February 20, 2012

Welcome Home


Alhamdulillah, setelah 5 bulan lebih menjalani program student exchange, akhirnya saya bisa menapaki kembali bumi pertiwi pada Sabtu, 11 Februari 2012 pukul 16.00 WIB. Di hari-hari menjelang kepulangan, saya merasakan antusiasme yang menggebu. Saya senang bukan kepalang. Saya tidak sabar menunggu hari kepulangan itu. Akan tetapi, saat saya sudah pulang, seketika antusiasme itu berubah menjadi kelesuan. Sekonyong-konyong saya mengalami demotivasi. Dua hal yang membuat saya terkejut, yang kemudian men-demotivasikan diri saya adalah; pertama cuaca.

Beberapa hari menjelang kepulangan, Belanda sedang dihantam cuaca minus (bergerak dari 0 sampai -15 derajat celcius). Mau tidak mau tubuh saya pun harus beradaptasi untuk menyesuaikan. Nah, ketika tubuh saya sudah mampu menyesuaikan cuaca minus tersebut, ia harus kembali  bekerja keras karena saya beralih dari cuaca minus ke cuaca dengan suhu di atas 25 derajat. Sungguh, peralihan suhu secepat dan se-ekstrem ini membuat saya kelabakan (baca: kepanasan). Bayangkan, ketika suhu di Belanda berubah dari -8 ke 0 derajat saja saya sudah cukup merasa hangat, bagaimana jika berubah ke 30 derajat?

Teror kedua setelah cuaca adalah kedisiplinan dalam berlalu lintas. Tentang hal ini, saya merasa benar-benar merasa kehilangan. Begitu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, saya langsung melihat lagi kesemerawutan lalu lintas. Orang berkendara sekehendak hatinya. Tidak ada etika. Tidak ada tata krama. Ah, Jakarta begitu hopeless.

Begitu diteror oleh dua hal tersebut, saya rasanya ingin langsung buru-buru kembali ke Belanda. Kembali menikmati harmoni yang sudah tercipta. Tapi saya tahu bahwa hal itu hanyalah angan-angan (pada saat itu). Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus menghadapi kehidupan Jakarta. Setidaknya untuk beberapa saat. Sampai saya kembali ke Jogja. Semoga Jogja tidak seperti Jakarta.

February 7, 2012

Antara Menjaga Izzah dan Berbasa-basi


Satu pelajaran dari guru saya yang sangat melekat sampai sekarang adalah tentang menjaga izzah. Izzah secara sederhana berarti kemuliaan. Menjaga izzah berarti menjaga kemuliaan diri. Diri bisa mulia dengan menjaganya dari sifat tamak, hasad (dengki), riya’ (suka pamer), ujub, dan berbagai penyakit ruhani lainnya.

Satu bentuk penjagaan izzah lainnya yang sering guru saya sampaikan adalah dengan cara tidak bergantung pada pemberian orang lain. Guru saya menekankan agar kita seharusnya selalu berusaha untuk tidak tergiur dengan pemberian orang lain. “Kalau barang yang diberikan itu sudah kita miliki, lebih baik ditolak dengan cara yang baik” begitu kira-kira nasihat guru saya. Contoh sederhananya begini, saya sudah punya hp, kemudian datang seseorang memberikan hp kepada saya. Maka sebaiknya saya menolak pemberian itu. Toh saya sudah punya hp.

Kalaupun kita tidak bisa menolak pemberian itu karena kita sangat membutuhkan barang/jasa tersebut, maka kita harus membalasnya dengan balasan yang setimpal. Misalnya begini, ketika akan pergi ke kampus, saya selalu diboncengi teman saya karena saya tidak punya motor sendiri, sedangkan kosan saya jauh dari kampus (misalnya). Maka bentuk penjagaan izzah yang bisa saya lakukan, salah satunya adalah dengan cara membelikan bensin.

Mengapa kita harus sebegitu ketatnya menjaga izzah kita? Hal itu dilakukan agar kita bisa berlaku adil (proporsional) kepada setiap orang. Kalau kita sering diberi barang/jasa oleh orang lain (dan kita tidak membalasnya), kita akan digelayuti oleh perasaan hutang budi. Selain itu, kehormatan kita disisi dia pun akan turun jika kita selalu menerima pemberian dia. Semakin banyak barang/jasa yang kita terima, semakin rendah kedudukan kita disisi dia. Perasaan ini akan membuat kita tidak berlaku adil, cenderung selalu membenarkannya sebagai salah satu bentuk balas budi kita terhadapnya.

Masih mending kalau yang memberikan itu adalah orang yang ihsan, yang takut kepada Allah, yang hanya mengaharap ridho Allah ketika memberi. Kita akan lebih terjaga karena ia pasti takut berbuat dosa. Akan tetapi kalau yang memberikan itu adalah orang yang zhalim, yang semena-mena terhadap dirinya dan orang lain, maka siap-siap anda akan terbebani karena sangat mungkin dia akan memanfaatkan anda.

Contoh sederhananya begini, anda sering ditraktir makan siang oleh teman anda. Kemudian saat ujian, teman anda ingin menyontek kepada anda. Apa yang anda lakukan? Pasti anda merasa terbebani dan tidak enak jika tidak memberikan contekan karena dia sering mentraktir makan siang kepada anda. Begitulah, karena kita berhutang budi. Agar hal itu tidak terjadi, maka setiap sekali anda ditraktir, balaslah traktiran tersebut dengan yang setimpal atau lebih.


Menjaga Izzah atau Berbasa-basi

Menjaga izzah tidak sama dengan berbasa-basi. Kalau menjaga izzah, tekad kita sejak dari dalam hati adalah untuk menjaga kemuliaan. Sedangkan orang yang cuma berbasa-basi, biasanya tampak luarnya saja yang menolak, tapi dalam hatinya masih menginginkan (semoga tidak ada yang tersinggung). Tenang saudara-saudara, saya juga masih berjuang untuk terlepas dari ini.

Saat ngekos di Jogja, Ibu kos saya yang sangat baik itu sering kali memberikan saya makanan. Ada dua cara si ibu ini dalam memberikan makanan. Pertama, langsung mengetuk pintu kamar dan membawakan makanan (semoga Allah membalas segala kebaikan beliau dengan balasan terbaik). Kedua, menanyakan “Mas Fajar sudah makan belum?” kalau sedang berpapasan. Sungguh ini adalah salah satu ujian terberat saya dalam menjaga izzah.

Tentu anda sudah paham betul bagaimana nasib anak kost kebanyakan. Duit diirit-irit untuk memanage berbagai keperluan. Makan disederhanakan, bukan karena zuhud, tapi memang uangnya yang pas-pasan. Maka ketika tawaran memperbaiki gizi itu datang, sangat berat sekali (bagi saya) untuk menolaknya.

Well, saya sering menolak juga sih. Tapi saya sadar penolakan saya masih sering cuma sekedar basa-basi, bukan (atau lebih tepatnya belum) upaya menjaga izzah. Dan memang Ibu kos saya ini kekeuh sekali dalam berbuat baik, seolah tidak mau menerima penolakan. Meskipun saya menolak, misal dengan alasan sedang berpuasa (bukan alasan yang dibuat-buat tentunya), beliau akan berkata “Yaudah, ini buat buka puasa aja” atau beliau akan datang lagi sebelum maghrib untuk memberikan makanannya yang tadi saya tolak. Sampai sekarang saya masih bingung bagaimana membalas kebaikan ibu kos saya itu. Apa yang sudah saya berikan untuknya, masih sangat jauh dari apa yang sudah ia berikan untuk saya.

Sedang memikirkan balasan untuk keluarga Mas Izul yang sudah menampung saya di rumahnya selama 10 hari.

February 3, 2012

Semakin Berat Semakin Ajib

Terhitung sejak 31 Januari 2012 malam, saya menempati kamar baru di rumah seorang rekan dari Indonesia, Mas Izul namanya, di jalan Planetenlaan. Tidak lama sih, cuma 10 hari sampai tanggal 10 Februari 2012 karena setelah itu saya akan pulang ke Indonesia. Terkait dengan kepindahan itu, ada sedikit hal yang ingin saya share.

Letak rumah Mas Izul ini (atau kosan saya-sebutlah demikian) cukup dekat dengan masjid. Di kosan yang baru ini, jarak tempuh ke masjid (Selwerd, bukan Turki/Korreweg) hanya sekitar 7 menit bersepeda. Berbeda sekali dengan kosan yang lama, yaitu sekitar 25 menit. Hal ini patut saya syukuri karena dengan begitu (seharusnya) saya bisa lebih intens lagi berkunjung ke masjid. Kalau dulu saya sering mengkambinghitamkan jarak, (seharusnya) kini ia (jarak) sudah menjadi kambing putih.

Akan tetapi, meski jarak sudah dikambingputihkan, rupanya setan masih memiliki stok kambing-kambing hitam lainnya. Ya harap maklum, namanya juga setan, misinya aja menyesatkan manusia. Kalau mereka diam saja menyaksikan manusia taat kepada Allah, bukan setan namanya. Btw kambing hitam yang disodorkan kepada saya kali ini, setelah jarak berubah menjadi kambing putih, adalah cuaca.

Beberapa hari ini, cuaca di Groningen selalu berada di bawah 0 derajat. Minus. Atau orang fisika menyebutnya berada di bawah titik beku. Saya yang sudah berpakaian anti dingin pun (long john, thermal shirt, jacket, syal, kupluk, kaos tangan kulit, kaos kaki wol, dan jeans) masih bisa diterobos oleh nakalnya suhu yang dibawah minus itu. Di tengah cuaca seperti ini, praktis merapatkan diri di kamar adalah pilihan yang paling nyaman.

***

Berajin-rajin di kamar memang sangat menyenangkan. Apalagi ditemani dengan internet yang super duper cepat, 30an Mbps, pilihan untuk keluar rumah rasanya menjadi opsi terakhir. “Kalau tidak ada keperluan yang mendesak, tak usahlah keluar rumah, dingin begitu kok” begitu kira-kira setan memprovokasi.

Akan tetapi sebagai seorang muslim, saya “berkewajiban” untuk keluar rumah 5x sehari untuk melaksanakan sholat berjamaah, meski sebenarnya saat ini saya mendapatkan dispensasi. Maka konsekuensinya, pilihan untuk keluar rumah sejatinya bukanlah menjadi opsi terakhir. Justru harus menjadi opsi kedua setelah berajin-rajin di kamar. Tetapi, untuk merealisasikan hal itu beratnya bukan kepalang. Nah, dalam situasi inilah saya menjumpai Islam begitu cerdas memotivasi para pemeluknya untuk senantiasa istiqomah dalam beribadah kepada Allah.

Dalam Islam, saya mengenal kaidah seperti ini: “semakin sulit (berat) suatu ibadah, semakin besar pahala yang diraih.” Kaidah ini disimpulkan dari beberapa hadits dari Rasulullah saw. Berikut beberapa haditsnya:
"Orang yang membaca al-Qur'an sedangkan dia mahir melakukannya, kelak mendapat tempat di dalam syurga bersama-sama dengan rasul-rasul yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca al-Qur'an, tetapi dia tidak mahir, membacanya tertegun-tegun dan nampak agak berat lidahnya (belum lancar), dia akan mendapat dua pahala." (HR Bukhari & Muslim)
“Maukah aku tunjukkan kepada amal yang dengan Allah hapuskan kesalahan-kesalahan dan meninggikan dengan derajat? mereka berkata, ”Mau wahai Rosulullah!” Beliau bersabda, ”Menyempurnakan wudlu ketika sulit, banyak berjalan menuju masjid, dan menunggu sholat setelah sholat itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath”. (HR Muslim).

Dalam hadits pertama, terlihat jelas bahwa “keberatan” seseorang dalam beribadah mendapat ganjaran yang berlipat. Dalam hadits itu, Rasulullah saw memompa semangat umat Islam yang belum lancar membaca al-Qur’an dengan ganjaran dua pahala.

Di hadits kedua, kaidah yang saya sebutkan di atas semakin tampak jelas. Kalimat yang saya cetak tebal dan diberi garis bawah itu sudah cukup menjelaskan bagaimana tingginya nilai ibadah ketika ibadah itu sulit atau berat untuk dilakukan.

Kalau sudah seperti ini, lalu apalagi yang menghalangi dirimu untuk istiqomah? Apalagi yang menghalangimu mengintensifkan diri ke masjid? Allah swt sudah begitu Pemurahnya mengobral pahala untuk setiap genjotan-genjotan yang berat, jari-jari yang membeku, dan desahan-desahan nafas yang tertahan. So, ambil sepedamu dan meluncurlah.


Di kamar baru, sedang nge-drop setelah diserbu suhu minus berhari-hari.