March 28, 2013

Ketika Wanita Mulia Diabaikan

Miris. Benar-benar miris saya melihatnya. Seorang tetangga kos “mengabaikan” ibu dan adik kecil yang sedang mengunjunginya. Dia meninggalkan ibu dan adiknya berdua di kamar dan lebih memilih mengobrol dengan tetangga kos yang lain sejak semalam. Ibunya dicuekin. Kedatangan ibunya diacuhkan.
Sumber: republika.co.id

Sejak kedatangannya semalam, saya belum mendengar percakapan antara mereka berdua.  Padahal saya tau, teman kos saya itu berasal dari luar Jawa. Artinya, kemungkinan besar ibunya pun datang dari luar Jawa. Hal ini menambah daftar kemirisan hati saya. Mengapa seorang anak begitu tega “mengacuhkan” orangtua (apalagi Ibu) yang sudah jauh-jauh datang dari kampung? Kenapa dia bisa sampai hati memilih menghabiskan waktu bersama teman kosnya yang setiap hari ada di situ daripada dengan ibunya yang hanya sesekali datang?

Bahkan ketika matahari baru akan terbit, ia bukannya men-treat ibu dan adiknya dengan menyediakan sarapan, teh hangat, atau makanan ringan, tapi malah keluar kamar lagi untuk melanjutkan obrolannya yang semalam. Masya Allah. Bagi saya, itu sudah sangat keterlaluan.

Saya saja selalu memimpikan ibu saya (sewaktu beliau masih ada) bisa mengunjungi saya di sini, tapi karena satu dan lain hal, beliau belum bisa berkunjung ke Jogja. Rencananya ibu akan datang saat wisuda saya, tapi hal itu sudah tidak mungkin lagi karena beliau sudah wafat bulan Ramadhan tahun lalu.

Oleh karena itu, setiap kali ada teman kos yang dikunjungi orangtuanya, terutama ibu, saya menjadi begitu emosional (dalam artian psikologis). Saya bahkan pernah menitikkan air mata ketika seorang teman dikunjungi ibunya. Ibunya itu begitu perhatian dan sangat ramah kepada anak kos lain. Kasih sayang ibu tersebut mengingatkan saya kepada umi.

Itulah mengapa saya begitu “sensitif” dengan perilaku abai teman saya itu. Pesan untuk anda: jangan mempertontonkan perilaku abai anda terhadap ibu di depan saya!

#rindu Umi
#pojok kamar wisma Pakdhe

March 27, 2013

Rekayasa Sosial

Saya baru saja selesai membaca buku Rekayasa Sosial karangan Jalaludin Rakhmat. Buku ini sebenarnya sudah pernah saya baca sekitar 3 tahun yang lalu, tapi karena materinya menarik, saya jadi ingin membacanya lagi.
Sumber: shopee.co.id

FYI, agak susah mendapatkan buku ini karena sudah tidak diterbitkan lagi. Saya sudah cari di beberapa toko buku, bahkan di tempat loakan, tapi tidak ketemu juga barang sebiji. Fortunately, buku itu tersedia di Perpustakaan Fisipol UGM.

FYI lagi, menurut kawan yang dulu meminjamkan buku itu, si penulis (biasa dipanggil Kang Jalal) adalah seorang Syi’ah. Isi bukunya pun tidak sedikit membicarakan Iran. Meski tidak tidak secara gamblang mempropagandakan Syi’ah, tapi di beberapa tulisan cukup terlihat bagaimana penulis memiliki kesan spesial terhadap Syi’ah.

Saya sendiri mengagumi Kang Jalal dalam berargumen dan menyampaikan gagasannya dalam buku tersebut. Begitu lugas dan simpel. Logika yang dipakai pun sangat bagus. Salah satu contohnya adalah ketika dia menjelaskan tentang kesalahan berpikir yang sering terjadi, dia menulis seperti ini:

“Pernah seseorang mengatakan bahwa orang-orang Islam itu jorok. Buktinya, Indonesia yang mayoritas muslim, orang-orangnya jorok. Orang itu lalu menyimpulkan bahwa Muslim di mana pun jorok. Sebaliknya, orang-orang Nasrani itu bersih dan rapi. Buktinya, orang-orang Nasrani di negara Barat umumnya bersih dan rapi.

“Untuk menolak asumsi yang salah itu, kita dapat dengan mudah mengambil contoh yang sebaliknya, dan menggeneralisasikannya seperti Pak Profesor Doktor tadi. Mungkin dia akan terkejut. Umpamanya, ketika dia mengatakan orang Nasrani itu bersih, saya katakan saja bahwa orang Nasrani di Filipina itu jorok. Orang Nasrani di Brazil itu jorok. Orang Nasrani di Argentina itu jorok. Kesimpulannya: orang Nasrani jorok-jorok.

“Orang Islam di Inggris itu bersih. Orang Islam di Amerika itu bersih dan orang Islam di negara-negara Barat lain pada umumnya juga bersih-bersih. Dengan demikian, kesimpulannya orang Islam itu bersih dan orang Nasrani itu jorok.”

Jujur, pada saat membaca ini pertama kali tiga tahun lalu, saya menjadi sedikit “tercerahkan”. Dulu, logika berpikir saya sangat kaku, satu arah, tidak bisa berpikir bolak-balik. Sekarang sudah sedikit lebih maju. Setidaknya menurut saya, hehe. Dan semangat saya lebih meletup-meletup lagi ketika membaca bagian “Teori Revolusi” karena materi tersebut sangat saya gemari. Kalau kata anak muda zaman sekarang, “materinya, gue banget”.

Oke, saya sampaikan sedikit materinya di sini, khususnya bagian Teori Revolusi: Mazhab Psikologi.

Menurut mazhab Psikologi, revolusi terjadi karena tiga kondisi deprivasi: pertama, deprivasi aspirasional. Deprivasi jenis ini terjadi ketika kapabilitas pemerintah tidak mampu mengimbangi ekspektasi rakyat. Rakyat ingin sekolah gratis, tapi pemerintah tidak mampu mewujudkannya. Rakyat ingin makan tiga kali sehari, tapi ternyata mereka hanya bisa makan sekali tiga hari. Keadaan seperti ini akan membuat rakyat frustrasi. Bila frustrasi itu meluas, rakyat meledakkan kekecewaan mereka dalam berbagai kerusuhan. Terjadilah revolutions of rising expectations.

Kedua, deprivasi dekremental, deprivasi karena penurunan. Kondisi itu terjadi ketika value expectgtions tetap, tapi value capacities turun dengan drastis. Harapan dan ekspektasi rakyat sebenarnya tetap (stabil), tapi karena tiba-tiba terjadi krisis moneter, korupsi yang melumpuhkan ekonomi rakyat, pemerintah yang otoriter, dsb, kemampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan rakyat menjadi turun drastis. Revolusi yang terjadi karena hal ini disebut dengan revolutions of with-drawn benefits, revolusi karena kehilangan keuntungan.

Ketiga, deprivasi progresif. Misalnya, satu bangsa melakukan pembangunan nasiona. Selama periode tertentu, aspirasi naik sama cepatnya dengan kenaikan pemenuhan aspirasi itu. Aspirasi dan pencapaian berkembang bersama-sama. Pada satu titik, pencapaian dihambat atau bahkan diturunkan (karena bencana alam, perang, kehancuran ekonomi). Jarak antara value expectations dengan value capacities makin lama makin jauh. Terjadilah revolutions of frustrated progress.

Kesimpulannya, jika anda ingin menimbulkan revolusi, lakukanlah hal-hal berikut: (1) tingkatkan aspirasi rakyat sehingga tidak lagi dapat dicapai oleh mereka, (2) turunkan pencapaian rakyat, atau (3) kembangkan aspirasi dan pencapaian bersama, tetapi kemudian pada satu titik, turunkan pencapaian dan aspirasi kita naikkan.

Dulu saya pernah menjawab soal Ujian Akhir Semester (UAS) Isu-isu Psikologi Sosial dengan teori tersebut dan hasilnya sangat menggembirakan. Saya mendapat nilai A, hehe.

#menunggu jadwal verifikasi skripsi
#pojok kamar wisma Pakdhe

March 18, 2013

Az Zahra Mencari Santri

Dulu kami sempat kelimpungan mencari rekan pengajar. Sekarang kami kelimpungan mencari orang yang diajar.

Sudah beberapa bulan ini TPA tempat saya mengajar mengalami kemunduran dalam hal kuantitas peserta didik. Jumlah santri yang belajar semakin hari semakin berkurang. Saat ini jumlah santri yang hadir tiap pertemuannya rata-rata hanya sekitar 6-7 orang. Padahal dulu dimasa “jaya”nya, jumlah mereka bisa mencapai 20an orang per pertemuan.  
Ilustrasi santri TPA (Sumber: ammazet.com)

Menghadapi kenyataan itu, ustadz-ustadzah melakukan koordinasi untuk membedah sebab-musababnya, yang kemudian dicari pula solusi penanganannya. Rapat demi rapat beberapa kali digelar. Ide demi ide sudah diaplikasikan. Upaya demi upaya telah dilakukan. Dari mulai outbound hingga mendatangkan pendongeng. Semua sudah dicoba. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada perubahan yang bisa dikatakan signifikan. 

Hmm..kenapa bisa begitu? Dimana sebenarnya letak permasalahannya?

Kalau yang ditanya adalah pendapat pribadi, menurut saya sih tidak ada yang salah. Ya, tidak ada yang salah. Karena bagi saya pribadi, besar kecilnya jumlah peserta didik bukan perkara utama. Adapun yang utama adalah kemauan, keikhlasan, dan keseriusan pengajar dalam mengajar. Mau jumlah santrinya 5, 10, 20, 30, it’s no problem. Selama mereka mau belajar, ya kita ajarkan.

Saya berprinsip, daripada sibuk memikirkan santri yang belum ada, lebih baik menyibukkan diri mendidik santri yang sudah ada dengan didikan terbaik. Walaupun cuma lima orang, tidak masalah. Asalkan lima orang itu kita didik dengan sebaik-baiknya. Siapa tau kelima orang itu menjadi hafidz-hafidzhoh yang punya pesantren dengan jumlah santri ribuan orang? Insyaallah ada pahala jariyah buat kita juga, hehe…

Permasalahan yang hakiki menurut saya adalah, siapkah para pengajar jika memang Allah berkehendak mengamanahkan “follower” dalam jumlah yang banyak? Bukan cuma siap secara tenaga dan waktu, tapi sudah siap juga kah pondasi “hati” kita? Karena biar bagaimanapun, pertambahan jumlah pengikut akan menghadirkan beberapa konsekuensi. Dan konsekuensi terberat menurut saya akan menimpa hati kita. Mampukah hati kita lepas dari bayang ujub yang samar dan sulit terdeteksi dengan banyaknya jumlah santri? Sanggupkah kita melawan sergapan riya yang juga mungkin menghampiri? Kalau tidak hati-hati, mungkin pahala mengajar kita habis digerogoti penyakit hati ini.

Oke..oke.. tapi bagaimana dengan mereka yang belum TPA atau yang sudah pernah TPA, tapi tidak pernah datang lagi? Bukankah sudah merupakan tugas kita sebagai muslim untuk mengingatkan mereka agar mengaji?

Ya, betul sekali, memang tugas seorang muslim untuk mengingatkan, tapi mengapa kita tidak berhusnudzan saja kepada mereka bahwa mereka saat ini sudah memiliki tempat belajar yang lebih baik, bersama ustadz-ustadzah yang juga lebih kompeten?

Makjleb? (maksudnya menohok karena ada kata “ustadz-ustadzah yang lebih kompeten”?) Sama sekali tidak. Malah bersyukur karena mereka bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Syukurnya berlipat ganda kalau ternyata ustadz-ustadzah itu adalah orangtua mereka sendiri. Hal itu menandakan keseriusan orangtua dalam mendidik anaknya dalam beragama.

Kalau kita yang masih dho’if ini mengajar, mungkin nanti justru menghadirkan masalah baru ke depannya. Ya, mungkin karena itu juga Allah “hanya” mengamanahkan kita dengan segelintir santri. Biar nanti hisabnya (perhitungan) di akhirat juga ringan. Kalau semakin banyak, kan semakin berat juga hisabnya, hehe.

Well, pendapat-pendapat ini mungkin agak nyeleneh, tapi ini murni pendapat saya, bukan forum. Lagi pula keputusan forum adalah (tetap) mengupayakan penambahan jumlah santri.  Saya sebagai jamaah, tentu mengikuti pendapat forum karena memang seperti itulah sunnahnya. Kan kata Rasulullah saw lebih baik pendapat yang salah dari hasil musyawarah daripada pendapat yang benar tapi keputusan sendiri. 

*Az Zahra adalah nama TPA tempat saya mengajar
 #pojok kamar wisma Pakdhe

March 14, 2013

Kesadisan Verbal

Konon orang yang sukses berkarir di dunia entertainment cuma ada dua tipe. Tipe pertama, mereka yang cuaaakeeep banget. Tipe kedua, kebalikannya.

Belakangan ini pemberitaan tentang kesadisan manusia sedang mengemuka. Senin kemarin (11/03/13), headline Kompas menyajikan rangkaian aksi brutal yang terjadi di Jakarta beberapa bulan terakhir. Berikut beberapa kejadiannya:

1. Bulan Januari, SU (55) menyetubuhi RI (11) hingga meninggal akibat komplikasi penyakit kelamin. Pelaku memaksa melakukan seks anal kepada korban. Korban sendiri merupakan anak kandung pelaku. Motifnya adalah melampiaskan hasrat seksual kepada korban saat istri sakit.

2. Bulan Februari, DP (42) diduga mencabuli PDF (19) selama 5 tahun hingga akhirnya hamil. Lagi-lagi korban adalah anak kandung pelaku. Motifnya adalah melampiaskan nafsu setiap melihat korban memakai celana pendek.

3. 04 Maret 2013, Silvester Bria (48) membunuh dan memutilasi Rosalina Bete (45) dan Emelia Putri alias Esrah (2,5). Kondisi Rosalina sedang hamil tiga bulan. Korban merupakan istri dan anak pelaku. Motifnya adalah tersinggung dan sangat malu terhadap keluarga istri karena ia dicibir saat menyerahkan tais (kain penutup jenazah) yang dianggap kurang pantas oleh keluarga besar (Kalo yang ini kayaknya bukan di Jakarta).

4. 05 Maret 2013, BS (36) memutilasi istrinya, Darna (32), dan membuang potongan tubuhnya di jalan tol arah Cikampek. Sebelumnya, pelaku menganiaya dan memukul alat vital korban. Motifnya adalah, pelaku cemburu dan menuduh korban berselingkuh.

5. 06 Maret 2013, I (28) membunuh setelah menyetubuhi Salma alias Samah (35). Pelaku membungkus korban dengan karung dan membuangnya di tepi Kanal Banjir Timur, Cilincing, Jakarta Utara. Motifnya adalah ekonomi. Pelaku kalap dan ingin menguasai harta korban. Korban merupakan kekasih gelap pelaku.

6. Terus kalau tidak salah ada juga kejadian penemuan mayat yang telah hangus dibakar di Jakarta, tapi tidak ditampilkan dalam headline Kompas.

Hmm…gimana, masih mau tinggal di Jakarta? Hehe  
Sumber: drgerrylewis.com

Lalu apa hubungan kejadian-kejadian itu dengan kalimat pembuka? Sabar bro, ini baru mau dijelasin.

Begini, saya mengamati bahwa masyarakat sebenarnya sudah semakin familiar dengan kesadisan. Sadar atau tidak, kita juga sebenarnya menjadi penikmat kesadisan yang serupa setiap hari melalui layar televisi. Bedanya, kesadisan yang kita nikmati bukan kesadisan fisik, melainkan kesadisan verbal.

Coba anda perhatikan tontonan anda. Kalau di dalamnya ada tontonan ber-genre komedi, hampir bisa dipastikan bahwa anda juga tergolong penikmat kesadisan. Bagaimana tidak, tontonan komedi yang banyak disiarkan di televisi saat ini umumnya mengeksploitasi kekurangan fisik seseorang. Mereka yang secara fisik “kurang beruntung” (versi manusia) di-bully habis-habisan. Direndahkan. Dipermalukan. Perilaku itu sudah memenuhi syarat untuk digolongkan sebagai bentuk kesadisan.

Lha kok bisa?

Begini, perlu dipahami dulu bahwa kesadisan fisik (pembunuhan, mutilasi, dsb) merupakan suatu bentuk agresi. Agresi sendiri, menurut Bush dan Denny (1992), memiliki empat aspek, yaitu agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan permusuhan. Agresi fisik contohnya adalah berita-berita yang tadi sudah disampaikan di atas. Sedangkan agresi verbal (verbal agression) adalah agresivitas dengan kata-kata. Bentuknya bisa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme.

Nah, coba sekarang kita bandingkan dengan tontonan komedi di televisi. Apakah di sana ada umpatan? Itu mah menu wajib. Sindiran? Sebelas-dua belas dengan umpatan. Fitnah? Pasti ada. Sarkasme? Wah, menu favorit tuh.

So, bukankah kita juga merupakan bagian dari penikmat kesadisan? Dan bukankah orang yang menikmati perbuatan sadis tak ubahnya orang yang melakukan kesadisan itu sendiri? Iya, sama aja. Lah, dengan menonton tayangan tersebut, kita kan sama saja sudah menjadi donatur agar tayangan itu tetap lestari gemah ripah loh jinawi *ngarang*. Artinya, kita membiarkan pelaku sadis terjebak dalam dosa (melakukan kesadisan) dan merelakan saudara kita di-sadisi.

KITA MELESTARIKAN DAN MENJAMURKAN KESADISAN!

Ya gak sadis lah, kan yang di-bully itu emang atas kesadaran sendiri. Dan dia seneng-seneng aja tuh di-bully. Kenapa jadi lw yang sewot?

Bro, mana ada sih orang yang bersedia jadi relawan untuk di-bully? Binatang aja punya harga diri, apalagi manusia. Saya yakin setiap orang by default (dari sononya) punya harga diri dan tidak ingin direndahkan.

Tontonan kesadisan verbal seperti ini, jika dibiarkan akan merusak tatanan masyarakat. Orang akan semakin mudah menemukan agresi verbal berupa umpatan, sindiran, fitnah, dan sarkasme. Tidak perlu heran kalau kedepannya, kita akan lebih banyak menemui berita-berita tentang pembunuhan, mutilasi, dan aksi brutal lainnya.

Lho, dari mana hubungannya?

Dahulu pernah saya sampaikan bahwa apa yang orang ucapkan merupakan cerminan hatinya. Hati yang bersih tidak akan mengucapkan kata-kata kotor. Begitu juga sebaliknya, ucapan-ucapan kotor seseorang merupakan pertanda keruhnya hati. Dan ingatkah kamu bagaimana Rasulullah saw berwasiat tentang hati?

Ketahuilah, bahwa dalam tubuh terdapat mudghah (segumpal daging), jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (HR. Bukhari dan Muslim).

Sudah jelas bukan? Jadi, kalau kita melihat ada seseorang yang sadis dalam berucap, maka dapat dipastikan kalau dia pun sadis dalam berperilaku. Karena itu, daripada kita tertular, mending kita matiin aja tv kita. Bismillah.

March 9, 2013

Mental Fakir

Memasuki tahun 2013, saya belajar membenahi mental saya. Perlu dicatat, pembenahan mental ini bukan merupakan bagian dari resolusi saya menghadapi tahun baru karena saya sendiri tidak pernah membuat resolusi apa-apa di tiap momen pergantian tahun. Dan bagi saya, mendeklarasikan mimpi tidak harus menunggu momen tahun baru karena hal itu jauh dari prinsip efisien. 

Oke..oke.. gak usah sewot, kita di sini lagi ngomongin mental, bukan resolusi. *elus-elus dada*

Back to topic, saya meyakini mental yang ingin saya benahi ini adalah mental yang sudah lazim beredar di masyarakat *su’udzan aja lw* sehingga selama ini saya pun tidak sadar kalau ternyata mental tersebut kurang pas menempel di jiwa saya sebagai seorang muslim. Permisifitas masyarakat ditambah terlalu sedikitnya waktu yang saya luangkan untuk berpikir dan berkontemplasi (merenung) membuat mental ini sulit terendus unsur “ketidakbaikannya”.

Well, mental apakah itu?

Saya menyebutnya mental fakir. *jeng…jeng…* Ya, mental fakir. Mental ini berwujud “permintaan traktir” oleh kita kepada orang lain, terutama teman dekat. Modusnya bisa bermacam-macam, tapi yang paling sering muncul adalah modus ulang tahun dan perayaan kesuksesan.
Ilustrasi meminta (sumber: qurancordoba.com)

Disadari atau tidak, kita (baca: saya) terlampau sering mengucapkan kata “traktir” sebagai bentuk pasif. Momen bertambahnya usia teman (khususnya teman dekat) selalu menjadi sasaran empuk bagi kita (baca: saya) untuk memperbaiki gizi atau sekedar menjaga isi dompet tetap utuh pada hari itu. Belum lagi kalau mereka (teman-teman kita) baru saja diwisuda, meraih beasiswa, mendapat gaji pertama atau meraih kesuksesan lainnya, bentuk pasif “traktir” bak gelombang yang meluncur deras tak terbendung dari mulut kita.

Kita jarang sekali mengucapkan kata “traktir” sebagai bentuk aktif, padahal sedari kecil kita telah diajari bahwa “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Kebiasaan ini sudah sepatutnya diwaspadai karena (setuju atau tidak) permintaan traktir merupakan sarana efektif pembentuk mental kefakiran. Kita menjadi senang diberi, padahal uswah hasanah kita jauh-jauh hari telah mengatakan bahwa pembuka pintu rezeki hakiki adalah memberi (sedekah). Bukan sebaliknya.

Well, mungkin self defense saya mengatakan bahwa esensi minta ditraktir sebenarnya bukan terletak di perut, melainkan di hati. Maksudnya, permintaan traktir hanyalah simbol kecil bahwa kita turut bersuka cita atas pencapaian teman kita.

Wedew, simbol kecilnya aja minta traktir, jangan-jangan simbol besarnya minta Apple, hehe.

Hmm… kalau wujud suka cita atas keberhasilan teman disimbolkan dengan permintaan traktir, saya sungguh tidak mampu membayangkan ekspresi Rasulullah ketika Abu Bakar berhasil “mengislamkan” banyak sahabat. Atau ketika Umar berhasil menjadi panglima perang yang disegani. Juga ketika Utsman sukses besar dalam berniaga. Atau ketika Ali selamat dalam perjalanan hijrahnya dari Mekah ke Madinah seorang diri. Sungguh tidak bisa dibayangkan.

Menurut saya, cukuplah kata selamat yang dibungkus dengan doa “baarokalloh” menjadi simbol bahwa kita juga bersuka cita kita atas keberhasilan teman-teman kita. Mudah-mudahan itu lebih berguna. Perkara dia mau merayakan keberhasilannya dengan mentraktir kita, itu perkara lain. Anggap aja rejeki. Yang penting kita gak minta. Hehe…

#pojok kamar wisma Pakdhe

March 7, 2013

Norma Pembanding

Great minds discuss ideas
Average minds discuss events
Small minds discuss people

Apakah seorang anak yang mendapatkan nilai 55 dalam ujian Matematika dapat dikatakan sebagai anak yang bodoh? Tunggu dulu… lihat dulu nilai teman-teman sekelasnya. Kalau nilai rata-rata teman sekelasnya adalah 90, sah-sah saja menilai anak tersebut sebagai anak yang bodoh. Akan tetapi, lain cerita jika teman-teman sekelasnya hanya mendapat nilai rata-rata 25, kedudukan anak yang mendapat nilai 55 tadi bukanlah seorang bodoh, tapi CERDAS.

Apakah seorang karyawan yang mendapat gaji 10 juta perbulan dapat disebut sebagai karyawan yang mendapat gaji tinggi? Sekali lagi, tunggu dulu… lihat dulu kolega-kolega dalam satu perusahaannya. Kalau rata-rata pendapatan para karyawan di perusahaan tersebut adalah 500 ribu, maka karyawan kita tadi sangat boleh dikatakan sebagai karyawan yang bergaji istimewa tinggi, tapi jika kebanyakan koleganya di perusahaan bergaji 100 juta ke atas, maka gaji 10 juta milik si karyawan belum ada apa-apanya.

Satu contoh lagi, masih tentang karywan yang tadi, apakah dia dapat disebut sebagai karyawan yang bergaji rendah ketika kolega-kolega di perusahaan tempatnya bekerja mendapat gaji 100 juta perbulan?

Jawabannya (dan jawaban untuk semua pertanyaan yang setipe) adalah tergantung norma yang dipakai sebagai pembandingnya. Kalau norma yang dipakai adalah norma di perusahaan tersebut, boleh jadi si karyawan termasuk ke dalam golongan pegawai yang bergaji rendah. Akan tetapi, jika norma yang dipakai adalah norma masyarakat di tempat tinggalnya, yang mana mereka masih kesulitan mencari sesuap nasi, maka gaji karyawan kita tadi sudah masuk ke dalam golongan “dewa”.
Ilustrasi perbandingan (sumber: dailysocial.id)

Kota Jogja vs Kota X
Saya sengaja menyampaikan contoh-contoh di atas untuk menggambarkan bagaimana perasaan saya ketika harus menjalani hidup di dua tempat yang sangat kontras perbedaan karakteristik penduduknya, yaitu kota Jogja dan Kota X (sebutlah demikian). Di Jogja, saya merasa kerdil dalam berbagai aspek, terutama untuk urusan agama dan pengetahuan.

Oke, mari kita bahas dari segi agama. Di kota ini, saya sontak merasa sangat “cupu” ketika mengetahui bahwa anak-anak di sekitar saya memiliki hafalan al-Qur’an yang luar biasa. Suatu waktu, saat saya sedang mengajar TPA, saya iseng bertanya kepada anak SD kelas 4 yang sudah hampir hafal juz 30, “Azka (nama santri tersebut) sejak kapan menghafal surat An-Naba?” Dengan gaya kanak-kanaknya, dia menjawab, “Sejak kelas 3. Itu ngafalnya di sekolah kok Kak. Kalo kelas 1-3 ngafal juz 30. Kalo kelas 4 ngafal juz 29. Terus kalo kelas 5 ngafal juz 28.” Saya tercengang, “Berarti Azka sudah hafal juz 29?”, kejar saya, penasaran. “Belum, baru dikit” ujarnya.

Masya Allah… saya benar-benar merinding ketika mendengarnya pertama kali dan bagi anda yang juga baru mendengarnya pertama kali, maka anda harus siap-siap merinding lebih lama lagi karena anak-anak yang sehebat Azka jumlahnya bejibun di Jogja sehingga hal itu (seolah) menjadi hal yang biasa. Kesimpulan: anak SD yang hafal juz 30 adalah anak yang biasa di Jogja.
Saya jadi merenung, apa yang saya lakukan saat saya kelas 4 SD dulu? Hmm… sebentar, saya list dulu: main layangan, main bola, main Nintendo, bikin Umi marah karena baju yang kotor dahsyat sehabis bermain… apa lagi ya… Ah, udah cukup, malu-maluin aja membuka pengalaman masa lalu.

Oke, kembali ke topik, kalau anak-anak SD nya saja punya hafalan sehebat itu, lalu bagaimana orang dewasanya? Saya belum pernah bertanya langsung kepada mereka dan memang “kurang enak” menanyakan hal itu, tapi saya husnudzan bahwa hafalan mereka tentu juga luar biasa. Apalagi hafalan teman-teman dari kalangan mahasiswa, wedew… mending gak usah ditanya dah, bikin malu diri sendiri…
Lalu bagaimana ranking saya di antara mereka? Wah, pertanyaannya nyindir banget nih.

Well, saya sadar, jika norma pembanding yang dipakai adalah norma Jogja, maka ranking saya jauh berada di dasar palung, tapi lain cerita jika norma pembanding yang dipakai adalah norma Kota X, saya yakin ranking saya tidak merosot-merosot amat.

Memang bagaimana karakteristik penduduk Kota X?

Oke, sebelum membahas itu, perlu saya terangkan dulu bahwa saya secara berkala harus menetap di Kota X. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Dan kalau sudah berada di Kota X tersebut, saya merasa diri saya tidak “buruk-buruk” amat lah dalam beragama karena di sana tidak banyak figur-figur seperti “Azka kecil” dan “Azka dewasa” yang mudah saya temui di Jogja.

Kalau anda mau tau bagaimana karakteristik mereka, anda bisa membaca lagi tiga kalimat pembuka di awal tulisan ini. Tiga kalimat itu sedikit banyak menggambarkan bagaimana kecenderungan mereka, para sejawat saya di Kota X. Ketika kolega-kolega saya di Jogja antusias membicarakan islamisasi ilmu, kajian-kajian, dan hal-hal lain berkaitan dengan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu dunia (sebenarnya saya kurang cocok dengan dikotomisasi seperti ini), mereka (para sejawat saya di Kota X) lebih antusias membicarakan si anu1 yang baru beli motor, anu2 yang baru putus pacaran, anu3 yang di-PHK, dan anu-anu lainnya. Oleh karena itu, ketika berada di Kota X, saya jarang sekali keluar sarang.

Ya, saya sadari bahwa perasaan ini (merasa diri lebih unggul) sangat berbahaya karena sebagai seorang muslim, tidak seharusnya saya merasa ada orang lain yang lebih rendah dibanding diri sendiri. But dude, it’s like an automatic procedure. Sulit sekali untuk menghilangkan atau sekedar menetralisir perasaan ini. Laksana melihat kuping sendiri tanpa bantuan cermin. Semakin dikejar, semakin jauh. *contohnya ngarang dan setelah dicermati, kayaknya gak nyambung*

Berita netralnya (saya bingung mau mengklasifikan ini sebagai berita baik atau buruk), kemungkinan besar saya akan meninggalkan Jogja dan tinggal lebih lama di Kota X. Wedew…

Kalau sudah seperti itu, tidak ada pilihan lain selain bebersih hati… (nulis kata “bebersih” jadi inget sama uler, wkwkwk).

#pojok kamar wisma Pakdhe

March 6, 2013

Review Film "Tanah Surga..Katanya..."



#ditulis pada tanggal 05 Desember 2012

Beberapa hari ini, saya sedang mendapat ujian. Skripsi saya bermasalah. Ujian pendadaran yang saya jadwalkan akan berlangsung di awal Desember ini sepertinya tidak berjalan mulus, justru makin jauh panggang dari api. Well, tapi saya sedang tidak ingin membicarakan hal itu di sini. Insyaallah di kesempatan mendatang akan saya tuliskan pengalaman itu supaya jadi pelajaran bagi siapapun, khususnya saya. Dalam tulisan kali ini saya ingin berbagi tentang film yang baru saja saya tonton.

Patut diakui, permasalahan yang saya alami sangat menyita waktu dan perhatian. Saya tegang, sekaligus jenuh. Untuk menghibur diri dari permasalahan itu, saya memilih menonton film. Film yang baru saja saya tonton adalah “Tanah Surga…Katanya”. Saya tertarik menonton film ini karena dari berita yang saya baca di Kompas, film ini masuk dalam berbagai nominasi FFI. Saya sendiri sebenarnya jarang menonton film, apalagi film Indonesia.

Well, dari judulnya kita sudah tau bahwa film ini pasti bermuatan isu-isu nasionalisme. Dan memang benar, setelah saya tonton, film ini memang banyak menyampaikan pesan-pesan kecintaan terhadap tanah air. 

Film ini bercerita tentang kehidupan rakyat Indonesia di perbatasan. Settingnya berada di perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak (Malaysia). Kehidupan rakyat Indonesia yang serba sulit banyak diekspos di film ini. Bagi saya pribadi, sebenarnya tidak ada isu segar yang dihadirkan dalam film ini karena isu-isu tersebut sudah sering saya baca, dengar, dan saksikan melalui media sejak saya SMA.

Sejak masa-masa sekolah nasionalisme saya memang menggapai-gapai langit. Rasa haru yang mudah terpantik ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya beramai-ramai setidaknya bisa menjadi salah satu indikatornya. Akan tetapi, perasaan itu sedikit demi sedikit berubah ketika saya masuk kuliah. Kini saya merasa bahwa paham nasionalisme yang banyak dikampanyekan para nasionalis itu adalah paham yang cacat, yang hanya akan menyempitkan pandangan manusia untuk berbuat baik. 

Lah kok bisa? Just keep reading, Bro
 
Oke, kita kembali ke film dulu, menurut saya film ini cukup berbahaya, apalagi jika ditonton oleh anak-anak dan remaja. Pasalnya, pesan-pesan nasionalisme yang disampaikan dalam film ini mengandung unsur fanatisme buta yang akan menanamkan sikap benci dan permusuhan terhadap bangsa lain. Juga memperuncing ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia.
Mengapa? Don’t be bawel, just keep your eyes on the text

Salah satu drama dalam film tersebut bercerita tentang seorang kakek dari tokoh utama (Salman), yang menderita suatu penyakit. Anaknya, yaitu ayahnya Salman (diperankan oleh Ence), mengajak sang Kakek pindah ke Malaysia untuk tinggal bersamanya agar bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ayah Salman sendiri sudah lebih dahulu menetap di sana setahun belakangan dan memilih menjadi warga negara Malaysia. Akan tetapi, sang Kakek menolak karena alasan nasionalisme. Kakek tersebut kemudian meninggal dalam perjalanan di atas sampan menuju Rumah Sakit.

Alih-alih terharu dengan drama tersebut, saya menganggap sang kakek telah berbuat dzholim terhadap dirinya karena lebih memilih sakit (menyiksa diri) daripada berobat di Malaysia. Menurut saya, bukan penyakit yang merenggut nyawanya, melainkan fanatisme buta terhadap tanah air lah yang menjadi biang keroknya.

Man, jangan terlalu fanatik lah dengan “bendera kebangsaan”. Tidak seharusnya seorang muslim menempatkan kedudukan “bendera” lebih tinggi dibanding kedudukan “aqidah”. Malaysia itu negara Islam. Banyak saudara-saudara kita yang seiman di sana. Mengapa kita harus membenci mereka? Rasul saw mengatakan bahwa sesama muslim itu saudara dan diibaratkan bagai satu tubuh. Jika satu bagian sakit, maka bagian lain akan merasakan sakit. Film ini, menurut saya, justru mengajarkan sebaliknya, makanya saya bilang film ini berbahaya.

Saya yakin semua muslim sepakat bahwa Islam itu agama rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam. Jika tiap muslim ber-Islam dengan benar dan sungguh-sungguh, maka bukan hanya saudara sebangsa saja yang sejahtera, tapi semua umat. Baik yang Islam, maupun yang non Islam. Prototype-nya kan sudah ada waktu zaman Rasulullah saw. Maka dari itu, di atas saya bilang bahwa nasionalisme adalah paham yang cacat karena jauh sebelum nasionalisme itu hadir, Islam sudah mengajarkan cinta, bahkan dalam spektrum yang lebih luas, bukan hanya dalam lingkup negara.

Well, bukannya saya melarang untuk mencintai tanah air dan segala yang ada di dalamnya. Bukan itu. Boleh-boleh saja seseorang cinta kepada tanah airnya. Sah-sah saja jika anda memelihara burung Garuda *gak nyambung*. Akan tetapi, jika rasa cinta terhadap “Indonesia” mengerdilkan cinta kepada saudara seiman, maka sudah seharusnya kita mengoreksi cinta tersebut karena boleh jadi kita telah salah dalam mengoperasikan cinta .

Ingat, muslim itu selamat dan menyelamatkan. Bukan muslim namanya kalau orang lain merasa terancam berada di dekatnya.

#pojok kamar wisma Pakdhe

Ketika Fahri Berkisah



Sewaktu pulang ke rumah sebulan penuh kemarin, saya secara intensif berinteraksi dengan adik saya yang paling kecil, yaitu Fahri (7 tahun). Dari semua keluarga saya, kepada Fahri lah saya menaruh rasa kasihan yang paling dalam karena di usia yang sebegitu dini, dia sudah kehilangan sosok ibu yang seharusnya menjadi penyuplai utama kasih sayang kepadanya. Oleh karena itu, saya berusaha semaksimal mungkin merawat, mendidik, dan mengasihinya meski semua usaha itu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan seorang ibu. Saya juga mengusahakan sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan muka cemberut kepadanya walau beberapa kali sempat jengkel juga karena kenakalannya. Well, semoga Allah mengampuni segala khilaf saya.

Meski masih bocah, Fahri tidak jarang menceritakan sesuatu yang bersifat “pribadi” kepada saya. Suatu malam, dia pernah bertanya kepada saya dengan suara berbisik, “Aa mau punya ibu baru?” Deg. Saya sangat kaget mendengar pertanyaannya itu. Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu? Awalnya saya mengira anak sekecil dia belum punya pikiran ke arah sana, tapi ternyata dugaan saya salah. Belum sempat saya menjawab, dia sudah menuturkan opininya, “Kalo Fahri mah gak mau punya ibu baru.” Saya benar-benar tidak bisa melanjutkan dialog yang mengagetkan itu, maka dari itu saya buru-buru mengalihkan ke pembicaraan lain.

Pada kesempatan lain, Fahri juga pernah bertanya dengan pertanyaan yang menghujam dada. Dia pernah bertanya seperti ini, “Aa kangen sama Umi?” Jujur, saya senang mendengar dia bertanya seperti itu karena hal itu menunjukkan bahwa dia punya perhatian kepada umi, tapi saya juga heran dengan pertanyaannya yang keluar secara tiba-tiba itu. Dengan mantap saya jawab kepadanya, “Ya kangen. Kalo Fahri kangen gak?” “Kangen juga” dia menjawab singkat.

Tidak berhenti sampai di situ, dia melanjutkan pertanyaannya lagi, “Dulu waktu Umi meninggal, Aa kenapa nangis?” Saya mulai tertarik dengan pembicaraannya dan ingin mengungkap lebih jauh perasaannya pada masa lalu dan kini. “Aa sedih. Emang Fahri gak sedih?” Jawab saya sambil mengorek perasaannya pada waktu itu. “Sedih. Dulu Fahri juga mau nangis, tapi air matanya gak keluar.” Hmm…sekarang taulah saya perasaan dia yang sebenarnya. Dulu saya mengira Fahri masih belum mengenal konsep kematian karena wajahnya terlihat “enjoy-enjoy” saja saat umi meninggal, tapi rupanya dia juga memiliki perasaan yang sama dengan kami. Ekspresinya saja yang berbeda.

Suatu ketika, dia menuturkan kisahnya yang haru sekaligus lucu ketika dia menjalani ujian sekolah. Awalnya, saya lah yang memantiknya dengan pertanyaan, “Fahri kemarin dapat ranking berapa?” “14” jawabnya singkat. “Tapi ini di rapor kok gak ada rankingnya?” saya memastikan. “Iya, emang gak ada, tapi kata Ibu Guru ranking 14” jelasnya.

Kemudian, tanpa diminta dia bercerita pengalamannya waktu ulangan, “A, kemarin, waktu ulangan, kan ada pertanyaan, ‘Waktu saya sakit, ibu mengantar saya ke…’ terus Fahri jawabnya ‘ke restoran’”. Saya tergelak. Tak sanggup saya menahan tawa karena ceritanya. “Lah kok ke restoran?” saya mencoba mencari tahu alasannya. “Iya, kan dulu kalo Fahri sakit, umi biasanya ngajak ke McD” jawabnya polos.

Masya Allah… hati saya langsung berdesir mendengarnya. Memang, umi saya (hampir) selalu mengajak Fahri ke McD kalau dia sedang sakit dan biasanya McD memang lebih ampuh daripada obat dokter. Tapi saya tidak menyangka kalau “kebiasaan” itu rupanya sangat membekas di memorinya sampai-sampai “kebiasaan” itulah yang keluar menjadi jawaban atas pertanyaan di atas.

“Ya Allah, jadikan kami anak yang sholih, yang tau balas budi kepada orangtua”

#pojok kamar wisma Pakdhe

March 5, 2013

Akad Pertama

Sabtu, 23 Februari 2013, sepupu saya, Dian (23 tahun), menikah dengan seorang gadis pilihannya yang usianya masih relatif muda (sekitar 20 tahun). Pertama kali mendengar beritanya dari encing (bibi) saya (bahwa Dian akan menikah), saya agak kaget. Kaget karena sepupu saya itu masih muda, bahkan lebih muda dari saya. Dengan usia segitu, dia sudah berani membentangkan layar bahtera untuk mengarungi samudera rumah tangga bersama sang istri. Salut…
Ilustrasi akad nikah (sumber: healthynutritiontips.info)

Ya, saya benar-benar salut kepadanya. Juga kepada istrinya karena mereka berani dan bernyali untuk menghadapi resiko-resiko yang kemungkinan akan dihadapi. Saya salut kepada mereka berdua karena mereka tidak menjadi pasangan yang pengecut, yang memuaskan diri bermesra-mesra sebelum ijab kabul dilantunkan. 

Memang, dewasa ini terlalu banyak pasangan muda-mudi yang pengecut, yang bersembunyi dibalik tembok “pacaran” untuk melakukan hubungan layaknya suami-istri. Pacaran sudah begitu dimaklumi oleh masyarakat. Bahkan mereka seolah sepakat bahwa sebelum menikah, ya harus pacaran dulu, agar bisa saling mengenal. Ckckck…

Meskipun demikian, saya yakin bahwa orangtua sebenarnya tidak terlalu mengetahui bagaimana liarnya gaya anak muda sekarang dalam berpacaran. Kalau mereka tahu, mungkin mereka memiliki sikap yang lebih keras terhadap pacaran.

Oleh karena itu, saya sangat mengapresiasi dan salut kepada mereka (cowok-ccewek) yang menikah di usia muda karena dengan begitu (insyaallah) dosa maksiat dan zina dapat terminimalisir. 

Hikmatnya Akad
Pada saat akad nikah sepupu saya itu, saya menyengaja diri menghadirinya. Sejujurnya, ini adalah kesempatan pertama saya menyaksikan akad nikah secara langsung dan full. Sebelumnya, saya belum pernah menyaksikan prosesi “serah terima” mempelai wanita seperti ini secara langsung.

Akad nikah dilangsungkan di kediaman mempelai wanita. Rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah saya. Hanya berjarak sekitar satu kilometer. Saya datang bersama Dayat dan abangnya, sepupu saya yang lain.  Dayat diminta bantuan oleh Dian untuk menjadi fotografer.

Pada saat kami datang, prosesi akad belum dimulai. Tidak lama setelah itu, hujan rintik mulai turun mengiringi akad yang akan segera dimulai.

Penghulu di pernikahan Dian rupanya sangat komunikatif. Meskipun masih muda (usianya mungkin masih di bawah 35 tahun), tapi beliau sepertinya sudah sangat berpengalaman. Beliau tidak jarang melemparkan joke kepada calon pengantin dan tamu yang hadir untuk mencairkan suasana yang agak tegang tersebut, terutama bagi calon pengantin.

Tidak lupa penghulu memberikan nasihat dan petuah-petuah bijak untuk kedua calon pengantin. Hati saya tiba-tiba terhenyak ketika penghulu mengucapkan kata-kata yang kurang lebih redaksinya seperti ini: “Bapak (berbicara kepada orangtua mempelai wanita), kewajiban Bapak dan Ibu sebagai orangtua sudah tuntas sampai di sini. Berikutnya, suami anak Bapak lah yang memiliki kewajiban untuk mengurusnya. Segala dosa dan kesalahan anak Bapak nantinya akan menjadi tanggung jawab suaminya.”

Subhanallah… mata saya berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Saya membayangkan betapa beratnya tugas dan tanggung jawab seorang suami. Dia menjadi pihak yang berdiri di garis paling depan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan istri dan anak-anaknya di dunia. Beruntunglah dia ketika mendapati istri dan anak-anaknya menjadi insan yang solih-solihah. Sebaliknya, celakalah dia ketika mereka membangkangi ketentuan Allah.

Mata saya semakin merembes ketika ijab kabul mulai dilantunkan. Saya membayangkan sosok umi saya. Bagaimana nanti pilunya akad pernikahan saya ketika umi tidak hadir mendampingi saya. Saya tidak bisa mencium tangannya. Memohon restunya. Dan meminta maaf atas kesalahan saya. Masya Allah…

#pojok kamar wisma Pakdhe