March 27, 2012

Satu Ghirah


Masjid itu bernama At-Taqwa. Terletak di Perumahan Swakarya, sebuah perumahan bagi para pensiunan tentara. Sejak pertama kali ke Jogja sampai saat ini, masjid itulah yang paling sering saya datangi untuk sholat berjamaah karena masjid itu yang paling dekat dengan kosan saya (meski sekarang sudah agak jauh). 

Di masjid itu saya banyak menyimpan cerita indah. Salah satunya adalah cerita tentang pertemuan dengan orang-orang yang saya cintai (karena Allah).

Masih ingat dengan cerita saya tentang mentor? Ya, tentang mentor terbaik saya sepanjang sejarah. Kalau lupa atau belum baca, tidak salah jika anda membacanya terlebih dahulu. Nah, for your information (FYI), awal mula pertemuan saya denga si mentor itu adalah di masjid at-Taqwa ini.

Dulu, waktu sholat berjamaah, saya sering bertemu dengannya. Entah disadari atau tidak olehnya, saya sering memperhatikannya. Saya merasa ada kecocokan hati antara saya dengan dia, meski kami belum mengenal satu sama lain. Bahkan namanya pun belum saya kantongi. Tetapi entah kenapa saya merasa sudah sangat cocok bersahabat dengannya. Meminjam istilah Aa Gym, hati kami mungkin sudah satu frekuensi meski belum di-setting terlebih dahulu. Singkat cerita, Allah menakdirkan saya untuk tinggal satu kosan dengannya. Setelah tinggal satu kosan, saya semakin membenarkan bahasa hati saya itu.

Beberapa bulan ke belakang (sebelum saya pergi ke Belanda), saya kembali merasakan perasaan yang sama, tetapi kali ini dengan subjek yang berbeda. Saya sering curi-curi pandang dengan salah seorang ikhwan yang saya sendiri belum tau siapa dia. Penampilannya tidak mencolok, biasa saja, serupa dengan jamaah umumnya. Tetapi bahasa hati saya kembali menunjukkan bahasa yang berbeda. Bahasa yang sama ketika saya bertemu mentor saya di awal-awal pertemuan. Bahasa yang kemudian saya terjemahkan sebagai isyarat hati bahwa antara saya dengan dia pastilah sudah satu frekuensi.

Setelah setengah tahun lebih tidak bertemu, saya kembali bertemu dengannya di masjid yang berbeda, yaitu Masjid Pogung Raya. Saat itu saya sedang menghadiri sebuah kajian. Di tengah kajian, dia datang bersama temannya. Setelah selesai kajian, yang kemudian dilanjut dengan sholat isya berjamaah, alangkah terkejutnya saya ketika orang yang membuat hati saya berdesir itu ternyata mengimami jamaah sholat isya di masjid tersebut. Berarti diapun memiliki hafalan yang kurang lebih sama dengan para jamaah di situ. Padahal usianya masih sangat muda. Saya sangat yakin usianya tidak lebih dari saya, tapi dia sudah dipercaya menjadi imam masjid sebesar Masjid Pogung Raya. Subhanallah…

Kalau bukan karena kualitasnya yang di atas rata-rata, tidak mungkin para takmir masjid itu memilihnya menjadi imam. Dan ketika dia mengimami, saya pun tau bahwa dia memiliki kualitas yang di atas rata-rata. Suaranya bagus. Hafalannya juga bagus (saat itu dia membaca surat al-Fajr – kebetulan yang sangat ganjil, bukan?). Ah, saya jadi ingin mengenalnya lebih dekat lagi. Mudah-mudahan Allah mempersahabatkan kami satu sama lain. Menghimpun cinta kami dalam jalan ketaatan padaNya. Semoga.


Kubaca Firman Persaudaraan (Salim A. Fillah)

Ketika kubaca firmanNya, “Sungguh tiap mukmin bersaudara”
Aku merasa, kadang ukhuwah tak perlu dirisaukan
Tak perlu, karena ia hanyalah akibat dari iman

Aku ingat pertemuan pertama kita, Akhi sayang
Dalam dua detik, dua detik saja
Aku telah merasakan perkenalan, bahkan kesepakatan
Itulah ruh-ruh kita yang saling sapa, berpeluk mesra
Dengan iman yang menyala, mereka telah mufakat
Meski lisan belum saling sebut nama, dan tangan belum berjabat

Ya, kubaca lagi firamanNya, “sungguh tiap mukmin bersaudara”
Aku makin tahu, persaudaraan tak perlu dirisaukan

Karena saat ikatan melemah, saat keakraban kita merapuh
Saat salam terasa menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan
Saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai
Aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
Hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengerdil
Mungkin dua-duanya, mungkin kau saja
Tentu terlebih sering, imankulah yang compang-camping

Kubaca firman persaudaraan Akhi sayang
Dan aku makin tahu, mengapa di kala lain diancamkan:
“para kekasih pada hari itu, sebagian menjadi musuh sebagian yang lain…
Kecuali orang-orang yang bertaqwa”

March 21, 2012

Nikah Muda? Tidak Untuk Aktivis


Dengan sangat terpaksa saya harus mengatakan bahwa saya sangat risih ketika mendengar mahasiswa S1, terutama mahasiswa tahun pertama-kedua, membicarakan hal pernikahan. Apalagi yang membicarakan adalah antara ikhwan dengan akhwat, yang dengan gaya-gaya bercanda, saling mengompori untuk menikah di usia muda.

Sebelum membicarakan hal ini lebih jauh, agar tidak menjadi perdebatan kedepannya, maka sepertinya kita perlu menyamakan frame terlebih dahulu mengenai definisi nikah muda. Dalam perspektif saya, nikah muda adalah pernikahan yang dilakukan di bawah usia 25 tahun (bagi laki-laki) atau yang dilakukan saat mereka masih menempuh pendidikan S1. Kalau anda memiliki pandangan berbeda, itu sah-sah saja. Tapi dalam tulisan ini, saya akan memakai definisi dari frame saya sendiri.

Well, mengapa saya risih? Ya, saya risih karena menurut saya pernikahan aktivis di usia dini akan membuat potensi kebermanfaatan mereka berkurang.

Hmm..berani benar saya mengatakan hal itu?

Saya berbicara seperti ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengalaman pribadi saya memiliki teman yang menikah di usia muda, mereka biasanya telah akan disibukkan oleh urusan rumah tangga (pribadi) sehingga urusan umum (atau dalam kosakata mereka “urusan umat”) termarginalkan. Padahal seharusnya mereka bisa berkontribusi lebih besar lagi untuk umum.

Seharusnya mereka bisa meng-handle ini dan itu. Bisa mengkader si anu dan si inu. Tetapi karena sudah disibukkan oleh urusan pribadi, peran-peran itu terlupakan. Atau kalaupun tidak terlupakan, peran itu menjadi kerdil. Seharusnya bisa mengkader 10 orang, jadi cuma 3 orang.

Perlu dipahami bahwa masa-masa mahasiswa (S1) adalah masa-masa krusial. Saya melihat banyak teman-teman mahasiswa yang menemukan titik balik hidupnya di masa-masa ini. Banyak dari mereka yang baru ‘ngeh (aware) tentang Islam, idealisme, dan ideologi di bangku perkuliahan. Nah, biasanya mereka yang baru ‘ngeh tersebut akan banyak bertanya tentang hal-hal di atas. Mereka butuh banyak berdiskusi tentang hal-hal tersebut. Butuh banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan curiosity mereka. Kalau rasa ingin tahu itu tidak terfasilitasi, maka sangat boleh jadi kita kehilangan potensi-potensi besar dari mereka karena semangat-semangat mereka pupus seiring tersumbatnya aliran curiosity mereka. Atau bagaimana kalau kemungkinan yang lebih buruk terjadi, yaitu rasa ingiin tahu mereka justru terfasilitasi oleh pihak yang berlawanan arah dengan ideologi islam?

Eman toh, kalau kita kehilangan kader walau seorang? Biar bagaimanapun, kita tidak akan selamanya hidup di dunia kampus. Ada saatnya kita berpisah dengan dunia ini meski kita begitu mencintainya. Nah, ketika kita harus berpisah, siapa lagi yang melanjutkan perjuangan kita kalau bukan mereka?

****

Mungkin terdengar sepele ketika saya mengatakan bahwa kekurangan diskusi (asupan informasi) menyebabkan semangat-semangat mereka luntur. Mungkin ada yang berpendapat bahwa walaupun sudah berkeluarga, kita masih bisa melayani mereka kalau permintaan mereka cuma diskusi. “Ah, cuma diskusi. Sepele” begitu mungkin di benak kita. Ya, possibility seperti itu memang selalau ada. Tapi yang terjadi di dunia nyata tidaklah demikian. Saya memperhatikan banyak di antara mereka (high curiosity students) yang (lagi-lagi) harus memendam curiosity mereka karena terhijab tembok bernama keluarga. Si high curiosity student  ini merasa tidak enak jika terus-terusan “meneror” orang yang dianggapnya memiliki apa yang ia cari. Sehingga, tinggallah ia terombang-ambing dalam kebingungan.

Maka dari itu saya berpandangan bahwa selama kita masih kuliah di jenjang S1 atau berusia di bawah 25 tahun (bagi laki-laki), lebih baik kita maksimalkan waktu kita untuk adik-adik kita atau untuk si high curiosity student tadi. Menyedekahkan diri kita untuk “konsumsi” umum.

“Kan sudah ada masjid yang menyiapkan kajian-kajian dengan pemateri ustad-ustad handal dan lebih kompeten dibanding kita?”

Bagi kalian yang biasa mengikuti kajian dari masjid ke masjid, mungkin akan tampak biasa saja untuk hadir (ikut serta) di forum-forum tersebut, tapi bagi mereka yang baru ‘ngeh, tidak akan semudah itu mendatangi forum-forum tersebut. Ada tembok pembatas yang harus diluruh terlebih dahulu antara mereka dengan forum-forum kajian tersebut. Entah tembok malu. Entah tembok kepercayaan (karena biar bagaimanapun, saat ini sudah terbangun opini di masyarakat agar menjauhi forum-forum seperti itu, karena banyak teroris lahir dari situ). Atau tembok-tembok lain yang menjadi penghalang.

Di situlah peran kita, yaitu sebagai mediator antara high curiosity students dengan forum-forum kajian. Kita hanya memfasilitasi di awal saja, selanjutnya kita serahkan pada para expert (ustadz), kecuali jika pengetahuan kalian sudah setara atau bahkan melebihi ustad-ustad tersebut, maka sangat diperbolehkan bagi kalian untuk mendampingi mereka terus menerus.

****

Perlu dipahami bahwa yang saya tolak di sini adalah bukan nikah mudanya, tapi subjek/pelaku nikah muda. Saya setuju dengan menikah muda asal yang menikah itu bukan aktivis, melainkan mereka yang masih doyan pacaran. Dengan menikah muda, setidaknya dapat meminimalisir dosa (atau bahkan perzinahan) yang mereka lakukan ketika berpacaran. Logikanya sederhana: semakin singkat masa pacaran, (semoga) semakin minimal dosa yang dilakukan.