August 25, 2009

Ramadhan Dua Tahun Lalu

-->
Begitu cepatnya waktu berputar, hingga tak terasa kini kita telah berada di bulan Ramadhan lagi, bulan yang penuh berkah dan ampunan dimana doa2 yang dipanjatkan akan langsung diterima oleh Sang Maha Pengabul Do’a. Aku jadi teringat dengan momen2 bulan Ramadhan dua tahun lalu. Saat itu, hari2ku dipenuhi dengan ratap kegagalanku menembus PTN. Betapa sulit bagiku menerima kenyataan itu, hingga tak henti2nya aku mengadu kepada Yang Maha Mendengarkan. Aku ingat, dulu di setiap sujud terakhir di sholat witir ku, aku selalu meminta diberi kesempatan untuk merasakan nyamannya kursi PTN. Bahkan aku meminta kepada Allah Swt agar diberi kesempatan menuntut ilmu-Nya antara di UI atau UNPAD saja, tidak di universitas lain. Dua universitas itu adalah universitas yang menolak maksud baik ku untuk menimba ilmu saat SPMB (malu mode : on). Dendam? Kurasa tidak, pandangan subjektifku mengatakan bahwa dua universitas itu adalah universitas yang baik. Penasaran? Mungkin kata itu yang lebih tepat. Ah, kalau diingat lagi, betapa lancangnya diri ini yang berani mendikte Sang Maha Menentukan.

Baik UI atau UNPAD, aku tidak mendapatkan keduanya, tapi aku mendapatkan kampus dan kota yang lebih baik dari dua pilihanku itu. Ya, aku mendapatkan UGM sebagai tempat merealisasikan niatku mencari ilmu dan kota Jogja sebagai naunganku. Pilihan Sang Maha Benar memang tidak pernah meleset, aku dapat merasakan itu. Aku belum pernah merasakan semangat yang begitu menggebu dalam mencari ilmu sebelumnya, hingga aku rela berjalan beribu2 sentimeter (lebay mode : on) untuk mengikuti suatu forum. Aku belum pernah sebelumnya menghabiskan satu hariku hanya untuk menghabiskan satu buku. Akan tetapi, di sini semua itu dapat terjadi. Dahaga pengetahuan yang kurasakan membuatku rela melakukan semua itu, tanpa paksaan dan tuntutan. Andai saja Allah mengabulkan pilihan syahwatku untuk berkuliah di UI atau UNPAD, maka belum tentu aku merasakan hal yang kini aku rasakan. Mungkin aku tidak berusaha untuk mengurangi dahagaku akan ilmu sehingga aku mati dengan haus yang tidak terlayani. Mungkin juga aku mampu membasahi dahagaku dengan ilmu yang tidak seharusnya, wallahu ‘alam. Yang pasti, aku senang berada di sini, duduk bersama orang2 yang juga dahaga dengan ilmu-Nya. Mudah2an Allah memaafkan kelancanganku yang telah mendikte-Nya. Amin….

August 15, 2009

Larangan Memberi Sesuatu Kepada Anak Jalanan

-->Indonesia dengan berbagai macam potensi kekayaan alam yang tersimpan baik di daratan maupun lautan menjanjikan kehidupan yang sejahtera kepada seluruh rakyatnya. Tanah Indonesia subur, kayu pun bisa menjadi tanaman bila ditancapkan diatasnya, begitu kata orang-orang tua kita. Laut Indonesia luas, karena negara ini adalah negara kepulaluan yang dikelilingi oleh lautan, bahkan diapit oleh dua samudera. Di dalamnya tersimpan berbagai macam keanekaragaman hayati yang melimpah ruah. Dengan potensi alam yang sangat menjanjikan itu, idealnya Indonesia dapat menjadi negara terkaya, tapi kenyataannya Indonesia masih berada di bawah Singapura, negara tetangga di Asia Tenggara yang hanya memiliki secuil wilayah, dalam hal kesejahteraan penduduk. Di Indonesia, masih banyak rakyat yang taraf hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, pekerjaan dan penghasilan yang juga tidak tetap, dan hal-hal tidak tetap lainnya. Belum lagi masalah pendidikan yang sampai sekarang masih sulit dijangkau karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mengecapnya tidaklah sedikit, sehingga jangankan memikirkan pendidikan setinggi-tingginya, bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur. Parahnya lagi, kini telah muncul paradigma bahwa dengan bersekolah saja belum tentu seseorang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, yang mengakibarkan minat untuk menuntut ilmu putra-putri Indonesia semakin rendah.
Orangtua yang seharusnya menjadi motivator bagi anak-anak mereka justru seringkali membangun mental yang tidak bersesuaian. Mereka justru mendorong anak-anaknya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Memang, bekerja itu bukanlah hal yang salah, tapi mengeksploitasi mereka untuk mencari penghasilan keluarga tetap tidak dapat dibenarkan, apalagi banyak orangtua yang menjerumuskan anaknya sendiri ke pekerjaan-pekerjaan yang tidak benar, misalnya saja menjadi pengemis atau anak jalanan.

Miris rasanya jika melihat fakta bahwa jumlah anak jalanan semakin meningkat tiap tahunnya. Fakta itu saya dapatkan sendiri melalui observasi saya secara tidak langsung di lampu merah perempatan MM UGM. Saat saya berangkat kuliah, saya seringkali melihat anak-anak jalanan ‘mangkal’ di sana. Jumlah mereka kian hari kian bertamabah. Entah darimana mereka datang, saya sendiri belum pernah menanyakan hal itu. Program berita di salah satu televisi swasta mensinyalir kenaikan jumlah anak jalanan itu dikarenakan penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil mengemis tiap harinya sangat menggiurkan. Seorang pengemis bisa mendapatkan penghasilan mencapai Rp. 100.000,- bahkan lebih perharinya. Pantas saja, dengan penghasilan yang menggiurkan itu banyak anak-anak, remaja, maupun orang dewasa yang tergoda untuk memilih ‘profesi’ itu.

Saat ini sangat sulit rasanya melakukan pendekatan secara frontal untuk membendung atau menekan laju pertumbuhan kenaikan jumlah anak jalanan, karena mereka telah asyik di dunianya sendiri sebagai peminta. Mental mereka telah terbentuk menjadi mental peminta yang selalu memosisikan tangannya berada di bawah. Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan kepada dermawan dan dermawati yang hobi memberi uang kepada mereka. Skinner dengan teori Behaviorisnya menyatakan tiga asumsi dasar kerjanya, yaitu Behavior is lawful (perilaku mengikuti hukum tertentu), Behavior can be predicted (perilaku dapat diprediksi), dan Behavior can be controlled (perilaku dapat dikontrol). Perilaku memang dapat diprediksi, misalnya ketika seorang atau sekelompok anak jalanan diberi uang oleh seseorang yang sedang melintas, keesokannya dapat diprediksi bahwa mereka akan meminta lagi kepada orang yang melintas tersebut karena mereka menganggap orang ini akan memberikan uang lagi. Asumsi selanjutnya adalah perilaku dapat dikontrol. Hal ini sangat mungkin terjadi pada mereka (anak jalanan) yang sangat bergantung pada para pemberi. Misalnya saja pemberi atau orang yang melintas baru ramai ketika jam-jam pulang kerja, maka anak-anak jalanan juga akan ramai pada jam-jam itu. Jika dilakukan suatu percobaan dengan cara mengirimkan banyak para pemberi melintas di jam-jam bukan pulang kerja (misalnya pada jam sepuluh pagi) maka saya memiliki hipotesis bahwa mereka (anak jalanan) juga akan banyak ditemui di jam-jam segitu.

Asumsi Skinner yang terakhir adalah perilaku mengikuti hukum tertentu. Hal inilah yang kini menjadi wacana hangat di Jogja dan beberapa kota lainnya. Di kota-kota tersebut muncul wacana bahwa orang-orang dilarang memberikan sesuatu, terutama uang kepada anak-anak jalanan. Kalau saja wacana itu benar-benar menjadi sebuah peraturan dan memiliki kekuatan hukum, besar kemungkinan jumlah anak jalanan akan mengalami penurunan, karena bukannya mereka mendapat hukuman atau ganjaran, tetapi karena jumlah dermawan dan dermawati yang berkurang karena adanya peraturan tersebut. Memang kelihatan terlampau keterlaluan jika ada peraturan tersebut, tapi kadang kita juga perlu berpikir out of the box untuk menghadapi masalah pelik seperti ini. Semoga mental orang-orang Indonesia dapat dibenahi, sehingga Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang mudah dibodohi.

August 10, 2009

Kajian Perilaku Agresi dari Dua Perspektif Teori

Perilaku agresi berdasarkan teori belajar sosial menyatakan bahwa perilaku ageresi terjadi karena individu menangkap, mencerna, dan melakukan modelling terhadap perilaku sosial, dalam hal ini agresi. Kehidupan sosial yang sangat luas memberikan kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai bentuk perilaku. Elemen yang paling berpengaruh dalam kehidupan sosial adalah media massa, terutama media elektronik. Media massa sangat mudah mempengaruhi perilaku individu karena media massa hadir setiap hari di tengah-tengah individu. Sayangnya, berita yang disampaikan kini lebih cenderung mengarah ke bentuk negatif, karena isi dari berita itu banyak mengandung kekerasan seperti pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, serta pembunuhan. Belum lagi tayangan-tayangan televisi yang sekarang justru lebih banyak menayangkan acara-acara yang berbau kekerasan, yang banyak dijumpai di sinetron-sinetron dan film. Sepertinya tayangan-tayangan seperti itu sudah menjadi suatu kewajaran dan tidak mengherankan lagi. Dari acara-acara tersebut, individu banyak menangkap nilai-nilai yang salah, sehingga terjadilah perilaku agresi di masyarakat. Karena perilaku agresi sudah dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran, masyarakat secara umum jarang memedulikan masalah ini.

Jika dipandang dari teori kognitif, perilaku agresi dapat terjadi karena pemrosesan informasi yang masuk sebagai input seringkali mengalami pengabaian. Nilai-nilai atau isi atau pesan yang bernilai positif yang seharusnya diterima individu terabaikan karena adanya sesuatu yang lebih menarik di luar itu, dalam konteks ini adalah perilaku agresi. Individu yang menyaksikan sebuah perilaku agresi lebih mudah menerima tampilan luarnya (pemukulan, penyiksaan, dan atau perilaku agresi lainnya), daripada mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hala itu memang wajar terjadi, karena pemrosesan visual lebih cepat dilakukan daripada pemrosesan informasi lainnya. Karena seringnya individu memroses informasi-informasi visual seperti itu, maka terbentuklah pandangan yang tidak lagi negatif terhadap perilaku agresi, sehingga bukan tidak mungkin individu itu sendiri yang kini justru melakukan perilaku agresi tersebut.

Jika teori-teori tersebut dihubungkan, maka terlihat jelas adanya jembatan yang menghubungkannya. Teori belajar sosial tidak mungkin dapat terjadi tanpa adanya pemrosesan informasi (teori kognitif) dari proses belajar tersebut, sehingga dapat saya katakan bahwa kedua teori itu berkorelasi

August 6, 2009

Berdakwah 'Tuk Lawan Perang Pemikiran

-->Keresahan, kegusaran, dan kemelut batin seringkali terjadi dalam hati manusia. Apalagi di zaman yang banyak tuntutan ini, rasanya ketenangan semakin sulit diperoleh. Modernisme telah banyak mengantarkan masyarakat ke dalam hedonisme yang gemerlap, padahal praktek hedonis pun tidak melulu memberikan solusi atas berbagai permasalahan dunia. Memang, dari segi fisik, orang-orang hedonis terlihat begitu sejahtera, tapi kesejahteraan belum tentu hadir dalam batin mereka. Masyarakat yang kecewa dengan modernisme selalu mencari alternatif-alternatif yang mampu memberikan kenyamanan dalam hati mereka. Ketenangan hati yang bersifat abstrak tidak bisa mereka dapatkan dengan hal-hal konkrit, seperti materi, kemewahan, dan lain-lain. Akibatnya, banyak penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan untuk mencari ketenangan itu. Penodaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama adalah integralistik dari kekecewaan mereka terhadap agama.
Untuk menghadapi berbagai tuntutan itu, diperlukan aqidah yang kuat yang mampu menopang timpangnya kehidupan. Aqidah yang kuat tidak serta merta didapatkan dengan sendirinya, tapi harus melalui tahapan-tahapan. Berbagai tahapan itu bisa dilaksanakan melaui beragam cara, misalnya dengan membaca buku, mengaji, hadir dalam ta’lim atau cara-cara yang lain. Semua cara itu bisa disintesa dalam suatu bentuk yang disebut dengan dakwah. Dakwah menjadi penting ketika manusia mulai kehilangan pegangan kehidupan. Dakwah menjadi keharusan ketika agama acapkali diabaikan. Dan dakwah menjadi prioritas ketika akhirat dikesampingkan.

Dakwah memiliki peranan potensial dalam membangun suatu masyarakat karena dengan dakwah, kita bisa saling mengingatkan ketika kehidupan dunia sering membuat kita lupa, apalagi untuk kaum muda yang emosinya cenderung belum stabil. Para pelajar dan mahasiswa, yang umumnya beruasia muda, sangat rentan dengan berbagai macam godaan. Mereka sangat mudah diberikan stimulus-stimulus yang merusak pemikiran mereka. Apalagi, sekarang bangsa Barat sedang gencar-gencarnya membombardir pemuda muslim dengan perang pemikiran (Gazhul fikr) karena mereka telah putus asa jika harus berperang dengan cara yang konvensional. Perang pemikiran dipilih karena selain sulit untuk menaklukan orang muslim dengan perang konvensional, perang pemikiran juga lebih mudah dan lebih murah biaya operasionalnya daripada perang konvensional. Mereka tidak perlu membeli atau membuat tank-tank, pesawat tempur, rudal-rudal, dan berbagai macam peralatan perang lain yang mengeluarkan biaya sangat besar. Mereka hanya perlu ‘food, fashion, dan film’ untuk meracuni dan menghancurkan mental dan moral pemuda muslim.

Ya, perang pemikiran mereka hanya dilakukan dengan cara-cara seperti itu yang terlihat sangat mudah dan efisien. Dari strategi perang yang seperti ini, mereka mendapat untung dua kali lipat, yaitu mampu mengdekadensikan moral pemuda muslim dan mendapatkan keuntungan materi dari apa yang mereka usahakan. Kalau dijabarkan satu persatu, kita akan menemukan fakta-fakta betapa suksesnya mereka dengan perang pemikirannya. Dari segi food (makanan), kita patut sedih melihat berbagai macam outlet-outlet makanan siap saji yang memenuhi mall-mall dan pusat perbelanjaan di banyak negara, termasuk negara Islam. Naasnya lagi, masyarakat kita justru lebih memilih makanan-makanan siap saji mereka untuk konsumsi sehari-hari. Di Indonesia saja, pemuda-pemuda begitu antusias memenuhi outlet-outlet mereka hanya untuk mengantri membeli makanan. Bahkan seakan ada jargon yang menyebutkan bahwa “tidak gaul kalau tidak makan di tempat mereka”. Hal ini sungguh sangat memilukan, karena selain menyebabkan berkurangnya nasionalisme di hati pemuda, mengonsumsi makanan-makanan siap saji mereka juga sama saja membantu mereka untuk membantai saudara-saudara kita seiman di Timur Tengah, karena beberapa persen keuntungan dari hasil penjualan produk mereka akan disumbangkan untuk Israel (Yahudi) yang selalu memerangi umat Islam. Selain itu, jika ditinjau dari segi kesehatan, makanan-makanan asli Indonesia terbukti lebih sehat daripada makanan siap saji mereka. Makanan siap saji yang mereka tawarkan, lebih banyak mengandung zat-zat yang dapat meracuni tubuh, dibanding zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh. Justru zat-zat yang berguna itu akan hilang karena bahan makanan, diolah dengan cara yang tidak tepat.

Dari segi fashion, mereka (bangsa Barat) juga sudah terlalu banyak mengotori gaya hidup anak muda. Tampilan busana yang tidak karuan yang sering memperlihatkan aurat, menjadi andalan mereka untuk merusak pemikiran remaja muslim. Agar lebih menarik dan laku di pasaran, setiap model yang mereka keluarkan, akan diperkenalkan oleh artis-artis dan bintang film dunia. Hal ini harusnya menjadi perhatian penting bagi kita, karena kita tahu bahwa aurat adalah hal yang sangat tabu dan harus dijaga oleh tiap umat Islam. Tapi kini kita dapat dengan mudah menemukan remaja-remaja yang mempertontonkan auratnya di muka umum tanpa rasa malu. Selain itu, kita juga sering melihat rusaknya pemikiran manusia yang diterapkan dalam cara berbusana, dimana laki-laki lebih senang memakai pakaian perempuan dan begitu juga sebaliknya, perempuan lebih senang memakai pakaian laki-laki. sungguh bangsa Barat telah berhasil memutarbalikkan kebenaran.

Perang pemikiran yang bangsa Barat lakukan dari segi film lebih parah dan lebih berhasil lagi, karena peperangan yang dilakukan lewat jalan ini lebih mudah dilakukan dan sangat menguntungkan. Mereka merusak moral remaja-remaja muslim dengan menampilkan tayangan-tayangan yang sangat tidak layak ditonton. Kita dapat merasakan dampaknya sekarang dimana pelecehan-pelecehan seksual begitu marak dilakukan. Lewat jalan ini menguntungkan karena mereka sangat memanfaatkan pepatah lama yang berbunyi, “Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui”, sekali berbuat, bisa dapat untung materi dan kemenangan dalam peperangan. Film-film yang bangsa Barat produksi banyak yang menyisipkan misi Yahudi dimana orang muslim yang akan menjadi sasarannya. Misalnya saja film Spiderman yang dibuat dan diperankan oleh orang-orang Yahudi. Disana banyak disisipkan pembodohan, terutama untuk umat Islam (lebih lengkapnya bisa dibaca di buku yang berjudul “Spiderman, I Will Kill You”).

Kalau kita melihat berbagai ironi yang seperti itu, rasanya tidak mungkin jika kita sebagai umat Islam hanya berdiam diri membiarkan bangsa Barat melakukan perang pemikirannya. Kita harus mulai membentengi diri kita dan saudara-saudara seiman kita agar tidak ikut menjadi korban perang bangsa Barat. Oleh karena itu, dakwah menjadi mutlak dibutuhkan setiap orang, terutama para mahasiswa yang didominasi oleh pemuda-pemuda. Kehidupan kampus yang cenderung bebas merupakan sasaran perang paling empuk karena berbagai macam budaya dan kebiasaan dari luar, sangat mudah keluar-masuk kampus. Akibatnya, kampus akan sulit terkontrol yang dapat mengakibatkan rusaknya generasi penerus bangsa. Kalau Indonesia tidak memiliki generasi penerus yang berkualitas, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?

August 1, 2009

Nenekku yang Zuhud

Pagi hari, menjelang kepulanganku ke Jogja dari liburku, nenekku datang untuk membawakan bekal/oleh2 untuk Ibu Kost, sebagai balasan sederhana atas segala kebaikan beliau. Nenekku sendiri yang membuatkan oleh2 itu dan beliau juga yang mengantarkannya ke rumahku. Ah, begitu baik dan perhatiannya nenekku kepada cucunya ini. Ku hampiri beliau dan kuajaknya bicara panjang lebar. Aku tanyakan bagaimana keadaannya belakangan ini, dan beliau pun menjawab sambil bercerita seperti seorang ibu mendongengkan kisah pengantar tidur untuk anaknya.

Nenekku bercerita bahwa belakangan in beliau mengalami susah tidur. Kalau beliau tidur di malam hari, beliau akan terbangun jam dua pagi dan tidak bias tidur lagi sampai adzan subuh. Hal ini membuat tubuh nenekku lemas. Ketika kutanya tentang pola makannya, beliau menjawab dengan kerendahan hatinya bahwa tidak ada yang salah dengan pola makannya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa nenekku pada pagi hari selalu minum air teh manis hangat ditemanai dengan dua potong tahu isi. Begitu setiap pagi, tidak ada bosan2nya. Beliau tidak terbiasa berjumpa dengan nasi di pagi hari, beliau baru bertemu nasi saat hari sudah beranjak siang. Mungkin ini yang diturunkan nenekku kepadaku, aku pun tidak biasa sarapan dengan nasi pada pagi hari, bedanya aku ngemil dengan rakusnya dari pagi sampai siang di saat nenekku hanya mengganjalkan dua potong tahu isi di perutnya sampai siang hari.

Nenekku makan dua kali sehari, siang dan sore hari, itupun dengan porsi yang mengkhawatirkan. Nenekku tidak pernah makan banyak, mungkin hanya seperempat dari porsi makanku. Lauk pauknya pun sangat sederhana, beliau mengatakan bahwa beliau makan dengan lauk apa saja yang ada, kalau ada tempe-tahu, ya beliau makan tempe-tahu, kalau ada ikan ya makan ikan, tapi kalau ada ayam goreng atau daging, nenekku justru menghindarinya. Entah kenapa nenekku begitu enggannya menyantap lauk itu (ayam dan daging), hal yang justru sangat berkebalikan denganku. Aku menduga nenekku mengalami trauma masa lalu, dimana pada saat beliau masih muda, lauk pauk seperti itu sangat jarang ada di meja makan, karena lauk itu tergolong sebagai lauk yang sangat istimewa. Jarang sekali orang2 dulu menyajikan lauk seperti itu, mengingat sulitnya kondisi ekonomi yang dihadapi mereka, begitu cerita ibuku sewaktu ketika. Oleh karena itu, jika dihadapkan dengan lauk seperti itu, mungkin beliau teringat sulitnya kehidupan yang dilaluinya bersama almarhum kakekku.

Walaupun masa lalunya sangat sulit, tapi beliau tidak pernah memasang wajah susah, masam, dan kecewa kepadaku. Beliau selalu tersenyum di depanku, selalu menunjukkan keceriaannya dan sangat jarang mengeluh. Beliau menunjukkan kondisi yang selalu berkecukupan dimana aku menanggapinya serba kekurangan. Bayangkan, mie instant yang aku sanggup menghabiskan sebanyak dua bungkus, beliau hanya bisa menghabiskan seperempat bungkus. Aku jadi memikirkan, betapa rakusnya aku, hidup bergelimang nikmat di tengah zuhudnya hidup nenekku. Aku memang tidak merasakan sulitnya hidup di masa lalu, tapi seharusnya aku bisa memahami melalui zuhudnya hidup nenekku saat ini. Begitu besar pengorbanan yang beliau persembahkan kepada anak dan cucu2nya, sehingga kini kami tidak mengalami susahnya hidup seperti yang nenekku alami. Semoga setiap hembus nafasnya melahirkan pahala2 yang kelak akan dituai di alam akhirat. Amin…