December 28, 2011

Literatur Psikologi Islam

Beberapa bulan ke belakang, keinginan saya untuk mendalami Psikologi Islam terasa semakin menguat. Hal itu sangat mungkin dipicu oleh pembelajaran psikologi di Belanda yang sangat sekuler, yang sangat meminimalisir peran Tuhan di dalamnya.

Mengandalkan akses internet yang (seolah) tiada batas dan sangat cepat, saya mencoba mencari literatur-literatur tentang Psikologi Islam. Kesimpulan umum dari pencarian tersebut adalah: untuk mendalami Psikologi Islam, saya harus lancar bahasa Arab!
Dalam pencarian tersebut, saya menemukan banyak sekali literatur tentang jiwa, nafs, dan semisal yang sudah dibahas dan dituliskan oleh para ulama terdahulu. Sayangnya, kebanyakan dari literatur tersebut belum diterjemahkan alias masih berbahasa asli, bahasa Arab. Tentu hal ini menjadi kendala bagi saya dan para pejuang Psikologi Islam lainnya yang belum bisa berbahasa Arab.

Beberapa karya ulama yang bisa menjadi literatur untuk mengembangkan Psikologi Islam diantaranya:

1.       Ar-Ruh karya Ibn Qayyim al Jawziyyah

2.       Tahdzib al Akhlaq karya Miskawayh

3.       at Thibb ar-Ruhani karya Abu Bakr ar-Razi

4.       ar-Riyadhah wa Adab an-Nafs karya al-Hakim at-Tirmidzi

5.       Qut al-Qulub (nutrisi hati) karya Abu Thalib al-Makki

6.       Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali

7.       Masalih al-Abdan wa al-Anfus karya Abu Zayd al-Balkhi (ternyata Psikologi Kognitif adalah ide beliau)

8.       al-Tafsir al-Kabir (Tafsir Besar) karya Imam Fakhruddin al-Razi

9.       Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya) karya Imam Fakhruddin al-Razi

10.   al-Matalib al-‘Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (Kesimpulan-kesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan) karya Imam Fakhruddin al-Razi

Dari kesepuluh buku tersebut, baru satu buku yang saya ketahui ada terjemahannya, yaitu Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali, sembilan lainnya saya belum pernah melihat terjemahannya. Meskipun ada terjemahannya, tetapi saya tidak direkomendasikan untuk belajar dari buku terjemahan karena menurut seorang guru, ada banyak informasi yang tereduksi dalam buku terjemahan.

Hmm..sepertinya urgensitas bahasa Arab semakin terasa! Semoga Allah menjaga semangat saya untuk belajar bahasa Arab dan mengembangkan Psikologi Islam yang sebenar-benarnya Islam.

December 25, 2011

My First Noble Qur'an-English Translation

Lagi. Lidah ini sontak berucap alhamdulillah ketika salah seorang jamaah masjid Korreweg, Pak Ahmad namanya, tanpa diduga memberikan sebuah al-qur’an terjemah Bahasa Inggris kepada saya.
Beliau memberikan al-qur’an itu tadi malam, ketika kami bertemu di Masjid Korreweg saat sholat Maghrib.  Entah apa alasan beliau memberikan al-qur’an tersebut, saya sendiri kurang memahaminya. Satu alasan yang sempat terlintas di benak saya adalah mungkin karena beliau merasa kasihan melihat saya yang tidak bisa berbahasa Arab dan Belanda, sedangkan setiap kajian dan diskusi umunya menggunakan kedua bahasa tersebut.
Sebenarnya, sebelumnya beliau yang berasal dari Mesir ini telah memberikan sebuah CD kepada saya yang (katanya) berisi al-qur’an terjemah 40 bahasa dan kitab-kitab (saya sendiri belum mengeceknya karena laptop saya tidak dilengkapi dengan CD Drive).
Tentu saya sangat senang dengan 2 pemberian ini. Apalagi saya sendiri sudah lama mendambakan al-qur’an terjemah Bahasa Inggris. Akan tetapi saya juga merasa malu, baik kepada diri sendiri, jamaah, maupun Allah, karena saya benar-benar merasa diistimewakan, padahal…. Ah…
Saya ingat nasihat yang disampaikan oleh Aa Gym. Suatu ketika beliau mengatakan bahwa Allah menutupi kita dengan 3 tutup sehingga kita masih dihormati oleh orang lain. Tutup pertama adalah kulit tubuh. Seandainya saja kulit kita dikelupas, maka orang lain akan jijik kepada kita. Kedua, Allah menutupi pikiran kita. Artinya, orang lain tidak mengetahui apa yang sedang kita pikirkan. Dan ketiga, Allah menutupi kita dari aib-aib kita.
Jika ketiga tutup itu dibuka oleh Allah, maka kemungkinan besar tidak akan ada lagi orang yang mau berhubungan dengan kita.
Masyaallah…
Then which of the Blessings of your Lord will you both (jinn and men) deny? (Ar-Rahman: 13)

December 21, 2011

Sekali Lagi, Natsir!

Bagi sejarah, dia adalah guru bangsa, negarawan, pejuang, pemikir, penulis, cendekiawan, budayawan, politikus, pendidik ummat, mujahid da’wah, dan tokoh internasional yang dihormati.

Bagi ayah dan ibunya, Anggui dan Uci, dia adalah anak kesayangan. Bagi isterinya, Umi Nurnahar, dialah suami penuh cinta, partner perjuangan 57 tahun. Bagi anak-anaknya, Sitti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, Ahmad Fauzie, menantu dan cucu, dia adalah ayah, Aba panggilan kesayangan, teladan kehidupan sukar tandingan.

Bagi HIS, MULO, dan AMS, tempatnya bersekolah di Solok, Padang, dan Bandung, dia adalah murid dari orangtua bukan pegawai terpandang, kecil dalam pendapatan, mencari kayu untuk memasak makanan, tapi cerdas, pekerja keras, dalam umur sangat muda menguasai banyak bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Perancis, Latin, dan Arab bahasa Qur’an, tentu saja.

Bagi perpustakaan sekolah AMS, dia adalah pembaca buku yang sangat tekun dengan disiplin luar biasa, satu buku seminggu dia tamatkan, tetap disempatkan di antara kesibukan menekuni pelajaran rutin keseharian.

Ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena konversasinya tidak lancer dalam bahasa Tanah Rendah itu. Natsir jengkel. Dia belajar mati-matian, tapi masih makan waktu mengejar ketinggalan. Dia ikut deklamasi, baca syair Multatuli, judulnya “De Banjir”, dengan latihan habis-habisan. Sehabis deklamasi tepuk tangan riuh sekali, dan Natsir juara pertama, mendapat hadiah buku Westenenk. Guru Belanda itu juga bertepuk tangan, tapi lambat-lambat dan enggan.

Di kelas 5 AMS ketemu lagi dia dengan guru itu, yang mengajar ilmu bumi ekonomi. Sang guru sangat sinis pada gerakan politik kebangsaan. Dia menantang murid siapa berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Yang mengacungkan tangan cuma Natsir. Dia diberi waktu 2 minggu menuliskannya. Dia pergi ke bibliotik Gedung Sate, cari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah-majalah kaum pergerakan, mengumpulkan statistik. Makalah dibacakannya di kelas 40 menit. Natsir membuktikan bahwa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak mendapat keuntungan dari pabrik gula. Yang untung besar adalah kapitalis Belanda dan bupati-bupati, yang menekan rakyat menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan rakyat jadi buruh pabrik terikat upah rendah dan terbelit hutang senantiasa. Seluruh kelas sunyi senyap ketika Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda itu suram. Dia tidak menduga sama sekali ada murid kelas 5 AMS, setara dengan siswa kelas 2 SMA kini, mampu membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Tapi Natsir remaja tidak melulu jadi kutu buku. Di Bandung itu, petang Sabtu sesudah mandi sore-sore dia memakai baju bersetrika, pantalon panjang dan jas tutup, jalan kaki dari Cihapit bermalam Minggu. Makan sate Madura di kedai Madrawi depan kantor polisi. Keliling sebentar di Pasar Baru, pulang lewat Hotel Homann. Di depan sana dia mendengar orkes hotel melantunkan lagu demi lagu. Mendengar biola digesek, dia ingin latihan biola lagi, tapi dia tahan hobi yang satu ini, karena dia masih konsentrasi ingin mendapat angka 9 untuk Bahasa Latin. Dan angka 9 itu tercapai.

Persentuhannya denga Ustadz Hassan Bandung, risau pada pengaruh literatur Barat pada teman-teman sebayanya, bergabung dengan Jong Islamieten Bond, perkenalan dengan Kasman Singodimedjo, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, menyebabkan anak muda ini tidak tertarik melanjutkan studinya setamat AMS. Padahal yang paling memukau tamatan AMS adalah menjadi Meester in de Rechten, S1 ilmu hukum. Natsir tidak tertarik. Dia ingin segera mendidik bangsa. Dengan hati-hati dia memberi tahu orangtuanya, Anggui dan Uci. Alhamdulillah ayah dan ibunya setuju pada cita-citanya.

Bagi bangunan di Bandung, Jalan Lengkong Baru 16, kemudian no 74, cita-cita pendidikan anak muda ini direalisasikannya dengan susah payah melalui lembaga Pendidikan Islam, Pendis, yang meliputi TK, HIS, dan MULO selama 10 tahun. Anak muda ini kemudian melejit dalam interaksinya dengan Soekarno melalui polemiknya yang legendaris, yang memantapkan orientasi nasionalisme religiusnya, yang membedakannya dari orientasi nasionalisme sekuler.

Sesama pejuang masa itu bahu-membahu menentang kolonialisme, tapi sebagian nasionalis mengejek-ejek poligami, haji, dan fikih dalam Islam, sehingga terjadi perdebatan besar. Namun Sukarno lawan debatnya, ketika diadili Belanda sebelum dibuang ke Ende, tetap gigih dibela Natsir.

Di zaman revolusi dia aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat, tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali menjadi Perdana Menteri. Memimpin Masjumi, berjuang melalui PRRI melawan sentralisme yang didukung PKI, dan untuk itu habis-habisan direpresi. Sementara itu di dunia Islam kepemimpinannya luar biasa dihargai. Memasuki ruangan, Raja Faisal berdiri menyongsong kedatangan Natsir, menyalami dan memeluknya.

Bagi negara, dialah yang lebih dari setengah abad yang lewat, selepas pengakuan kedaulatan di masa gawat, ketika situasi nasional terancam perpecahan, dengan Mosi Integralnya dia mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan momen 15 Agustus itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia.

Bagi rakyat, dia adalah Menteri yang jasnya bertambal, mobil pribadinya DeSoto berwarna kusam dan menggeleng ditawari Chevy Impala, dialah Perdana Menteri yang menolak kelebihan dana taktis yang disumbangkannya kepada koperasi pegawai, dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta, Perdana Menteri yang pernah boncengan naik sepeda dengan sopirnya, yang ahli warisnya tak mampu membayar pajak rumah peninggalannya di kawasan Menteng.

Bagi kita sulit memahami sikap terbukanya. Bersama dengan kawan segenerasinya, walau betapa besar beda pendapat dengan lawan poitik, tidak menghalangi persahabatan sebagai manusia. Sehabis pidato politik panas tentang dasar negara di Majelis Konstituante, Natsir dan Aidit duduk makan siang bersama menikmati sate ayam. Begitu pula Isa Anshary dengan Aidit, Muhammad Rum dengan IJ Kasimo.

Bagi bangsa, akan sukar sekali mencari teladan kesederhanaan gaya hidup pribadi dan keluarga, kesantunan dalam setiap lapis pergaulan, kerendahan suara dalam perdebatan, bersih dan tertib dalam lalu lintas keuangan, dalam masalah materi tidak mencatat keserakahan, dalam perilaku politik senantiasa menghormati etika, dalam akhlak segi manapun mendekati sempurna, disimpulkan senyum teduh di wajah karena getaran kalbu yang Ilahiah.

Rabbana, Rabbana, Rabbana, jagan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk tibanya pemimpin-pemimpin bangsa, yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau, serupa beliau.

Murni disadur dari halaman pengantar (ditulis oleh Taufiq Ismail), buku “100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah”

***

Beberapa tahun belakangan ini saya menyimpan kekaguman atas sosok Natsir. Saya mengagumi beliau dari pemikirannya, pribadinya, dan akhlaknya tentu saja. Kekaguman itu bermula ketika seorang kawan meminjamkan buku Capita Selecta (kumpulan tulisan M. Natsir) kepada saya. Dari buku itu, saya tau bahwa beliau adalah sosok yang visioner, konsisten-teguh dalam pendirian, tetapi tetap santun dalam mempertahankan keyakinannya (berdebat dan berargumen).

Berbeda dengan para penulis “nasionalis” kebanyakan, ketika membaca tulisan-tulisannya, kita akan diajaknya berpikir, tetapi tetap menenangkan. Hal yang berkebalikan terjadi ketika saya membaca tulisan Pram, salah satu penulis yang juga (sempat) saya kagumi. Tulisan-tulisan Pram (terutama dalam Tetralogi Buru) memang mengajak pembacanya “berlari” dan berpikir, tapi sarat dengan emosi (kemarahan), sehingga membuat jiwa tidak tenang. Tenang-tidak tenang itu yang membuat dua sosok ini sangat jauh berbeda.

Fakta-fakta di atas saya sampaikan sebagai bahan renungan bagi saya pribadi dan para pemuda pada umumnya bahwa saya (dan kita) ternyata tidak ada apa-apanya dibanding sosok beliau. Paparan fakta tentang Natsir dari Taufiq Ismail di atas benar-benar mengerdilkan saya. Jangankan berorasi dan berargumen di depan Belanda, di hadapan dosen sendiri aja masih mikir-mikir.

Hmm...tetapi pengakuan ketidakberdayaan ini seharusnya tidak statis (berhenti) di situ saja dengan mengakui bahwa kita kalah dengan sosok Natsir. Akan lebih baik lagi jika pengakuan ini dijadikan sebagai proses yang dinamis sehingga kita selalu berusaha untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi, setara (atau bahkan melebihi) beliau.

Aba Natsir, Indonesia (dan ummat) merindukan sosokmu.

December 19, 2011

Tidak Harus Populer Kok, Tuan

Kurang bertenaga. Saya merasakan kata-kata beliau saat ini kurang bertenaga. Tidak seperti dulu, 2-3 tahun yang lalu ketika baru selesai diterpa badai, suaranya begitu mengena, bertenaga, dan terasa menghujam.

Ketika baru diterpa badai dulu, beliau muncul dengan rupa baru. Semakin mantap, kokoh, dan ajeg. Tidak hanya di luar, tapi juga di dalam. Beliau juga menjadi sangat selektif dalam memilih kata-kata. Tidak lagi mudah mengeluarkan guyonan-guyonan karena beliau menyadari bahwa hal itulah yang mengeraskan hati.

Memang metode ini (meminimalisir guyonan) tidak populer*, apalagi jika diterapkan di masyarakat Indonesia (khususnya di kota-kota besar), tapi entah mengapa saya justru  melihat beliau semakin kokoh ketika meninggalkan guyonan-guyonan itu. Semakin mantap. Semakin menjulang.

Sayangnya sekarang, ketika badai mulai berlalu dan awan cerah mulai bergelayut lagi di kehidupan beliau, saya merasakan perubahan yang justru ke arah sebaliknya pada diri beliau. Beliau terasa mulai mendekati “zona-zona merah”, yaitu zona sebelum periode badai yang menghantam beliau dimulai.

Kemantapan, kekokohan, dan keajegan yang dulu saya lihat dan rasakan, perlahan mulai berkurang. Kata-katanya menjadi tidak sebertenaga dulu. Apakah ini karena beliau mulai mendekati guyonan-guyonan lagi?

Ah ya, saya mulai mendapati beliau mulai asyik melemparkan guyonan-guyonan lagi. Intensitas beliau “membuat orang tertawa” semakin sering. Apalagi kini beliau mulai terlihat aktif lagi menyapa masyarakat luas, khususnya masyarakat Ibu Kota yang sulit diambil perhatiannya dengan cara-cara yang tidak populer.

Ah, jangan. Jangan sampai beliau tergoda lagi kembali ke zona itu. Jangan sampai beliau memenuhi tuntutan pasar untuk memakai cara-cara populer. Saya lebih menyukai cara-caranya yang tidak populer karena lebih terasa kebenarannya. Lebih Menghujam.

Tapi tunggu sebentar, mengapa saya menjadi arogan seperti ini dengan menuduh beliau yang berubah? Jangan-jangan justru saya yang berubah. Sangat boleh jadi diri sayalah yang kualitasnya menurun sehingga tidak mampu merasakan hujaman beliau lagi. Tidak bisa merasakan kata-kata beliau berdentum-dentum lagi di hati dan pikiran saya. Ah, mengapa saya tidak mengoreksi diri sendiri sebelum mengoreksi orang lain?

*Yang saya maksud dengan metode populer sebenarnya tidak hanya guyonan, tapi ada berderet-deret hal lainnya. Akan tetapi, menurut saya kurang etis jika hal itu dipapar di sini.

December 18, 2011

Kenpa Sih, Hobi Banget Doa di Facebook?

Buat yang sering berdoa di facebook, ada baiknya dipikir ulang sebelum update status doa-doa puitisnya, benerkah kita mau berdoa kepada Allah? Jangan-jangan keinginan untuk dikagumi temen-temen bahwa kita jago dalam menyusun kata-kata puitis lebih besar daripada keinginan untuk berdoa itu sendiri. Jangan-jangan kita lebih cemas nungguin komentar dari temen-temen daripada nungguin doa itu terkabul. Jangan-jangan kita lebih mengharap “Like” temen-temen daripada mengharap ridho Allah. Hmm…semoga nggak ya.

Tapi biar lebih amannya, kalo menurut saya sih mending diminimalisir aja lah doa-doa di facebook itu karena selain dapat meminimalisir virus “jangan-jangan”  itu, Islam sendiri juga kan udah ngasih tau bagaimana cara doa yang baik dan benar. Kalo agak lupa gimana adab-adab doa yang baik dan benar, silahkan tanya langsung sama Ustad Google. Tap lebih afdhol lagi sih tanya langsung sama Ustad beneran.

Lagian, apa perlunya sih kita ngasih pengumuman ke orang-orang bahwa kita sudah berdoa kepada Allah? Eh, tunggu sebentar, jangan-jangan doa yang beneran, melafadzkan doa itu langsung kepada Allah, malah belum dilakukan lagi. Kita lebih menggebu-gebu melafadzkan doa itu melalui ketikan-ketikan di facebook (dunia maya) daripada merintih-rintih langsung kepada Allah di dunia nyata. Wah, jangan sampe Allah yang jadi nomor dua ya.

Kembali ke pertanyaan awal, apa perlunya sih kita ngumumin doa kita di facebook?

“Ya siapa tau ditiru sama orang lain, kan jadi kebaikan buat saya juga. Lagian, Rasulullah juga gak jarang ngasih tau doa-doanya ke sahabat beliau”

Yee, namanya juga Rasulullah, utusan Allah, emang udah tugasnya beliau menyampaikan kebaikan. Kalo kebaikannya (dalam hal ini cara beliau berdoa) ditutup-tutupi, lha umat gimana nyontohnya? Nah, sekarang pertanyaaannya, kewajiban temen-temen kita itu mengikuti Rasul atau kita? Wah, sombong banget kalo kita berharap orang lain ngikutin kita, emangnya kita sesuci apa?

Ini bukan berarti saya melarang melantunkan doa-doa puitis itu di facebook lho, tapi perlu ekstra hati-hati aja. Khwatirnya, “jangan-jangan” di atas malah beneran kejadian, dan kita tanpa sadar telah menjadikan facebook sebagai Ilah kita.  Naudzubillah deh.

Terakhir, setiap mau update status doa, coba deh renungkan, tidak cukupkah kita menjadikan Allah sebagai saksi atas doa-doa tersebut? Kalo Khaliq (pencipta) sudah mencukupi (dan sangat mencukupi), lalu untuk apa kesaksian makhluk (ciptaan)?

“…Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu. DIa mengetahui apa yang di langit dan di bumi…” (Al-Ankabut: 52).
"Dialah yag mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi" (Al-Fath: 28).
Wallahu 'alam

*Saya sendiri sebenernya rada khawatir nih, bener gak nih tulisan dibuat dengan tulus untuk mengingatkan diri sendiri dan orang lain? Jangan-jangan….ckckck

December 14, 2011

Serba-serbi Van Houtenlaan (VHL) Student Housing


Tidak terasa sudah 3 bulan lebih saya tinggal di Belanda. Artinya, 2 bulan lagi saya harus berpisah meninggalkan kota Groningen dan Van Houtenlaan (VHL), housing saya selama di Belanda. Hmm…biar memori tentang VHL tidak lekang selepas kepulangan saya ke Indonesia, sepertinya saya perlu menuliskan beberapa hal tentang housing ini.

Okay, saya akan memulai dengan menceritakan alasan saya memiliih VHL. Alasannya sebenarnya sederhana saja, yaitu karena housing ini lebih murah dibanding housing-housing lainnya. Harga sewa kamar di sini rata-rata 280-an euro (kecuali beberapa kamar khusus yang ukurannya agak lebih besar, harganya di atas 310 euro), beda dengan housing lainnya yang rata-rata di atas 310 euro. Tapi ndilalahnya, saya malah kebagian yang kamar khusus itu, haha. Yah, anggaplah rejeki, dapat kamar yang lebih besar.

Untuk menyewa housing ini, saya harus mendaftar dulu di Housing Office, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pencarian housing sekaligus mengelola housing2 tersebut. Biaya untuk mendaftar Housing Office cukup mahal, yaitu 300 euro ditambah biaya deposit (jaminan) sebesar 325 euro. Deposit ini digunakan untuk mengganti barang-barang mereka yang kita rusak atau hilangkan, misalnya peralatan dapur. Kalau kita tidak merusak atau menghilangkan apa-apa, deposit itu akan dikembalikan setelah kontrak selesai.

Anyway, Van Houtenlaan, sesuai dengan namanya, terletak di jalan Van Houtenlaan 27. Lokasinya berada di sebelah selatan kota Groningen. Posisi ini sebenarnya kurang strategis karena agak jauh dari mana-mana. Sebagai perbandingan, jarak antara VHL dengan Central Station 2,6 km, dengan Centrum (pusat kota) 3,7 km, dengan kampus Psikologi 5,7 km, dengan masjid Korreweg 5,5 km, dengan masjid Selwerd 8 km, dengan kampus Zernike (ruang ujian) 9 km, dan dengan ACLO Sport Centrum 8,8 km (tenang, saya tidak mengukur jarak-jarak itu dengan manual kok, kan ada mbah google). Dan semua lokasi itu harus saya tempuh dengan bersepeda. Tidak harus sih, sebenarnya masih bisa menggunakan bis, tapi berhubung tarif bis cukup mahal, 1,5 euro sekali jalan, maka demi penghematan saya biasakan naik sepeda. Untungnya di Jogja juga sudah terbiasa bersepeda, hehe. Kesimpulan: kalau mau ke Belanda, dan memilih VHL sebagai housing, banyak-banyaklah latihan bersepeda.

VHL memiliki 7 lantai. Total kamarnya berjumlah 151. Housing ini memiliki fasilitas penunjang yang cukup lengkap, mulai dari dapur, mesin cuci, pengering, microwave, water heater, kulkas, dan peralatan memasak. Sayangnya, semua fasilitas itu adalah milik bersama, kecuali peralatan memasak yang setiap student diberikan peralatan masing-masing.  Jadi tanggung jawabnya juga bersama. Hal ini rupanya sering memunculkan social loafing (teori psikologi, tanya mbak google aja ya, hehe). Students banyak yang jadi apatis terhadap kenyamanan housing, misalnya tentang kebersihan.

Saya ambil contoh kebersihan di koridor saya, terutama bagian dapur. Meskipun ada kitchen duty (upaya yang bagus buat meminimalisir social loafing), tapi rupanya hal itu tidak berjalan dengan baik sehingga dapur di koridor saya sering kotor dan penuh sampah. Sayangnya, si student manager juga ikut-ikutan apatis dengan tidak menjalankan tugas piketnya dan tidak menegur student yang gak mau piket (lha piket aja ndak og, gimana mau negur?). Alhasil, students makin banyak yang gak peduli dan dapur jadi semakin berantakan. Buat saya yang “hobi” masak (you have to pay your attention at the “hobi”-LOL) keadaan ini sangat membuat tidak nyaman.

Selain banyak yang apatis, beberapa student di sini juga rupanya punya benih-benih kriminal (Wew! Jadi serem gitu). Iya, soalnya saya pernah kehilangan susu yang saya simpan di common refrigerator. Kejadian itu membuat saya kapok menyimpan makanan/minuman jadi di kulkas bersama. Yang saya simpan di sana paling-paling cuma bumbu-bumbu dapur, seperti bawang putih, bawang merah, cabe, dan kroni-kroninya (Kesimpulan: ternyata students di sini seperti vampire yang takut dengan bawang-bawangan).

Btw, kenapa hanya karena susu seliter aja sampe dibilang punya benih kriminal?

Sebenarnya gak cuma masalah susu, tapi juga masalah lain yang lebih berat. Salah satu student di koridor saya bahkan kehilangan laptopnya. Ada juga yang kehilangan paket posnya. Bahkan katanya ada yang pernah ditodong juga (nah lho!). Maka dari itu saya menyimpulkan keamanan dan kenyamanan di VHL sangat kurang.

Oya, ada cerita unik juga nih tentang VHL, yaitu fire alarmnya yang sering banget berbunyi. Intensitasnya sudah seperti puasa Nabi Daud aja. Waktu baru datang ke sini, saya kaget banget pas fire alarmnya bunyi. Saya kira ada kebakaran apa gitu, tapi setelah diberi tau tetangga, ternyata gak ada kebakaran apa-apa. Dari tetangga itu, saya jadi tau bahwa fire alarmnya aja yang genit, makanya sering berbunyi.

Belakangan ada penjelasan dari Housing Office bahwa fire alarm di VHL memang sangat sensitif. Jadi, ketika ada asap sedikit saja, bisa langsung berbunyi. Oleh karena itu, si student manager mewanti-wanti agar tidak merokok atau memasak di dalam kamar (jangan-jangan bunyi fire alarm itu salah satunya karena ulah saya yang sering masak nasi di kamar, haha).

Hmm…mau cerita apa lagi ya? Mungkin itu dulu kali, nanti kalau ada tambahan, saya akan buat lagi di tulisan lainnya. 

December 1, 2011

Dosen dan Peneliti


Tadi malam saya berdiskusi dengan teman-teman asal Indonesia. Ada banyak bahan diskusi yang kami bahas, tapi satu diskusi yang cukup menyita perhatian dan pemikiran saya sampai saat ini adalah tentang moratorium PNS. Qodarulloh teman-teman diskusi saya ini banyak yang bekerja di birokrasi, jadi mereka cukup tau seluk beluknya.

Dari mereka saya (baru) tau bahwa pemerintah telah mengeluarkan moratorium (penangguhan penerimaan) PNS yang berlaku sejak tahun ini sampai tahun 2014. Dengan kata lain, pemerintah tidak akan membuka lowongan PNS sampai moratorium ini selesai.

Alasan diberlakukannya peraturan ini menurut teman-teman saya adalah karena anggaran belanja untuk keperluan pegawai sangat besar, jauh melebihi anggaran-anggaran lainnya. Hal ini memicu perkembangan sektor-sektor yang berada di luar kepegawaian menjadi terhambat, misalnya sektor pembangunan daerah (Hmm..pantas saja saya sering menemukan jalan rusak di Indonesia).

Lalu apa urgensi berita ini untuk saya?

Saat ini moratorium itu memang tidak berpengaruh langsung pada kehidupan saya, tapi kemungkinan akan berpengaruh di tahun mendatang karena selepas kuliah saya berniat untuk menjadi seorang dosen atau peneliti LIPI yang notabene adalah profesi PNS.

Mengapa Memilih menjadi dosen atau peneliti LIPI?

Saya sendiri agak kesulitan menjelaskan mengapa saya tertarik dengan dua profesi ini. Dua profesi ini baru terpikirkan ketika saya memasuki tahun-tahun terakhir kuliah. Sebelumnya, bayangan saya setelah lulus kuliah nanti saya akan bekerja di perusahaan swasta.

Saya pribadi sebenarnya tidak memiliki banyak pengalaman menjadi seorang pengajar. Satu-satunya pengalaman mengajar yang cukup intens adalah ketika saya diminta terlibat menjadi pengajar TPA di masjid dekat kos-kosan saya. Selebihnya, saya intens menjadi orang yang diajar.

Di sisi lain, menjadi seorang peneliti pun sangat jarang saya lakukan. Satu-satunya penelitian “professional” yang pernah saya lakukan dan terlibat di dalamnya dari mulai penyusunan konsep sampai tahap eksekusi adalah ketika proposal Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) saya diterima Dikti. Selebihnya, saya hanya menjadi pembaca hasil penelitian (inipun tidak intens).

Akan tetapi, sedikitnya pengalaman mengajar dan meneliti itu menurut saya tidak mengalahkan besarnya kecenderungan saya untuk selalu ingin bersinggungan dengan dunia akademik. Dan pikiran heuristik saya mengatakan bahwa dengan menjadi dosen atau peneliti, kecenderungan itu akan lebih mudah terpenuhi dibanding menjadi seorang pegawai di kantor.

Well, tapi itu hanya pendapat saya. Pandangan yang (mungkin) sangat subjektif. Boleh jadi di waktu mendatang Allah merubah kecenderungan hati saya, seperti dulu merubah keinginan saya untuk menjadi seorang pegawai di kantor? Sehingga mungkin di waktu mendatang saya tidak lagi naksir berat dengan dua profesi tersebut. 

Ah, kehidupan ini memang penuh dengan pilihan.

Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alad diinik

Notes: Ya ampun, selagi menuliskan tulisan ini, saya teringat nasihat seorang guru tentang ketenangan seorang muslim menghadapi hidup. Mengapa saya jadi merisaukan moratorium? Padahal ketetapan Allah kan tidak tergantung adanya moratorium atau tidak.

Lalu kenapa dilanjutkan menulisnya dan dipostingkan? Karena sudah kadung ditulis dan sudah sampai pertengahan, jadi sayang kalau tidak dilanjutkan, hehe.