March 6, 2010

Ada yang Salah


-->
Mari kita renungkan, apa yang sebenarnya kita perjuangkan atas setiap pengorbanan yang kita persembahkan selama ini? Atas setiap keringat yang menetes di dahi. Atas setiap kulit dan daging yang mengkapal di kaki. Atas setiap seruan, teriakan, dan nyanyian yang terlahir di setiap aksi. Apa teman? Bantu aku memahaminya. Atau kalau kamu mendapatiku sudah mengerti, sudilah kiranya kamu membantu mereka yang duduk di pojok-pojok sana untuk memahami. Bantu mereka yang menamakan diri “oposisi” untuk mengerti. Agar tiap gerak kita terbingkai dalam laku yang sama. Agar tiap mimpi digantung di langit yang serupa.

Teman, rasa-rasanya ada remah-remah kekhilafan dalam perjuangan ini. Rasa-rasanya ada noktah-noktah keliru dalam gerak kita. Bukan. Kekhilafannya bukan pada kebenaran yang ingin kita sampaikan. Kekeliruannya bukan pada keadilan yang ingin kita tegakkan. Bukan pula pada kesejahteraan yang selalu ingin kita tingkatkan. Insyaallah tiap kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan yang kita bingkai dalam tiap perjuangan kita, dan berusaha kita sampaikan di bumi Indonesia, sudah benar adanya. Tapi...

Ah, aku teringat nasehat seorang Ustadz yang berpesan bahwa kemuliaan tidak akan diperoleh jika kebenaran yang kita sampaikan tidak disertai kesantunan dalam penyampaiannya.

Teman, mungkin ada bulir-bulir khilaf yang tidak disadari. Mungkin ada pecahan2 perangai yang menggores hati. Atau jika kebenaran dan kesantunan telah kita padukan, mungkin ada niat yang rompal di tengah medan.

Teman, mengapa ketika kita sebenarnya hendak menyampaikan kebenaran itu, kita justru seolah2 menjadi common enemy? Mengapa selalu ada suara-suara sumbang yang terdengar melukai hati? Mengapa seolah2 tiap out group yang duduk di pojok2 sana (seperti yang kukatakan di atas) selalu siap dengan kuku2nya untuk menumbangkan kita? Padahal mereka sama dengan kita. Mereka bersaudara dengan kita. Kita dan mereka sama2 muslim.

Ah, bukankah Rasulullah mengajarkan kita betapa indahnya persaudaraan? Hingga lahirlah dari zaman kenabian sosok2 seperti Abu Bakar yang “bijak”. Sseperti Umar yang “gengsian” (dalam hal kebaikan tentu). Seperti Ustman yang “pemalu”. Dan seperti Ali yang “periang”. Indah. Indah sekali persaudaraan mereka. Indah tak terperi. Tidak bisakah kita menghadirkan yang seperti itu di ranah perjuangan ini? Hingga tidak ada lagi mata yang dipicingkan. Tidak ada lagi suara yang mengo-oposisi. Ya, tidak ada oposisi. Cukup devil’s advocate saja untk memperbaiki tiap ketuk palu keputusan.

Bisa teman. Kita bisa mencapai kemuliaan itu. Ya, kita semua. Bukan hanya aku, kamu, kami atau mereka. Tapi kita semua. Bukankah itu salah satu cita kita?

“Wahai Dzat Pemilik cahaya di atas cahaya. Anugerahkanlah kepada kami selaksa cahaya-Mu yang berkilau. Agar jalan kami benderang. Agar kami tiba di penghujung jalan”

February 8, 2010

Homesick Primer


-->
Tidak terasa, libur panjang hampir selesai. Tak dapat kusangkal, aku yang hampir sebulan ini liburan di kampung halaman (di “kota halaman” lebih tepatnya) merindukan Jogja dengan segudang daya tariknya. Banyak hal yang kutemukan di Jogja, tidak kutemukan di sini. Di Jogja aku belingsatan kegirangan melihat harga2 buku yang murah bukan main. Aku rela mengayuh sepeda ke Shoping (pusat toko buku) yang jaraknya berkilo2 meter dari tempat kost ku untuk membeli buku2 yang kucari. Aku rela hujan2an dengan sepedaku hanya untuk mendapatkan satu buku yang kuidam2kan di Terban. Aku rela melakukan semua itu. Rela sepenuh hati, karena candu buku yang disuntikkan Jogja dalam tubuhku benar2 tak mampu kutahan lagi. Beda dengan Jakarta. Referensi orang Jakarta dalam mencari buku paling2 hanya ke 1-2 tempat saja, itupun seolah2 dimonopoli oleh satu toko (maaf, aku tidak bisa menyebutkan nama tokonya).

Sayangnya, “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” tidak mentolerir orang2 yg punya duit pas2an sepertiku. Di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” tidak ada diskon seperti di toko buku Shoping, Terban, atau Togamas. Kalau kubandingkan, perbedaan harga buku yang dijual di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” dengan toko2 buku Jogja, lumayan mencolok perbedaan harganya. Sebagai perbandingan, aku membeli sebuah buku di Jogja harganya berkisar 30ribu-an, di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu”, buku itu dibanderol 50ribu-an. Selisih harga segitu lebih dari lumayan buat anak kost sepertiku. Selain itu, buku2 di “toko yang tidak boleh disebutkan namanya itu” dibungkus rapi dengan plastik yang tidak boleh dibuka, sehingga aku sulit mengetahui apakah buku itu bagus, baik dari fisik maupun isinya.

Di Jakarta aku juga kebingungan melihat orang2 di sekelilingku bertabiat berbeda. Aku menemukan perubahan pada diri mereka. Sayangnya, perubahan itu bukan menuju arah kemajuan, melainkan kemunduran, baik itu dari segi moral, sosial, tata krama, maupun sopan santun (timbul pertanyaan dalam diriku, siapa yang sebenarnya telah berubah? Aku atau mereka? ?_?). Gaya bicara dan isi pembicaraan mereka tidak jarang mengiris hati. Apa yang tidak patut ditertawakan menjadi bahan guyonan. Apa yang tidak patut dibicarakan menjadi wajar diperdengarkan. Maka di Jakarta aku menjadi pendiam. Pernah seorang teman berkata, “Diam aja lw, jangan2 gw lagi ‘dibaca’ nih”. (mentang2 aku kuliah di Psikologi, terus kiranya mudah membaca bahasa non verbal dan pikiran orang?).

Aku menjadi lebih pendiam karena selain aku tahu dan mengerti betul arti diamku, aku juga merefleksi diriku, apakah dulu aku seperti ini? Apakah dulu hatiku keras dan kelam karena terlalu sering berguyon? Mungkin aku dulu juga seperti mereka (dan mungkin sekarang pun masih seperti mereka) berbuat dosa tidak terasa karena sudah terbiasa. Astaghfirullah… Ampuni hamba atas kejahiliyahan hamba dulu dan saat ini Ya Allah. Berbeda dengan di Jogja, walaupun wajah menyeringai, tapi kesopanan masih terjaga, hatinya juga tidak sekeras beton2 jalanan. Malah ada sindiran buat orang Jogja “dipukul pipi kanan, diberikan pula pipi kiri”, entah karena saking baiknya atau karena mereka mengidap obsesif-kompulsif “agar simetris”. Pantas saja Kumpeni betah berlama2.

Satu lagi yang membuatku rindu dengan Jogja adalah kajian. Di Jogja, aku tinggal memilih mau datang ke masjid yang mana untuk mengikuti kajian. Masjid2 Jogja semarak, hidup dan ramai dengan aktivitas2 keagamaan. Jamaah dimanjakan dengan beragam kegiatan, mulai dari kajian, seminar, training, sampai pengobatan gratis pun ada. Itu yang ingin sekali aku lihat di kampungku. Aku ingin pemuda2 nongkrong di majelis2 ilmu, bukan di burjo2 atau bengkel2 yang sedikit maslahat multi mudharatnya. Ah, Fajar, terlalu berlebihan kau menilai semua ini. Maaf kampungku, telah mengkhianatimu.

January 21, 2010

Detik-detik yang Mengguncang

Semester tiga yang mengharu biru telah terlewati, tapi ketegangan yang dibawanya tak jua henti. Setelah melewati pencalonan ketua Lembaga Mahasiswa yang penuh dengan “ironi”, kini aku dihadapkan pada dilema yang belum bertepi. Cerita bermula ketika aku menolak amanah menjadi Kepala Departemen (Kadep) Advokasi yang ditawarkan oleh ketua terpilih. Keputusanku menolak amanah itu ditanggapi banyak reaksi, dan Insyaallah aku menganggap semua reaksi itu adalah reaksi positif dari mereka yang peduli terhadapku.

Setelah menolak menjadi Kadep, aku kembali mengeleuarkan keputusan yang mungkin sedikit berbau kontroversi. Aku mengundurkan diri menjadi pengurus Lembaga Mahasiswa Psikologi. Mungkin ada yang suara2 sumbang mengatakan aku hanya ingin menciptakan sensasi (maaf kalau saya bersu’uzhan), akan tetapi ingin sekali kutegaskan bahwa Demi Dzat Yang Menciptakan Langit dan Bumi, aku sama sekali bukannya ingin menciptakan sensasi. Keputusan ini bahkan sudah kupertimbangkan jauh sebelum mahasiswa 2009 kuliah di UGM, artinya aku telah memikirkan hal ini berbulan-bulan lamanya. Dam aku juga ingin menegaskan bahwa walaupun aku telah keluar dari kepengurusan Lembaga Mahasiswa Psikologi, idealisme ku tidak akan keluar dari dalam diri ini..

Ghirah berorganisasi semakin hari kian menipis diikuti menipisnya energi yang ada dalam nurani. Ah, ingin sekali aku memperbaiki diri. Setelah ujian selesai, aku buru2 pulang ke Tangerang untuk sekedar menjernihkan pikiran dari drama semester tiga yang baru saja usai. Akan tetapi, ternyata drama yang dimainkan dalam semester tiga ini tidak hanya terdiri dari satu babak, tapi berbabak-babak. Tidak berselang lama setelah aku pulang kampung, dimulailah babak baru drama semester tiga, tepat dua hari setelah kepulanganku.

Senja itu aku dihubungi oleh Ketua Majelis Musyawarah Keluarga Muslim Psikologi. Ia menanyakan kesediaanku untuk menjadi calon Ketua KMP periode 2010. Subhanallah…memangnya apa yang telah kulakukan sehingga aku sampai diajukan menjadi salah satu calon? Aku lagi2 menolak tawaran amanah yang datang, dan aku sangat menyadari posisiku dalam penolakan itu (saya minta maaf kepada Mas Totok dan peserta forum Musyawarah Anggota, kemarin saat proses pelobian, teleponnya terputus karena baterai hp saya habis, tanpa sengaja saya memutuskan pembicaraan. Saya juga minta maaf hanya bisa membersamai teman2 dalam forum Musyang di hari pertama – itupun saya datang di tengah2 acara. Sekali lagi saya mohon maaf.).

Belum lekang ‘kejutan’ penawaran itu, di hari berikutnya aku kembali dikejutkan oleh sepasang tawaran amanah di dua lembaga berbeda. Tawaran yang pertama datang adalah dari IPLF (Islamic Psychology Learning Forum). Direktur IPLF yang baru, yang juga berperan sebagai Ketua Dewan Formaturnya, menawariku menjadi kepala divisi Public Relation IPLF. Sebuah tawaran yang lagi2 mengagetkan. Aku lagi2 bertanya, khususnya pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya telah dilakukan diri ini sehingga mendapatkan tawaran menjadi seorang PR? Astaghfirullahhal’adzim.

Aku belum bisa memberi keputusan perihal penawaran itu. Aku minta diberikan waktu kepada beliau untuk memikirkan keputusannya. Alhamdulillah beliau mengizinkan dan aku berjanji selambat2nya hari Sabtu akan kukabari. Pasangan dari kejutan itu adalah kejutan yang datang dari seorang kakak angkatan di Psikologi. Malam hari itu, beliau meng-sms ku. Awalnya beliau hanya mengkonfirmasi kepergianku dari Lembaga Mahasiswa Psikologi, apakah benar2 keluar atau sekedar isu. Setelah aku mengiyakan bahwaa aku keluar, dan setelah beliau memberikan “wejangan” (terima kasih atas nasihatnya, sungguh) aku lagi2 mendapatkan tawaran amanah menjadi Deputi Kementrian Internal BEM KM UGM. Masya Allah. Hari itu aku benar2 seperti orang tersesat. Tidak tahu arah dan kebingungan atas semua “takdir” ini. Aku pun meminta diberikan waktu sampai hari Sabtu untuk memikirkan.

“Aku berlindung pada-Mu Ya Allah dari tipu daya syetan yang menjerumuskan”

Fyuuuh… Teman, mungkin kata2 “kejutan” telah banyak mewarnai kehidupan kita yang hitam putih. Pelangi selalu indah karena beragam warnanya. Kupu2 nampak elok karena warna-warni yang menghiasi tubuhnya. Akan tetapi, banyaknya warna yang kini dihadapkan padaku membuatku sulit menentukan warna apa yang harus kupilih untuk menghiasi episode2 kehidupanku mendatang. Teman, tubuh ini begitu kecilnya hingga seringkali ragu menerima amanah yang besar. :Pikiran ini begitu sempitnya, hingga luasnya amanah tak jarang membuatku gusar. Dan mata ini begitu kaburnya, hingga terangnya sudut2 pemikiran lain seringkali pudar.

Teman, detik demi detik yang biasa kulewati kini menjadi tidak biasa karena detik2 ini akan menghantarkanku pada keputusan yang sudah ditunggu. Keputusan itu pun akan menjadi pendamping aktivitasku selama beberapa waktu. Teman, detik2 yang mengguncang ini tidak bisa dilewati dengan kontemplasiku seorang diri. Aku menyadari kerapuhanku dan aku sangat berharap kita bisa berbagi. Mudah2an dapat dimengerti.