November 29, 2012

A Treasure from Old MMC

Beberapa hari yang lalu, saya iseng membuka file MMC dari hp saya sewaktu SMA.  Entah kenapa tiba-tiba saya teringat dengan MMC ini. File di MMC ini sudah lama sekali tidak dibuka, mungkin lebih dari empat tahun.

Ketika pertama kali ke Jogja dulu, saya sengaja membawa MMC ini agar suatu saat saya bisa mengenang masa-masa “muda”, tapi karena sampai akhir tahun ketiga saya di Jogja, saya belum punya laptop dan atau komputer, maka saya tidak pernah membuka file di MMC ini. Saya sendiri sudah lupa apa saja yang ada di dalamnya.

Well, let’s check it out.
Ilustrasi harta karun (sumber: wikiclipart.com)

Setelah saya buka, file yang ada di dalam MMC itu ternyata kebanyakan adalah foto-foto saya dan teman-teman sewaktu SMA. Tidak saya sangka ternyata saya lumayan narsis waktu SMA dulu, hehe.

Selain itu, ada juga beberapa tulisan yang dulu diupload di blog saya yang lama (saya lupa alamat blognya apa). Sejak SMA saya memang lumayan suka menulis, tapi bukan menulis yang berat-berat, melainkan cuma menulis pengalaman hidup aja.

Hmm… Saya jadi ingat bagaimana cara saya meng-upload tulisan di blog dulu. Kalian tau bagaimana caranya? (I’m swear, it was the most stupid duty) Caranya adalah, saya ketik tulisan-tulisan itu di hp saya, kemudian saya upload melalui gprs.

Bayangkan! Betapa dahsyatnya saya! Saya menggunakan keypad hp untuk menulis dua halaman! Gak ada kerjaan banget ya?

Kenapa saya tidak menulis di komputer? Pertama, saya baru punya komputer ketika lulus SMA. Kedua, saya juga jarang ke warnet karena jaraknya lumayan jauh. Jadilah saya memanfaatkan sumber daya yang ada. (Gak usah tepuk tangan)

By the way, tulisan saya zaman dulu ternyata alay banget >.< Jadi malu sendiri membacanya (*blush)

Anyway, di MMC itu, saya juga menemukan beberapa file yang berhubungan dengan Fahri (my youngest brother). Di situ, ada foto dan video Fahri sewaktu masih berumur satu hingga dua tahun. Tidak banyak sih, tapi lumayan menghibur.

Sayangnya, dalam foto itu, Fahri selalu sendiri, padahal saya berharap dapat menemukan Umi juga di situ. Ada juga sih foto yang ada Umi nya, tapi wajahnya gak kelihatan, cuma badannya aja.

Satu file yang sangat menghibur adalah video Fahri ketika berulang tahun kedua (tahun 2007). Saya rekam video itu menggunakan kamera hp Nokia 6600. Di video itu, Fahri terlihat sedang dalam prosesi meniup lilin. Dia kelihatan malu-malu karena ditonton banyak orang. Awalnya dia tidak mau meniup lilin itu, tapi setelah dibujuk akhirnya dia mau juga.

Hal yang menarik di situ adalah, terlihat ada umi di sebelah Fahri. Sayangnya, lagi-lagi umi hanya terlihat setengah badan. Wajahnya tidak kelihatan. But it doesn’t matter because I could hear her voice. 


Update 27/12/2018: Videonya tidak saya tayangkan karena ummi gak pakai hijab

November 28, 2012

Kualitas Pendidikan Kita


Entah saya yang terlalu naïf atau memang modus-modus kecurangan dalam dunia pendidikan ini yang sudah terorgnisir dengan rapi? Selama ini saya menaruh respect yang tinggi terhadap PTN karena ketatnya ujian masuk ke sana, tapi respect itu mulai menguap karena kualitas (mental) mahasiswanya yang keropos
***
Beberapa bulan yang lalu, saya meminta beberapa teman untuk membantu mencarikan subjek untuk penelitian saya. Subjek yang saya butuhkan itu memang agak sulit dicari karena banyak kriteria “tidak lazim” yang harus terpenuhi. Oleh karena itu, saya meminta bantuan mereka.

Singkat cerita, setelah beberapa waktu berlalu, saya tanyakan lagi perkembangannya kepada teman-teman saya itu. Mereka mengatakan bahwa mereka tidak mendapatkan subjek yang sesuai dengan kriteria.

Well, sebenarnya saya agak kecewa dengan jawaban itu karena sudah lama sekali saya mencari, tapi belum juga mendapatkannya. Akan tetapi, bagi saya kekecewaan itu tidak seberapa dibanding dengan kekecewaan mendengar saran mereka.

Memangnya apa yang mereka sarankan sampai begitu mengecewakan?

Sebagian besar dari mereka dengan ringan menyarankan agar saya memalsukan saja data penelitiannya. Toh, dosen saya tidak tahu!

Hmm… Meski batin menolak, tapi izinkan saya memikirkan sisi positifnya dulu dari saran tersebut. Sisi positif yang dapat saya ambil adalah, saya mengetahui bahwa perhatian mereka begitu besar terhadap saya sehingga mereka tidak mau melihat saya sulit. Sudah! Itu saja! (Yes, I know that it was the worst conclusion)

Oke, kita tinggalkan sisi positif dan masuk ke fase kecewa.

Ada beberapa hal yang membuat saya sangat kecewa dengan saran tersebut. Pertama, hampir semua teman yang saya tanya adalah mahasiswa dan beberapa dari mereka kuliah di PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Dengan kapabilitas mereka sebagai mahasiswa (lebih-lebih kuliah di PTN), bagaimana mungkin mereka bisa berpikir selicik itu? (Dalam ilmu psikologi, pola pikir seperti ini disebut dengan “berpikir heuristik”).

Mereka tega menumbangkan pilar-pilar penelitian demi tujuan pribadi. Padahal, penelitian yang mereka kerjakan sangat mungkin dijadikan acuan oleh peneliti lain. Bayangkan bagaimana efek dari kecurangan ini bagi masa depan kehidupan manusia, terlebih bagi dunia penelitian dan pendidikan?

Inilah akibat dari salah kaprah dalam memahami pendidikan. Pendidikan yang dianggap sebagai komoditas (barang dagangan) akan sangat rentan menghasilkan mental yang keropos, ingin cepat meraih gelar agar uang yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan segera tergantikan.

Bukan saya menyalahkan orang yang ingin cepat lulus, cepat dapat kerja, dan bergaji tinggi. Bukan. Akan tetapi, jika hal-hal itu dijadikan tujuan utama, maka pendidikan tidak akan mencapai esensinya sehingga tujuan dari pendidikan, yaitu proses memanusiakan  manusia, akan ikut tereduksi. Pendidikan tidak lagi menghasilkan “manusia” yang “semakin manusia”, tapi justru membuatnya semakin terasing dari populasi “manusia”.

November 27, 2012

For My Beloved Mom: The Last “Present” from My Mom

For the first time after has been living alone for more than 3 years in Yogyakarta, I feel so difficult to leave my hometown, South Tangerang. It is too easy for me to get homesick when I am in Yogyakarta. I miss my father, my brothers, and also my close family in South Tangerang.

I guess it happened because I didn’t get enough support here. Well, for the truth, I still need support to go through the tragedy of my mom’s passed away. It makes me down to the lowermost level moreover I am on progress to finish my thesis.

In South Tangerang, when I miss my mom, I used to go to my close family houses or visit to her resting place. Seriously, I feel better when I meet with her brothers and sisters (my uncles and aunts). I don’t know why this happen, but I think it caused they are the closest people with my mom, after my father and my brothers. So, they can be a representative of my mom. They also frequently tell me about her goodness and I am delighted to hear that.

In addition, I commonly visit her cemetery once in two weeks. Surely, it has a big impact for me. After visiting her cemetery, my miss is reduced. Besides, the Messenger of Allah (pbuh) said we have to frequently visit a sacred place in order to make us remember about our die. Therefore, I am pleased to go to her resting place.

For those reasons, I feel better to live in South Tangerang than Yogyakarta for this moment. But then, the strongest reason why I feel more comfort to live in South Tangerang is my father and my brother, especially my youngest brother (Fahri-7 years old). There is no hesitates to say that I’m really happy when I through my life time with him. He is the last “present” from my mom.
Sumber: dokumentasi pribadi

When I interact with him, I get some pleasure. I enjoy when I teach him to do his homework. I’m happy when I teach him read Koran. I’m happy when we pray together at the mosque. I’m happy when we play soccer in the afternoon. And also I’m happy when I bike him to his TPA (a place to learn Koran).

Interact many times with him makes me enjoy, though sometimes also annoyed because he asked me for many things. But overall, his attitude often makes my miss of mom healed. Formerly, my mom put so much love to him. He often gets special treat from her. It caused he is the youngest among us. Nevertheless I didn’t feel any envy at all to him. The truth is I feel so sorry for him.

I think Fahri is the unluckiest son among us (me and my 2 young brothers). Why? Well, he just turned into 7 and lost the main source of affection in that age. I think everyone agree that mother is the best people to take care of her child. Until the end of the world, there is no father has an ability to take care of his child as good as mother. Therefore, Fahri may be lack of affection.

I wonder the lack of affection impacting his future. What if he has a psychological problem? Indeed, there is no sign about it till now and I hope the sign never come to him. In consequence, I want to do my best to take care of him in order to prevent it.

When I was going home from Yogyakarta for the first time after my mom’s passed away, I looked he seriously careless. He looked thin sadly. After few days at home, I know it caused by the lack of nutrition. His mainly dishes was only either fried egg or noodle. Although he was still fun and enjoy with that, but I have a duty to be more responsible to him. Therefore, I feed him with more nutritiously food.

His appearance was also not good. He has long and dirty fingernail. His skin also looked dusty. In general, his appearance made me so sad. I was so sad because I knew it would never happen when my mom still alive. My father can’t take care of him at all times because he should work. The person who most care to Fahri is my neighbor whom also the closest friend of my mom.

She had a heart of gold. She always pays her attention to us (my family) and often cooks for Fahri and gives him special attention. I hope Allah bless her and give her a healthy and long life, happiness, also good ending. 

#room corner, Pakdhe's dorm

November 24, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #3 - End


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Ahad, 08 Ramadhan 1433 H (29 Juli 2012)
Malam itu menjadi malam yang paling sendu dalam hidup saya. Saya menangis dan berduka ditinggal pergi oleh umi. Para tetangga berdatangan. Saudara-saudara juga mulai berdatangan. Encing (bibi) saya berusaha menenangkan saya. Saya tenang, tapi tetap menangis. Walaupun sudah berusaha saya menahan air mata, tapi nyatanya tetap keluar juga.

Beberapa saat setelah meninggal, umi dipindahkan dari kamarnya menuju ruang tamu. Orang-orang mulai membaca al-qur’an di sebelah jasad umi. Saya masih tetap menangis di kamar. Kaki saya lemas untuk diajak berdiri. Saya hanya bisa duduk sambil memegang kepala. Satu jam setelahnya, saya mulai tenang tanpa tangisan.

Sekitar jam dua dini hari, saya keluar kamar, tapi masih belum mampu melihat dan mendampingi jasad umi. Saudara-saudara sudah banyak yang datang. Melihat saya duduk termenung di depan ruang tv, mereka kembali mendekati saya. Kata “sabar” menjadi kata yang paling populer pada hari itu.

Beberapa saat setelah itu, saya menghampiri jasad umi. Jasad umi seluruhnya ditutupi kain sehingga saya tidak bisa melihatnya langsung. Saya pun tidak ingin air mata saya meledak lagi ketika melihat jasad beliau. Saya duduk di sebelahnya dan mulai membaca al-qur’an.

Memasuki waktu subuh, kami sholat subuh berjamaah di rumah. Setelah sholat, banyak tetangga berdatangan. Kerabat-kerabat umi banyak yang menyalami saya sambil menangis. Saya sendiri tidak mau terprovokasi untuk kembali menangis. Saya tahan kuat-kuat mata saya agar tidak merembes lagi.

Sejak sholat subuh saya masih berada di dalam rumah. Tidak kemana-mana. Akan tetapi, karena semakin banyak pelayat wanita di dalam rumah saya memutuskan keluar, bergabung bersama pelayat pria. Di luar ternyata banyak teman-teman saya yang berdatangan. Mereka berbela sungkawa kepada saya.

Sampai saat jenazah umi akan dimandikan, tidak ada lagi tetesan air mata yang keluar dari mata saya. Walaupun para pelayat banyak yang menangis, saya tidak menangis. Akan tetapi, ketika umi dimandikan, sontak air mata itu meleleh lagi. Air mata itu meleleh ketika saya membantu memandikan jenazah umi. Sosok yang dulu selalu memandikan saya ketika kecil, kini saya mandikan, tapi dengan kondisi kaku. Kaki saya kembali lemas. Saya tidak kuat berlama-lama di situ. Akhirnya, saya kembali ke kamar.

Setelah beberapa saat di kamar, saudara saya mengabari bahwa umi akan dikafani. Saya diajak keluar agar bisa melihat umi untuk terakhir kalinya. Saya pun keluar, menyaksikan proses pengkafanan umi. Lagi-lagi air mata tumpah tanpa diperintah. Di hadapan saya, umi yang dulu selalu memakaikan saya pakaian ketika saya kecil, kini sedang dikafani oleh petugas pengurus jenazah. Tangisan membuat saya tidak berdaya memakaikan pakaian terakhir untuk umi.

Jam sembilan pagi, seusai dikafani, beliau dibawa ke mushala dekat rumah untuk disholati. Lalu di bawa ke pemakaman.

Ya Allah… begitu cepatnya Engkau memanggil beliau.

Di pemakaman, liang lahat sudah dipersiapkan. Saya dengar, liang itu sudah digali sejak tadi malam sebelum sahur. Mereka yang menggali adalah warga sekitar rumah. Teman-teman saya juga banyak yang ikut membantu. Mereka sengaja mempersiapkan liang sebelum sahur karena khawatir kelelahan dan berdampak pada puasa mereka jika dilakukan pagi hari, mengingat saat itu adalah bulan puasa.

Qodarullah, jenazah umi mendapat liang persis di sebelah liang lahat (almh) ibunya (nenek saya). Hal ini sangat jarang terjadi, karena: pertama, pemakaman itu adalah pemakaman umum. Kedua, nenek saya sudah meninggal sejak satu setengah tahun yang lalu. Dalam waktu satu setengah tahun itu, pasti sudah ada puluhan atau mungkin ratusan orang yang meninggal, tapi nyatanya tidak ada yang menggali liang di situ sehingga kini ditempati jasad umi.

Detik-detik menjelang dimakamkannya umi, saya menjadi semakin lemas. Saya berharap bisa menjadi salah satu orang yang menanggapi jenazah umi ketika akan dimasukkan ke dalam liang lahat. Saya juga berharap bisa mengadzani beliau. Akan tetapi, karena tangis kembali meleleh, dua tugas itu diwakilkan oleh saudara saya.

Jenazah umi dibaringkan di permukaan tanah yang sudah dipersiapkan. Permukaan itu mirip dengan lekuk tubuh manusia. Sekepal demi sekepal, tanah menutupi rongga-rongga yang tersisa dari tempat itu. Kemudian, jenazahnya dihimpit dengan papan-papan sampai tertutupi semua bagiannya. Lalu, tanah mulai dijatuhkan. Perlahan-lahan, tanah memenuhi liang, bersamaan dengan penuhnya hati ini oleh duka. Duka ditinggal oleh orang yang tercinta.

Tak lama kemudian, makam umi telah padat dengan tanah. Umi benar-benar telah tiada. 

#pojok kamar, wisma Pakdhe

November 21, 2012

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #2


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Jum’at, 06 Ramadhan 1433 H (27 Juli 2012)
Menurut orang-orang, keadaan umi pada hari itu jauh lebih baik dari hari sebelumnya karena umi sudah dapat berbicara dan mau makan dan minum. Sebelumnya, kata mereka umi tidak bisa berbicara dan tidak mau makan dan minum. Akan tetapi, untuk aktivitas lain beliau sama sekali tidak bisa melakukannya. Butuh bantuan orang untuk menopang berbagai aktivitasnya, mulai dari mandi, buang air (mengganti pampers), bahkan untuk membalikan badan pun harus dibantu.

Masyaallah… Semoga Allah memuliakanmu Umi, setelah Dia mengujimu dengan ujian yang sangat berat.

Meskipun orang-orang bilang bahwa umi sudah mengalami kemajuan, tapi bagi saya, melihat kondisi umi seperti itu sungguh sangat menyayat hati. Sungguh tidak tega melihat wanita mulia ini hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur. Kondisi itu benar-benar menguji keimanan, tidak hanya iman umi, tapi juga iman kami, orang-orang terdekatnya.

Pada hari itu, umi sudah mulai banyak bicara. Suaranya sudah terdengar jelas, tidak seperti tadi malam yang hanya sayup-sayup. Hari itu umi meminta maaf kepada saya karena menurut beliau, akibat “ulahnya” lah saya harus pulang lebih awal.

Rabbana…Rabbana…Rabbana… Semoga Allah memuliakan engkau, wahai Umi. Di saat seperti itu, engkau masih saja membela anakmu ini. Demi Allah yang menggenggam langit dan bumi, engkau sama sekali tidak salah, justru anakmu inilah yang harus sering beristighfar karena lalai merawatmu.

Hari itu umi minta dipindahkan ke ruang tamu karena beliau bosan terus-terusan berada di kamar. Sampai waktu berbuka puasa hampir tiba, umi masih berbaring di sofa ruang tamu. Saya mengajak bapak dan adek-adek agar berbuka puasa di ruang tamu. Untuk pertama kalinya di bulan Ramadhan itu, kami berbuka puasa bersama. Ternyata saat itu pula yang menjadi saat terakhir kami berbuka puasa bersama beliau karena pada Sabtu malam beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

Sabtu, 07 Ramadhan 1433 H (28 Juli 2012 M)
Memasuki hari Sabtu, pembicaraan umi sudah mulai banyak melantur. Umi menjadi sering mengigau. Nafasnya kembali sesak. Sedihnya, umi tidak mau memakai masker untuk menyuplai oksigennya. Walaupun kami bujuk, umi tetap tidak mau.

Sejak kemarin, umi terus berwasiat kepada saya agar menjaga adek-adek. Sungguh pilu rasanya mendengar hal itu. Saya mulai memikirkan yang tidak-tidak.

Hari itu beberapa saudara umi datang menjenguk. Mereka memang setiap hari bergantian menjenguk. Pada saat itu, kepada salah satu saudaranya, umi minta dibuatkan minuman kesukaannya, yaitu es coffeemix. Dengan kondisinya yang seperti itu, mereka melarang umi memakan makanan yang macam-macam.

Kemudian beliau minta dibuatkan es nutrisari. Kali ini mereka membuatkannya. Saya sendiri baru tau kejadian itu setelah mereka cerita karena pada saat itu saya sedang tidak di kamar umi. Saya sendiri sebenarnya agak bingung kalau ditanya tentang itu, mau melarang atau mengiyakan permintaan umi karena saya tidak tau dampaknya bagi kesehatan beliau dengan meminum minuman itu. Akan tetapi, satu hal yang menjadi perhatian saya saat itu adalah mengapa beliau tiba-tiba meminta minuman itu? Sungguh tidak biasa.

Malam harinya (08 Ramadhan 1433 H), saya sholat tarawih di rumah. Saya tidak mau meninggalkan umi jauh-jauh mengingat kondisinya yang kembali menurun. Kemarin malam pun saya mengajak adek saya, Fahrul, sholat tarawih di rumah.

Kira-kira jam delapan malam, teman-teman sekolah beserta guru Fahrul datang menjenguk umi. Ada salah satu teman Fahrul yang bertabiat aneh. Dia berperilaku seperti dukun dan mengajak saya mengobrol empat mata. Sebelum mengajak ngobrol, dia seperti melakukan ritual aneh. Dalam obrolan empat mata itu, dia bilang umi sangat kangen dengan saya. Saya juga diminta bersabar. Entah maksudnya bersabar karena apa.

Jam sembilan malam, giliran teman-teman rumah saya berkunjung ke rumah. Mereka bermaksud menghibur saya, sekaligus menjenguk umi. Cukup lama mereka bertamu. Sekitar jam setengah sebelas malam mereka baru pulang.

Sepulangnya mereka, suhu badan umi naik drastis. Saya ukur menggunakan thermometer, suhu badan beliau mencapai 40 derajat celcius! Anehnya, bagian tubuh yang panas hanya kepala dan sekitar perut, sedangkan bagian lengan dan perut ke bawah dingin. Beliau juga mulai mengigau lagi. Beliau selalu mengatakan agar beliau diantarkan pulang ke rumah karena di situ gelap, seperti di gua, padahal beliau saat itu berada di kamar dengan lampu menyala. Kami menjadi semakin bingung.

Akhirnya bapak menelepon dokter dan memintanya datang ke rumah. Dokter mengatakan bahwa itu hanya panas biasa, cukup dikompres saja. Kami pun mengompresnya. Saya dan Fahrul duduk di samping umi, membersamai beliau sambil mengompresnya.

Pukul setengah dua belas malam, nafas umi semakin terlihat sesak. Beliau bernafas dengan tersengal-sengal. Beliau pun sudah tidak bisa diajak berbicara. Saya terus memanggil-manggilnya, mencoba mengajak bicara, tapi tidak ada respon darinya. Nafasnya justru semakin terputus-putus. Saya panik, saya panggil bapak saya yang sedang makan. Bapak langsung terperanjat ketika melihat umi dalam kondisi seperti itu. Beliau mengucapkan innalillahi wa inna’ilaihi ro’jiun dan menutup mata umi. Umi meninggal di hadapan kami. Bersambung.

#pojok kamar, wisma Pakdhe

Untuk Ibunda Terkasih: Dua Wajah Ramadhan #1


Pada tanggal 22 Ramadhan 1426 H, kami sekeluarga berbahagia karena kedatangan anggota baru dalam keluarga kecil kami. Hari itu, ibu saya melahirkan Fahri, adik saya yang kedua setelah Fahrul. Tujuh tahun setelahnya, masih di bulan yang sama, kami sekeluarga berduka karena wanita mulia yang melahirkan Fahri menemui ajalnya. Ibu saya meninggal pada hari Sabtu, 8 Ramadhan 1433 H pukul 23.45 WIB.

Duka ditinggal orangtua sebenarnya sudah mengganggu pikiran saya ketika saya baru pulang dari Belanda. Saat itu, ketika baru sampai di rumah, saya sangat terkejut melihat kondisi fisik ibu saya yang sudah sangat jauh berbeda. Beliau begitu kurus dan pucat. Kemoterapi yang ia jalani untuk mengobati penyakit kanker payudaranya membuat kondisi fisiknya seperti itu.

Saya sangat terkejut karena memang selama ini keluarga besar saya menyembunyikan permasalahan ini sehingga dalam kurun waktu beberapa bulan (ketika saya di Belanda) saya tidak mengetahui dengan pasti keadaan ibu saya.

Well, saya bukannya ingin membicarakan permasalahan itu di sini. Dalam tulisan kali ini saya ingin menceritakan hari-hari terakhir saya bersama ibu saya.

Kamis, 05 Ramadhan 1433 H (26 Juli 2012 M)
Tiga hari sebelum wafatnya ibu saya, yaitu hari Rabu tanggal 25 Juli 2012, saya masih berada di Jogja. Saya merencanakan pulang pada hari Selasa minggu depan atau pada tanggal 31 Juli 2012. Tiket kereta pun sudah saya beli.

Kamis, 26 Juli 2012 kira-kira pukul 05.00 WIB, saya ditelepon oleh bapak saya. Saya sudah menduga, pasti ada yang tidak beres karena tidak biasanya bapak menelepon subuh-subuh begini. Benar saja, di seberang sana bapak mengabarkan bahwa ibu dalam kondisi kritis. Saya diminta pulang hari itu juga. Tanpa pikir panjang, saya langsung ke stasiun untuk mencari tiket kereta api. Untunglah tiket kereta api untuk keberangkatan pagi itu masih ada.

Setelah membeli tiket, saya pulang lagi ke kos untuk packing barang seperlunya. Saat mempersiapkan barang bawaan itu, masuk lagi telepon dari rumah, kali ini yang berbicara adalah paman saya. Beliau bertanya apakah saya bisa pulang hari itu atau tidak. Saya bilang insyaallah bisa dan sudah membeli tiket kereta.

Ketika sudah duduk di kereta, lagi-lagi handphone saya berbunyi karena ada panggilan masuk dari nomor yang saya tidak tahu. Setelah saya angkat, ternyata itu sepupu saya (cewek) yang berusaha menenangkan agar saya tidak perlu panik. Suara itu kemudian berganti menjadi suara tangis tetangga saya yang mengambil alih telepon dan meminta saya agar cepat pulang ke rumah.

(Kawan, sebagai masukan untuk kalian (in case kalian mengalami hal yang serupa), jika kalian berada dalam posisi orang yang menjadi bagian dalam keluarga besar saya, sebaiknya kalian tidak perlu memberondong saya dengan telepon berkali-kali karena hal itu tidak akan memperbaiki keadaan, justru memperburuknya. Saya sadar telepon itu adalah reaksi kepanikan orang-orang di sana atas kondisi yang sedang terjadi, tapi hal itu sama sekali tidak membantu, justru akan menularkan kepanikan kepada orang lain, tidak hanya orang yang ditelepon, tapi orang-orang yang hadir di sana dan ikut mendengarkan juga bisa ikut panik. Oleh karena itu, suatu saat kalian menghadapi hal yang serupa, pastikan cukup satu orang yang mengabarkan. Pilihlah orang yang paling berwenang. Jika ia sudah mengabarkan, maka tugasmu adalah berdoa, tidak perlu lagi merepotkan diri untuk menelepon dan mengabarkan)

Di perjalanan saya berusaha menenangkan diri. Saya berusaha memikirkan yang terbaik, meski pikiran tentang kemungkinan terburuk nyatanya datang juga, malah lebih mendominasi pikiran saya. Tidak saya pungkiri saat itu mendung menyelimuti hati saya. Mata mulai merembes ketika saya mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.

Kereta tiba di Pasar Senen sekitar pukul 16.00 WIB. Saya langsung menuju halte busway. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah sampai di rumah secepat-cepatnya. Sialnya, jam kepulangan saya saat itu bertepatan dengan jam pulang kantor sehingga lalu lintas sangat padat. Akhirnya saya terjebak macet selama beberapa jam. Jam 20.00 WIB saya baru tiba di rumah.

Di rumah, orang-orang sudah ramai berkumpul. Melihat kumpulan orang seperti itu, sontak membuat lutut saya lemas. Pikiran buruk mulai menyergap. Tapi saya berusaha tetap tenang. Saya salami orang-orang yang berada di luar rumah. Saya istirahat sejenak di depan rumah dan menjawab beberapa pertanyaan dari beberapa tetangga.

Setelah menenangkan diri, saya masuk ke kamar ibu saya seraya mengucapkan salam. Di kamar, ada banyak sekali orang yang berkerumun. Kebanyakan (atau mungkin hampir semua) adalah wanita yang terdiri dari saudara ibu dan para tetangga.

Saya menghampiri ibu dan duduk di sebelah pembaringannya. Kawan, betapa pilunya hati ini melihat kondisi beliau yang sudah sangat lemah. Ibu saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Bahkan berbicara pun sulit, meski terdengar sedikit beberapa kata keluar dari mulutnya, tapi suaranya tidak jelas. Lamat-lamat saya mendengar beliau mengatakan bahwa ia kangen dengan saya.

Ah, anak macam apa saya sampai tega membuat ibu memendam kangen seperti ini. Beberapa hari yang lalu bapak memang mengabarkan bahwa ibu kangen dengan saya, tapi saya bilang belum bisa pulang dalam waktu dekat karena masih “mengejar” skripsi.

Alasan itu sebenarnya bukan yang utama, tapi saya terpaksa menggunakan alasan itu karena tidak mau membuat bapak memiliki pikiran “double” (memikirkan ibu dan saya). Alasan yang utama sebenarnya adalah saya sudah kehabisan uang sejak satu bulan yang lalu. Saya tidak mau bilang ke bapak bahwa saya sudah kehabisan uang karena saya tahu bahwa kondisi di rumah pun sedang sulit. Saya juga tidak mengabarkan bapak karena saya tercatat akan menerima beasiswa sehingga saya menjadi tetap tenang berada di Jogja walau harus “berhutang”. Toh, saya akan menerima beasiswa. Pikir saya waktu itu (Catat! Betapa cacatnya ketauhidan saya saat itu yang menggantungkan ketenangan pada beasiswa, bukan pada Allah Ta’ala).

Akan tetapi, lebih dari seminggu dari waktu yang dijanjikan, beasiswa itu tidak turun juga. Akhirnya saya berhutang lagi kepada teman-teman sambil berharap beasiswa akan segera turun. Saya tidak mau pulang ke rumah dengan membawa hutang karena bagi saya hal itu sangat membebani. Selain itu, saya juga khawatir jika saatnya beasiswa itu turun dan saya tidak berada di Jogja, padahal saya harus mengurus administrasinya di kampus. Beasiswa itu sangat penting mengingat kondisi ekonomi keluarga saya saat itu tidak terlalu menguntungkan.

Na’asnya, sampai kabar bahwa kondisi ibu kritis itu datang, beasiswa belum juga turun. Mau tidak mau saya berhutang lagi kepada teman saya untuk membeli tiket kereta api. Untung saat itu ada teman yang bersedia meminjamkan uang sehingga saya bisa pulang saat itu juga.
Beruntung Allah masih memberikan umur panjang pada saya dan ibu saya sehingga kami masih bisa dipertemukan di rumah, meskipun pertemuan itu berlangsung singkat karena dua hari setelahnya kami dipisahkan. Bersambung.

#pojok kamar, wisma Pakdhe