November 30, 2011

Belanda, ckckck...

Salah satu hal menarik yang saya tunggu-tunggu dari kursus Bahasa Belanda adalah pada sesi terakhirnya. Di sesi terakhir ini, biasanya meneer dosen menceritakan segala hal yang berhubungan dengan Belanda. Dulu saya pernah menuliskan sejarah yang berhubungan dengan bahasa Belanda yang diceritakan oleh dosen ini (bisa dilihat di sini). Kemarin malam, dosen saya menceritakan sejarah lain tentang perjuangan warga Belanda untuk tetap survive di tengah keterbatasan yang ada.

Peta Belanda
Di sesi terakhir kursus tadi malam, dosen Bahasa Belanda saya sempat menunjukkan sebuah peta geografis negeri kincir tersebut. Dari peta itu saya mengetahui bahwa negara yang kita sebut sebagai Belanda ini ternyata hanya memiliki sedikit sekali daratan. Dari beberapa provinsi yang ada, hampir sebagian (seharusnya) tertutup laut, termasuk kota Amsterdam yang tersohor itu (lihat peta-bagian warna biru adalah daerah yang (seharusnya) tertutup air laut).

Ya, seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Belanda adalah negara yang terletak di bawah permukaan laut. Karena letak geografis yang sangat tidak strategis itu, Belanda selalu diliputi ancaman banjir. Bencana banjir terakhir yang sempat melanda Belanda terjadi pada tahun 1953. Ketika itu sebuah banjir dahsyat akibat merangseknya air laut ke daratan membuat nyawa 1800-an warga Belanda yang tinggal di Zeeland melayang.

Ancaman banjir yang senantiasaa membayang-bayangi itu rupanya tidak serta merta membuat warga Belanda putus asa. Mereka justru dengan kreatif memutar otak untuk menetralkan wilayah mereka dari luapan air laut (banjir rob). Salah satu strategi yang mereka gunakan untuk “memindahkan air laut ke laut” itu adalah dengan menggunakan kincir angin.


Sistem Kerja Kincir
Kincir angin tradisional yang sudah menjadi trademark Belanda ini mulai digunakan sejak abad pertengahan. Saya sendiri baru mengetahui kalau ternyata kincir ini dulunya digunakan untuk memindahkan air laut (sistem kerja kincirnya bisa dilihat di gambar sebelah). Saya kira kincir ini hanya digunakan untuk keperluan pertanian saja, seperti irigasi.

Seiring berjalannya waktu, rupanya kincir inipun tidak cukup banyak membantu membuang air laut yang masuk karena volumenya yang sangat banyak, sedangkan jumlah kincirnya sangat terbatas. Maka merekapun mulai memikirkan alternatif lain. Alternatif solusi yang cukup ampuh dan digunakan sampai saat ini adalah dengan membangun dijk (tanggul).

Salah satu dijk di Belanda
Belanda membangun dijk di semua daerah yang berpotensi tenggelam. Dosen saya bercerita bahwa dijk yang terpanjang yang dibangun Belanda ukurannya mencapai 33 km. Saya menggeleng-geleng kepala ketika mendengarnya. Antara kagum dan tidak percaya. Bagaimana mungkin mereka membangun tanggul yang menyumbat air laut dan memiliki panjang 33 km? Sebuah usaha bertahan hidup yang luar biasa.

Setelah mengetahui fakta ini, saya jadi merenung, betapa dimanjakannya bangsa Indonesia. Secara default, Indonesia sudah memiliki alam yang sangat ideal. Kita tidak perlu bersusah payah memindahkan air laut untuk menciptakan apa yang disebut sebagai “wilayah negara” seperti yang Belanda lakukan. Akan tetapi sayangnya, kondisi alam yang memanjakan itu rupanya membuat etos kerja bangsa Indonesia tidak segigih bangsa Belanda.

November 24, 2011

Idul Adha ala Groningen


Jam di handphone saya sudah menunjukkan pukul 08.15 CET. Artinya, sudah sekitar 2 jam berlalu dari waktu sholat Subuh. Saya bergegas menuju De Holm (3,3 km) untuk membantu persiapan sholat Idul Adha. “Pelaksanaan sholat akan dimulai pukul 09.00 CET”. Begitu kira2 instruksi yang diberitakan di mailing list deGromiest (The Groningen Moslem Society).

Ya, hari ini kami akan melaksanakan sholat Idul Adha. Sholat ‘Ied yang berbeda dari biasanya. Sholat yang bukan dilaksanakan di Masjid maupun tanah lapang, tapi di gedung pertemuan yang biasa digunakan untuk berbagai kegiatan. deGromiest menyengaja menyewa gedung tersebut agar umat muslim, khususnya muslim Indonesia, tetap bisa merayakan hari raya yang cuma ada setahun sekali ini.

Sebenarnya di Groningen sendiri ada dua masjid, yaitu Masjid Selwerd dan Masjid Korreweg, tapi berhubung umat Islam di kota ini cukup banyak (muslim Indonesia sendiri berjumlah seratusan), jadi kedua masjid itu pun tidak cukup menampung semua jamaah*. Mau menggelar sholat ‘Ied sampai ke pelataran masjid rasanya tidak memungkinkan karena akan mengusik kenyamanan warga sekitar dan ujungnya bisa berurusan dengan polisi. Dengan pertimbangan itu, akhirnya kami, warga Indonesia, berinisiatif untuk menyewa gedung sendiri sebagai tempat pelaksanaan sholat Idul Adha.

Gedung itu bernama De Holm. Gedung yang biasa dipakai untuk berbagai kegiatan seperti latihan senam, salsa, dan belajar kelompok ini bertarif 70 euro (sekitar 800 ribu) per hari. Meski ukurannya agak kecil, gedung ini mampu menampung semua jamaah Indonesia dan segelintir foreigner yang ikut bergabung.

Seperti biasa, sebelum sholat dimulai, jamaah saling sahut menyahut mengumandangkan takbir. Takbir seperti ini baru terdengar di pagi hari karena malam sebelumnya kota Groningen sunyi senyap, kecuali oleh suara lonceng gereja yang berdentang secara berkala. Saya sendiri menyiasati kesenyapan malam takbir itu dengan menyetel takbir dari youtube. Well, memang jauh berbeda dengan suasana di Indonesia, tapi lumayan lah.

Pelaksanaan sholat ‘Ied dimulai pukul 09.20 CET. Khatib membawakan khutbah tentang kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya. Setelah selesai, kami bersalam2an dan menikmati jamuan yang ada (*berasa Idul Fitri).

Sayangnya, di hari Idul Qurban ini, kami justru tidak bisa menyaksikan pengurbanan hewan karena kegiatan penyembelihan merupakan kegiatan yang terlarang di Belanda. Ada aturan yang sangat ketat tentang hal itu. Kalau nekat mau menyembelih, maka harus siap2 berhadapan dengan hukum.

Lalu bagaimana warga Belanda menikmati daging? Inilah uniknya, mereka melarang menyembelih tapi bukan berarti melarang pemotongan hewan. Mereka tetap memotong hewan tapi hewan yang akan dipotong harus dibius dulu, sehingga meminimalisir rasa sakit yang diderita si hewan ketika disembelih. Begitu kira2 pendapat mereka. Pendapat yang kemudian diperdebatkan oleh umat Muslim dan Yahudi, yang juga memiliki ritual penyembelihan hewan (mungkinkah ada duet antara Islam dan Yahudi untuk menentang aturan ini? Kita tunggu saja kelanjutannya).

By the way, tidak ada penyembelihan bukan berarti tidak bisa menikmati hidangan khas Idul Adha seperti sate dan kari. Kami tetap dapat mencium aroma bakaran sate karena ada toko daging halal di sini. Jadi, kami beli dulu dagingnya, kemudian baru disate beramai2 di rumah salah satu warga. Meskipun jatah sate setiap orang sangat terbatas, 2 tusuk, tapi suasana kekeluargaan yang ada setidaknya dapat menjadi pengganti suasana Idul Adha di Indonesia.

*Alhamdulillah islam cukup berkembang di sini. Di masjid Selwerd sendiri hampir tiap selesai jumatan ada warga yang berikrar syahadat. Insyaallah mulai tahun depan masjid ini akan diperluas dan dimasifkan lagi peran Islamic Center nya. Mohon doa dari teman2.

November 23, 2011

Minggu di Groningen


Kota Groningen di hari Minggu seperti kota tidak berpenduduk. Sepi senyap. Kota ini berubah sedemikian drastisnya dari hari2 biasanya. Kalau saat weekdays kota ini ramai dengan orang yang berlalu lalang dan bertransaksi di pertokoan, maka tidak pada hari ini karena hampir semua toko tutup pada hari Minggu.

Ya, satu hal yang sulit saya mengerti adalah mengapa toko2 itu justru tutup pada saat hari libur, hari dimana orang2 justru punya banyak waktu luang. Logika sederhananya seharusnya para pemilik toko memanfaatkan momen tersebut untuk meraup keuntungan lebih besar lagi, seperti yang sering kita jumpai di Indonesia, tapi nyatanya itu tidak terjadi.

Rupanya, tutupnya toko2 tersebut sebenarnya bukan murni atas kehendak para pemilik toko, tapi karena adanya peraturan pemerintah. Pemerintah, yang didukung kuat oleh kalangan Kristen, menghendaki pertokoan tutup pada hari Minggu agar warga bisa beristirahat dan beribadah. Pengecualian dilakukan di kota2 wisata/turis, seperti Amsterdam.

Kondisi ini sangat berkebalikan dengan Indonesia. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia pertokoan selalu buka 7 hari seminggu. Bahkan tidak sedikit yang berani mengusung sistem 24/7. Buka 24 jam sehari , 7 hari seminggu. Seolah2 tidak mengenal istirahat.

Saya sendiri setiap hari Minggu biasanya ikut latihan bulu tangkis dan futsal. Selain untuk membuyarkan sepi dan menjaga kesehatan, berolahraga juga bisa jadi ajang silatu’ukhuwah saya dengan warga Indonesia. 

November 21, 2011

What a Dream!!!


Tadi malam saya mendapatkan mimpi yang luar biasa indah. Mimpi yang sekaligus menjadi jawaban atas kegundahgulanaan saya selama ini. Mimpi yang juga mampu menegaskan keraguan hati. Dan mimpi yang akhirnya membuat saya tenggelam dalam ekstase ketidakpercayaan sampai saat ini.

Tadi malam, tidak seperti biasanya, saya tidur agak telat. Menjelang jam 1 pagi saya baru bisa merebahkan tubuh di atas kasur. Biasanya, jam 11 atau 12 malam saya sudah siap2 tidur, tapi karena tadi malam saya harus berkoordinasi dengan 2 orang kawan, akhirnya saya tidur agak telat.

Tadi malam saya berembug dengan Mas Edi dan Habib tentang rencana liburan akhir tahun kami ke Turki. Sebenarnya itu juga rencana mendadak. Kami baru merencanakan itu beberapa menit setelah menerima email dari seorang rekan di milis PPIG (Persatuan Pelajar Indonesia-Groningen) tadi malam. Email tersebut berisi tentang promo paket liburan ke Turki seharga 169 euro untuk 4 hari.

Paket liburan ke Turki seharga 169 euro selama 4 hari itu sangat menggiurkan. Apalagi harga itu sudah termasuk tiket PP, penginapan, dan sarapan. Padahal, dalam kondisi normal, uang segitu belum tentu cukup menutupi tiket perjalanan PP. Ah, saya yang memang sudah lama memimpikan rihlah ke tanah Turki untuk melihat sisa2 kejayaan Islam di masa silam, benar2 tergoda. Tak pelak, jari dan mata saya pun langsung menggebu menelusuri promo itu. Sambil tetap berembug, saya memelajari promo itu dengan seksama.

Setelah saya telusuri dan pelajari, ternyata harga yang berlaku untuk keberangkatan akhir tahun ini lebih mahal, yaitu 249 euro. Harga yang 169 euro itu berlaku jika saya mengambil tanggal di jauh2 hari, mulai dari akhir Januari.

Sejenak saya berpikir, sepertinya harga 249 euro itu adalah harga yang normal, tidak ada yang istimewa (tidak murah). Well, mungkin agak istimewa karena waktunya yang pas saat tahun baru, momen yang biasanya akan melambungkan harga tiket pesawat dan hostel.

Hmm…saya jadi bingung, apakah akan mengambil paket ini atau tidak. Kalau saya ambil, rencana yang saya buat sekembalinya nanti ke tanah air kemungkinan akan tergganggu karena rencana2 tersebut membutuhkan sumber daya material. Dan tentu akan mengganggu juga rencana membeli teleskop impian.

Akan tetapi, tidak mengambil promo ini pun agak disayangkan mengingat saat ini saya sudah berada di Eropa. Sudah dekat sekali dengan Turki, negeri yang menjadi saksi keruntuhan khilafah terakhir. Memulai perjalanan dari Eropa tentu akan jauh lebih efektif dan efisien dibanding dari Indonesia, terutama dari segi biaya.

Ah, lagi2 saya dihadapkan pada keadaan dilematis. Karena masih kebingungan, akhirnya saya minta waktu pada Mas Edi dan Habib untuk mengambil keputusan. Saya bilang insyaallah besoknya saya akan kabari lagi. Mereka sendiri sepertinya sudah mantap ingin mengambil promo tersebut.

Setelah rembugan selesai, saya pun langsung tidur. Sebelum tidur, sempat terbersit harapan agar Allah menunjukkan jalan yang terbaik dari perkara ini. Dan ternyata, Dia Yang Maha Bijaksana membayar lunas harapan yang saya gantungkan pada-Nya. Dalam tidur itu, Allah mendatangkan mimpi yang indah tak terperi.

Saya bermimpi melihat Ka’bah! Ya, tidak salah lagi, bangunan berwarna hitam yang sedang dikelilingi orang2 itu adalah Ka’bah. Subhanallah! Luar biasanya lagi, ternyata saya tidak melihatnya dengan mata kepala saya langsung, melainkan melalui perantara alat. Teleskop! Ya, saya melihat Ka’bah dan umat muslim di sekelilingnya dengan menggunakan teleskop. Masyaallah! Inikah petunjuk Allah? Inikah pilihan Allah? Inikah jawaban Allah atas segala kebimbangan yang saya alami?

Pertama saya bimbang apakah harus membeli teleskop atau tidak karena masih mempertimbangkan maslahat dan mudharatnya. Ketika kebimbangan itu belum teratasi, saya didatangi kebimbangan kedua yang sedikit banyak menggoyahkan niat untuk membeli teleskop. Dan akhirnya, Allah memberikan petunjuk  atas kebimbangan saya dengan cara-Nya yang indah.

Masyaallah, saya benar2 tenggelam dalam ekstase ketidakpercayaan.

November 19, 2011

Dimana Mujahadahnya?



Tinggal di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim, bukan berarti pintu untuk bertholabul ilmi  tertutup rapat. Saya masih bisa mendapatkan kajian2 Islam dari banyak sumber. Bisa dari kajian pekanan rekan sesama muslim Indonesia maupun kajian dari muslim internasional (seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelumnya, Arab vs Belanda). Akan tetapi, karena kajian tatap muka langsung seperti itu intensitasnya sangat terbatas, saya lebih banyak menyimak melalui internet, baik melalui kajian streaming (online) maupun rekaman kajian yang di-upload.

Kajian streaming yang cukup populer adalah kajian dari Daarut Tauhid Bandung yang disiarkan melalui MQFM Network dan Radio Pengajian. Sedangkan rekaman kajian bisa didapatkan di banyak situs, tapi karena saya tinggal di Jogja, biasanya saya mendownload kajian2 yang dibawakan oleh ustadz2 di Jogja, yang sudah saya kenal sebelumnya.
***
Kalau dipikir2 lagi, kondisi saya saat ini bahkan sebenarnya serba berlebih. Lebih mudah, lebih nyaman, dan lebih praktis dalam bertholabul ilmi. Jadi, tidak ada halangan berarti. Saya bisa setiap saat mendengarkan kajian. Kalau mau, saya bisa mendengarkan kajian2 tersebut setiap hari. Bahkan setiap jam. Dengan akses internet yang begitu cepat, saya bisa menyimak kajian2 tersebut tanpa buffering sehingga tidak mengganggu kenyamanan dalam menyimak.  

Saya juga bisa lebih santai dalam mendengarkan kajian. Saya bisa menyimak sambil meminum kopi, mengudap cemilan, buah2an, dan tidak jarang juga sambil tidur2an. Akan tetapi, ternyata justru di situlah masalahnya. Kadang saya berpikir, kegiatan yang saya lakukan ini sebenarnya mendengarkan kajian sambil santai2 atau santai2 sambil mendengarkan kajian?

Ah, saya jadi mulai merenung. Mulai mengingat2 nasihat yang disampaikan KH. Cholil Ridwan saat memberikan ceramah singkat untuk muslim Indonesia di Groningen 2 minggu yang lalu. Beliau saat itu sempat menyampaikan tentang mujahadah dalam berdakwah dan sempat mengkritik ustadz2 yang ceramah di tv2.

Menurut beliau, nilai mujahadah ustadz2 yang ceramah di tv2 sangat kurang. Bagaimana tidak, sudah diperlakukan istimewa, memberikan ceramah di ruangan yang nyaman, plus diberikan honor berjuta2 pula. Bahkan menurut beliau, ada di antara mereka yang berani mematok harga. Karena alasan inilah, beliau menilai ustadz2 itu kurang mujahadahnya.

Nah, kondisi yang sama sepertinya terjadi juga pada saya, tapi dengan pekerjaan yang berbeda. Kalau ustadz2 tersebut kurang bermujahadah dalam berdakwah, saya kurang bermujahadah dalam menuntut ilmu. Lha dimana letak mujahadahnya kalau caranya seperti yang saya ceritakan di atas?

Ya, apa yang saya lakukan saat ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan ulama2 dulu, Imam Bukhori  misalnya. Beliau rela menyusuri gurun berhari2 dalam memburu sebuah hadits. Ah, jauh. Saya masih sangat jauh dengan beliau. Jangankan menyusuri gurun berhari2, mengayuh sepeda 30 menit untuk ikut dalam forum mingguan saja beratnya minta ampun. Saya lebih asyik duduk manis (atau tidur2an manis) menyimak sambil ngemil di dalam kamar yang dilengkapi dengan pengahangat.

Ah, dimana mujahadahnya?

November 17, 2011

Teleskop Impian


Sejak duduk di bangku sekolah, saya punya kebiasaan mengamati benda2 langit. Kebiasaan ini mulai muncul setelah saya menyaksikan film Petualangan Sherina yang dulu cukup populer saat saya masih SD. Dalam film itu, ada scene di mana Sherina dan Derby mengunjungi museum Boscha dan melihat benda2 langit melalui teleskop yang ada di sana. Gambar2 benda langit yang diperlihatkan di film tersebut membuat saya tertakjub2 dan akhirnya muncullah kebiasaan itu.

Kebiasaan itu rupanya punya pengaruh cukup kuat dalam diri saya. Karena kebiasaan itu, dulu saya pernah bercita2 ingin masuk jurusan Astronomi ITB, tapi karena saya kepayahan di fisika, akhirnya saya melepas cita2 itu dan beralih ke cita2 saya yang lain.

Meskipun cita2 menjadi astronom (dan astronot) lepas, tapi kebiasaan mengamati benda langit masih ada sampai sekarang. Sampai saat ini, saya masih suka menatap langit malam dan memperhatikan benda2 yang “menempel” di sana. Saya juga jadi suka mengikuti berita2 terkait astronomi, meskipun tidak secara intens dan profesional.

Pernah dulu saya menonton berita di televisi bahwa akan ada hujan meteor yang bisa disaksikan dari langit Jakarta mulai pukul 00.00-04.00 WIB. Gara2 berita ini, ibu saya harus berdingin2 nongkrong di luar rumah menemani anaknya menantikan hujan meteor yang dijanjikan berita. Karena saat itu saya ketakutan nongkrong tengah malam di luar rumah sendirian. Untungnya rasa penasaran itu terbayarkan. Meskipun langit agak mendung, tapi alhamdulillah saya masih bisa melihat beberapa meteor melintas dan lenyap tergerus langit bumi.

Perlahan2, kebiasaan ini mendorong saya untuk berbuat lebih. Saya pun mulai mengidam2kan teleskop agar saya bisa mengamati dan melihat benda2 langit lebih jauh lagi. Akan tetapi, karena teleskop bukan kacang goreng yang murah dan bisa didapat di mana saja, impian membeli teleskop itu sepertinya harus ditahan lebih lama.

Impian itu sebenarnya semakin terlihat dekat ketika dulu, saya melihat ada teleskop yang dijual dengan harga cukup murah di toko barang second (Barkas, di jalan Gejayan). Harganya “cuma” 500ribu, tapi saya tidak jadi membelinya karena dua alasan. Pertama, karena belum punya duit (hehe). Kedua, karena meragukan kualitasnya.

Nah, saat ini saya punya peluang lagi (bahkan lebih lebar) untuk mewujudkan impian saya memiliki teleskop. Posisi saya yang saat ini berada di Eropa dan (alhamdulillah) ada rejeki, memudahkan saya untuk mendapatkan teleskop yang saya inginkan.

Eropa, dalam hal ini Belanda, memiliki banyak sekali model2 teleskop yang dijual secara umum. Selain model yang variatif, menurut teman saya, harga teleskop yang ada di Eropa juga lebih murah 2x lipat dibanding dengan yang ada di Indonesia. Hal ini membuat saya semakin ngiler untuk membelinya.

Saya sendiri menginginkan teleskop Newtonian dengan diameter lensa lebih dari 150 mm. Dari hasil browsing, saya mengetahui bahwa teleskop dengan spesifikasi seperti itulah yang cukup tepat digunakan jika mau mengamati benda2 langit. Harga teleskop dengan spesifikasi seperti itu di toko online Belanda seharga 259 euro. Karena saya masih sangat awam dalam urusan perteleskopan, maka sebelum membeli saya tanyakan dulu hal ini ke beberapa teman dan forum di internet. Setidaknya dengan cara ini, saya bisa meminimalisir resiko yang ada. Tapi sayangnya, sampai saat ini belum ada respon dari mereka (well, saya baru menanyakannya tadi pagi).

Nah, di tengah penantian respon dari teman2 saya itu, saya seolah mendapat notice dari Allah mengenai rencana saya ini. Notice ini saya dapatkan tadi siang, sekitar pukul 13.30 CET (atau pukul 19.30 WIB) ketika saya mendengarkan kajian dari Aa Gym. Di tengah ceramahnya, beliau menasihati agar kita sebaiknya hanya membeli barang2 yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan, karena setiap barang yang kita miliki akan ada hisabnya di akhirat kelak.

Beliau juga mengatakan bahwa setiap barang yang kita beli karena “keinginan” dan bukan “kebutuhan” akan cepat membosankan. Karena “ingin” itu serupa dengan “nafsu”. Dan takdirnya, Allah menciptakan keberadaan nafsu di kehidupan manusia hanya dalam waktu yang singkat.

Saya jadi ragu, apakah saya meneruskan rencana membeli teleskop ini atau tidak. Apakah ini hanya nafsu belaka atau benar2 kebutuhan saya? Saya sadar ini adalah hobi, tapi sebenarnya hobi itu lebih dekat kemana sih, keinginan atau kebutuhan? Dan sebenarnya bagaimana sikap Rasulullah saw terhadap hal2 semacam ini (kebiasaan/hobi)?

Hmm…saya penasaran. Saya harus banyak belajar.

November 16, 2011

Ketika Belanda Berbicara Indonesia

Saya tersentil. Telinga saya yang “made in Indonesia” ini tersentil selepas mengikuti kursus Bahasa Belanda tadi malam. Sentilan itu membuat kegundahan di hati saya dan saya merasa perlu mengatarsiskannya di tulisan ini.

Di akhir sesi kursus tadi malam, sang pengajar yang merupakan orang Belanda, menunjukkan kepada para mahasiswa, negara mana saja, yang jika kita berkunjung kesitu, penduduknya bisa diajak berbahasa Belanda. Sambil menunjuki negaranya, ia menceritakan latar belakang mengapa negara tersebut bisa berbahasa Belanda. Kalau tidak salah ingat, negara2 itu adalah Belgia, Netherlands Anthiles, Aruba, Suriname, Namibia, Afrika Selatan, Angola, Zambia, dan Indonesia.
Kincir angin Belanda (sumber : dok. pribadi)

Hampir semua negara yang ia tunjuki itu berlatar belakang bekas jajahan Belanda, kecuali Belgia yang merupakan negara yang memisahkan diri dari Belanda. Rupanya menurut beliau, latar belakang bekas jajahan itu membuat membuat negara2 tersebut secara otomatis bisa berbahasa Belanda. Apalagi rata2 penjajahan dilakukan dalam kurun waktu yang sangat lama, mencapai ratusan tahun seperti yang dialami Indonesia, sehingga sangat wajar jika negara2 itu bisa berbahasa Belanda. Begitu kira2 logika yang disampaikan.

Di sini lah saya mulai tersentil. Fakta yang disampaikan dosen itu, entah sengaja atau tidak, jelas2 bertentangan dengan kondisi sebenarnya. Setidaknya bertentangan dengan kondisi Indonesia (karena saya tidak tahu kondisi negara2 jajahan lain, kecuali Suriname yang penduduknya memang fasih berbahasa Belanda).

Seperti kita ketahui, rakyat Indonesia jelas2 tidak bisa berbahasa Belanda. Kalaupun ada, jumlahnya sangat terbatas dan kemungkinan besar berasal dari kaum terpelajar, bukan rakyat proletar.

Fakta bahwa Belanda menjajah Indonesia dalam waktu yang sangat lama memang benar adanya, tapi apakah juga benar bahwa dalam tempo waktu yang lama itu, 3,5 abad, Belanda juga memberikan pendidikan untuk Indonesia? Alih2 mengajarkan ilmu, bangsa Indonesia dibiarkan tidak terdidik agar tidak ada pemberontakan melawan mereka.

Dengan kondisi seperti ini, logika bahwa negara jajahan akan serta merta mengerti bahasa negara penjajahnya tidak berlaku sama sekali. Bagaimana mungkin rakyat Indonesia bisa berbahasa Belanda sedangkan pendidikannya saja tidak diberikan? Bukankah tidak adanya pendidikan sama dengan tidak adanya transfer ilmu pengetahuan? Padahal bahasa itu sendiri adalah ilmu pengetahuan.

(Bangsa Indonesia kemudian baru dapat mencecap pendidikan ketika mereka hampir merdeka dan itupun terbatas bagi kalangan atas saja, yaitu mereka yang memiliki kedudukan tinggi dan hubungan dekat dengan Belanda.)

Ah, saya jadi teringat obrolan saya dengan seorang teman asal Sri Lanka. Obrolan yang kemudian membuat saya semakin gemes jika mengingat perlakuan Belanda di masa penjajahan. Dia bercerita bahwa rata2 penduduk Sri Lanka bisa berbahasa Inggris karena negara penjajahnya, Inggris, mengajarkan mereka bahasa tersebut. Dan dia begitu kaget ketika mengetahui hal yang sebaliknya terjadi pada Indonesia.
***
Kuping saya semakin tersentil ketika dosen itu mengatakan bahwa Indonesia sekarang memiliki bahasa sendiri karena Indonesia membenci bahasa Belanda. Secara implisit, pesan yang disampaikan dosen itu bermakna bahwa Indonesia tidak menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa nasional karena rakyat Indonesia benci dengan bahasa tersebut. Artinya, rakyat Indonesia sebenarnya bisa berbahasa Belanda, tapi tidak mau menjadikannya sebagai bahasa nasional karena kadung benci.

Sekali lagi, di sini saya menemukan fakta yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. Pertama, pernyataan itu memutarbalikkan fakta bahwa rakyat Indonesia bisa berbahasa Belanda. Kenyataannya justru sebaliknya, seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Kedua, apakah benar rakyat Indonesia membenci bahasa Belanda? Jika pertanyaan itu diajukan ke saya, maka jawaban saya adalah tidak. Saya tidak benci, tapi bukan berarti saya senang. Sikap saya terhadap bahasa Belanda adalah biasa2 saja. Sama seperti sikap saya terhadap bahasa Spanyol, Perancis, Italia, Jerman, dan sebagainya. Tidak benci. Tidak juga senang. Normal.

“Itukan menurut kamu, bagaimana menurut rakyat yang dulu merasakan penjajahan? Barangkali mereka benci”. Tidak. Saya tetap tidak sependapat jika para pendahulu saya dikatakan membenci bahasa Belanda. Mungkin bukan benci, tapi lebih tepatnya tidak mencintai.

Kalau memang mereka tidak mencintai, itu adalah hal yang wajar. Lha bagaimana mungkin mereka mencintai sesuatu yang tidak mereka mengerti? Dan bagaimana mungkin juga mereka menjadikan bahasa yang tidak mereka mengerti sebagai bahasa nasional? Mungkin kalau mereka mendapatkan pendidikan bahasa Belanda akan lain ceritanya.
***
Cerita sang pengajar kemudian berkembang menjadi sebuah promosi atas kegagahan negaranya yang mampu menjajah negara lain sampai ratusan tahun lamanya. Dia bangga menceritakan pengalaman negaranya menjajah banyak negara di berbagai benua, termasuk Indonesia, yang kemudian dengan hasil jajahannya itu mereka membangun negaranya. Amsterdam pun kini menjadi sedemikian majunya berkat sumbangan dari Indonesia sejak berabad silam. Begitu kata dosen tersebut.

Saya hanya bisa termenung mendengarkan cerita dosen itu. Sejak awal sebenarnya saya ingin protes, tapi selalu ragu2. Keragu2an yang terus bertahan sampai akhirnya kelas berakhir. “Ah, payah”. Saya mengkritik diri sendiri.

*Saya menjadi semakin kagum dengan para pahlawan yang dulu berani bersuara lantang di depan parlemen Belanda guna memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dan saya semakin menyadari bahwa saya belum ada apa2nya dibanding mereka.

November 15, 2011

Arab vs Belanda


Di kampus tempat saya kuliah saat ini, Rijkuniversiteit Groningen, sedang dibuka program kursus singkat Bahasa Belanda untuk mahasiswa2 Internasional. Programnya akan berlangsung selama 7 minggu, November sampai pertengahan Desember, dan minggu ini sudah memasuki minggu kedua.

Saya sendiri ikut bergabung dalam program tersebut, tapi bukan karena ingin fasih berbahasa Belanda, melainkan untuk membangun relasi yang lebih luas lagi dengan mahasiswa internasional (well, bukan berarti saya tidak punya keinginan sama sekali untuk bisa berbahasa Belanda).

Di fakultas tempat saya belajar sekarang, Behavioral and Social Science,  banyak sekali mahasiswa Jerman. Hampir setiap orang yang saya ajak berkenalan pasti berasal dari Jerman. Bahkan buddy saya pun seorang Germany. Maka dari itu, agar saya punya relasi yang lebih variatif, saya ikut program kursus singkat ini. Akan tetapi sayangnya di program ini pun ternyata mahasiswa Jerman masih mendominasi. Mungkin sekitar 2/3 kelas isinya Jerman  -_-‘. Itu saya ketahui ketika meneer pengajar menanyakan negara asal mahasiswa.
***
Walaupun saat ini saya tinggal di Belanda, tapi saya justru lebih memiliki keinginan untuk bisa berbahasa Arab daripada Belanda. Alasannya, karena hampir setiap umat Islam yang ada di sini bisa berbahasa Arab dan biasa berkomunikasi dengan bahasa itu.

Saya kadang iri melihat keakraban mereka. Mereka sangat cair satu sama lain. Mau menjalin keakraban serupa sepertinya sangat sulit karena hanya segelintir dari mereka yang bisa berbahasa Inggris. Pernah saya diundang dalam acara aqiqah salah satu jama’ah. Acaranya sangat meriah dan banyak dihidangkan makanan yang memanjakan lidah. Meski demikian, saya merasa seperti orang asing di situ karena selain saya adalah satu2nya jamaah dari Indonesia, saya juga satu2nya jamaah yang tidak bisa berbahasa Arab.  Jadi, saya hanya bisa memasang senyum dan bahasa2 non verbal lain yang dibuat seramah mungkin.

Terkadang, saya juga malu jika ikut kajian singkat yang biasa dilaksanakan setelah sholat ashar di Masjid Korreweg (komunitas Turki). Pasalnya, setiap sang Imam selesai membacakan dan menjelaskan kitab rujukan, Riyadush Shalihin, beliau selalu minta seseorang yang fasih berbahasa Inggris untuk menerjemahkan kepada saya tentang apa yang baru saja beliau katakan. Dan beliau melakukan ini “spesial” hanya untuk saya, karena hanya saya dalam jamaah tersebut yang tidak bisa berbahasa Arab (meskipun terkadang saya juga cukup mengerti jika beliau membacakan hadits yang cukup populer). Diperlakukan spesial seperti ini sering membuat saya keki, salah tingkah, dan malu.

Pengalaman seperti ini membuat saya kembali meneguhkan tekad untuk kembali belajar bahasa Arab. Dulu saya sempat belajar, tapi belum mampu istiqomah sehingga hasilnya sangat jauh dari maksimal. Semoga tekad saya kali ini bukan tekad musiman yang timbul tenggelam seiring bergantinya musim. Mudah2an tekad kali ini diiringi keistiqomahan dan kesungguhan sehingga bisa mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Mulai Lagi

Hmm...sudah lama sekali saya tidak menulis di blog ini. Blog ini pun hampir terlupakan dan hampir tidak bisa dimasuki lagi, tapi untungnya saya masih ingat dengan alamat emailnya, jadi masih bisa dimasuki. Mudah2an setelah ini saya bisa istiqomah dalam menulis sehingga ide2 dan pemikiran yang terlintas tidak menguap begitu saja.

Ayo mari kita saling menyemangati dalam menulis karena kalau bergerak sendirian biasanya akan mudah bosan. Meskipun secara teori kita tau manfaat dari menulis, tapi prakteknya belum tentu dilaksanakan. Maka dari itu, kita butuh saling menyemangati. 

Mudah2an tulisan ini bisa jadi pengingat kalau saya mulai terlihat lesu dan tidak produktif. Dan bagi orang2 yang qodarullah membaca blog ini, tolong saya diingatkan juga. Mudah2an jadi amal baik bagi kita. Aamiin..

November 9, 2011

Transportasi dan Lalu Lintas Belanda

“Banyak yang mengaku bertuhan, tapi tidak mau beragama” (Ustadz Syathori Abdurrouf)

Beberapa bulan yang lalu, di sebuah pantai di DIY, saya pernah ngobrol dengan salah seorang bule asal Belanda. Di tengah perbincangan, saya bertanya “How’s Indonesia?”. Dengan suasana pantai yang indah, saya membayangkan jawaban dia adalah “Indonesia has an amazing nature. You have a lot of beautiful beach, mountains, and so on”. Saya sudah menyiapkan senyum kebanggaan. Sesaat kemudian dia menjawab “It transportation is terrible!”. Deg. Senyum kebanggaan seketika berubah menjadi keterkesiapan. Saya bingung. Padahal pertanyaan saya tidak secara spesifik mengarah ke transportasi, tapi mengapa jawabannya sudah begitu mantap mengarah kesitu. Sambil ngerasani si Bule, saya bertanya2 dalam hati “memangnya transportasi di Belanda seperti apa sih sampai dia dengan “sadis” tanpa diminta tiba-tiba mengomentari transportasi Indoneisa dengan satu kata terrible?“. Belakangan saya menemukan jawabannya.
***
Perlu diakui, perihal transportasi dan lalu lintas ini memang membuat saya sangat iri kepada Belanda. Betapa mereka begitu disiplin dalam berlalu lintas sehingga orang-orang, baik pengendara kendaraan maupun pejalan kaki, dapat “beredar” di jalan dan sekitarnya tanpa rasa was-was. Rambu2 lalu lintas dipatuhi. Marka2 jalan ditaati. Lampu lalu lintas pun seolah tidak ada yang berani melanggar. Bahkan oleh mereka yang berjalan kaki. Ya, bahkan oleh para pejalan kaki sekalipun, karena memang di sini pejalan kaki dibuatkan lampu lalu lintas di setiap persimpangan jalan. Jadi tidak asal sebrang. Hebatnya, mereka begitu patuh terhadap aturan2 tersebut. Meskipun lebar jalan yang akan disebrang cuma 4 meter. Saya ulangi, lebar jalan yang disebrang cuma 4 meter, tapi mereka tetap setia menunggu sampai lampunya berubah hijau.
Saya kadang nyengir kuda jika melihat kejadian tersebut. Untuk apa mereka berlama2 menunggu sampai lampunya berwarna hijau? Toh, jarak sebarangnya cuma 4 meter. Toh, tidak ada mobil yang sedang melintas. Toh, dengan 3 kali lompatan sudah sampai di sebrang. Dan toh-toh yang lain. Tapi sekali lagi, inilah hebatnya kedisiplinan mereka. Meski jaraknya cuma 4 meter, tidak ada kendaraan yang sedang melintas, dan meski dengan 3 kali lompatan bisa sampai ke sebrang, mereka tetap sabar menunggu.

Lalu, bagaimana mereka menyeberang jika tidak ada lampu lalu lintas? Ah, simpel. Sesimpel menanak nasi menggunakan rice cooker. Tinggal berdiri di pinggir jalan, terus tengok kanan-kiri. Niscaya kendaraan2 yang melintas akan berhenti untuk memberi jalan (ya, saya sadar ini tidak ada hubungannya dengan rice cooker). Perlakuan semacam ini, membuat kami (setidaknya saya), berasa seperti artis atau model yang sedang berjalan di atas cat walk dengan zebra cross menjadi red carpet-nya. Lain cerita kalau saya menyebrang di Jakarta, wajah2 kendaraan sepertinya dengan bengis saling berebut ingin menabrak saya. Berasa seperti maling/koruptor saja.

Transportasi Publik
Belanda juga memiliki sistem transportasi publik yang apik sehingga membuat penumpang nyaman menggunakannya. Semua transportasi publik itu terjadwal dengan sangat baik dan rapi. Jadi kalau mau bepergian kemana2, bisa diestimasikan waktunya karena penumpang dapat mengetahui jam berapa bus akan berangkat atau tiba di suatu halte.

Jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Kalau di Indonesia, sepertinya hanya Allah dan pak supir yang tau kapan kita akan sampai karena memang beliau seolah menyetir atas kehendaknya sendiri. Kadang jalan. Kadang ngetem. Kalau lagi mau ngetem, ya penumpang harus sabar menunggu. Kalau lagi jalan, ya penumpang harus sabar juga, karena tidak lama kemudian pasti ngetem lagi. Itupun masih mending kalau kita diantar sampai ke tempat tujuan. Tidak jarang saya diturunkan di tengah jalan hanya karena penumpangnya sangat sedikit. Hal yang tidak pernah saya alami di Belanda. Setidaknya sampai tulisan ini dibuat.

Di sini, mau penumpangnya banyak atau sedikit, si meneer tetap melajukan kendaraannya. Bahkan kalau sudah kelewat malam, penumpangnya tidak ada sama sekali atau hanya ada satu dua orang, dia tetap saja menyetir dengan penuh keceriaan (maaf, karena terkesan berlebihan, kata “penuh keceriaan” sebaiknya dibaca: biasa). Maka dari itu, jika saya naik bis kelewat malam, saya seperti punya mobil dan supir pribadi.
Hmm..kesannya saya kok jadi menjelek2an Indonesia banget ya dan terlalu mengagungkan Belanda? Kok sepertinya Belanda begitu sempurna? Ah, tentu tidak ada bangsa yang sempurna tanpa celah. Belanda pun punya beberapa kebiasaan yang kurang baik, tapi saya sengaja hanya menampilkan “akhlak” mereka yang baik2 di tulisan ini (itupun baru membahas transportasi, belum yang lain). Semoga dengan begitu kita dapat meniru kebaikan mereka.

Terakhir, mari kita merundukkan kepala seraya berdoa semoga si Bule yang saya ajak ngobrol di atas tidak terpapas PTSD akibat pengalamannya dengan transportasi kita, sehingga suatu saat bisa datang lagi ke Indonesia untuk menyumbang devisa negara.