December 28, 2012

Postulat Untuk Diingat #1: Ujian



Wahai diri yang masih suka berkeluh kesah, kau perlu ingat baik-baik postulat yang akan disampaikan ini. Postulat ini tidak akan dibahas di bangku-bangku kuliah, tapi lebih berharga daripada kuliah profesor ahli statistik sekalipun.

Ingatlah bahwa segala hal di dunia ini selalu memiliki dua sisi, baik dan buruk. Di satu sisi ada orang yang berakhlak baik. Mereka menjadi “good cop” buat kamu. Kamu akan merasakan kesenangan dan kenyamanan ketika bergaul dengan mereka. Di tengah mereka, kamu merasa terlindungi, diperhatikan, disayang, dan dipenuhi hak-hakmu sebagai seorang manusia.

Akan tetapi, di sisi lain ada juga manusia yang berakhlak buruk. Mereka berperangai buas dan tidak bersahabat. Suka memaki, memarahi, mengejek, menghina, merendahkan, berbohong, memfitnah, dan menyepelekan. Janganlah kamu gentar, ciut, minder, dan berkeluh kesah menghadapi jenis manusia yang seperti itu. Anggaplah mereka sebagai “bad cop”. Anggaplah perilaku mereka itu sebagai ujian buatmu.

Anggaplah hinaan orang lain terhadap dirimu sebagai ujian. Ujian yang akan menaikkan kelasmu ke tingkat yang lebih tinggi. Dan perlu diingat bahwa lulus atau tidaknya kamu bukan ditentukan oleh soal-soal dalam ujian, melainkan dari jawaban kamu atas ujian itu. Ingatlah bahwa dihina itu sama sekali tidak bahaya, yang bahaya adalah salah menyikapi (menjawab) hinaan, bersikap hina, dan menghina orang lain. 

Jika kamu membalas hinaan dengan hinaan pula, maka kedudukan dirimu tidak ada bedanya dengan si penghina. Ingatlah bahwa ucapan merupakan cerminan hati manusia. Hati tak ubahnya teko. Dan teko hanya mengeluarkan isi teko. Jika di dalam teko berisi kopi, maka yang keluar dari mulut teko pasti kopi. Begitu pula hati, jika di dalam hati berisi kebaikan, maka yang keluar sebagai ucapan juga pasti kebaikan. 

Perlu kamu garis bawahi juga bahwa Allah tidak akan terpengaruh dengan hinaan orang lain terhadap dirimu. Berlusin-lusin orang menghinamu, jika Allah berkehendak mengangkat kedudukanmu, maka hinaan lusinan orang itu tidak akan merendahkanmu barang se-inci. Begitu pula sebaliknya, berduyun-duyun orang antri memujimu, jika Allah menghinakanmu, maka pujian mereka tidak akan ada artinya.

Katakanlah: ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (Terjemah Q.S Ali Imran (3): 26)

Sudahlah, kamu jangan merasa sok suci dengan tidak ingin dihina. Belajarlah dari Rasul saw. Beliau adalah sosok sempurna. Akhlaknya adalah akhlak al-Qur’an. Kata-katanya pun merupakan wahyu Tuhan, tapi ternyata makhluk mulia seperti beliau pun tidak luput dari hinaan orang. 

Akan tetapi, lihatlah bagaimana beliau menyikapi hinaan orang lain. Beliau tidak mengambil hati atas hinaan-hinaan mereka. Beliau justru membalas hinaan dengan amal sholih kepada si penghina. Hasilnya? Kamu bisa lihat sendiri bagaimana kedudukan beliau di hati manusia. 

Pokoknya, kamu jangan berharap bahwa semua manusia di dunia ini berperilaku baik terhadapmu. Memangnya kamu siapa? Ingatlah bahwa setiap kejadian tidak menyenangkan (menurut nafsumu sebagai manusia) yang menimpamu adalah sarana bagimu untuk naik kelas. Dan ingat juga bahwa tidak ada soal ujian yang berbahaya. Yang berbahaya adalah ketika kamu salah dalam menjawab soal-soal itu karena dengan begitu kamu tidak akan naik kelas. Ingat itu. 

#pojok kamar, wisma Pakdhe

December 27, 2012

Rasa Bahasa



Setiap bahasa memiliki rasa. Meski mengucapkan kata yang sama, rasa bahasa antara penutur asli dengan penutur “karbitan” bisa jadi tidak sama, bahkan mungkin sangat berbeda. Pedas di telinga penutur asli, belum tentu pedas di penutur karbitan. Begitu juga manis di telinga penutur asli, belum tentu manis di penutur karbitan. 

Sebagai orang Betawi yang sudah empat tahun tinggal di Jogja, saya masih belum bisa merasakan pedasnya kata “asu” yang diucapkan orang lain. Telinga saya lebih sensitif jika kata “anjing” yang disebutkan. Akan tetapi, bagi orang Jogja (Jawa) asli, mendengar kata “asu” tak ubahnya mendengar kata yang paling hina dina sedunia. Rendah dan tak bermartabat.

Begitu pula dengan kata-kata positif berupa sanjungan. Dipanggil dengan sebutan “panjenengan” mungkin terasa sangat istimewa bagi orang Jogja (Jawa), tapi belum tentu bagi saya, sang penutur karbitan.

***

Saya jadi ingat ketika dulu seorang meneer pernah memaki saya dengan makian “godverdomme” ketika saya sedang bersepeda. Penyebabnya adalah karena saya tidak memperhatikan jalan ketika menyeberang, padahal si meneer sedang melaju kencang dengan sepeda motor dari arah samping kiri. 

Saya tau bahwa kata “godverdomme” itu adalah kata makian yang kasar, tapi karena saya bukan penutur asli bahasa itu, saya tidak bisa meresapi kekasaran dari kata tersebut. Saya tidak melewati fase hidup (rangkaian kejadian) yang membimbing saya untuk menemukan bahwa kata “godverdomme” itu adalah kata yang kasar, yang tabu untuk diucapkan. Beda halnya ketika orang memaki dengan kata “anjing”.

Di budaya tempat saya dibesarkan, jika seseorang sudah memaki dengan kata “anjing”, maka berarti dia sudah siap dengan konsekuensi logis yang akan dihadapi, yaitu berupa sanksi sosial. Orang lain akan risih bergaul dengan dia*. Jika kata itu diucapkan oleh anak-anak, maka berarti dia siap mendapatkan jeweran dari orangtuanya atau teguran dari orangtua-orangtua lain, yang berarti akan membuat malu orangtuanya. Oleh karena itu, kata makian “anjing” memiliki kredit yang luar biasa buruk di telinga saya. 

Beda dengan kata “godverdomme”, “asu”, dan sejenisnya. Budaya di tempat tinggal saya tidak mengenal kata-kata itu sebagai kata makian. Orangtua saya tidak pernah melarang dan memarahi saya jika saya menyebutkan kata itu karena memang kata itu tidak dikenal dalam kehidupan kami. Begitu pula masyarakat di tempat tinggal saya. Oleh karena itu, saya tidak merasa begitu terhina jika orang memaki saya dengan kata-kata itu dan saya juga tidak berat mengucapkan kata itu. Setidaknya, tidak seberat ketika saya mengucapkan kata “anjing”.

*Belakangan kata-kata makian semakin familiar di telinga masyarakat tempat saya tinggal. PR untuk kita bersama untuk membenahinya.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

Desember Sendu


Berdasarkan perhitungan masehi, bulan ini seharusnya menjadi bulan bahagia bagi saya karena di bulan inilah saya dilahirkan. Akan tetapi, rangkaian kejadian yang saya alami membuat Desember ini menjadi terasa begitu sendu.
***
Berakhir sudah. Setelah hampir dua semester, hubungan saya dengan dosen pembimbing skripsi (DPS, sebutlah Mr. X) saya akhirnya kandas pada hari Jumat, 21 Desember 2012. Pihak yang memutuskan memutuskan hubungan itu adalah saya sendiri, bukan dosen saya. Saya lelah, tapi bukan secara fisik, melainkan batin. Kelelahan batin itu menggelayuti karena di antara kami selalu terjadi miskomunikasi dan sudah menjadi rahasia umum bahwa jika terjadi miskomunikasi seperti itu, maka pihak yang salah adalah mahasiswa, bukan dosen. Ingat, postulat abadi yang berlaku di kampus adalah: pertama, dosen selalu benar; kedua, jika dosen salah, maka lihat lagi peraturan pertama.

Kekurangharmonisan hubungan ini sebenarnya sudah mulai tercium di semester pertama saya mengambil skripsi. Saat itu, saya sempat berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademik (DPA) saya. Saya mengatakan ke beliau bahwa saya ingin mengganti DPS karena tidak cocok dengan DPS yang sekarang. Akan tetapi, DPA saya menyarankan agar saya mencobanya satu semester lagi, kalau masih menemui masalah, barulah saya diperkenankan menggantinya.

Kesalahan saya saat berkonsultasi dengan DPA saya waktu itu adalah alasan yang saya kemukakan sangat tidak profesional. Saya mengatakan bahwa saya tidak cocok (secara personal) dengan Mr. X. Alasan ini tentu sangat tidak diterima, apalagi jika yang mendengarkan alasan itu adalah seorang psikolog sekaligus motivator. Tapi ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, saya jalani satu semester itu dengan Mr. X.

Singkat cerita, satu semester itu hampir saya lalui, tapi ternyata saya masih terkendala dengan permasalahan serupa. Berhubung saya diminta untuk segera lulus oleh bapak saya karena kondisi ekonomi keluarga yang sedang kurang baik, maka saya memutuskan untuk segera mengganti DPS sekaligus penelitian saya.

Alasan Memilih Mr. X

Mr. X sebenarnya adalah pilihan saya pribadi. Saat itu, saya yang meminta beliau menjadi DPS karena beliau sangat menguasai metode penelitian yang akan saya gunakan, yaitu metode penelitian kualitatif. Keputusan itu (menggunakan metode penelitian kualitatif dan meminta beliau menjadi DPS) sebenarnya tergolong berani (and a bit ridiculous) karena pertama, saya sendiri masih awam sekali dengan metode itu karena saya belum pernah mengambil mata kuliahnya. Kedua, metode itu cenderung kurang populer di kampus saya. Mayoritas mahasiswa, terlebih S1, lebih sering menggunakan metode penelitian kuantitatif untuk penelitian skripsi mereka.

Ketiga, kebanyakan teman kuliah saya menghindari Mr. X karena cara beliau membimbing memang tidak populis. Suara beliau yang tinggi dan keras, yang disertai mimik yang tidak bersahabat seringkali mematikan karakter mahasiswa yang sedang berhadapan dengannya. Ditambah lagi, beliau juga memiliki standar yang sangat tinggi, yang sering menyejajarkan skripsi dengan tesis.

Akan tetapi, ketiga alasan itu bukannya membuat saya ciut dan minder, tapi justru membuat saya tertantang. Ya, pada dasarnya saya memang suka dengan tantangan. Saya suka menantang diri saya sendiri dan mencoba menghadapi apa yang ditakutkan oleh orang lain dan diri saya. Maka dari itu, saya sering mengambil jalan berbeda dengan orang kebanyakan.
Sayangnya, saya tidak cukup tangguh untuk menaklukkan Mr. X, sehingga saya harus mengakhiri hubungan saya dengan beliau. Meski belum bisa ditaklukkan, tapi ada banyak hikmah yang bisa diambil dari pengalaman ini. Insyaallah.

#pojok kamar, wisma Pakdhe