August 15, 2009

Larangan Memberi Sesuatu Kepada Anak Jalanan

-->Indonesia dengan berbagai macam potensi kekayaan alam yang tersimpan baik di daratan maupun lautan menjanjikan kehidupan yang sejahtera kepada seluruh rakyatnya. Tanah Indonesia subur, kayu pun bisa menjadi tanaman bila ditancapkan diatasnya, begitu kata orang-orang tua kita. Laut Indonesia luas, karena negara ini adalah negara kepulaluan yang dikelilingi oleh lautan, bahkan diapit oleh dua samudera. Di dalamnya tersimpan berbagai macam keanekaragaman hayati yang melimpah ruah. Dengan potensi alam yang sangat menjanjikan itu, idealnya Indonesia dapat menjadi negara terkaya, tapi kenyataannya Indonesia masih berada di bawah Singapura, negara tetangga di Asia Tenggara yang hanya memiliki secuil wilayah, dalam hal kesejahteraan penduduk. Di Indonesia, masih banyak rakyat yang taraf hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, pekerjaan dan penghasilan yang juga tidak tetap, dan hal-hal tidak tetap lainnya. Belum lagi masalah pendidikan yang sampai sekarang masih sulit dijangkau karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mengecapnya tidaklah sedikit, sehingga jangankan memikirkan pendidikan setinggi-tingginya, bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur. Parahnya lagi, kini telah muncul paradigma bahwa dengan bersekolah saja belum tentu seseorang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, yang mengakibarkan minat untuk menuntut ilmu putra-putri Indonesia semakin rendah.
Orangtua yang seharusnya menjadi motivator bagi anak-anak mereka justru seringkali membangun mental yang tidak bersesuaian. Mereka justru mendorong anak-anaknya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Memang, bekerja itu bukanlah hal yang salah, tapi mengeksploitasi mereka untuk mencari penghasilan keluarga tetap tidak dapat dibenarkan, apalagi banyak orangtua yang menjerumuskan anaknya sendiri ke pekerjaan-pekerjaan yang tidak benar, misalnya saja menjadi pengemis atau anak jalanan.

Miris rasanya jika melihat fakta bahwa jumlah anak jalanan semakin meningkat tiap tahunnya. Fakta itu saya dapatkan sendiri melalui observasi saya secara tidak langsung di lampu merah perempatan MM UGM. Saat saya berangkat kuliah, saya seringkali melihat anak-anak jalanan ‘mangkal’ di sana. Jumlah mereka kian hari kian bertamabah. Entah darimana mereka datang, saya sendiri belum pernah menanyakan hal itu. Program berita di salah satu televisi swasta mensinyalir kenaikan jumlah anak jalanan itu dikarenakan penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil mengemis tiap harinya sangat menggiurkan. Seorang pengemis bisa mendapatkan penghasilan mencapai Rp. 100.000,- bahkan lebih perharinya. Pantas saja, dengan penghasilan yang menggiurkan itu banyak anak-anak, remaja, maupun orang dewasa yang tergoda untuk memilih ‘profesi’ itu.

Saat ini sangat sulit rasanya melakukan pendekatan secara frontal untuk membendung atau menekan laju pertumbuhan kenaikan jumlah anak jalanan, karena mereka telah asyik di dunianya sendiri sebagai peminta. Mental mereka telah terbentuk menjadi mental peminta yang selalu memosisikan tangannya berada di bawah. Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan kepada dermawan dan dermawati yang hobi memberi uang kepada mereka. Skinner dengan teori Behaviorisnya menyatakan tiga asumsi dasar kerjanya, yaitu Behavior is lawful (perilaku mengikuti hukum tertentu), Behavior can be predicted (perilaku dapat diprediksi), dan Behavior can be controlled (perilaku dapat dikontrol). Perilaku memang dapat diprediksi, misalnya ketika seorang atau sekelompok anak jalanan diberi uang oleh seseorang yang sedang melintas, keesokannya dapat diprediksi bahwa mereka akan meminta lagi kepada orang yang melintas tersebut karena mereka menganggap orang ini akan memberikan uang lagi. Asumsi selanjutnya adalah perilaku dapat dikontrol. Hal ini sangat mungkin terjadi pada mereka (anak jalanan) yang sangat bergantung pada para pemberi. Misalnya saja pemberi atau orang yang melintas baru ramai ketika jam-jam pulang kerja, maka anak-anak jalanan juga akan ramai pada jam-jam itu. Jika dilakukan suatu percobaan dengan cara mengirimkan banyak para pemberi melintas di jam-jam bukan pulang kerja (misalnya pada jam sepuluh pagi) maka saya memiliki hipotesis bahwa mereka (anak jalanan) juga akan banyak ditemui di jam-jam segitu.

Asumsi Skinner yang terakhir adalah perilaku mengikuti hukum tertentu. Hal inilah yang kini menjadi wacana hangat di Jogja dan beberapa kota lainnya. Di kota-kota tersebut muncul wacana bahwa orang-orang dilarang memberikan sesuatu, terutama uang kepada anak-anak jalanan. Kalau saja wacana itu benar-benar menjadi sebuah peraturan dan memiliki kekuatan hukum, besar kemungkinan jumlah anak jalanan akan mengalami penurunan, karena bukannya mereka mendapat hukuman atau ganjaran, tetapi karena jumlah dermawan dan dermawati yang berkurang karena adanya peraturan tersebut. Memang kelihatan terlampau keterlaluan jika ada peraturan tersebut, tapi kadang kita juga perlu berpikir out of the box untuk menghadapi masalah pelik seperti ini. Semoga mental orang-orang Indonesia dapat dibenahi, sehingga Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang mudah dibodohi.

0 comments:

Post a Comment