December 30, 2009

Pah

Pah. Mungkin kalian jarang mendengar kata ini (atau mungkin belum pernah mendengarnya sama sekali), karena memang istilah ini sangat jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Pah hanya dipakai pada permainan kelereng. Entah istilah ini berasal darimana dan bahasa apa, tapi di kampungku, Pah (dalam permainan kelereng) mengandung pengertian bahwa seseorang tidak mengambil kesempatannya untuk jalan (menyentil kelereng) dan justru memberi kesempatan orang setelahnya untuk jalan duluan (hmm… maaf merepotkan).
Keputusan untuk Pah diambil karena berdasarkan pertimbangan untung-rugi sang pemain, maka lebih banyak potensi ruginya daripada untungnya jika sang pemain memaksakan untuk tetap mengambil jatah jalannya.

Mungkin di belahan dunia yang berbeda memiliki istilah berbeda untuk menggambarkan kondisi di atas. Di Rusia, mungkin kondisi itu disebut Kroiyzenidzenkomaspupah. Di Kutub Utara mungkin disebut Zrekiyodonerisme. Atau di Uganda mungkin disebut Bneumateleosieum. Entahlah. Terserah mau pakai istilah yang mana, yang pasti, Pah melatih kita berpikir rasional saat akal hampir terjungkal. Walaupun, saat itu sebenarnya adalah giliran kita untuk jalan, tapi pertimbangan logika menghalangi kita.

Akan tetapi patut diingat, Pah bukan berarti menyerah untuk kalah. Pah bukan berarti keluar dari permainan. Pah hanyalah salah satu strategi agar kita tetap menang walau ”giliran” diabaikan. Atau setidaknya, Pah meminimalisir kerugian karena “teman main” kita lebih lihai dalam permainan kelereng itu. Ahay, jadi teringat masa kecil. Hmm.. mari kita lilhat, siapa yang lebih banyak mengumpulkan kelereng.

Nb : Istilah di Rusia, Kutub Utara, dan Uganda cuma karangan aja, hehehe.

October 13, 2009

Pejuang yang (Merasa) Terbuang

Teman, pernahkah kamu membaca karya monumental Tetralogi Buru? Hmm...ingin sekali ku mengatakan betapa gemilangnya karya tersebut hingga mampu membuka mata rakyat Indonesia yang telah lama terpejam. Rezim orde baru pun dibuat kalang kabut olehnya (Tetralogi Buru) hingga akhirnya karya tersebut diberangus dan tidak boleh diterbitkan saat itu.

Tahukah kamu siapa penulis dari Tetralogi Buru tersebut? Ya, dia adalah satu2nya wakil Indonesia yang namanya berkali2 masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra, Pramoedya Ananta Toer.

Pram, begitu ia akrab dipanggil, menghabiskan hampir separuh hidupnya di dalam penjara. Ia yang dituduh terlibat dalam G30S PKI tidak pernah mendapat proses pengadilan yang jelas selama menjadi tahanan. Akhirnya, jadilah ia dibuang dari satu penjara ke penjara lain dengan status yang masih menggantung. Hmm...maaf teman, bukannya aku mau mendramatisir kisah hidupnya di sini, tapi aku hanya mau berbagi kepada kalian tentang perjuangannya yang tidak kenal lelah dan prestasinya yang wah.

Pram, walaupun ia kesepian dalam pembuangan, tapi pikirannya tidak pernah sepi dari perjuangan. Pram tidak menjadikan pembuangan terhadap dirinya sebagai pemakaman atas idealisme2nya. Penjara tidak membuatnya berhenti setitik pun untuk berjuang melalui tulisan. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia berani menerima segala konsekuensi atas buah pemikirannya tersebut.

Hasilnya? Sampai saat ini, telah lahir lebih dari 50 buah karya dari tangan dinginnya, dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Wouw....mungkin kata ‘dahsyat’ tidak cukup untuk mewakili kegemilangan prestasinya ini. Bayangkan....lebih dari 42 bahasa asing menyadur karyanya. Belum lagi rentetan penghargaannya. Hmm...mungkin bisa dijadikan buku sendiri untuk menuliskan penghargaan yang ia peroleh.

Totalitas teman, itulah dia kuncinya. Totalitas. Ia tidak dendam dengan ‘ibu pertiwi’ walau jelas2 ia dimusuhi. Ia tidak gentar dengan hukuman walau menjalaninya bagai sebuah kutukan. Dan yang terpenting adalah ia tulus berjuang walau ia dibuang. Perhatikan itu teman, ia dibuang, bukan terbuang. Sangat berbeda dua kata ini. Dibuang, berarti ada unsur paksaan di situ, sedangkan terbuang baru sebatas pandangan subjektif seseorang saja yang merasa dirinya dibuang.

Kalau Pram yang menjadi orang buangan saja bisa menghasilkan mahakarya, mengapa kita tidak bisa melampauinya? Seharusnya kita dapat menghasilkan sesuatu yang lebih dari itu. Tidak harus berupa tulisan. Terasa kaku sekali jika perjuangan hanya bisa dilakukan melalui tulisan. Masih banyak sektor2 lain yang menjadi lumbung pahala bagi kita atas perjuangan mewujudkan cita2 mulia bangsa ini.

Ah, maaf teman jika tulisan ini terlihat menggurui, padahal pikiran2 ku pun masih kerdil jika berbicara masalah seperti ini. Percayalah teman bahwa aku hanya ingin membina. Membina jiwa ini agar terlatih untuk bekal di kemudian hari. Aku hanya ingin menjaga. Menjaga semangat ini agar senantiasa perkasa dalam memberikan jasa. Dan aku hanya ingin menantang. Menantang kalian wahai jiwa2 pejuang.

Pejuang itu,
Bagaikan air
Menyejukkan orang yang kehausan
Orang yang haus akan keadilan

***
Pejuang Itu

Pejuang itu,
Bagaikan api
Semangatnya membakar nurani
Hingga tak ragu menghanguskan tirani

Pejuang itu,
Bagaikan tanah
Menumbuhkan pohon2 yang menyejahterakan
Mengubur segala bentuk kesewenangan

Pejuang itu,
Bagaikan udara
Tak terlihat tapi multi manfaat
Tak tersentuh tapi mampu menyentuh

Pejuang itu,
Ada
Ada dalam jiwamu
Ada dalam jiwaku

***

(Tapi pejuang bukan avatar lho ya – aku tau pasti diantara kalian ada yang mau berceletuk seperti itu)

October 1, 2009

'Benar' (yang semakin) Permissif


-->
Teman, saat ini aku bingung bagaimana caranya meyakinkan diriku bahwa aku masih tinggal di Indonesia. Betapa nilai2 luhur kehidupan telah bergeser begitu jauhnya, hingga membuatku sangsi bahwa aku masih berdiri di bumi Indonesia. Aku merasakan “kebenaran” kini semakin permisif saja, hingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang batil. Banyak kebatilan yang kini telah dibenarkan, dan tidak sedikit kebenaran yang telah dibatilkan. Benar dan batil hampir tidak ada jarak teman.

Kamu tau MBA? Bukan, bukan Master ….., MBA yang ini adalah Married by Accident, gelar yang semakna dengan hamil di luar nikah. Apa pandanganmu tentang MBA ini? Ah, aku yakin jawaban teoritismu pasti mengatakan hal itu salah, dan aku yakin “moral development” mu juga mengatakan hal yang serupa. Akan tetapi, apa yang kini bisa kita lakukan dengan fenomena yang semakin sering terjadi di masyarakat kita ini? Perkara ini semakin dianggap remeh teman, padahal perbuatan itu adalah perbuatan zina. Aku yakin kamu lebih tau hukum dan dosa bagi para pezina.

Belum lagi masalah prostitusi yang kini seperti barang dagangan. Pelacuran kini layaknya transaksi jual-beli tempe teman, tidak ada rasa malu dari para pelakunya. Jangankan malu, mungkin mereka justru bangga ketika mereka dengan santainya berdiri di pinggir jalan untuk mencari “konsumen”. Aduh teman, padahal menatap dengan syahwat saja sudah merupakan perbuatan zina yang dilakukan oleh mata.

Lain hal lagi dengan urusan privasi. Orang seperti sudah tidak memiliki rahasia lagi ketika hampir semua hal dibicarakan di infotainment. Dari urusan cerai-menceraikan sampai urusan perawatan tubuh, semua dibicarakan. Gibah (membicarakan orang) seperti obat sakit perut yang harus dikonsumsi 3x sehari. Padahal kita tinggal di Indonesia teman, negara yang katanya menjunjung tinggi sopan santun dalam berprilaku. Aku ingat dulu ketika tetanggaku mati2an menjaga rahasia ketika ia suka dengan gadis yang masih satu kampung. Kenapa dia mati2an menjaga rahasianya? Karena dia malu. Sekarang, orang2 malah bangga ketika berbicara di tv bahwa ia baru saja “jadian” atau putus dengan pacarnya (istighfar mode : on).

Teman, mau dibawa kemana negara ini? Orang2 banyak yg bilang bahwa Indonesia semakin mendekati kejayaan. Pertanyaanku, jaya dalam hal apa? Apa yang mau di jual bangsa ini untuk menyusul China dan India yang sudah lebih dulu maju? Cukupkah membawa negara ini maju dengan hanya melontarkan prediksi2? Bukan bermaksud pesimis, tapi tidak bosankah kamu dengan buaian mimpi2 seperti ini?
Teman, ingin rasanya aku berbagi lebih banyak tentang fakta yg aku dapatkan di lapangan, tapi aku takut kamu akan bosan, hingga tulisan ini terlihat seperti tinjauan teoritis saja. Padahal, aku hanya ingin berbagi kegelisahan. Kegelisahan yg tidak kuat ku konsumsi sendiri, hingga kutularkan padamu. Aku dan kamu sama2 memegang amanah teman. Sebuah mega project untuk menghentak dunia.

Marilah kawan,
Mari kita kabarkan
Di tangan kita,
Tergenggam arah bangsa
(buruh tani)

August 25, 2009

Ramadhan Dua Tahun Lalu

-->
Begitu cepatnya waktu berputar, hingga tak terasa kini kita telah berada di bulan Ramadhan lagi, bulan yang penuh berkah dan ampunan dimana doa2 yang dipanjatkan akan langsung diterima oleh Sang Maha Pengabul Do’a. Aku jadi teringat dengan momen2 bulan Ramadhan dua tahun lalu. Saat itu, hari2ku dipenuhi dengan ratap kegagalanku menembus PTN. Betapa sulit bagiku menerima kenyataan itu, hingga tak henti2nya aku mengadu kepada Yang Maha Mendengarkan. Aku ingat, dulu di setiap sujud terakhir di sholat witir ku, aku selalu meminta diberi kesempatan untuk merasakan nyamannya kursi PTN. Bahkan aku meminta kepada Allah Swt agar diberi kesempatan menuntut ilmu-Nya antara di UI atau UNPAD saja, tidak di universitas lain. Dua universitas itu adalah universitas yang menolak maksud baik ku untuk menimba ilmu saat SPMB (malu mode : on). Dendam? Kurasa tidak, pandangan subjektifku mengatakan bahwa dua universitas itu adalah universitas yang baik. Penasaran? Mungkin kata itu yang lebih tepat. Ah, kalau diingat lagi, betapa lancangnya diri ini yang berani mendikte Sang Maha Menentukan.

Baik UI atau UNPAD, aku tidak mendapatkan keduanya, tapi aku mendapatkan kampus dan kota yang lebih baik dari dua pilihanku itu. Ya, aku mendapatkan UGM sebagai tempat merealisasikan niatku mencari ilmu dan kota Jogja sebagai naunganku. Pilihan Sang Maha Benar memang tidak pernah meleset, aku dapat merasakan itu. Aku belum pernah merasakan semangat yang begitu menggebu dalam mencari ilmu sebelumnya, hingga aku rela berjalan beribu2 sentimeter (lebay mode : on) untuk mengikuti suatu forum. Aku belum pernah sebelumnya menghabiskan satu hariku hanya untuk menghabiskan satu buku. Akan tetapi, di sini semua itu dapat terjadi. Dahaga pengetahuan yang kurasakan membuatku rela melakukan semua itu, tanpa paksaan dan tuntutan. Andai saja Allah mengabulkan pilihan syahwatku untuk berkuliah di UI atau UNPAD, maka belum tentu aku merasakan hal yang kini aku rasakan. Mungkin aku tidak berusaha untuk mengurangi dahagaku akan ilmu sehingga aku mati dengan haus yang tidak terlayani. Mungkin juga aku mampu membasahi dahagaku dengan ilmu yang tidak seharusnya, wallahu ‘alam. Yang pasti, aku senang berada di sini, duduk bersama orang2 yang juga dahaga dengan ilmu-Nya. Mudah2an Allah memaafkan kelancanganku yang telah mendikte-Nya. Amin….

August 15, 2009

Larangan Memberi Sesuatu Kepada Anak Jalanan

-->Indonesia dengan berbagai macam potensi kekayaan alam yang tersimpan baik di daratan maupun lautan menjanjikan kehidupan yang sejahtera kepada seluruh rakyatnya. Tanah Indonesia subur, kayu pun bisa menjadi tanaman bila ditancapkan diatasnya, begitu kata orang-orang tua kita. Laut Indonesia luas, karena negara ini adalah negara kepulaluan yang dikelilingi oleh lautan, bahkan diapit oleh dua samudera. Di dalamnya tersimpan berbagai macam keanekaragaman hayati yang melimpah ruah. Dengan potensi alam yang sangat menjanjikan itu, idealnya Indonesia dapat menjadi negara terkaya, tapi kenyataannya Indonesia masih berada di bawah Singapura, negara tetangga di Asia Tenggara yang hanya memiliki secuil wilayah, dalam hal kesejahteraan penduduk. Di Indonesia, masih banyak rakyat yang taraf hidupnya jauh di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, pekerjaan dan penghasilan yang juga tidak tetap, dan hal-hal tidak tetap lainnya. Belum lagi masalah pendidikan yang sampai sekarang masih sulit dijangkau karena biaya yang harus dikeluarkan untuk mengecapnya tidaklah sedikit, sehingga jangankan memikirkan pendidikan setinggi-tingginya, bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur. Parahnya lagi, kini telah muncul paradigma bahwa dengan bersekolah saja belum tentu seseorang bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, yang mengakibarkan minat untuk menuntut ilmu putra-putri Indonesia semakin rendah.
Orangtua yang seharusnya menjadi motivator bagi anak-anak mereka justru seringkali membangun mental yang tidak bersesuaian. Mereka justru mendorong anak-anaknya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Memang, bekerja itu bukanlah hal yang salah, tapi mengeksploitasi mereka untuk mencari penghasilan keluarga tetap tidak dapat dibenarkan, apalagi banyak orangtua yang menjerumuskan anaknya sendiri ke pekerjaan-pekerjaan yang tidak benar, misalnya saja menjadi pengemis atau anak jalanan.

Miris rasanya jika melihat fakta bahwa jumlah anak jalanan semakin meningkat tiap tahunnya. Fakta itu saya dapatkan sendiri melalui observasi saya secara tidak langsung di lampu merah perempatan MM UGM. Saat saya berangkat kuliah, saya seringkali melihat anak-anak jalanan ‘mangkal’ di sana. Jumlah mereka kian hari kian bertamabah. Entah darimana mereka datang, saya sendiri belum pernah menanyakan hal itu. Program berita di salah satu televisi swasta mensinyalir kenaikan jumlah anak jalanan itu dikarenakan penghasilan yang mereka dapatkan dari hasil mengemis tiap harinya sangat menggiurkan. Seorang pengemis bisa mendapatkan penghasilan mencapai Rp. 100.000,- bahkan lebih perharinya. Pantas saja, dengan penghasilan yang menggiurkan itu banyak anak-anak, remaja, maupun orang dewasa yang tergoda untuk memilih ‘profesi’ itu.

Saat ini sangat sulit rasanya melakukan pendekatan secara frontal untuk membendung atau menekan laju pertumbuhan kenaikan jumlah anak jalanan, karena mereka telah asyik di dunianya sendiri sebagai peminta. Mental mereka telah terbentuk menjadi mental peminta yang selalu memosisikan tangannya berada di bawah. Pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah pendekatan kepada dermawan dan dermawati yang hobi memberi uang kepada mereka. Skinner dengan teori Behaviorisnya menyatakan tiga asumsi dasar kerjanya, yaitu Behavior is lawful (perilaku mengikuti hukum tertentu), Behavior can be predicted (perilaku dapat diprediksi), dan Behavior can be controlled (perilaku dapat dikontrol). Perilaku memang dapat diprediksi, misalnya ketika seorang atau sekelompok anak jalanan diberi uang oleh seseorang yang sedang melintas, keesokannya dapat diprediksi bahwa mereka akan meminta lagi kepada orang yang melintas tersebut karena mereka menganggap orang ini akan memberikan uang lagi. Asumsi selanjutnya adalah perilaku dapat dikontrol. Hal ini sangat mungkin terjadi pada mereka (anak jalanan) yang sangat bergantung pada para pemberi. Misalnya saja pemberi atau orang yang melintas baru ramai ketika jam-jam pulang kerja, maka anak-anak jalanan juga akan ramai pada jam-jam itu. Jika dilakukan suatu percobaan dengan cara mengirimkan banyak para pemberi melintas di jam-jam bukan pulang kerja (misalnya pada jam sepuluh pagi) maka saya memiliki hipotesis bahwa mereka (anak jalanan) juga akan banyak ditemui di jam-jam segitu.

Asumsi Skinner yang terakhir adalah perilaku mengikuti hukum tertentu. Hal inilah yang kini menjadi wacana hangat di Jogja dan beberapa kota lainnya. Di kota-kota tersebut muncul wacana bahwa orang-orang dilarang memberikan sesuatu, terutama uang kepada anak-anak jalanan. Kalau saja wacana itu benar-benar menjadi sebuah peraturan dan memiliki kekuatan hukum, besar kemungkinan jumlah anak jalanan akan mengalami penurunan, karena bukannya mereka mendapat hukuman atau ganjaran, tetapi karena jumlah dermawan dan dermawati yang berkurang karena adanya peraturan tersebut. Memang kelihatan terlampau keterlaluan jika ada peraturan tersebut, tapi kadang kita juga perlu berpikir out of the box untuk menghadapi masalah pelik seperti ini. Semoga mental orang-orang Indonesia dapat dibenahi, sehingga Indonesia tidak lagi menjadi bangsa yang mudah dibodohi.

August 10, 2009

Kajian Perilaku Agresi dari Dua Perspektif Teori

Perilaku agresi berdasarkan teori belajar sosial menyatakan bahwa perilaku ageresi terjadi karena individu menangkap, mencerna, dan melakukan modelling terhadap perilaku sosial, dalam hal ini agresi. Kehidupan sosial yang sangat luas memberikan kesempatan bagi individu untuk mengeksplorasi berbagai bentuk perilaku. Elemen yang paling berpengaruh dalam kehidupan sosial adalah media massa, terutama media elektronik. Media massa sangat mudah mempengaruhi perilaku individu karena media massa hadir setiap hari di tengah-tengah individu. Sayangnya, berita yang disampaikan kini lebih cenderung mengarah ke bentuk negatif, karena isi dari berita itu banyak mengandung kekerasan seperti pemukulan, penganiayaan, pemerkosaan, serta pembunuhan. Belum lagi tayangan-tayangan televisi yang sekarang justru lebih banyak menayangkan acara-acara yang berbau kekerasan, yang banyak dijumpai di sinetron-sinetron dan film. Sepertinya tayangan-tayangan seperti itu sudah menjadi suatu kewajaran dan tidak mengherankan lagi. Dari acara-acara tersebut, individu banyak menangkap nilai-nilai yang salah, sehingga terjadilah perilaku agresi di masyarakat. Karena perilaku agresi sudah dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran, masyarakat secara umum jarang memedulikan masalah ini.

Jika dipandang dari teori kognitif, perilaku agresi dapat terjadi karena pemrosesan informasi yang masuk sebagai input seringkali mengalami pengabaian. Nilai-nilai atau isi atau pesan yang bernilai positif yang seharusnya diterima individu terabaikan karena adanya sesuatu yang lebih menarik di luar itu, dalam konteks ini adalah perilaku agresi. Individu yang menyaksikan sebuah perilaku agresi lebih mudah menerima tampilan luarnya (pemukulan, penyiksaan, dan atau perilaku agresi lainnya), daripada mengambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hala itu memang wajar terjadi, karena pemrosesan visual lebih cepat dilakukan daripada pemrosesan informasi lainnya. Karena seringnya individu memroses informasi-informasi visual seperti itu, maka terbentuklah pandangan yang tidak lagi negatif terhadap perilaku agresi, sehingga bukan tidak mungkin individu itu sendiri yang kini justru melakukan perilaku agresi tersebut.

Jika teori-teori tersebut dihubungkan, maka terlihat jelas adanya jembatan yang menghubungkannya. Teori belajar sosial tidak mungkin dapat terjadi tanpa adanya pemrosesan informasi (teori kognitif) dari proses belajar tersebut, sehingga dapat saya katakan bahwa kedua teori itu berkorelasi

August 6, 2009

Berdakwah 'Tuk Lawan Perang Pemikiran

-->Keresahan, kegusaran, dan kemelut batin seringkali terjadi dalam hati manusia. Apalagi di zaman yang banyak tuntutan ini, rasanya ketenangan semakin sulit diperoleh. Modernisme telah banyak mengantarkan masyarakat ke dalam hedonisme yang gemerlap, padahal praktek hedonis pun tidak melulu memberikan solusi atas berbagai permasalahan dunia. Memang, dari segi fisik, orang-orang hedonis terlihat begitu sejahtera, tapi kesejahteraan belum tentu hadir dalam batin mereka. Masyarakat yang kecewa dengan modernisme selalu mencari alternatif-alternatif yang mampu memberikan kenyamanan dalam hati mereka. Ketenangan hati yang bersifat abstrak tidak bisa mereka dapatkan dengan hal-hal konkrit, seperti materi, kemewahan, dan lain-lain. Akibatnya, banyak penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan untuk mencari ketenangan itu. Penodaan, pelecehan, dan penistaan terhadap agama adalah integralistik dari kekecewaan mereka terhadap agama.
Untuk menghadapi berbagai tuntutan itu, diperlukan aqidah yang kuat yang mampu menopang timpangnya kehidupan. Aqidah yang kuat tidak serta merta didapatkan dengan sendirinya, tapi harus melalui tahapan-tahapan. Berbagai tahapan itu bisa dilaksanakan melaui beragam cara, misalnya dengan membaca buku, mengaji, hadir dalam ta’lim atau cara-cara yang lain. Semua cara itu bisa disintesa dalam suatu bentuk yang disebut dengan dakwah. Dakwah menjadi penting ketika manusia mulai kehilangan pegangan kehidupan. Dakwah menjadi keharusan ketika agama acapkali diabaikan. Dan dakwah menjadi prioritas ketika akhirat dikesampingkan.

Dakwah memiliki peranan potensial dalam membangun suatu masyarakat karena dengan dakwah, kita bisa saling mengingatkan ketika kehidupan dunia sering membuat kita lupa, apalagi untuk kaum muda yang emosinya cenderung belum stabil. Para pelajar dan mahasiswa, yang umumnya beruasia muda, sangat rentan dengan berbagai macam godaan. Mereka sangat mudah diberikan stimulus-stimulus yang merusak pemikiran mereka. Apalagi, sekarang bangsa Barat sedang gencar-gencarnya membombardir pemuda muslim dengan perang pemikiran (Gazhul fikr) karena mereka telah putus asa jika harus berperang dengan cara yang konvensional. Perang pemikiran dipilih karena selain sulit untuk menaklukan orang muslim dengan perang konvensional, perang pemikiran juga lebih mudah dan lebih murah biaya operasionalnya daripada perang konvensional. Mereka tidak perlu membeli atau membuat tank-tank, pesawat tempur, rudal-rudal, dan berbagai macam peralatan perang lain yang mengeluarkan biaya sangat besar. Mereka hanya perlu ‘food, fashion, dan film’ untuk meracuni dan menghancurkan mental dan moral pemuda muslim.

Ya, perang pemikiran mereka hanya dilakukan dengan cara-cara seperti itu yang terlihat sangat mudah dan efisien. Dari strategi perang yang seperti ini, mereka mendapat untung dua kali lipat, yaitu mampu mengdekadensikan moral pemuda muslim dan mendapatkan keuntungan materi dari apa yang mereka usahakan. Kalau dijabarkan satu persatu, kita akan menemukan fakta-fakta betapa suksesnya mereka dengan perang pemikirannya. Dari segi food (makanan), kita patut sedih melihat berbagai macam outlet-outlet makanan siap saji yang memenuhi mall-mall dan pusat perbelanjaan di banyak negara, termasuk negara Islam. Naasnya lagi, masyarakat kita justru lebih memilih makanan-makanan siap saji mereka untuk konsumsi sehari-hari. Di Indonesia saja, pemuda-pemuda begitu antusias memenuhi outlet-outlet mereka hanya untuk mengantri membeli makanan. Bahkan seakan ada jargon yang menyebutkan bahwa “tidak gaul kalau tidak makan di tempat mereka”. Hal ini sungguh sangat memilukan, karena selain menyebabkan berkurangnya nasionalisme di hati pemuda, mengonsumsi makanan-makanan siap saji mereka juga sama saja membantu mereka untuk membantai saudara-saudara kita seiman di Timur Tengah, karena beberapa persen keuntungan dari hasil penjualan produk mereka akan disumbangkan untuk Israel (Yahudi) yang selalu memerangi umat Islam. Selain itu, jika ditinjau dari segi kesehatan, makanan-makanan asli Indonesia terbukti lebih sehat daripada makanan siap saji mereka. Makanan siap saji yang mereka tawarkan, lebih banyak mengandung zat-zat yang dapat meracuni tubuh, dibanding zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh. Justru zat-zat yang berguna itu akan hilang karena bahan makanan, diolah dengan cara yang tidak tepat.

Dari segi fashion, mereka (bangsa Barat) juga sudah terlalu banyak mengotori gaya hidup anak muda. Tampilan busana yang tidak karuan yang sering memperlihatkan aurat, menjadi andalan mereka untuk merusak pemikiran remaja muslim. Agar lebih menarik dan laku di pasaran, setiap model yang mereka keluarkan, akan diperkenalkan oleh artis-artis dan bintang film dunia. Hal ini harusnya menjadi perhatian penting bagi kita, karena kita tahu bahwa aurat adalah hal yang sangat tabu dan harus dijaga oleh tiap umat Islam. Tapi kini kita dapat dengan mudah menemukan remaja-remaja yang mempertontonkan auratnya di muka umum tanpa rasa malu. Selain itu, kita juga sering melihat rusaknya pemikiran manusia yang diterapkan dalam cara berbusana, dimana laki-laki lebih senang memakai pakaian perempuan dan begitu juga sebaliknya, perempuan lebih senang memakai pakaian laki-laki. sungguh bangsa Barat telah berhasil memutarbalikkan kebenaran.

Perang pemikiran yang bangsa Barat lakukan dari segi film lebih parah dan lebih berhasil lagi, karena peperangan yang dilakukan lewat jalan ini lebih mudah dilakukan dan sangat menguntungkan. Mereka merusak moral remaja-remaja muslim dengan menampilkan tayangan-tayangan yang sangat tidak layak ditonton. Kita dapat merasakan dampaknya sekarang dimana pelecehan-pelecehan seksual begitu marak dilakukan. Lewat jalan ini menguntungkan karena mereka sangat memanfaatkan pepatah lama yang berbunyi, “Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui”, sekali berbuat, bisa dapat untung materi dan kemenangan dalam peperangan. Film-film yang bangsa Barat produksi banyak yang menyisipkan misi Yahudi dimana orang muslim yang akan menjadi sasarannya. Misalnya saja film Spiderman yang dibuat dan diperankan oleh orang-orang Yahudi. Disana banyak disisipkan pembodohan, terutama untuk umat Islam (lebih lengkapnya bisa dibaca di buku yang berjudul “Spiderman, I Will Kill You”).

Kalau kita melihat berbagai ironi yang seperti itu, rasanya tidak mungkin jika kita sebagai umat Islam hanya berdiam diri membiarkan bangsa Barat melakukan perang pemikirannya. Kita harus mulai membentengi diri kita dan saudara-saudara seiman kita agar tidak ikut menjadi korban perang bangsa Barat. Oleh karena itu, dakwah menjadi mutlak dibutuhkan setiap orang, terutama para mahasiswa yang didominasi oleh pemuda-pemuda. Kehidupan kampus yang cenderung bebas merupakan sasaran perang paling empuk karena berbagai macam budaya dan kebiasaan dari luar, sangat mudah keluar-masuk kampus. Akibatnya, kampus akan sulit terkontrol yang dapat mengakibatkan rusaknya generasi penerus bangsa. Kalau Indonesia tidak memiliki generasi penerus yang berkualitas, bagaimana nasib bangsa ini ke depannya?

August 1, 2009

Nenekku yang Zuhud

Pagi hari, menjelang kepulanganku ke Jogja dari liburku, nenekku datang untuk membawakan bekal/oleh2 untuk Ibu Kost, sebagai balasan sederhana atas segala kebaikan beliau. Nenekku sendiri yang membuatkan oleh2 itu dan beliau juga yang mengantarkannya ke rumahku. Ah, begitu baik dan perhatiannya nenekku kepada cucunya ini. Ku hampiri beliau dan kuajaknya bicara panjang lebar. Aku tanyakan bagaimana keadaannya belakangan ini, dan beliau pun menjawab sambil bercerita seperti seorang ibu mendongengkan kisah pengantar tidur untuk anaknya.

Nenekku bercerita bahwa belakangan in beliau mengalami susah tidur. Kalau beliau tidur di malam hari, beliau akan terbangun jam dua pagi dan tidak bias tidur lagi sampai adzan subuh. Hal ini membuat tubuh nenekku lemas. Ketika kutanya tentang pola makannya, beliau menjawab dengan kerendahan hatinya bahwa tidak ada yang salah dengan pola makannya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa nenekku pada pagi hari selalu minum air teh manis hangat ditemanai dengan dua potong tahu isi. Begitu setiap pagi, tidak ada bosan2nya. Beliau tidak terbiasa berjumpa dengan nasi di pagi hari, beliau baru bertemu nasi saat hari sudah beranjak siang. Mungkin ini yang diturunkan nenekku kepadaku, aku pun tidak biasa sarapan dengan nasi pada pagi hari, bedanya aku ngemil dengan rakusnya dari pagi sampai siang di saat nenekku hanya mengganjalkan dua potong tahu isi di perutnya sampai siang hari.

Nenekku makan dua kali sehari, siang dan sore hari, itupun dengan porsi yang mengkhawatirkan. Nenekku tidak pernah makan banyak, mungkin hanya seperempat dari porsi makanku. Lauk pauknya pun sangat sederhana, beliau mengatakan bahwa beliau makan dengan lauk apa saja yang ada, kalau ada tempe-tahu, ya beliau makan tempe-tahu, kalau ada ikan ya makan ikan, tapi kalau ada ayam goreng atau daging, nenekku justru menghindarinya. Entah kenapa nenekku begitu enggannya menyantap lauk itu (ayam dan daging), hal yang justru sangat berkebalikan denganku. Aku menduga nenekku mengalami trauma masa lalu, dimana pada saat beliau masih muda, lauk pauk seperti itu sangat jarang ada di meja makan, karena lauk itu tergolong sebagai lauk yang sangat istimewa. Jarang sekali orang2 dulu menyajikan lauk seperti itu, mengingat sulitnya kondisi ekonomi yang dihadapi mereka, begitu cerita ibuku sewaktu ketika. Oleh karena itu, jika dihadapkan dengan lauk seperti itu, mungkin beliau teringat sulitnya kehidupan yang dilaluinya bersama almarhum kakekku.

Walaupun masa lalunya sangat sulit, tapi beliau tidak pernah memasang wajah susah, masam, dan kecewa kepadaku. Beliau selalu tersenyum di depanku, selalu menunjukkan keceriaannya dan sangat jarang mengeluh. Beliau menunjukkan kondisi yang selalu berkecukupan dimana aku menanggapinya serba kekurangan. Bayangkan, mie instant yang aku sanggup menghabiskan sebanyak dua bungkus, beliau hanya bisa menghabiskan seperempat bungkus. Aku jadi memikirkan, betapa rakusnya aku, hidup bergelimang nikmat di tengah zuhudnya hidup nenekku. Aku memang tidak merasakan sulitnya hidup di masa lalu, tapi seharusnya aku bisa memahami melalui zuhudnya hidup nenekku saat ini. Begitu besar pengorbanan yang beliau persembahkan kepada anak dan cucu2nya, sehingga kini kami tidak mengalami susahnya hidup seperti yang nenekku alami. Semoga setiap hembus nafasnya melahirkan pahala2 yang kelak akan dituai di alam akhirat. Amin…

July 20, 2009

Cerita Klasik Satu Tahun Lalu

-->
Setahun sudah aku menuntut ilmu di UGM, dan aku telah menemukan kenyamanan di sana. Akan tetapi, saat ini adalah saat liburan, biar bagaimanapun kerasannya diriku di sana, aku tetap harus pulang kampung (atau mungkin lebih tepatnya pulang kota) untuk bertemu dengan orang2 terdekatku. Aku selalu mengharapkan kenyamanan ketika pulang ke sana (Tangerang), tapi ternyata “virus” pengganggu tidak pernah lenyap dari muka bumi ini. Dia menganggu ketentramanku, membuatku tidak nyaman berlama2 di rumah. Dia merusak mental, menguras emosi, dan menyita waktuku selama liburan ini. Virus itu bernama “perhatian”.

Aku senang banyak orang memperhatikanku setahun belakangan ini. Ya, aku memang seolah menjadi pusat perhatian dalam susunan masyarakat di tempat tinggalku. Hanya satu alasannya, dan tidak akan pernah berubah, mereka menyangsikan kepergianku ke Jogja untuk kuliah di UGM. Sejak pertama aku bilang ingin mendaftar di UGM, sebagian dari mereka seolah tidak percaya bahwa aku serius mengambil keputusan ini, mungkin mereka kira aku bercanda. Saat pengumuman hasil UM-UGM keluar, dan aku diterima, mereka semakin gempar dan aku mulai menjadi buah bibir di masyarakat.

Perlu kalian ketahui, orang2 di daerahku masih sangat sedikit yang berani keluar “kandang” untuk merasakan kehidupan di tempat lain. Ppenduduk asli tempat tinggalku masih sangat jarang yang berani merantau, jumlah mereka masih bisa dihitung dengan jari. Itupun yang merantau umumnya orang-orang yang ingin bekerja, yang notabene menghasilkan uang, bukan justru yang “membuang uang” seperti yang aku lakukan. Tak pelak, keputusanku ini dianggap ekstrim oleh sebagian kalangan. Akhirnya, banyak pernyataan yang mereka keluarkan, yang intinya adalah kekhawatiran, kekhawatiran dan kekhawatiran. Mereka memberikan perhatian dengan cara melemparkan kekhawatirannya kepadaku dan orangtuaku. Mereka khawatir orangtuaku tidak mampu membayar biaya kuliah dan biaya hidup di Jogja, sehingga aku dianjurkan untuk berkuliah di sini saja, toh menurut mereka di sinipun ada tempat kuliah. Mereka khawatir terhadap pilihanku, yaitu Psikologi tidak mempunyai masa depan yang bagus, sehingga mereka menawarkan pilihan jurusan yang menurut mereka sangat prospektif. Mereka khawatir aku tidak betah di sana, sehingga hanya akan menghabiskan uang saja.

Ah, begitu besar perhatian mereka kepadaku. Aku tidak menyangka akan diperlakukan se-spesial ini akibat keputusanku yang di luar nalar mereka. Sekarang, sudah setahun aku kuliah di sana, dan Alhamdulillah Allah selalu menjagaku dan orangtuaku sehingga aku tetap survive sampai detik ini. Biaya kuliah yang paling mereka khawatirkan, walaupun aku belum banyak membantu, tapi Alhamdulillah sampai saat ini mampu dihandle orangtuaku. Aku tidak kelaparan atau kekurangan selama aku berada di sana, malah saat aku pertama kali pulang dulu, saudara2ku berkata aku bertambah gemuk. Jurusan Psikologi yang menurut mereka tidak prospektif, walaupun belum bisa kubuktikan sendiri, tapi telah dibuktikan oleh kakak2 angkatanku yang telah bekerja. Mereka mendapat penghasilan yang cukup besar dari almamater ini, sehingga menurutku tidak ada alasan mereka meragukan pilihanku. Dan soal betah atau tidak betah, aku rasa kekhwatiran mereka terlalu besar, karena sampai saat ini aku selalu kangen dengan suasana kota Pendidikan yang kental akan ilmu, sehingga tidak ada alasan bagiku untuk merengek minta pulang ke kampung halaman.

Baru2 ini, salah satu dari mereka kembali menyampaikan kekhawatirannya. Bukan tentang biaya atau betah-tidak betah, tapi tentang jurusan yang aku ambil, yaitu Psikologi. Sekali lagi dia mengatakan (sebutlah namanya Mrs. Y) bahwa aku terlalu sembrono mengambil pilihan jurusan, karena menurut dia Psikologi tidak prospektif. Dia menyarankanku untuk mengambil jurusan Hukum, seperti temannya yang kini telah sukses. Ah, bangganya temannya itu, memiliki prestasi sehingga diingat oleh Mrs. Y sampai saat ini. Akan tetapi, aku sama sekali tidak terpengaruh oleh intimidasinya. Aku merasa tidak ada yang salah dengan Psikologi. Aku cinta Psikologi, aku senang berada di jurusan ini, dan aku sama sekali tidak merasa berada di luar jalur kesuksesan hanya karena aku memilih jurusan favoritku. Bagiku, Psikologi sudah seperti rumah keduaku. Aku tidak merasakan kebosanan saat mempelajarinya, aku tidak merasakan beban yang berat ketika mengerjakan tugasnya, dan aku tidak merasakan tekanan ketika aku harus menghadapi ujiannya.

Aku tersanjung sekaligus heran, mengapa walaupun sudah lumyan lama waktu berlalu (satu tahun), masih saja ada yang rela mengkhawatirkan diriku, padahal mereka juga punya anak yang patut mereka khawatirkan, tidak melulu aku. Bukan berarti aku tidak butuh perhatian, tapi memperhatikan diriku se-detail ini membuatku malu. Aku masih (dan mudah2an selalu) merasa orang yang biasa saja, bukan superstar ataupun putra mahkota yang selalu diperhatikan masyarakat. Aneh rasanya jika apa yang terjadi padaku selalu mendapat perhatian, padahal mereka juga punya keluarga yang butuh untuk diperhatikan. Ah, Indonesia, mengapa kau begitu unik?