January 30, 2012

My First Snow is Special for You, Mom

Hampir 4 tahun saya hidup jauh dari Ibu saya. Semenjak kuliah di Jogja (UGM), praktis saya hanya bisa bertemu dengan ibu saya saat libur semester. Artinya, hanya ada 2 kesempatan dalam setahun. Ini adalah pengalaman pertama saya jauh dari orangtua karena sebelum kuliah di Jogja, saya selalu lengket dengan ibu-bapak saya.

Memang, kultur keluarga besar kami bukanlah kultur keluarga perantau. Almarhum/ah kakek dan nenek saya, baik dari ibu maupun bapak, (setau saya) adalah penduduk asli kampung yang sekarang kami tinggali. Lahir, besar, dan wafat di sana, tanah Betawi.

Ketika saya bilang ke ibu bahwa saya ingin kuliah di UGM, ibu awalnya tidak mengizinkan. Seperti umumnya orang Betawi, Ibu tidak suka kalau orang-orang terdekatnya jauh darinya. Ibu lebih menghendaki agar saya kuliah di Jakarta atau langsung cari pekerjaan saja.

Saya menolak. Saat itu saya memaksa. Saya berikan argumen ini dan itu mengapa saya tidak mau kuliah di Jakarta atau langsung bekerja, dan lebih memilih untuk kuliah di UGM. Tapi argumen-argumen itu juga bukanlah alasan yang dibuat-buat demi melancarkan niat saya kuliah di sana, melainkan argumen yang dipenuhi dengan kesadaran. Meski sudah memelas, Ibu masih terlihat berat untuk mengatakan “ya”.

Walaupun belum mendapat lampu hijau dari ibu saya, saya tetap mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi ujian masuk UGM yang katanya cukup sulit itu. Sambil terus memohon restu, saya intensifkan diri saya dalam berlatih soal-soal ujian. Seiring persiapan itu, alhamdulillah Ibu saya mulai menunjukkan tanda restunya. Ibu mulai melunak. Ibu mulai memancarkan senyum ridho.

Saya semakin senang. Semakin giat berlatih soal-soal ujian. Tak lupa pula saya selimuti ikhtiar itu dengan doa kepada Allah agar saya diluluskan dalam ujian masuk tersebut (belakangan saya sadar bahwa doa saya saat itu kurang tepat). Sadar bahwa doa orangtua, terutama ibu, sangat mustajab, maka saya pun mendekati ibu saya lagi agar didoakan.

Meskipun saya tau bahwa seorang ibu pasti selalu mendoakan kebaikan bagi putranya, tapi entah kenapa saya menjadi begitu kompulsif perihal doa ini. Sering sekali saya merengek kepada ibu agar didoakan. Pernah dalam suatu kesempatan, saya mendekati ibu yang baru selesai sholat. “Umi, “ begitu panggilan saya kepada beliau “doakan Fajar ya biar lulus ujian masuk UGM.” (jangan bayangkan nada saya dalam meminta doa itu seperti di film-film yah). Ibu saya tersenyum. Ah, dari sini saya yakin ibu saya sudah sepenuhnya merestui. Tinggal ikhtiarnya yang harus dimantapkan lagi.

Ujian pun berlalu. Alhamdulillah, atas rahmat Allah saya menjadi salah satu peserta yang berhasil lulus dalam ujian masuk UGM itu. Saya senang. Ibu saya pun senang, sekaligus sedih. Sekaligus bingung juga. Sedih karena sadar akan ditinggal merantau oleh putranya (dan kesedihan ini semakin terlihat jelas menjelang keberangkatan saya ke Jogja), juga bingung karena memikirkan biaya kuliah dan hidup saya nanti di Jogja.

Alhamdulillah, atas kemurahan Allah semua itu bisa kami lalui. Setidaknya sampai tahun ke tiga sejak saya meninggalkan kampung halaman.

Rengekan Jilid 2

Saya kembali merengek meminta doa kepada ibu saya ketika saya berencana mengikuti program pertukaran pelajar. Sekali lagi, meski saya tau bahwa seorang ibu pasti selalu mendoakan kebaikan bagi anaknya, tapi rupanya kompulisiftas itu terulang kembali. Setiap saya menelepon atau ditelepon ibu saya, pasti saya merengek minta didoakan. Berbeda dengan kasus pertama dimana ibu saya awalnya merasa berat untuk mengizinkan saya merantau ke Jogja, pada rengekan jilid 2 ini Ibu saya terlihat (atau lebih tepatnya terdengar, karena saya merengek lewat telepon) lebih kompromis sedari awal.

Saya senang. Saya masifkan upaya saya dalam mengumpulkan dan memenuhi semua persyaratan program pertukaran pelajar tersebut. Bagi saya yang belum berpengalaman mendaftar program pertukaran pelajar seperti ini, bisa mengumpulkan dan memenuhi semua persyaratan saja sudah seperti kemenangan.  Kemenangan dalam melawan diri sendiri yang sering mengeluh lelah. Lelah karena digelayuti oleh godaan berhenti di tengah jalan karena alasan ini-itu. Sampai akhirnya pengumuman peserta yang lolos itu diberitakan melalui email, saya menangis bersujud syukur karena saya menjadi salah satu peserta yang terpilih. Saya telepon Ibu saya untuk mengabari hasil seleksi ini.

Ibu awalnya “kurang” percaya. Respon ibu biasa saja. Tetapi semakin mendekati tanggal keberangkatan, barulah Ibu menunjukkan respon yang berbeda. Ibu terlihat agak ketar-ketir. Ketar-ketir yang hampir serupa ketika saya pertama kali akan berangkat ke Jogja. Saya sangat memahami kekhawatiran Ibu. Ibu mana sih yang tidak mengkhawatirkan putra yang akan jauh dari jangkauannya?

Sekarang saya sedang berada di Belanda, mengikuti program pertukaran pelajar yang saya dambakan tersebut. Kalau saya flashback perjalanan saya, betapa besar jasa-jasa ibu saya itu dalam mengantarkan saya ke sini. Saya yang tidak pernah sedikitpun membayangkan bisa berkuliah di Belanda, sekarang berkesempatan untuk menyicipinya, walau hanya satu semester.

Akan tetapi, di saat saya sedang menjalani program pertukaran pelajar ini, saya mendapat kabar yang kurang mengenakan dari rumah. Ibu saya sakit. Dan sakitnya beliau membuat saya benar-benar down karena bukan penyakit yang biasa. Ibu mengidap kanker payudara.
On writing: Syafakillah ummi (sumber: dokumentasi pribadi)

Rupanya, sejak saya berangkat bulan September lalu, Ibu sudah memiliki gejala-gejalanya. Sebelum berangkat dulu, Ibu terlihat sering batuk-batuk. Ibu mengira ini adalah batuk biasa. Saya pun mengira demikian. Sampai akhirnya, ketika saya baru 2 bulan tinggal di Belanda, ibu dirawat di rumah sakit. Berminggu-minggu Ibu dirawat dan bahkan sampai harus dioperasi untuk mengangkat cairan di paru-parunya, penyebab batuk-batuk. Selama perawatan itu, saya hanya bisa memantau kondisi ibu melalui telepon.

Setelah selesai dioperasi, saya sudah agak lega. Bapak saya bilang bahwa ibu masih harus dirawat di rumah sakit untuk menjalani kemoterapi. Awalnya saya agak bingung dan heran, mengapa kok sampai di-kemoterapi? Yang saya tau, kemoterapi biasanya untuk penderita kanker. Saat itu, saya hanya menyerahkan ke dokter yang menangani ibu saya, karena tentu dia yang lebih mengerti.

Ternyata proses menuju kemoterapi itu sangat lama. Sampai dua minggu lebih, ibu belum juga mendapatkan terapi yang dimaksud. Karena lelah menunggu dan tidak ada penanganan selama penantian terapi itu, akhirnya ibu memutuskan untuk pulang. Saya sudah berusaha membujuk ibu agar tinggal lebih lama lagi dan mengikuti saja saran dokter, tapi sebagaimana pasien rawat inap pada umumnya, tentu ibu juga ingin cepat-cepat pulang. Apalagi, ibu juga tidak diberi penanganan apa-apa selama penantian terapi tersebut sehingga semakin membuatnya bosan.

Akhirnya ibu benar-benar pulang setelah dirawat sekitar 4 minggu di rumah sakit (selama perawatan, bapak lah yang paling sering menjaga ibu. Semoga Allah membalas kebaikan bapak dengan sebaik-baik balasan). Pasca perawatan di rumah sakit, kondisi ibu rupanya belum juga membaik. Ibu masih sering batuk dan mengeluh merasakan sakit di dadanya. Setelah berobat lagi ke berbagai rumah sakit, akhirnya diketahui bahwa ibu terserang kanker payudara dan satu-satunya opsi penyembuhan dari para dokter itu adalah kemoterapi.

Sekarang ibu saya sedang menunggu jadwal kemoterapinya di rumah sakit. Sebenarnya, seharusnya jadwal beliau hari Rabu kemarin, tapi entah kenapa diundur menjadi hari Jumat. Saat tiba hari Jumat, ternyata jadwalnya diundur lagi menjadi hari Senin sebab kata dokter dosis obat yang akan digunakan untuk terapi kurang. Hari ini mudah-mudahan ibu mendapatkan yang terbaik untuknya. Kalaulah kemoterapi itu baik, semoga proses kemoterapi itu bisa berlangsung hari ini dengan lancar.


Dalam gerimis salju yang pertama

Groningen, 30 Januari 2012 pukul 01.23 CET

January 26, 2012

Siapa Memperdaya Siapa?

“I don’t hate Moslem, I hate Islam” (Geert Wilders)

Masih ingat dengan Geert Wilders? Ya, dialah politisi Belanda yang mencuat namanya karena Fitna yang ia sebarkan. Seperti yang tertulis di kalimat pembuka di atas, Wilders mengakui bahwa objek kebenciannya sebenarnya bukanlah muslim, melainkan Islam.

Alasan Wilders menjadikan Islam sebagai objek kebencian dan bukan muslim, sebenarnya sangat logis karena sebagai ad-diin, Islam hadir ke bumi bukan hanya mengatur ibadah ritual manusia kepada tuhannya, tapi juga mengatur tata kelola hidup dan kehidupan. Artinya, selain sebagai “agama”, Islam juga hadir sebagai sistem, ideologi, dan pandangan hidup, sedangkan muslim hanyalah penata laksana tata kehidupan tersebut.

(Untuk mengetahui pengertian ad-diin lebih lengkap, silahkan baca artikel berikut. http://www.dakwatuna.com/2008/05/634/makna-kata-ad-diin/)

Sebagai seorang nasionalis-liberal, Wilders khawatir berkembangnya Islam di negerinya akan mengikis budaya asli yang sudah ada.  Dengan kata lain, dia khawatir “Belanda”-nya tidak menjadi “Belanda” lagi. Maka dari itu, dia memerangi Islam dengan penuh totalitas.

Selain Fitna, tercatat ada beberapa ulah lain darinya yang sempat muncul di media. Dia sempat mengampanyekan pemberlakukan tarif (pajak) bagi muslimah yang memakai jilbab, menghentikan gelombang masuk imigran (yang mayoritas adalah muslim), serta mendukung pelarangan penyembelihan hewan. Dahsyatnya lagi, dia bahkan pernah mengampanyekan pelarangan peredaran al-Qur’an karena menurutnya al-Qur’an sama bahayanya dengan buku fasisme Adolf Hitler, Mein Kampf.

Akan tetapi anehnya, upaya Wilders yang tekun dan rapi dalam membuat tipu daya untuk mendiskreditkan Islam itu seolah berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Saya menyaksikan Islam justru semakin “berkredit” di Belanda. Hal itu dibuktikan dengan tidak putus-putusnya gelombang masyarakat yang berikrar syahadat. Hampir di setiap shalat Jumat ada saja yang menjadi muallaf, meski saya sendiri tidak mengetahui muallaf tersebut warga asli Belanda atau bukan karena kebanyakan yang menjadi muallaf adalah wanita (tidak bisa dilihat karena tertutup hijab).

“Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allah pun membalas tipu daya. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya" (Terjemah Q.S. Ali-Imran: 54).

Sedikit intermezzo

Seorang teman bercerita bahwa peraturan tentang pelarangan total penyembelihan hewan di Belanda batal dikeluarkan. Hal itu dikarenakan lobi Yahudi yang sangat kuat (Yahudi juga memiliki ritual penyembelihan hewan yang sama dengan Islam).

Sebenarnya peraturan tersebut sudah disetujui di tingkat kabupaten (saya istilahkan seperti itu karena saya kurang paham dengan tingkatan wilayah di sini), tapi kemudian mentah di parlemen karena mereka (Yahudi) punya “bagian” di sana.

Wallahu ‘alam

#dimuat di Fimadani dengan editing

January 16, 2012

Surat untuk Seorang Kawan


Kawan, tahukah engkau bahwa aku sangat bergembira ketika mendengar kabar pernikahanmu. Engkau menikah beberapa hari setelah aku berangkat ke Belanda. Ah, mengapa kau tidak mengabarkannya padaku sebelum aku berangkat? Meski dengan mengabarkannya pun aku tetap tidak bisa menghadiri walimahan mu, tetapi setidaknya aku bisa menjabat tangan dan merangkul tubuhmu untuk meluapkan kegembiraanku.

Aku senang kawan. Aku gembira kau telah menikah. Artinya, kau telah mempersempit lubang bagi setan untuk menjerumuskanmu dalam lembah perzinahan. Aku berharap langkahmu segera diikuti oleh teman-teman kita agar mereka (termasuk aku) juga bisa terhindar dari perzinahan. Apalagi kau cukup karismatik di kampung kita. Mereka senang terhadap pribadimu yang supel dan setia kawan. Kau sudah jadi panutan kawan. Ah, aku yakin mereka akan segera mengikuti langkahmu.

Sungguh kawan, aku benar-benar prihatin terhadap fenomena MBA (married by accident) yang sedang melanda negeri kita, termasuk juga kampung kita. Aku sedih sekali ketika mendengar kawan kita, yang juga seumuran dengan kita, terpaksa menikah karena kecelakaan. Tubuhku lemas ketika orang demi orang mengabari bahwa fulan A, fulan B, dan fulan C, yang dulu sering bermain bola bersama kita, harus menikah muda, juga karena kecelakaan. Ah…

Untunglah kamu tidak seperti mereka kawan. Aku sangat yakin kau tidak seperti mereka karena aku mengenalmu dengan baik, setidaknya sampai aku memutuskan untuk kuliah di Jogja 3 tahun yang lalu. Dan aku harap, keputusanmu untuk menikah muda ini menjadi pemutus rantai MBA yang sedang marak. Aku sangat berharap teman-teman kita di kampung segera mengikutimu karena dengan menikah muda, tempo pacaran mereka pun akan semakin singkat.

Ah, sebenarnya aku ingin menghapuskan kata “pacaran” dalam kamus kampung kita kawan, tetapi rasanya tidak segampang itu. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengubah kebudayaan jahil itu. Prosesnya akan sangat panjang. Dan aku yakin, menikah muda ini menjadi bagian dari proses pengikisan budaya jahil itu.

Kawan, kini usia pernikahanmu sudah memasuki bulan ke empat, tentu kau sedang bahagia-bahagianya dengan pernikahanmu. Kau bertanya bagaimana aku tahu? Ah, ini hanya feeling saja kawan. Dan ternyata kau pun membenarkan feelingku.

Kemarin malam, kita sempat bertukar komentar melalui jejaring sosial. Awalnya kita hanya bertegur sapa, saling menanyakan keadaan dan bercerita seputar kehidupan kita masing-masing. Sampai akhirnya kaupun bercerita bahwa kau sudah memiliki putra. Putra kandungmu. Darah dagingmu. Karunia dari pernikahanmu.

Kawan, kau sangat mengagetkanku malam itu. Aku mencoba memastikan bahwa kau tidak sedang bergurau. Dan kau kembali meyakinkanku bahwa kau memang sedang tidak bergurau.

Kawan, tolong jelaskan padaku bagaimana bisa kau sudah memiliki putra padahal usia pernikahanmu baru saja empat bulan? Tolong jelaskan kawan. Aku memaksa.

Belum sempat aku mendengar penjelasan darimu seseorang telah memberikan penjelasan kepadaku tentang dirimu. Dan penjelasan orang tersebut membuatku terpukul. Sangat terpukul hingga membuat tubuhku lemas. Sama lemasnya ketika mendengar berita si fulan A, B, dan C di atas.

Masyaallah…

Mengapa sampai hati kau melakukan hal itu kawan? Setan apa yang merasukimu sampai kau melakukan perbuatan itu? Sudahkah kau memikirkan konsekuensi yang akan kau terima dunia-akhirat dari perbuatanmu itu? Sudahkah kau memikirkan apa yang kemudian terjadi kepada para follower ketika seorang panutan mengambil tindakan? Teman-teman kita kawan. Ah…

Aku kecewa kawan. Sungguh aku kecewa padamu. Aku sudah sangat berhusnudzan kepadamu. Sudah sangat yakin kau menikah dengan “jalur” yang benar. Sudah membayangkan efek-efek positif dari pernikahanmu. Aku sudah banyak bermimpi kawan. Aku sangat yakin kau berbeda dari fulan A, B, dan C, tetapi ternyata kau sama saja dengan mereka.

Ah…

Aku sedih. Aku menangis.

January 8, 2012

Mencari Mentor


Mentor. Saya sedang membutuhkan mentor. Otak saya terasa semakin tumpul karena jarang diasah. Untuk mengasah tentu membutuhkan alat. Mentor itu lah alat asah andalan saya selama ini. Sebenarnya saya punya sih satu mentor andalan, tapi sudah lama sekali saya tidak berhubungan dengan dia. Penyebabnya dua, KKN dan Exchange Program ini. Mudah-mudahan sekembalinya saya ke Jogja, saya bisa berdiskusi dan mengasah pikiran lagi dengan dia.
Ah, tetapi rasanya kesempatan untuk berdiskusi itu menjadi semakin sedikit karena dia sekarang sudah menikah. Otomatis waktu luangnya tidak seperti dulu waktu masih bujangan. Sekarang kami pun sudah tidak satu atap lagi. Dia sudah tinggal dengan istrinya. Dengan begitu, “diskusi pengantar tidur” pun sudah tidak bisa kami lakukan.
Waduh, kok saya jadi seperti menyalahkan pernikahannya ya? Itu kan hak dia untuk menikah. Haha.
Tenang, ini bukan ekspresi kekecewaan atas pernikahan, tapi ekspresi kehilangan. Kehilangan seorang mentor terbaik. Eh, bukan hilang juga sih, tapi tereduksi. Ya, otomatis perannya sebagai mentor (dia tidak pernah menasbihkan dirinya sebagai mentor sih, ini sebutan saya aja) akan tereduksi karena urusan yang akan dia hadapi semakin banyak. Maka dari itu di kalimat awal saya katakan saya butuh mentor. Saya butuh pengasah (tau pengasah kan? Itu lho, benda yang digunakan untuk menajamkan pisau).
“Kalau cuma butuh pengasah, kan gak harus melalui mentor. Kamu bisa mengasah pikiranmu dari buku atau diskusi dengan orang lain”
Nah, di situlah peran dia (mentor terbaik saya), dan sekaligus juga kelemahan saya, terlihat sangat menonjol. Saya sadar, saya agak kesulitan memantik diri saya sendiri dan beberapa tahun ke belakang saya dibantu olehnya memantik pikiran saya. Berdiskusi dengannya, bisa membuat saya keliling perpustakaan untuk mencari referensi (studi literatur). Menemui person per person untuk menguak keterangan. Dan akhirnya mengalami kesulitan tidur karena gagasan yang belum rapi ditulis.
“Wah..wah..hati-hati terjebak kemusyrikan bro! Jangan sampai menuhankan mentor dan menyangka mentor sebagai penolong. Allah lah sebaik-baik penolong”
Oh, tidak. Saya sama sekali tidak menuhankan mentor saya. Justru menurut saya Allah lah yang mengirim mentor itu untuk membantu saya mengenal-Nya lebih dekat. Pasalnya, bukan hanya pemikirannya yang brilian, tapi juga akhlaknya. Nih buktinya: Sholatnya 5 waktu di masjid. Baca al-qur’annya setiap hari. Sedekah setiap hari dan nominal sedekahnya semakin besar disaat krisis. Pandangannya insyaallah terjaga, menunduk sewaktu berjalan. Apalagi ya? Banyak deh.
Makanya seperti ada rasa miss dengan dia beberapa bulan ini. Sayangnya, mentor saya itu termasuk orang yang konservatif. Dia kurang suka bergaul dengan internet. Facebook gak punya. Email pun jarang dibuka. Sehingga kami benar-benar lost contact selama ini. Bisa sih kalau mau tetap berhubungan lewat telepon dan pernah juga saya menelepon dia dari sini. Tapi tarif teleponnya itu lho, gak nahan banget (ah, dasar gw nya aja yang pelit).
Anyway, kembali ke kebutuhan untuk dimentori. Yah, saya hanya berharap semoga dia masih punya waktu untuk berdiskusi dengan saya walaupun sayanya juga harus tau diri untuk tidak terlalu merepotkannya karena urusan dia sudah berlipat-lipat. Dan semoga Allah mengirimkan mentor lagi untuk saya, hehe.
Hmm..jadi teringat doa seorang alim: “Ya Allah, tunjukkan kepada kami jalan untuk semakin dekat dengan-Mu. Kalau harus berguru, tunjukkan kepada kami guru yang mana yang harus kami datangi. Kalau harus membaca buku, buku yang mana yang harus kami baca. Agar kami tidak tersesat”

NB: Si mentor ini juga yang tidak menyarankan saya untuk menulis di blog karena menurutnya tidak ada tantangannya. Dia menyarankan agar lebih baik mengirimkan tulisan ke media karena dari situ kita bisa mengukur kualitas tulisan kita.