July 20, 2009

Cerita Klasik Satu Tahun Lalu

-->
Setahun sudah aku menuntut ilmu di UGM, dan aku telah menemukan kenyamanan di sana. Akan tetapi, saat ini adalah saat liburan, biar bagaimanapun kerasannya diriku di sana, aku tetap harus pulang kampung (atau mungkin lebih tepatnya pulang kota) untuk bertemu dengan orang2 terdekatku. Aku selalu mengharapkan kenyamanan ketika pulang ke sana (Tangerang), tapi ternyata “virus” pengganggu tidak pernah lenyap dari muka bumi ini. Dia menganggu ketentramanku, membuatku tidak nyaman berlama2 di rumah. Dia merusak mental, menguras emosi, dan menyita waktuku selama liburan ini. Virus itu bernama “perhatian”.

Aku senang banyak orang memperhatikanku setahun belakangan ini. Ya, aku memang seolah menjadi pusat perhatian dalam susunan masyarakat di tempat tinggalku. Hanya satu alasannya, dan tidak akan pernah berubah, mereka menyangsikan kepergianku ke Jogja untuk kuliah di UGM. Sejak pertama aku bilang ingin mendaftar di UGM, sebagian dari mereka seolah tidak percaya bahwa aku serius mengambil keputusan ini, mungkin mereka kira aku bercanda. Saat pengumuman hasil UM-UGM keluar, dan aku diterima, mereka semakin gempar dan aku mulai menjadi buah bibir di masyarakat.

Perlu kalian ketahui, orang2 di daerahku masih sangat sedikit yang berani keluar “kandang” untuk merasakan kehidupan di tempat lain. Ppenduduk asli tempat tinggalku masih sangat jarang yang berani merantau, jumlah mereka masih bisa dihitung dengan jari. Itupun yang merantau umumnya orang-orang yang ingin bekerja, yang notabene menghasilkan uang, bukan justru yang “membuang uang” seperti yang aku lakukan. Tak pelak, keputusanku ini dianggap ekstrim oleh sebagian kalangan. Akhirnya, banyak pernyataan yang mereka keluarkan, yang intinya adalah kekhawatiran, kekhawatiran dan kekhawatiran. Mereka memberikan perhatian dengan cara melemparkan kekhawatirannya kepadaku dan orangtuaku. Mereka khawatir orangtuaku tidak mampu membayar biaya kuliah dan biaya hidup di Jogja, sehingga aku dianjurkan untuk berkuliah di sini saja, toh menurut mereka di sinipun ada tempat kuliah. Mereka khawatir terhadap pilihanku, yaitu Psikologi tidak mempunyai masa depan yang bagus, sehingga mereka menawarkan pilihan jurusan yang menurut mereka sangat prospektif. Mereka khawatir aku tidak betah di sana, sehingga hanya akan menghabiskan uang saja.

Ah, begitu besar perhatian mereka kepadaku. Aku tidak menyangka akan diperlakukan se-spesial ini akibat keputusanku yang di luar nalar mereka. Sekarang, sudah setahun aku kuliah di sana, dan Alhamdulillah Allah selalu menjagaku dan orangtuaku sehingga aku tetap survive sampai detik ini. Biaya kuliah yang paling mereka khawatirkan, walaupun aku belum banyak membantu, tapi Alhamdulillah sampai saat ini mampu dihandle orangtuaku. Aku tidak kelaparan atau kekurangan selama aku berada di sana, malah saat aku pertama kali pulang dulu, saudara2ku berkata aku bertambah gemuk. Jurusan Psikologi yang menurut mereka tidak prospektif, walaupun belum bisa kubuktikan sendiri, tapi telah dibuktikan oleh kakak2 angkatanku yang telah bekerja. Mereka mendapat penghasilan yang cukup besar dari almamater ini, sehingga menurutku tidak ada alasan mereka meragukan pilihanku. Dan soal betah atau tidak betah, aku rasa kekhwatiran mereka terlalu besar, karena sampai saat ini aku selalu kangen dengan suasana kota Pendidikan yang kental akan ilmu, sehingga tidak ada alasan bagiku untuk merengek minta pulang ke kampung halaman.

Baru2 ini, salah satu dari mereka kembali menyampaikan kekhawatirannya. Bukan tentang biaya atau betah-tidak betah, tapi tentang jurusan yang aku ambil, yaitu Psikologi. Sekali lagi dia mengatakan (sebutlah namanya Mrs. Y) bahwa aku terlalu sembrono mengambil pilihan jurusan, karena menurut dia Psikologi tidak prospektif. Dia menyarankanku untuk mengambil jurusan Hukum, seperti temannya yang kini telah sukses. Ah, bangganya temannya itu, memiliki prestasi sehingga diingat oleh Mrs. Y sampai saat ini. Akan tetapi, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh intimidasinya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan Psikologi. Aku cinta Psikologi, aku senang berada di jurusan ini, dan aku sama sekali tidak merasa berada di luar jalur kesuksesan hanya karena aku memilih jurusan favoritku. Bagiku, Psikologi sudah seperti rumah keduaku. Aku tidak merasakan kebosanan saat mempelajarinya, aku tidak merasakan beban yang berat ketika mengerjakan tugasnya, dan aku tidak merasakan tekanan ketika aku harus menghadapi ujiannya.

Aku tersanjung sekaligus heran, mengapa walaupun sudah lumyan lama waktu berlalu (satu tahun), masih saja ada yang rela mengkhawatirkan diriku, padahal mereka juga punya anak yang patut mereka khawatirkan, tidak melulu aku. Bukan berarti aku tidak butuh perhatian, tapi memperhatikan diriku se-detail ini membuatku malu. Aku masih (dan mudah2an selalu) merasa orang yang biasa saja, bukan superstar ataupun putra mahkota yang selalu diperhatikan masyarakat. Aneh rasanya jika apa yang terjadi padaku selalu mendapat perhatian, padahal mereka juga punya keluarga yang butuh untuk diperhatikan. Ah, Indonesia, mengapa kau begitu unik?

July 15, 2009

Tayangan Televisi Saat Ini

Sudah lama aku tidak menonton televisi, karena aku memang tidak punya benda segi empat itu di kostan. Saat ini aku punya kesempatan untuk menikmati sepuas-puasnya tayangan televisi, karena aku sedang berada di rumah orang tua ku untuk liburan.

Dulu aku punya beberapa acara televisi favorit, tapi kemarin setelah kutonton, aku sudah tidak antusias dengan acara itu, karena aku tidak mengikuti acara itu lagi selama aku kuliah di Jogja. Selain itu, lama tidak menonton televisi, membuatku tidak begitu tertarik dengan benda segi empat ini, karena aku tidak mengerti acara apa yang harus aku tonton.

Akan tetapi, sekilas aku memperhatikan, acara yang paling sering ditayangkan di televisi adalah acara hiburan/hura2, seperti pertunjukkan musik, games, dll. Hal ini cukup mengherankanku, apakah dengan adanya acara2 seperti itu sudah dapat mengiindikasikan bahwa salah satu fungsi televisi, yaitu memberikan hiburan, sudah terlaksana begitu baiknya. Bagaimana tidak, acara yang aku lihat dari pagi sampai malam, tidak jauh dari acara hura-hura seperti yang aku sebutkan di atas.

Sepertinya rakyat Indonesia sudah begitu sejahteranya, sehingga pemerintah tidak perlu repot-repot membuat kebijakan yang katanya berpihak kepada rakyat dan mahasiswa juga tidak perlu capek-capek berdemo di siang hari untuk membela kepentingan rakyat, toh mereka sudah sejahtera. Apa lagi yang harus dipikirkan? Pendidikan? Ah, itu masalah kuno. Sekarang sudah tidak penting memikirkan pendidikan. Muridnya saja sudah pintar-pintar. Tidak percaya? Coba kamu tengok saat acara-acara seperti itu berlangsung, kebanyakan penonton yang hadir dari kalangan pelajar kan? Ingat, acara itu digelar dari pagi sampai malam yang merupakan jam sekolah dan jam wajib belajar. Di masing-masing saluran televisi ada kok acara seperti itu, silahkan di cek kalau tidak percaya.

Kalau sudah seperti ini, menurutku pemerintah kini telah memiliki tugas yang sedikit lebih ringan dan tidak menyulitkan. Mereka tidak perlu repot-repot pinjam uang ke negara lain untuk membagikan BLT demi kesejahteraan rakyat. Cukup sajikan saja acara-acara seperti itu terus-menerus, bunyi perut kelaparan pun akan terlupakan. Percaya deh. Pemerintah juga tidak perlu pusing-pusing memikirkan pendidikan gratis, orang-orang Indonesia sudah kaya kok. Lihat saja penampilan anak-anak sekarang, keren abis, gak jauh beda sama artis2 yang ada di televisi. Yang seharusnya pemerintah atau swasta lakukan adalah membuat saluran televisi lebih banyak, agar mereka semua bisa tampil di televisi. NAAS!!!

July 12, 2009

Saat Esensi Sebuah Organisasi Kehilangan Arah

Setahun yang lalu, saat aku hendak berkuliah di Jogja, Karang Taruna di tempat tinggalku resmi terbentuk. Memang terlalu lambat, tapi setidaknya kini pemuda di daerah ku lebih serius dan profesional dalam berorganisasi, karena selama ini mereka hanya tergabung dalam majelis ta’lim mushola. Walaupun seolah masih terikat dan berhubungan dekat dengan majelis ta’lim mushola, tapi Karang Taruna ini sebenarnya memilik kepengurusan sendiri. Aku ibaratkan jika dalam suatu kepanitiaan ada Steering Committee (SC) dan Organizing Committee (OC), maka Karang Taruna ini bertindak sebagai SC-nya, dan pengurus majelis ta’lim sebagai OC. Sedikit aneh memang, organisasi yang baru lahir kok bisa jadi kakak dari organisasi yang lebih dulu ada? Aku juga kurang mengerti, karena terlalu banyak kepentingan politik bermain di sana. Untuk informasi, Karang Taruna yang baru terbentuk ini tidak main-main lho, karena nama Karang Taruna ini langsung dan sudah didaftarkan di kepolisian sektor daerah tempat tinggalku, sehingga menjadikannya lebih legal dan formal.

Jumat kemarin, untuk pertama kalinya aku mengikuti rapat mereka. Ya, pertama kali, bukan karena malas atau segan, tapi karena kondisiku yang saat ini sedang kuliah di Jogja tidak memungkinkan untuk mengikuti rapat-rapat mereka (tapi aku dengar dari salah satu temanku bahwa mereka memang jarang rapat. Mereka baru akan rapat ketika ada event khusus yang terjadi, misalnya Isra Mi’raj, 17 Agustusan, dll). Aku sama sekali tidak menduga akan ada kejutan di rapat perdanaku di Karang Taruna itu. Aku berpikir rapatnya akan sama seperti yang sering aku dan teman-temanku lakukan di kampus, ternyata jauh berbeda. Kesanku dari rapat yang aku ikuti tersebut adalah sebagai berikut.

  1. Aku menamakan rapat itu sebagai rapat Rock n’ Roll. Kenapa? Karena sebagian dari orang-orang yang hadir disitu, dari cara berpakaian, bertingkah laku, dan berbicara tidak mencerminkan bahwa mereka juga adalah anggota dan pengurus majelis ta’lim mushola. Ada yang cara berpakaiannya seperti Adebayor mau main bola, seperti bassis grup band Radja, bahkan ada cowok yang terlihat cantik seperti Aming. Aku benar-benar kecewa dengan mereka, karena kami rapat di dalam Mushola, tempat yang sering kami pakai untuk beribadah. Mengapa perilaku mereka tidak mencerminkan muslim yang tahu agama dengan berpakaian seperti itu? Padahal sudah jelas Mushola itu untuk ibadah, kenapa sampai-sampai pakaian main bola dipakai di sana? Edan kan?
  2. Aku tidak merasa ikut rapat di sana, melainkan ikut aksi, karena tidak jarang teriakan-teriakan keluar di tengah rapat berlangsung, seperti mahasiswa yang sedang berorasi saja. Seharusnya mereka sadar bahwa mereka sedang berada dalam forum yang formal, di Mushola pula, mengapa tindakan mereka menjadi seakan abnormal? Kalau perilakunya saja masih informal, percuma saja Karang Taruna ini diformalkan dengan mendaftarkannya ke polsek.
  3. Akan tetapi aku berhasil menemukan satu hal positif di sana, yaitu kemeja yang mereka kenakan semuanya sama, jadi seolah-olah mereka seperti pegawai kantor (ini nih yang bikin aku kecewa terhadap cara berpakaian salah seorang teman. Sudah tahu atasannya kemeja, masa bawahannya pakai kolor? Edan kan?). Mereka berinisiatif memesan kemeja itu kepada tukang jahit dan mengenakannya sebagai seragam. Aku seperti makhluk asing dari planet di luar galaksi yang mampir di sana karena aku memakai baju yang berbeda (mereka membuat kemeja itu belum lama, saat aku masih di Jogja - sekarang aku lagi libur).

Itulah beberapa catatanku mengenai rapat pertamaku di Karang Taruna. Aku menyimpulkan organisasi yang didirikan teman-temanku itu masih jauh dari profesional, tapi aku juga tidak berani mengintervensi mereka dalam hal itu. Aku sadar aku sekarang menjadi ‘makhluk asing’ disana. Sangat sombong jika aku baru datang lalu tiba-tiba protes dengan hal itu. Semuanya ada proses, biar aku saksikan saja dulu dinamikanya. Aku tidak mau dikatakan ‘mentang-mentang anak kuliah, sehingga sok tahu dalam segala urusan’. Memang seperti itulah pandangan orang kebanyakan terhadap mahasiswa sekarang. Akan tetapi, aku masih kebingungan dalam menghadapi hal ini, darimana aku harus memulainya? Siapa yang akan membantu perjuanganku? Huh, kuatkah tubuh ini menanggung banyak beban?

July 9, 2009

Mahasiswa Event Organizer


-->
Mahasiswa yang sejatinya menisbatkan dirinya sebagai agent of change, kini telah mulai berbelok arah. Kegiatan-kegiatan yang sering mereka lakukan bukan lagi mengarah kepada idealisme yang selalu mereka teriakkan. Mahasiswa kini tak ubahnya seperti event organizer yang sibuk dengan event mereka sendiri. Kegiatan-kegiatan seperti seminar, talkshow, workshop, ataupun training, berlomba-lomba mereka adakan untuk menunjukkan eksistensi mereka. Sayangnya, indikator keberhasilan kegiatan mereka bukan terletak pada ilmu apa yang mereka dapatkan setelah kegiatan itu, tapi lebih mengarah kepada terlaksana atau tidaknya kegiatan mereka. Dana yang relatif tidak sedikit dalam pelaksanaan satu kali seminar membuat mereka harus memutar otak untuk membiayai seminar tersebut. Berbagai cara dilakukan, ada yang membuat proposal, berdagang, mencari donatur, bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela mengamen demi terselenggaranya acara itu. Kesibukan mereka mengurus permasalahan pra-kegiatan, membuat mereka lupa akan esensi dari kegiatan yang mereka lakukan. Padahal, jika ditilik dari ide pelaksanaan acara tersebut, semangat idealisme memancar dari sana.

Orientasi yang berubah sejak pra-kegiatan menjadikan kegiatan tersebut sebagai barang dagangan yang harus habis terjual agar tidak mengalami kerugian. Disini, muncul lagi masalah lainnya, yaitu kehadiran peserta saat acara. Banyak cara juga untuk menarik peserta mengikuti kegiatan mereka, salah satu strategi yang dianggap paling ampuh adalah pemberian sertifikat kepada peserta. Mereka mengetahui bahwa dunia kerja saat ini sangat membutuhkan sertifikat sebagai salah satu cara untuk mengukur kompetensi para pekerja. Para pekerja atau para pencari kerja pun tidak menyangkal hal itu. Banyak dari mereka yang mengikuti peserta hanya untuk mencari sertifikatnya saja. Sampai sejauh ini, antara peserta dan mahasiswa sebagai penyelenggara telah memiliki orientasi yang tidak sesuai dengan esensi penyelenggaraan acara.

Kecenderungan mahasiswa sekarang untuk menggelar event-event mengindikasikan bahwa mahasiswa kini masih merasa kurang dengan ilmu-ilmu yang mereka dapatkan di kelas. Berita baiknya, mereka sadar akan hal itu dan mandiri untuk menambal kekurangan dari kuliah di kelas. Akan tetapi, idealnya pemenuhan kebutuhan itu tidak lantas mengurangi perhatian mereka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat dan tidak menjadikannya sebagai golongan yang sibuk sendiri dengan kepentingannya. Sayangnya, mahasiswa kini lebih sibuk dengan kepentingannya itu. Kesibukan mahasiswa mengurusi kegiatannya membuat mereka lupa dengan kepentingan rakyat yang sering dibelanya. Disini terlihat jelas egosentrisme mahasiswa semakin menonjol, padahal tanpa hal itupun mahasiswa seringkali dinilai memiliki egosentris yang cukup tinggi.

Parahnya lagi, kini mulai timbul persaingan antar mahasiswa untuk menggelar acara-acara seperti yang disebutkan di atas. Mereka berlomba-lomba untuk mengemas acara semenarik mungkin agar banyak peserta yang hadir dalam acara itu. Padahal, bukanlah suatu kesalahan jika segelintir dari mahasiswa saja yang menyelenggarakan suatu event dan mahasiswa lain mengurusi hal lainnya. Jika semua perhatian mahasiswa tertuju pada event saja, maka sektor-sektor lain yang potensial menjadi tidak terurus. Sekali lagi, konsentrasi mahasiswa terpecah dan mulai berbelok arah. Kepentingan rakyat bukan lagi jadi prioritas utama, kini prioritas mereka beralih ke kegiatan-kegiatan di kampus. Tidak heran mengapa banyak lulusan sarjana yang terlihat begitu egosentris dan individualis, karena hal ini sudah dijadikan budaya semenjak mereka berkuliah.

Kalau hal ini terus berlanjut, maka siapa lagi yang akan berperan menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintah? Siapa yang akan mengkritisi kebijakan pemerintah dan siapa yang akan membela kepentingan rakyat?

July 6, 2009

Drama di Kereta Api

Ada drama menarik dalam perjalananku di kereta saat aku pulang ke Tangerang beberapa hari kemarin. Saat itu kereta penuh sesak dengan penumpang karena bertepatan dengan momen libur panjang sekolah, sehingga tidak sedikit orang yang tidak kebagian tempat duduk. Kereta penuh sesak, sehingga udara terasa cukup panas di dalam. Keadaan semakin panas ketika aku mendengar suara teriakan marah2 beserta umpatan dari bangku belakang yang membuat banyak orang menoleh ke arah sana. Aku pun menoleh untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sumber suaranya tidak jauh dari tempatku duduk, hanya kurang lebih berjarak tiga bangku di belakang ku. Ternyata di sana sedang ada pemeriksaan karcis oleh petugas.

Seorang ibu diinterogasi oleh petugas karena tidak dapat menunjukkan karcis. Anehnya, ibu tersebut malah justru memarahi petugas, entah dengan alasan apa ia bisa memarahi, aku sendiri kurang mendengarnya. Setelah ditekan oleh beberapa pertanyaan, ternyata ibu tersebut memang tidak membeli karcis. Aku tambah bingung, ketika petugas meminta ibu itu untuk beranjak dari kursinya, ibu itu malah menyerangnya dengan umpatan dan makian tanpa mau pindah dari kursinya. Petugas itu akhirnya menyerah, karena mungkin merasa “tidak enak” mendengar teriakan ibu tersebut yang mengganggu orang lain. Tidak berselang lama, datanglah mahasiswa yang seharusnya duduk di kursi yang ditempati ibu tadi, untuk meminta ibu tersebut agar pindah. Tindakan dan bahasa yang digunakan oleh mahsiswa sudah diusahakan sehalus mungkin (aku mendengar dan melihatnya) agar tidak menyinggung ibu tersebut, tapi apa yang mereka dapat? Tidak jauh berbeda dengan petugas tadi, mahasiswa tersebut juga mendapatkan umpatan2 dan makian yang sangat menyakitkan. Aku sendiri sebagai mahasiswa merasa geram juga, karena ibu tersebut menjelek2an nama mahasiswa di depan umum. Dengan perilaku yang sopan juga, mahasiswa tersebut menyerah “melawan” ibu itu.

Selang beberapa jam, “penyakit” ibu tersebut kumat lagi. Dia kembali menyerang dengan makian dan umpatan, kali ini orang2 Jawa pedesaan yang menjadi sasarannya. Seperti tidak punya perasaan, ibu itu berteriak2 memaki orang2 Jawa dengan sebutan wedus (kambing), gembel, tengik, dan segala macam. Entah apa maksud penyerangannya, padahal orang2 yg berada di gerbong itu tidak melakukan hal yang macam2. Untunglah tidak ada orang yang meladeni ibu tersebut, sehingga keributan tidak terjadi.

Kejadian ini menurutku sangat menarik untuk dikaji, karena kita dapat melihat representasi mental orang Indonesia ketika menghadapi suatu masalah. Si ibu yang sudah jelas2 salah karena tidak membeli karcis, tidak mau disalahkan. Dia justru menyerang orang lain yang notabene di kejadian ini tidak memiliki kesalahan. Seharusnya, dengan kondisi seperti itu (tidak beli karcis dan mengambil jatah kursi orang lain) ibu tersebut malu, bukan justru menyerang. Mental2 seperti ini (tidak mau mengakuki kesalahan) memang banyak menjangkiti masyarakat kita, padahal mengakui kesalahan bukanlah perbuatan yang rendah. Akan tetapi apa yang kita dapati di kehidupan bermasyarakat ini justru sebaliknya. Mengkui kesalahan seolah perbuatan yang sangat hina, sehingga banyak orang yang menjauhinya. Jika mental2 yang seperti ini yang terus dibangun di masyarakat kita, bukan tidak mungkin negara ini yang justru menjadi negara yang rendah di mata dunia.

NB : Ibu tersebut bukanlah nenek yang tua renta, dia masih sangat muda, sehingga tidak pantas untuk didahulukan.