungkin masih lelah sehingga ingin istirahat dulu. Jawaban dari stafnya sedikit melegakan. Dia bilang bahwa Pak Azwar selalu mengabari kalau sedang berhalangan hadir. Artinya, hari ini beliau insyallah hadir.

Saya putuskan untuk menunggunya lagi, tapi stafnya kemudian mengatakan bahwa Pak Azwar mungkin baru datang nanti siang. Karena dia mengatakan seperti itu, saya jadi berubah pikiran. Daripada menunggu tanpa aktivitas, lebih baik saya mengerjakan pekerjaan lain dulu dan nanti kalau sudah agak siang, baru saya balik lagi.

Jam sepuluh saya datang lagi ke ruangan Pak Azwar, tapi stafnya memberi tahu bahwa beliau baru saja keluar untuk menguji skripsi, paling lambat selesainya jam 12, dan setelah itu pun beliau mau rapat. Fyuuh… Saya jadi lemas mendengar jawabannya.

Akhirnya, saya sms beliau untuk meminta kepastian. Setelah beberapa jam menunggu dan belum juga ada balasan, saya kirim sms yang sama untuk kedua kalinya. Beliau akhirnya membalas, “Revisi skripsi baru bisa diketahui hasilnya besok Selasa jam 9”. Oh Dear… kalau begini, peluang saya untuk bisa mengikuti wisuda Mei semakin tipis mendekati nol.

Saya langsung mengadu ke Bu Yuni, berharap beliau memberikan additional asa untuk saya, tapi respon beliau membuat harapan saya bertepuk sebelah tangan. “Ya, nanti kalau tidak jadi wisuda Mei, bisa dapat surat Yudisium”, jawabnya singkat. Aaakkkk… saya tertohok.

Karena sudah tidak ada yang bisa saya lakukan di kampus, saya pun pulang dengan langkah gontai (kayaknya dari tadi bahasa gw mellow banget. Ganti ah). Karena sudah tidak ada yang bisa saya lakukan di kampus, saya kemudian pulang dengan langkah tidak setegap prajurit. Di kepala tertimbun banyak penyesalan. Ingin rasanya menggigit apel Fuji untuk meluapkan kekesalan, tapi apa daya uang tak cukup (na’as banget). Meski begitu, masih ada harapan semuanya bisa terselesaikan besok.

Besoknya, Selasa (23/04/13), saya datang pagi lagi untuk menemui Pak Azwar. Ketika saya datang, beliau sudah datang juga, tapi kata stafnya, beliau sedang keluar (lagi-lagi). Setelah menunggu sampai jam 09.30, beliau akhirnya muncul juga. Saya dipersilahkan masuk.

Baru saja duduk di ruangan yang sangat dingin itu, saya langsung dikejutkan dengan pertanyaan beliau, “Skripsi yang kemarin ada coret-coretan saya mana?”. Deg. Saya tercekat. Saya tidak membawa skripsi tersebut karena skripsi itu memang sudah saya “kanibal”. Saya berusaha menenangkan diri, kemudian mencari lembar yang berisi daftar revisi yang dibuat Pak Bagus. Ungtungnya ada. Dan untungnya lagi, beliau mau walaupun hanya saya kasih lembar itu saja.

Setelah beberapa menit memeriksa, beliau kemudian buka suara, “Kalau menurut saya, ini sebaiknya begini.. bla-bla-bla”. Ah, mendengar komentar seperti itu, saya sudah lemas duluan. Terbayang harus bolak-balik ke tempat fotokopian lagi untuk nge-print revisi kedua. Tapi kemudian kelemasan itu sontak sirna dengan gerakan tangan Pak Azwar yang mengarah ke tempat pulpen. Memilih sebentar, kemudian mengambil salah satunya. Membuka tutupnya, lalu mengarahkan moncongnya ke lembar tanda tangan. Dan…. Alhamdulillah, beliau menumpahkan tintanya di atas lembar tersebut. Tumpahan yang berbentuk tanda tangan beliau serta merta membuat hati saya buncah. Puji syukur, kedua tanda tangan penguji telah saya dapatkan.

Kemelut #1

Beberapa hari ke belakang saya benar-benar merasakan kemelut. Bayangan tidak bisa mengikuti wisuda bulan Mei terus menghantui karena sampai hari Jumat (19/04/13), saya belum mendapatkan satu pun tanda tangan dosen sebagai tanda disahkannya skripsi saya. Padahal, hari terakhir pengumpulan tanda tangan itu adalah hari Senin (22/04/13).

Jumat kemarin, saya rencananya mau bertemu dengan Pak Azwar untuk memberikan revisi skripsi, tapi kemudian batal. Beliau pergi ke Bali dan baru balik hari Minggu. Padahal, kata salah seorang teman yang diuji juga oleh beliau, dia harus revisi sampai tiga kali sebelum mendapat tanda tangan Pak Azwar. Kalau waktu sekali revisi diasumsikan satu hari, berarti waktu yang dibutuhkan untuk mendapat pengesahan dari beliau kurang lebih butuh tiga hari! Jelas ini tidak cukup!
Sumber: 123rf.com

Saya pun mengadukan nasib saya ke Bu Yuni (urusan skripsi). Beliau menjawab, “Yaudah, dicoba aja dulu hari Senin, mudah-mudahan langsung dapat tanda tangan”. Jawaban ini membuat hati saya sedikit tersiram.
Sabtunya, saya mengajak Imron untuk menemani saya ke kediaman Pak Budi untuk menyerahkan revisi skripsi. Sebelumnya, saya telah bertemu dengan beliau pada hari Kamis (18/04/2013), tapi saya masih disuruh merevisi. Seolah memahami kondisi saya yang sedang terdesak, beliau mempersilahkan saya untuk datang ke rumahnya pada hari Sabtu atau Minggu.

Rumah beliau terletak di Jalan Wonosari. Alhamdulillah, tidak sulit mencarinya. Dengan sekali bertanya kepada Ibu-ibu di angkringan, saya langsung bisa menemui rumahnya.

Singkat cerita, saya sampai di rumahnya dan dipersilahkan masuk. Pak Budi kemudian memeriksa skripsi saya lagi. Saya benar-benar deg-degan. Takut jika kejadian hari Kamis teulang lagi. FYI, Kamis kemarin, beliau sebenarnya sudah hampir menandatangani skripsi saya. Pulpen beliau sudah menempel di atas kertas. Hati saya sudah sumringah. Tapi sebelum beliau tanda tangan, beliau bertanya, “Sudah diperbaiki toh ini?”. “Sudah, Pak”, mantap sekali saya menjawabnya.

Entah angin apa yang berhembus saat itu, beliau bukannya langsung tanda tangan, tapi justru memeriksa skripsi saya lagi. Membaliknya lembar demi lembar dan menahan pandangannya agak lama di Bab 1. Saya mulai cemas, kemudian lemas setelah mendengar komentar pembukanya. “Lha ini masih begini...bla-bla-bla”. Tanpa saya lanjutkan komentarnya, rasanya kita semua sudah mengerti bahwa masih ada yang salah dalam skripsi saya. Pulpen yang sudah menempel di lembar tanda tangan pun akhirnya dicabut kembali. Fyuuhh…

Di kesempatan kedua itu, beliau membaca lagi dengan cukup seksama. Membalik lembar demi lembar dan menahan pandangannya lagi di Bab 1. Beberapa menit berlalu, tapi belum juga ada komentar dari beliau, sampai akhirnya beliau bertanya dengan pertanyaan yang paling saya ingin dengar, “Mana halaman tanda tangannya?”. Ah… Keukenhoof (festival bunga Tulip di Belanda) rasanya pindah ke hati saya. Beliau mencukupkan pemeriksaannya hanya sampai Bab 1, setelah itu langsung menandatanganinya. Sip… Satu tanda tangan telah didapat.

Setelah itu, saya hanya bisa menunggu sampai hari Senin tiba karena dosen lainnya (Pak Azwar) baru bisa ditemui hari Senin. Hikmahnya, saya bisa memberikan waktu saya untuk Indung yang qodarullah di akhir pekan kemarin menginap di kost saya. Dia ingin mengikuti kajian Syaikh Abdurrozaq di Maskam.

April 19, 2013

It's Not Finish Yet

Saya kira, setelah selesai menjalani sidang pendadaran skripsi, saya bisa lebih berleha-leha. Merebahkan diri lebih lama di atas kasur yang kini lebih mirip karpet. Atau sekedar menyelonjorkan kaki sambil menikmati cappuchino di tengah suasana tenteram Jogja. Juga memberikan treatment khusus untuk jari-jemari yang sudah cukup tereksploitasi selama pengerjaan skripsi. Rasa-rasanya, beberapa jam bermanja-manja dengan stik PS cukup lah untuk menenteramkan jari-jemari ini.

Saya kira, setelah Kamis menegangkan itu, saya bisa melalui beberapa kamis berikutnya dengan sedikit liburan. Saya sendiri sudah membuat daftar destinasi yang ingin saya kunjungi, di antaranya adalah tempat KKN, Goa Pindul, dan Jawa Timur. Tempat KKN dan Goa Pindul mungkin menjadi destinasi yang paling masuk akal karena biaya yang masih relatif terjangkau.

Saya kira, setelah hampir dua jam didadar oleh dua dosen penguji, saya bisa menghabiskan waktu beberapa hari atau minggu di kampung halaman. Menikmati serunya latihan sepak bola di Sabtu sore yang kadang disertai latih tanding di Minggu sorenya. Juga berkunjung ke rumah beberapa saudara untuk menjaga silaturahmi. Dan tentunya menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga. 

Ah…tapi namanya perkiraan tentu tidak selalu benar. Bahkan kalau tidak salah ingat, perkiraan saya justru lebih banyak salahnya. Dan daftar kesalahan perkiraan saya bertambah panjang dengan kasus ini. Semua mimpi indah saya di atas ternyata buyar dengan rentetan to-do list yang (ternyata) harus segera saya selesaikan.
Sumber: profkrg.com

Well, here they are. Pertama, saya ternyata harus dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa beberapa hari ke depan saya harus menggopoh-gopohkan diri menyelesaikan revisi skripsi dan meminta tanda tangan dosen. Bu Yuni (staf bagian skripsi) bilang bahwa batas terakhir yudisium untuk yang mau wisuda Mei adalah tanggal 22 April 2013. Dude, it’s only 3 days left!!!

Awalnya saya santai-santai saja karena melihat pengalaman wisuda sebelumnya, banyak yang masih bisa wisuda walaupun mereka baru yudisium akhir bulan. Tapi karena kemarin saya bertemu seorang teman yang suka paniang (baca: panik), saya jadi tertular kepanikannya. Dia begitu panik karena baru dapat satu tanda tangan dosen untuk revisi skripsinya, padahal deadline nya tinggal 3 hari saja. Melihat kepanikannya, sisi lain diri saya berteriak keras “Woi… Dia yang udah dapet satu aja begitu paniknya, ngapah lw jadi sante banget?”. Dan dia pun (sisi lain diri saya) berhasil membuat saya kalut dengan serta-merta.

Kedua, saya sudah memantapkan hati untuk ikut seleksi beasiswa S2 BPP-DN di UGM. Saya kira (lagi) persyaratan yang paling urgent dipenuhi hanyalah tes Acept (B. Inggris) dan PAPs (Potensi Akademik). Dan lagi-lagi perkiraan saya salah. Ternyata ada begitu banyak persyaratan yang harus segera saya urus, diantaranya adalah proposal penelitian, surat rekomendasi, dan beberapa surat pernyataan (lengkapnya baca di situs UM-UGM aja ya). *shock level 1 has been detected*

Shock berikutnya datang dari pihak KSU. Kemarin, saya dapat email balasan lagi dari mereka. Setelah email pertama menggunakan Arab, yang kemudian saya balas dengan Inggris, mereka membalas email saya lagi dengan masih menggunakan bahasa Arab. *ada ganjil yang ganjel nih*. Karena kemampuan Arab saya sangat terbatas (mendekati nol), saya minta bantuan pihak ketiga untuk menerjemahkannya, yaitu Ustadz Google. Sang ustadz bilang bahwa di kampus Psikologi nanti, program magister akan dilaksanakan dengan bahasa Arab, bukan bahasa Inggris, jadi saya harus bisa baca, tulis, dan berbicara dalam bahasa Arab!!! Aaaaakkkkk….. Saya seperti di-skak mat!!!

Akan tetapi, saya tidak memutus asa. Saya ingin mencari kejelasan informasi tentang hal ini. Dulu waktu mendaftar, ada keterangan bahwa kegiatan perkuliahan dilakukan dengan bahasa Inggris, mengapa sekarang tiba-tiba berubah? Saya ingin menghubungi senior-senior yang sudah lebih dulu belajar di sana untuk mendapat kepastian. Well, memang konsekuensinya adalah daftar kerempongan saya bertambah panjang, tapi tidak apa lah, demi dunia akhirat, hehe.

Lah katanya lagi rempong, kok sempet-sempetnya nge-blog?

Iya..iya.. ini juga mau udahan. Rewel ah.

#pojok kamar wisma Pakdhe

April 12, 2013

Dadar Tanpa Telor

Alhamdulillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Segala puji hanya milik Allah, Sang Penggenggam Langit dan Bumi, dengan rahmat dan hidayah-Nya, saya diberi kemudahan dalam menjalani sidang skripsi (ujian pendadaran) pada Kamis (11/04/2013) kemarin.
Sumber: youthmanual.com

Kemarin saya mempertahankan skripsi saya di depan dua orang dosen penguji, yaitu Bapak Prof. Dr. Saifudin Azwar, M.A dan Bapak Budi Purwanto, M.Si. Hadir pula Bapak Dr. Bagus Riyono, M.A. yang merupakan dosen pembimbing skripsi saya. Ujian dimulai jam 10 pagi di ruang G-201 Fakultas Psikologi UGM. saya diberi kesempatan mempresentasikan skripsi saya selama 15 menit, selanjutnya dua dosen penguji tersebut menghujani saya dengan pertanyaan selama kurang lebih 1,5 jam.

Sejujurnya, ketika akan menghadapi ujian itu, saya diliputi rasa antusias, tapi juga cemas. Saya antusias karena dua hal, pertama karena pada dasarnya saya memang menyenangi “forum” diskusi ilmiah seperti itu (saya merasa sidang kemarin benar-benar seperti diskusi, saya enjoy mengikutinya). Kedua, karena saya diuji oleh Pak Azwar, salah satu dosen yang saya idolai (beliau membuat saya jatuh hati kepada “Psikometri”). Diuji oleh beliau, benar-benar suatu kehormatan.

Di sisi lain, rasa cemas juga hadir karena khawatir dengan pertanyaan-pertanyaan dari Pak Azwar. Biar bagaimanapun, beliau adalah salah satu “Mbah”nya Statistika di Psikologi. Sudah banyak buku yang beliau tulis mengenai bidang tersebut sehingga kredibilitasnya tidak perlu diragukan lagi.

Dan kekhawatiran saya benar-benar terbukti ketika sidang kemarin. Banyak pertanyaan-pertanyaan beliau yang tidak mampu saya jawab. Bukan karena blank, tapi karena memang kompetensi statistika saya yang masih sangat minim. Sesi tanya jawab bersama beliau itu akhirnya tidak bisa saya nikmati sepenuhnya. Akan teteapi, saya tetap bersyukur karena dari beliau saya dapat pelajaran banyak.

Untungnya, beliau bukan tipe dosen “penjebak”. Maksudnya, ketika beliau menyalahkan, kesalahan itu memang benar-benar telah saya lakukan, bukan karena beliau “hanya” ingin menguji pengetahuan saya. Di skripsi saya sendiri, ternyata ada beberapa misunderstanding dalam perkara statistik, pengolahan data, dan sejenisnya. Dan hal ini sangat beliau sesalkan karena menurut beliau kesalahan-kesalahan seperti itu sangat sering ditemui di skripsi mahasiswa.

Oke, saya beri contoh, kemarin Pak Azwar menyalahkan saya karena saya menggunakan uji homogenitas sebagai pendahuluan sebelum menguji beda (t-test), padahal hal itu tidak perlu dilakukan. Sejujurnya, saya melakukan uji homogenitas karena semata-mata melihat skripsi-skripsi sebelumnya. Hampir semua skripsi yang saya baca melakukan uji homogenitas tersebut. Saya sendiri tidak terlalu memahami konsep mengapa saya harus memakai uji homogenitas dalam uji beda. Ini adalah kesalahan fatal!

Beruntung, sesi tanya jawab bersama Pak Azwar adalah sesi yang kedua. Kalau itu adalah sesi pertama, bisa-bisa saya kacau sampai akhir sidang. Sesi tanya jawab pertama sendiri dibersamai oleh Pak Budi. Sesi pertama ini sangat saya nikmati karena beliau banyak bermain logika. Pertanyaan-pertanyaan beliau lebih banyak mengeksplorasi daya nalar, bukan teori.

Setelah 1,5 jam dihujani pertanyaan, saya dipersilahkan keluar ruangan untuk menunggu hasil. Selagi menunggu hasil, teman-teman menyelamati saya. Ada beberapa teman yang hadir dalam sidang kemarin, yaitu Imron, Adrian, Uka (Retno), dan dua orang anak 2009. Mereka adalah orang-orang yang memang sudah jauh-jauh hari minta dikabarkan kalau saya akan disidang, kecuali dua anak 2009 itu (mungkin mereka akan menghadapi sidang juga, sehingga ingin belajar dari sidang saya). Saya sendiri tidak memberi kabar ke teman-teman kampus kalau saya akan disidang. Beberapa teman saya kabari hanya beberapa menit sebelum ujian, sehingga mereka tidak punya waktu yang cukup untuk pergi ke kampus untuk menonton, hehe.

Setelah beberapa menit menunggu, saya dipanggil masuk ruangan lagi oleh Pak Bagus. Oya, Pak Bagus lah yang berperan sebagai pembawa acara dalam sidang itu. Beliau membacakan hasil sidang dengan suara pelan. Jantung saya berdegup, tapi tetap yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. “Setelah merapatkan hasil bersama dosen penguji”, Pak Bagus mulai membaca, “kami memutuskan bahwa kamu LULUS dengan revisi”.

Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus. Walaupun para dosen menyatakan banyak poin yang harus direvisi, tapi kata yang paling nyaring dan nyangkut di telinga saya hanyalah kata “LULUS”. Ya, cuma itu, LULUS.

رب أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت علي وعلى والدي وأن أعمل صالحا ترضاه وأدخلني برحمتك في عبادك الصالحين

(Robbi aw zi’nii an asykuro ni’matakallatii an ’amta ‘alayya wa ‘alaa waa lidayya wa an a’mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnii birohmatika fii ‘ibaadikashshoolihin
 "Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh") (An-Naml: 19)

#pojok kamar wisma Pakdhe

April 5, 2013

Di Antara Arab dan Korporat, Ada Indonesia

Bimbang. Lagi-lagi pikiran saya berkubang di lembah kebimbangan. Kebimbangan kali ini datang dari pilihan karir setelah lulus kuliah. Mau apa saya setelah lulus kuliah nanti?
Sumber: ceciliaadrianto.wordpress.com

Saat ini, setidaknya saya memiliki tiga opsi. Opsi pertama adalah melanjutkan kuliah di Arab. Dulu saya pernah mendaftar beasiswa di King Saud University (KSU). Saat mendaftar, sebenarnya saya tidak menyertakan ijazah S1 karena saya memang belum lulus, tapi saya menjanjikan kepada mereka bahwa saya akan lulus paling lambat bulan Mei 2013. Setelah beberapa bulan tidak ada kabar dari mereka, kemarin Rabu (03/04), melalui email mereka memberikan respon yang menurut saya cukup positif. Mereka bertanya kepada saya apakah saya sudah lulus atau belum dan kalau sudah, saya diminta menyertakan ijazahnya.

Dulu sebenarnya saya tertarik ikut program ini karena mereka menyediakan prodi khusus “Psikometri”. Saya tertarik dengan prodi Psikometri karena menurut saya bidang inilah yang paling “ilmiah” dan menantang di antara bidang-bidang psikologi lainnya. Akan tetapi, ketika saya mendaftar dan memilih jurusan secara online, ternyata prodi yang disediakan melalui jalur beasiswa hanya Psikologi Klinis, sedangkan Psikometri tidak tersedia. Padahal saya tidak begitu tertarik dengan Psikologi Klinis.

Alasan kedua mengapa saya mengikuti beasiswa ini adalah karena saya ingin pergi haji dan umroh dengan cara yang lebih mudah dan murah, hehe. KSU ini sendiri lokasinya ada di Riyadh, tidak terlalu jauh dari Mekkah sehingga kalau nanti saya jadi kuliah di KSU, insyaallah saya bisa bolak-balik Masjidil Harom sepuasnya. Ihiyy…

Akan tetapi sekali lagi, karena bidang yang tersedia hanya Psikologi Klinis, saya jadi berpikir ulang untuk meneruskan proses pengurusan beasiswa ini karena pada dasarnya saya memang tidak begitu tertarik dengan bidang tersebut.

Ya, dulu saya memang pernah menyampaikan bahwa saya ingin menjadi dosen dan beasiswa ini bisa mengantarkan saya menuju pintu tersebut, tapi jika harus menjadi dosen psikologi klinis, saya sepertinya harus banyak-banyak tafakur karena menurut saya bidang inilah yang paling “rentan”. Saya takut jika nanti pertanggungjawabannya di akhirat akan memberatkan saya karena telah mengajarkan terapi-terapi psikologis yang agak mengkhawatirkan dari sisi aqidah, meski tidak semuanya nyeleneh. *no offense ya bapak/ibu dosen klinis*

Well, opsi kedua adalah mengikuti program beasiswa S2 di dalam negeri. Di Indonesia sendiri ada beberapa beasiswa S2 yang ditawarkan, tapi yang paling logis dan cocok (menurut saya) adalah beasiswa calon dosen melalui program BPP-DN DIKTI (dulu namanya Beasiswa Unggulan). Mengapa saya katakan paling logis dan cocok? Karena beasiswa ini meng-cover seluruh keperluan mahasiswa, mulai dari SPP, biaya bulanan, buku, penelitian, bahkan perjalanan. Selain itu, beasiswa ini juga memberlakukan sistem ikatan dinas yang masa baktinya adalah 1n+1. Kalau S2 nya dua tahun, berarti masa baktinya 3 tahun.

Bagi saya pribadi, hal ini (masa bakti) tidak menjadi masalah, malah sebuah berkah karena dengan begitu saya tidak perlu repot-repot mendaftar menjadi dosen. Akan tetapi sayangnya, bidang keilmuan yang ditawarkan terbatas pada beberapa bidang saja dan berita buruknya (gak buruk-buruk juga sih) mereka tidak menyediakan beasiswa untuk jurusan psikologi, baik magister profesi maupun sains. *ternyata psikologi belum dianggap sebagai bidang keilmuan yang strategis, haha*

Meskipun begitu, ada satu bidang yang menurut saya cukup relevan dengan psikologi, yaitu Manajemen Penanganan Bencana. Setelah dipikir-pikir, saya rasa tidak masalah jika saya mengambil jurusan tersebut karena selain ke-psikologi-an saya juga sudah mulai “goyah”, jurusan ini juga menarik minat saya, mengingat Indonesia adalah salah satu negara rawan bencana, sedangkan penanganan bencana di negeri ini masih amburadul. *pengalaman menjadi relawan Merapi kemarin menjadi tolok ukurnya*

Akan tetapi, permasalahan muncul ketika saya memikirkan biaya yang harus dipersiapkan untuk “menyambut” beasiswa tersebut. Well, meskipun beasiswa itu sudah meng-cover keseluruhan biaya, tapi tetap saja ada biaya-biaya di awal masuk, misalnya biaya pendaftaran. Meskipun (kalau tidak salah) nanti akan diganti juga oleh mereka. Total biaya awal yang harus saya persiapkan untuk menyambut beasiswa ini paling sedikit setidaknya Rp 1 juta.

Saya sungguh bingung bagaimana harus menjelaskan hal ini kepada Bapak saya. Di satu sisi, saya tidak mau merepotkan beliau lagi dan ingin segera membantu beliau, terutama dalam hal ekonomi, tapi di sisi lain saya juga ingin mengejar cita-cita saya. Dan bekerja di korporat bukanlah impian saya yang sesungguhnya.

Sebenarnya dengan uang bulanan dari beasiswa BPP-DN itu pun sudah cukup untuk membantu Bapak saya, setidaknya membantu meringankan beban biaya untuk sekolah adik, tapi masalahnya ya itu tadi, saya tidak tau bagaimana harus menjelaskan dan meyakinkan beliau untuk “berinvestasi” sedikit lagi untuk mengurus biaya pendaftaran dan tetek bengeknya. Apalagi adik saya yang pertama juga mau lulus SMK dan berencana lanjut kuliah, pasti butuh banyak biaya.

Nah, semua kondisi itu mengarahkan saya kepada opsi ketiga, yaitu bekerja. Ini sebenarnya opsi yang paling unfavorable bagi saya, tapi saya benar-benar terhimpit pada keadaaan yang sangat dilematis. Bapak dan keluarga besar saya sudah pasti lebih menghendaki saya agar bekerja. Bu’de saya dulu dengan jelas meminta agar saya bekerja saja di sekitaran Jakarta. “Gak usah jauh-jauh, kerja aja di sini”, katanya tempo hari ketika saya bilang bahwa saya mendaftar beasiswa di Arab. Tapi, passion saya bukan di situ. Passion saya adalah buku dan hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan. Itulah yang membuat saya “hidup”. Setidaknya untuk saat ini.

Well, memang saya akui bahwa keluarga besar saya bukanlah keluarga yang memiliki background pendidikan yang kuat. Mereka lebih cenderung ke arah entrepreneur. Jadinya kebanyakan dari mereka tidak terlalu antusias dengan pendidikan. Saya sendiri heran, mengapa saya bisa menjadi begitu berbeda dengan mereka?

Anyway, semua analisis ini hanyalah kalkulasi saya sebagai makhluk yang lemah. Saya bilang ini bagus-itu jelek, tapi Allah tentu punya penilaian sendiri, perkara mana yang paling baik untuk saya. Sambil berdoa agar Allah menunjukkan jalan yang lurus, sekarang sempurnakan ikhtiar dulu deh. *siap-siap pendadaran Bung*

NB: Saya benar-benar mengapresiasi upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan belakangan ini. Langkahnya sangat progresif dan populis. Semoga tidak ada udang di balik bakwan ya, hehe.

#pojok kamar wisma Pakdhe