February 8, 2010

Homesick Primer


-->
Tidak terasa, libur panjang hampir selesai. Tak dapat kusangkal, aku yang hampir sebulan ini liburan di kampung halaman (di “kota halaman” lebih tepatnya) merindukan Jogja dengan segudang daya tariknya. Banyak hal yang kutemukan di Jogja, tidak kutemukan di sini. Di Jogja aku belingsatan kegirangan melihat harga2 buku yang murah bukan main. Aku rela mengayuh sepeda ke Shoping (pusat toko buku) yang jaraknya berkilo2 meter dari tempat kost ku untuk membeli buku2 yang kucari. Aku rela hujan2an dengan sepedaku hanya untuk mendapatkan satu buku yang kuidam2kan di Terban. Aku rela melakukan semua itu. Rela sepenuh hati, karena candu buku yang disuntikkan Jogja dalam tubuhku benar2 tak mampu kutahan lagi. Beda dengan Jakarta. Referensi orang Jakarta dalam mencari buku paling2 hanya ke 1-2 tempat saja, itupun seolah2 dimonopoli oleh satu toko (maaf, aku tidak bisa menyebutkan nama tokonya).

Sayangnya, “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” tidak mentolerir orang2 yg punya duit pas2an sepertiku. Di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” tidak ada diskon seperti di toko buku Shoping, Terban, atau Togamas. Kalau kubandingkan, perbedaan harga buku yang dijual di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” dengan toko2 buku Jogja, lumayan mencolok perbedaan harganya. Sebagai perbandingan, aku membeli sebuah buku di Jogja harganya berkisar 30ribu-an, di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu”, buku itu dibanderol 50ribu-an. Selisih harga segitu lebih dari lumayan buat anak kost sepertiku. Selain itu, buku2 di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” dibungkus rapi dengan plastik yang tidak boleh dibuka, sehingga aku sulit mengetahui apakah buku itu bagus, baik dari fisik maupun isinya.

Di Jakarta aku juga kebingungan melihat orang2 di sekelilingku bertabiat berbeda. Aku menemukan perubahan pada diri mereka. Sayangnya, perubahan itu bukan menuju arah kemajuan, melainkan kemunduran, baik itu dari segi moral, sosial, tata krama, maupun sopan santun (timbul pertanyaan dalam diriku, siapa yang sebenarnya telah berubah? Aku atau mereka? ?_?). Gaya bicara dan isi pembicaraan mereka tidak jarang mengiris hati. Apa yang tidak patut ditertawakan menjadi bahan guyonan. Apa yang tidak patut dibicarakan menjadi wajar diperdengarkan. Maka di Jakarta aku menjadi pendiam. Pernah seorang teman berkata, “Diam aja lw, jangan2 gw lagi ‘dibaca’ nih”. (mentang2 aku kuliah di Psikologi, terus kiranya mudah membaca bahasa non verbal dan pikiran orang?).

Aku menjadi lebih pendiam karena selain aku tahu dan mengerti betul arti diamku, aku juga merefleksi diriku, apakah dulu aku seperti ini? Apakah dulu hatiku keras dan kelam karena terlalu sering berguyon? Mungkin aku dulu juga seperti mereka (dan mungkin sekarang pun masih seperti mereka) berbuat dosa tidak terasa karena sudah terbiasa. Astaghfirullah… Ampuni hamba atas kejahiliyahan hamba dulu dan saat ini Ya Allah. Berbeda dengan di Jogja, walaupun wajah menyeringai, tapi kesopanan masih terjaga, hatinya juga tidak sekeras beton2 jalanan. Malah ada sindiran buat orang Jogja “dipukul pipi kanan, diberikan pula pipi kiri”, entah karena saking baiknya atau karena mereka mengidap obsesif-kompulsif “agar simetris”. Pantas saja Kumpeni betah berlama2.

Satu lagi yang membuatku rindu dengan Jogja adalah kajian. Di Jogja, aku tinggal memilih mau datang ke masjid yang mana untuk mengikuti kajian. Masjid2 Jogja semarak, hidup dan ramai dengan aktivitas2 keagamaan. Jamaah dimanjakan dengan beragam kegiatan, mulai dari kajian, seminar, training, sampai pengobatan gratis pun ada. Itu yang ingin sekali aku lihat di kampungku. Aku ingin pemuda2 nongkrong di majelis2 ilmu, bukan di burjo2 atau bengkel2 yang sedikit maslahat multi mudharatnya. Ah, Fajar, terlalu berlebihan kau menilai semua ini. Maaf kampungku, telah mengkhianatimu.