September 28, 2011

Isyhaduu Biannaa Muslimuun [Part 2-End]

Seperti yang sudah kujanjikan sebelumnya, dalam notes ini insyaallah akan aku paparkan kisahku dengan umat muslim lintas negara.
Sebenarnya kami sudah menjalin interaksi semenjak pertama kali aku datang ke masjid, tapi interaksi yang terjalin hanya saling tukar salam saja. Nah, jumat kemarin, Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk saling mengenal lebih jauh.
Ketika itu, seusai shalat jumat, seorang pria berusia lanjut berpenampilan ala syeikh seperti yang aku ceritakan di notes sebelumnya (jenggot panjang, dahi menghitam, warna pakaian didominasi putih), menghampiriku yang sedang duduk2 di kursi panjang. Beliau mengambil tempat di sebelahku dan memulai pembicaraan dengan bertanya apakah aku orang Indonesia. Setelah mengiyakan, beliau melanjutkan pembicaraannya.
Nama beliau adalah Umar. Usianya aku perkirakan sudah 60an. Beliau berasal dari Pakistan dan sudah tinggal di Belanda selama 33 tahun. Beliau bercerita banyak tentang kehidupan Islam di Belanda, khususnya di kota Groningen. Darinya, aku tau beberapa hal tentang Islam di sini.
Menurut beliau, jumlah umat Islam di kota ini mencapai 15.000 orang. Hmm..satu jumlah yang masih agak “sangsi” kupercayai. Seolah membaca kesangsianku, beliau menerangkan bahwa umat islam di sini banyak yang sungkan ke masjid, sehingga terkesan sedikit. Beliau sendiri bersama teman2nya sudah beberapa kali menerapkan strategi “jemput bola”, tapi hasilnya masih belum signifikan.
Beliau menerangkan bahwa di masjid ini, jamaah didominasi oleh orang Afrika, terutama Maroko. Selebihnya , masjid dipenuhi oleh orang2 Arab, seperti Irak, Pakistan, dan Palestina. Akan tetapi, dari semua bangsa itu, orang Somalia lah yang paling hebat. Mereka memiliki jumlah hafidz terbanyak dalam jamaah ini, yaitu 5-6 orang. Bahkan, imam masjid sini pun ternyata orang Somalia. Subhanallah, sesuatu banget ya (Syahrini viruses has been detected).
Pak Umar menasehatiku dengan beberapa hadits. Beliau mengingatkan bahwa tantangan beragama di sini tidak ringan. “Di Indonesia, kamu dengan mudah mengetahui waktu shalat karena kamu bisa mendengar adzan setiap waktu shalat tiba. Tapi di sini, kamu yang harus mendisiplinkan dirimu karena kamu tidak akan mendengar adzan dikumandangkan” kata beliau yang mengaku pernah beberapa kali datang ke Indonesia dan mengunjungi beberapa kota seperti Jakarta, Bogor, dan Ambon.
Beliau mengajakku untuk ikut serta dalam kajian yang rutin dilaksanakan bada maghrib. Ketika kutanya, kitab apa yang menjadi rujukan, beliau menjawab ada banyak kitab yang menjadi rujukan. “Seperti Riyadush Shalihin?” tanyaku, sedikit menyelidik. “Ya, kami punya kitab itu dan ada juga kitab2 yang lain” jawabnya.
Tidak terasa, obrolan kami sudah berlangsung hampir satu jam. Sebenarnya aku harus pergi sejak tadi karena harus membantu persiapan halal bihalal komunitas Indonesia. Beliau rupanya menangkap kegelisahanku. “Apakah kamu mau ada acara?” tanyanya. “Ya, saya mau pergi ke Floreshuis untuk menghadiri acara halal bihalal komunitas Indonesia. Tapi aku belum tau jalan menuju kesana (nyengir mode: on)” jawabku sambil mengeluarkan peta dari tas.
“Baiklah, aku bisa mengantarmu ke sana”
“Tidak usah, terima kasih. Saya tidak mau merepotkan anda. Saya akan mencarinya sendiri”
“Tidak apa2, saya juga memang mau kesana. Nanti sekalian saya tunjukkan Masjid Turki karena sepertinya lokasinya berdekatan”
Sungguh aku tidak enak dengan penawaran ini. Pertama, karena rada gak tega melihat beliau yang sudah uzur harus berletih2 mengantarku. Kedua, karena tidak mau merepotkan. Tapi apa daya, beliau begitu memaksa. Akhirnya, aku terima tawaran beliau dan kami pun menggenjot sepeda masing2 menuju lokasi.
Perjalanan ke lokasi membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Setelah ditunjukkan lokasi Floreshuis, aku ditunjukkan lokasi masjid Turki, yang ternyata jaraknya hanya terpaut sekitar 100 meter saja.
Aku diajaknya masuk untuk melihat2. Bangunan masjid ini tampak lebih besar dari masjid Selwerd, dan ruangan di dalamnya pun lebih luas, mungkin dapat menampung sekitar 500 jamaah. Di dalam bangunan masjid ada toko, ruang istirahat, dan ruang menonton tv. Aku diminta untuk duduk2 dulu sebentar di ruang istirahat sambil menikmati makanan yang ada (di ruang istirahat, kadang disediakan snack gratis untuk jamaah). Pak Umar memperkenalkanku dengan 2 koleganya, sepertinya orang Turki.
Saat menyantap snack yang disuguhkan, Pak Umar bertanya padaku, mau minum teh atau kopi? Aku semakin tidak enak, aku bilang tidak usah, aku bawa air minum.
Setelah ngobrol2 sedikit tentang masjid itu, aku berpamitan karena harus segera membantu panitia menyiapkan acara halal bihalal di Floreshuis. Ketika hendak pulang, salah satu dari kolega Pak Umar yang merupakan penjual di toko dalam masjid tersebut membungkuskan beraneka macam buah ke sebuah plastik besar. Aku menangkap tanda2 tidak enak hati, jangan2 beliau juga ingin memberikan oleh2 untukku. Dan ternyata tidak salah dugaanku, satu kantong plastik besar yang berisi apel, anggur, pisang, jeruk, dan buah2 serta sayuran lainnya disodorkan padaku, sambil berkata
“Ini untukmu, tolong terima”
“Oh, tidak, terima kasih, kalian sudah sangat baik pada saya, saya tidak bisa menerima ini”
“Tidak apa2, ambillah”
“Tidak, saya tidak bisa menerimanya, mohon maaf”
“Tidak apa2, ini untukmu”
Setelah berdebat “ambillah-tidak” yang cukup lama, akhirnya “perdebatan” ini berakhir karena beliau mengeluarkan kata2 sakti yang membuat bulu kuduk ku berdiri, bukan karena takut, tapi karena takjub. Beliau berkata
“Saya muslim. Kamu muslim. Kita bersaudara. Jadi tolong, terimalah ini”
Akhirnya aku terima pemberian beliau dengan tidak enak hati dan untuk mengobati ketidakenakan hati itu, aku bermaksud membayar buah2an ini
“Baik, saya terima, tapi saya harus membayarnya. Berapa saya harus membayar?”
“Kamu tidak perlu membayar. Itu gratis untukmu”
“Ah, saya tidak mau, anda sudah sangat baik kepada saya” aku mendesaknya sambil mengeluarkan uang dari dompet dan menyodorkan kepadanya
“Kamu tidak perlu membayar. Itu gratis untukmu”
Setelah kupaksa, akhirnya beliau mau menerima juga. Tapi luar biasanya, beliau menginfakkan 60% uang yang kuberikan ke masjid. Subhanalloh, sesuatu banget ya (2 Syahrini viruses has been detected).
Kawan, itulah secuplik kisahku dengan saudara2 kita seiman yang beda negara. Meskipun baru saling mengenal, tapi tidak ada keraguan dari mereka untuk berbagi. Ah, Islam memang rahmatan lil alamin.

September 25, 2011

Isyhaduu Biannaa Muslimun [Part-1]

“Katakanlah: ‘Wahai Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau berikan rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (Ali Imran: 26-27)”
Kawan, memasuki minggu ketiga, keterasingan yang dulu kurasakan perlahan sirna. Di sini aku menemukan keluarga baru. Keluarga yang dengan ikhlas membantu ketika ku butuh. Memberi, menjaga, dan mendukung dengan tulus. Seperti kalian.
Ikatan kekeluargaan ini terjalin dengan sangat natural. Ya, natural dan tidak dibuat2. Dengan ikatan bernama iman, Allah menyatukan kami.
Betapa ingin aku menuliskan kebaikan2 keluarga baruku ini. Meskipun baru saling kenal, tapi jasa mereka sudah sangat banyak padaku. Beberapa aku tuliskan di notes ini.
Dimulai ketika beberapa minggu yang lalu aku sedang mencari sepeda untuk transportasi sehari2. Melihat harga2 sepeda yang dipajang di etalase toko bikin dahi mengkerut (rata2 di atas 100 euro), aku tanyakan kepada mereka tempat penjualan sepeda second hand dengan harga miring. Di luar dugaan, pertanyaanku dijawab dengan hadiah sepeda. Ya, aku diberikan sepeda oleh salah satu dari mereka. Gratis dan masih sangat layak pakai. Padahal aku sudah menganggarkan setidaknya 50 euro untuk membeli sepeda, tapi Allah menakdirkan lain.
Di kesempatan lain, aku diberikan jaket tebal untuk pakaian winter, padahal aku tidak memintanya sama sekali. Aku cuma bertanya, dimana biasanya mereka beli pakaian, terutama untuk winter, karena aku tidak membawa persiapan apa2 dari Indonesia untuk menghadapi winter.
Selain sepeda dan jaket, masih banyak lagi “materi” yang mereka tawarkan. Ada yang menawarkan kulkas, TV, lemari, dan barang2 lainnya. Dengan enteng (ringan) mereka menawarkan benda2 tersebut. Enteng dan spontan. Layaknya menawarkan sebungkus kuaci saja. Ah, aku jadi teringat kisah Abdurahman bin Auf yang dipersaudarakan dengan salah satu kaum Anshar (aku lupa siapa namanya) ketika hijrah ke Madinah dan ditawarkan rumah, tanah, dan istri kepadanya. Bedanya antara aku dan Abdurahman bin Auf adalah, beliau menolak pemberian tulus sahabat Anshar tersebut dan hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar untuk berniaga, sedangkan aku? Hehe, jangan berpikir yang macam2 kawan. Aku rasa barang2 yang ada di housing ku sekarang sudah cukup memenuhi kebutuhanku selama 6 bulan kedepan. Jadi, tidak perlulah aku memenuhi housingku dengan barang beraneka rupa.
Oya, aku juga perlu menceritakan bagaimana aku dijamu kalau sedang berkumpul bersama mereka. Biasanya, kami berkumpul di salah satu apartemen mahasiswa Indonesia yang sudah berkeluarga. Alasannya, karena kebanyakan mereka yang berkeluarga memiliki anak yang masih kecil2, sehingga harus intensif menjaga. Di akhir pertemuan, biasanya kami diajak makan malam bersama.
Ah, diajak makan malam begini, jiwa anak kos-ku langsung meletup2. Yang lebih istimewa lagi, makanan jamuannya adalah makanan Indonesia. Hmm..mungkin ada yang berpendapat bahwa dijamu dengan makanan Indonesia adalah hal yang biasa2 saja. Wajar, karena (mungkin) setiap hari bertemu dengan makanan2 itu. Tapi bagi kami (atau setidaknya aku) yang sedang dirantau di negeri orang, dijamu makanan Indonesia adalah keistimewaan yang tidak terbandingkan. Bertemu dengan makanan yang match dengan lidahku sungguh kenikmatan yang tak terperi.
Akan tetapi, dari semua “nikmat dunia” yang Allah persembahkan melalui mereka, “nikmat bermajelis” lah yang paling berharga di sini, mengingat tantangan beragama di negeri ini tidaklah ringan. Karenanya, aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan keluarga ini.
Kawan, mohon doanya agar ikatan kami terus terjaga sampai ke surga.
*NB: Di negara yang umat islamnya menjadi minoritas, bertemu dengan saudara se-iman sungguh sangat menyenangkan. Kisah di atas adalah kisahku dengan muslim se-negara. Insyaallah di notes selanjutnya ada kisah dengan muslim lintas negara yang tidak kalah kebaikannya. Pokoknya, terkesan fastabiqul khoirot banget deh, hehe.

September 15, 2011

Kawan, Inilah Debutku di Negeri Kincir [Part 2-End]

“Aku tersesat maka aku ada”
Membaca kalimat pembuka di atas, apa yang ada di pikiran kalian? Aku berharap kalian gak berpikir bahwa aku tersesat dari Schiphol sampe kota antah berantah dan luntang-lantung dengan bawaan seberat 40 kg, hehe. Tidak kawan, aku berhasil menyelesaikan misiku dengan sempurna. Mencari loket kereta, membeli tiket jurusan Groningen, mencari spoor (peron) 3, kemudian naik dan duduk manis di kereta selama 2,5 jam, lalu turun di Groningen Central Station (CS). Yap, Alhamdulillah berkat doa kalian aku sampe juga di Groningen dengan selamat dan sesuai rencana (*makasih ya, hehe).
Di Groningen CS, aku dijemput oleh Tim Penjemput PPIG (Persatuan Pelajar Indonesia Groningen). Yang kebagian jatah menjemput ku adalah Mbak Atik, dia mahasiswa master PWK di universitas yang sama dengan tempatku belajar nanti. Mbak Atik menjemput dan mengantarku sampe ke depan pintu asrama, lalu keesokannya mengajakku berkeliling Centrum (alun2 kota) dan universitas (*baik banget ya, hehe).
Karena gak mau terlalu banyak merepotkan mbak Atik, maka setelah hari berkeliling2 itu, aku putuskan untuk meng-handle semua urusanku sendiri (nekat mode: on).
Sebagai orang asing di kota asing, bergerak sendirian membuatku harus rela menanggung besarnya semua resiko sendiri. Maka, atas semua resiko yang menimpaku di minggu pertama, aku menyimpulkan bahwa “tema” minggu pertamaku di negeri kincir adalah “Minggu Tersesat”.
Ya, tersesat seolah menjadi nama tengahku selama (insyaallah hanya) minggu pertama. So, kalo minggu kemaren kalian memanggilku dengan sebutan Fajar “Tersesat” Ruddin, niscaya aku gak marah (paling gw jitak, hehe).
Aku dengan gagah perwira (baca: sok2an) bermodalkan peta di tangan dan sedikit kenekatan, menyusuri beberapa bagian kota Groningen sendirian (pernah dianter keliling sama mbak Anggi juga sih). Dan hasilnya? Tersesat. Tersesat. Tersesat. Ketemu alamatnya, lalu tersesat lagi. Seolah2, aku harus membayar lima tapak langkah nekat ku dengan enam kali ketersesatan. Kalau ada buku yang bilang bahwa kemampuan navigasi laki2 lebih baik daripada wanita, kayaknya aku berada di sebelah kiri Standar Deviasi (baca: pengecualian).
Ketersesatan yang paling parah aku alami adalah ketika aku salah naik bis dari Groningen CS menuju asrama, sehingga membuatku muter2 kayak orang ilang sampe jam 20an. Suatu sore, aku dalam perjalanan pulang menuju asrama. Karena bis yang biasa aku pake masih agak lama datangnya dan dengan alasan mengejar waktu, dengan belagunya aku naik bis yang berbeda (walaupun gak berhenti di halte yang biasa aku turun, tapi menurut papan info yg aku baca & sopir yg aku tanya, bisnya akan turun di halte yang masih tergolong dekat juga dengan asramaku). Di tengah jalan, supir menginformasikan bahwa halte yang aku tanya udah sampe dan aku dipersilahkan turun.
Haltenya terlihat sangat asing bagiku dan kayaknya aku juga baru pertama kali melewati jalan ini. Aku coba susuri jalan itu sambil “nyanyi2” menghibur diri (halah) dan akhirnya sampailah aku, DI PINGGIR KOTA GRONINGEN. Mak jang,pinggir kota? Padahal asramaku gak jauh2 banget dari kota, kalo sekarang aku udah di pinggir kota Groningen, berarti aku udah lumayan jauh tersesat. Karena merasa gak percaya, aku susuri lagi beberapa langkah dan pada langkah ke-sekian, sebuah papan terpampang jelas di tengah jalan. Aku lupa apa nama yang tertulis di papan itu, tapi seandainya papan itu bisa bicara, mungkin dia akan berteriak di kupingku dan mengatakan “Dasar belagu, lw nyasar sekarang. Tuh liat, arah sana udah ke luar kota”. Kawan, dengan ini aku sadar bahwa aku resmi tersesat (*tepok jidat).
Khawatir semakin ngawur dan gak karuan, aku telepon mbak Atik dan minta saran dia (*keringet dingin mulai keluar, nyanyi berubah jadi istighfar). Dia nyaranin agar aku naik bis aja, kembali ke Groningen CS, terus naik bis yang biasanya. Aku manut. Sesegera mungkin kucari halte terdekat. Untungnya, halte terdekat yang kutemui ternyata dilalui juga oleh bis yang biasa aku pake (dengan arah yang berlawanan), sehingga aku gak perlu kembali ke Groningen CS. So, tugasku sekarang adalah menunggu bisnya datang.
Waktu di hp ku menunjukkan hampir jam 20, bis belum juga datang. Jalanan mulai sepi. Langit mulai gelap (di sini jam 20.30 baru magrib, jadi baru mulai gelap jam segitu). Tubuhku merespon dengan respon yang sangat tidak respek, perut mules dan pengen pipis. Dari kuliah psikologi aku tau bahwa aku sedang tegang dan cemas, maka yang perlu aku lakukan adalah relaksasi, menghirup nafas dalam2 dan mengeluarkannya secara teratur. Hmm….kutarik nafas dalam2, lalu kuhembuskan perlahan, fyuuuh…. Celaka kawan, di saat seperti ini tubuhku ternyata mengambil alih kemudi. Bukannya tenang yang kudapat, justru semakin tegang aku dibuatnya. Kalo udah kayak gini, satu kata yang kuandalkan adalah “pasrah”.
Setelah sekian menit menunggu, akhirnya bis yang dinanti datang juga. Kulihat halte2 yang akan dituju di monitor dalam bis. Kuperhatikan dengan seksama dan kubaca, “Groenestein” (tempatku biasa turun-naik bis) ada di list halte yang akan dilewati. Alhamdulillah….
Merasa belum yakin, kubaca lagi listnya, dan Groenestein masih terpampang di situ. Alhamdulilllah…
Agar lebih yakin dan semakin mantap, kutengok monitor dan kubaca lagi, dan Groenestein pun masih setia disitu.
Hmm…kawan, selain anxiety, ternyata OCD (Obsessive Compulsive Disorder) juga dengan konyolnya meledekku.
Karena sudah beberapa kali memastikan, maka aku pun bisa duduk manis di dalam bus dengan tampang plong. Berangsur2, tanpa dikomando kebelet pipis yang sempat membuatku terpojok, dan mules2 yang menggelitik itu pun sirna. Dan setelah sekian menit duduk manis di dalam bis, akhirnya “sang maestro” pun sampai di kamarnya dengan sumringah (berasa pulang kampung aja gw).
Hmm…Itulah sepenggal kisah ketersesatanku, kawan. Percaya deh, itu yang paling parah kok. (insyaallah) gak ada yang lebih parah dari itu. Semoga bisa menjadi masukan bagimu kalo2 nanti kamu ke Belanda atau ke tempat lain. Pokoke inget2 pesan moral nomor satu di minggu pertama: jangan sok tau atau papan penunjuk jalan akan meresmikan ketersesatanmu.
Sampai jumpa di (insyaallah) kisah selanjutnya.
Wasslammu’alaikum.

September 12, 2011

Kawan, Inilah Debutku di Negeri Kincir [Part 1]

“Semua yang Allah takdirkan adalah baik untuk kita. Nafsu yang membuatnya menjadi seolah tidak baik”

Gak terasa udah satu minggu aku menghirup udara penghujung summer Belanda. Banyak kejadian menarik yang aku alami dan insyaallah akan aku paparkan spesial untuk kalian (hoeeek, aku muntah sebelum kalian muntah).

Agak mundur sedikit gak apa2 ya, kita mulai dari keberangkatan. Aku berangkat dari Soekarno-Hatta naek Emirates. Ini adalah kesempatan pertamaku pergi ke luar negeri (LN) dan di kesempatan pertama ini, aku akan langsung dihadapkan pada perjalanan panjang selama 14 jam. Jakarta-Dubai-Amsterdam. Padahal, naik bis aja paling banter cuma 10 jam. Jakarta-Jogja. Itu pun masih enak, di darat, kalo ada apa2 bisa menepi. Lha ini, 14 jam terkatung2 di udara, kalo ada apa2 mau menepi ke mana? Lha wong langit ra unu tepine kok. Yaudah lah, pasrah aja. Bismillah.

Banyak orang yang mengantar keberangkatanku, yang mayoritas adalah keluarga besar. Diantar orang sebanyak ini (mungkin ada sekodi mah) membuat langkahku semakin berat untuk meninggalkan tanah air. Tapi, adalah suatu kekonyolan jika aku membatalkan keberangkatanku dan menyiakan perjuangan beberapa bulan terakhir hanya untuk berlama-lama di zona nyaman. Meski berat, aku tetap melangkah (berat dalam artian sesungguhnya, soale total bawaannya hampir 40 kg).

Pesawat take-off dari bandara pukul 00.20 WIB. Di pesawat, aku duduk bersebelahan dengan seorang mahasiswi Indonesia yang kuliah di Hamburg, namanya Okta. Untung aja bersebelahan sama orang Indonesia, jadi bisa cas-cis-cus banyak dan bisa tanya banyak juga tentang fasilitas2 yang ada di pesawat, mulai dari cara mengoperasikan entertainment yg disediakan sampe memilih menu makanan (ini fatal kalo salah mesen). Maklumlah, cah ndeso belum ngerti apa2, naik pesawat aja baru dua kali (yang pertama penerbangan dari Jogja ke Jakarta). Penerbangan pertama itupun karena memanfaatkan tiket dari sponsor beasiswa ku (tiketnya seharusnya tanggal 05 september, Yogya-Jakarta-Dubai-Amsterdam, tapi kumutilasi jadi: 21 Agustus, Jogja-Jakarta (dipake buat mudik), 6 September, Jakarta-Dubai-Amsterdam, hehe). Singkat kata, perjalanan dari Jakarta menuju Dubai aman jaya! (*prok..prok..prok..). Sayangnya aku lupa minta kontaknya Okta, jadi dia gak bisa kurepotin kalo aku main ke Jerman (*menyesal tingkat tinggi).

Sampe di Dubai jam 05.30 waktu Dubai. Di Dubai aku transit 3 jam, terus berangkat lagi jam 08.30. Untungnya wi-fi bandara bisa di akses, jadi bisa kirim kabar ke keluarga dan kerabat. Jam 07.30, aku pisah dengan Okta untuk check-in, terus dikandangin di gate.

Jam 08.30 pesawat take-off dan aku pun meninggalkan bandara dengan 1001 kenangan (halah, baru 3 jam aja kesannya udah kayak 30 taun). Di pintu pesawat, aku disambut dengan senyuman hangat pramugari (kalo gak bayar mungkin dicemberutin). Tapi kawan, di dalam pesawat ternyata ada kejutan yang mengalahkan kehangatan senyuman mereka. Apa? Singkong rebus? Bukan kawan, bukan singkong rebus yang aku dapatkan. Singkong rebus memang hangat, tapi bukan itu maksudku.

Kawan, takdir Allah-lah yang mendekapku dengan hangat. Dengan takdir-Nya, aku ditempatkan di sebelah orang Indonesia yang tempat tingalnya masih satu kecamatan denganku. Namanya ibu Manita (kalo gak salah inget, hehe), beliau ke Belanda untuk bertemu suaminya. Suaminya kerja di Belanda dan beliau kadang dateng nengokin (kebayang kan bagaimana pengalamannya dia dengan penerbangan ini & Belanda?) Hmm…padahal duduk bersebelahan dengan orang Indonesia aja udah seneng banget, apalagi sebelahan dengan orang satu kampung? Masya Allah. Sebenarnya seharusnya aku bersebelahan sama bule, tapi karena dia pengen bersebelahan sama pasangannya yang ditempati bu Manita, jadi ibu Manita ini pindah ke sebelah ku. Alhasil, cas-cis-cus ku bersambung lagi sampe Amsterdam. Hmm.. Indah betul apa yang Allah rencanakan.

Pesawat tiba di Schiphol, Amsterdam (bandara internasional Belanda) jam 13.30 waktu Amsterdam. Sayangnya, aku dengan Ibu Manita beda kota tujuan. Beliau mau ke Amsterdam sedangkan aku mau ke suatu tempat yang belum aku ketahui harus lewat mana menjangkaunya (baca: Groningen). Akhirnya, kami dipisahkan di bandara (macem sinetron aja), tapi ada rencana ketemuan lagi suatu saat nanti (tuh, beneran sinetron kan?).

Di Schiphol, Amsterdam tidak ada seorangpun yang menjemputku (na’as banget). Aku pun terasing se terasing2nya. Orangnya asing, tempatnya asing, semuanya asing. Untung di Indonesia aku biasa makan telor asing (halah). Maksudku, untung di Indonesia aku udah dilatih beginian saat memutuskan untuk kuliah di Jogja yang notabene adalah kota yang asing buatku. Tapi kan kalo di Jogja masih mending, bahasanya masih sama, orang2nya masih serupa, dan karakternya pun gak jauh berbeda. Di tempat ini? Entah seperti apa. Yang pasti, saat keluar dari imigrasi dan pengambilan bagasi, aku kebingungan harus melangkahkan kaki kemana. Aku bingung harus bertanya pada siapa. Dan aku bingung mengapa notes ku jadi “geje” begini.

Bagaimanakah kelanjutan dari kisah ini? Apakah Fajar bisa menyelesaikan misinya dengan mulus atau justru masuk headline berita nasional “Mahasiswa Indonesia ditemukan Stres di Schiphol”. Saksikan terus Fajar the Explorer.

September 9, 2011

Jum'at Edisi Pertama

Jumat (9/9/2011) untuk pertama kalinya aku sholat Jumat di negeri kincir. Hmm..bagaimana kisahnya? Mari kita tengok.

Aku baru nemuin masjid kamis sore. Itupun ditunjukkin sama Mbak Anggi (exchange student dari Erasmus juga, magister sains Psikologi UGM) yang asramanya deket sama masjid ini. Jaraknya agak jauh dari asramaku. Kurang lebih 30 menit naik bis. Itupun kalo gak pake acara nunggu2an bis segala. Ciri2 fisik masjid ini sangat tidak menunjukkan ciri2 masjid yang biasa kutemui di Indonesia. Bangunannya seperti bangunan rumah tua berwarna putih dan tidak terlalu besar (keliatan kan di gambar). Tapi di dalamnya lumayan luas. Cukuplah untuk menampung sekitar 200 jamaah.

Aku tiba di masjid jam 13.00. Telat? Tenang kawan, Zuhur disini jam 13.40, jadi masih ada waktu 40 menit untuk menunggu. Surat al-Kahfi yang tiap jumat jarang khatam pun sekarang alhamdulillah khatam, hehe (ketauan aibnya). Kuambil shaf nomor dua, bukan karena shaf pertama sudah penuh, tapi karena rada segan aja, yang duduk di shaf pertama orang2nya berpenampilan kayak syeikh dan badannya gede2.

Hmm..biarlah untuk jumat kali ini cuma dapet sapi, mudah2an jumat depan keseganan mulai hilang dan bisa dapet onta, hehe (ngerti kan maksudnya?). Di shaf nomor dua ini pun sebenernya badanku juga paling kecil sendiri, tapi at least penampilannya gak semua kayak syeikh lah, jadi gak terlalu minder (mudah2an badannya aja yg paling kecil, tapi ilmunya nggak, hehe).

Memasuki waktu zuhur, jamaah semakin banyak berdatangan. Jamaah didominasi oleh orang2 timur tengah/arab dan afrika. Terselip juga beberapa bule di dalamnya dan tidak ketinggalan juga orang2 Indonesia. Masjid semakin penuh, semakin rame (*tepuk tangan).

Jam menunjukkan 13.55. Seseorang dengan perawakan hitam-besar pakai baju gamis dan sorban di kepala naik mimbar lalu mengucapkan salam yang disambut dengan adzan oleh muadzin. Khatib memulai khutbah dengan bahasa Arab. Siiip, aku ngerti apa yang khatib maksud. Muqodimah selesai dan kenapa khatib masih berbahasa Arab? (*ninja). Oh no, ternyata si khatib berkhutbah dengan menggunakan bahasa Arab. Aku yang kemampuan bahasa Arabnya cuma baru sampe level afwan-syukron, jadi mati gaya dalam jumatan kali ini. Tapi belakangan aku tau dari milis PPI Groningen bahwa yang dibicarakan si khotib adalah tentang keutamaan hari Jumat.

Hmm…sebenernya udah ketebak sih, soale si khotib sering nyebut2 kata Jumat (*ngeles tingkat tinggi). Btw terima kasih buat Mas Habiburrahman yang udah bersedia share di milis tentang isi dari khutbah Jumat kemarin.

Khotib menyampaikan khutbah agak lama, yang artinya mati gaya-ku pun semakin lama. Pas sholat, khotib mengambil peran sebagai imam juga. Beliau membaca 2 ayat terakhir surat al-Baqarah di raka’at pertama dan surat al-A’la di raka’at kedua. Hmm..rada heran, kenapa imam cuma baca 2 ayat doang ya dalam satu raka’at? Boleh si boleh, tapi seorang ustadz mengatakan etisnya itu seorang imam minimal baca 3 ayat.

Selesai sholat Jumat ada dua orang yang jadi muallaf. Dua2nya akhwat. Satu persatu mereka dibimbing oleh salah seorang jama’ah (mungkin takmir masjid, aku juga belum begitu tau) dan alhamdulillah dua2nya mengucapkan dengan baik. Terdengar sedikit isak tangis dari salah satu akhwat yang membaca syahadat tersebut (*terharu, hiks..hiks.. รจ komen gw kayaknya bikin suasana gak haru lagi). Selesai baca syahadatain, jamaah menyambut dengan takbir. Allahuakbar…

Kawan, kabar bahwa semakin banyak warga Eropa yang memeluk Islam ternyata bukan isapan jempol belaka. Aku menyaksikan dan mendengarnya sendiri dengan kuping kepalaku (cuma denger, gak bisa lihat karena mereka dibalik hijab). Alhamdulillah…

Setelah semua selesai, jamaah berhamburan keluar. Di pintu keluar udah disedian kaleng amal buat sarana infak para jamaah (baca bener2, KALENG dan bukan KOTAK KAYU kayak di Indo). Karena terbuat dari kaleng, suara uang logam yang dimasukkan pun menggelegar mantap (disini 1 uang logam aja kalo di-rupiah-in bisa seharga 24 ribu).

Di luar ternyata udah ada banyak orang Indonesia. Beberapa sudah kukenal, tapi lebih banyak yang belum kukenal. Aku tidak bisa ngobrol banyak dengan mereka karena harus segera ke bank untuk membuka rekening (ciyee elaaah…bukan buat nimbun hasil korupsi lho!).

Itulah secuil kisahku di negeri kincir. Insyaallah akan ada kisah2 lain yang gak kalah menarik. Jadi, jangan ubah channel anda dan saksikan terus Fajar the Explorer, hehe.
Wassalammu’alaikum.